Jumat, September 25, 2009

Edisi Baru Buku 100 Tokoh Paling Berpengaruh


BERMILYAR manusia sempat mencicipi hidup di jagat dunia. Namun sedikit saja yang menancapkan pengaruh secarah kokoh ---menjadi ingatan sejarah sepanjang waktu. Orang-orang yang melegenda itu, berbaur dalam aneka jenis. Dari tokoh bijak bestari, Nabi, hingga penguasa despotik yang bengis sekalipun. Wajar belaka, bila memori kita kemudian menyimpan file berikut: dari Yesus, Muhammad, Budha, Lao Tze, hingga hingga Hitler, Polpot, Stalin, atau bahkan Mao.


Dan tradisi perbukuan punya cara untuk itu. Merekam sepak terjang manusia-manusia pilih tanding, dalam jutaan lembar teks pustaka. Praktek inilah yang melahirkan berbagai artefak sejarah, dalam biografi, hegiografi, ensiklopedi tokoh, dan semacamnya. Lebih spesifik lagi, adalah buku-buku yang menyimpan nama-nama para tokoh. Seperti dalam Whos Who, Apa dan Siapa, serta yang paling kontroversial ini: 100 Tokoh Paling Berpengaruh dalam Sejarah....


Berpenanda tahun 1978, buku 100 Tokoh ini terbit. Seorang bernama Michael H. Hart, lahir 28 April 1923, pernah bekerja di NASA, adalah guru besar astronomi dan fisika di Maryland, Amerika Serikat. Hart mendapat sorotan dunia berkat buku yang ditulisnya itu. Entah sudah berapa edisi dan berapa bahasa yang menerbitkan kembali buku ini. Jelas, kalau sekedar ingin populer, Michael Hart telah melampaui itu. Alumni NASA itu bahkan memetik kontroversi ---bahkan hingga saat ini. Dan itu ia jawab dengan edisi revisi buku ini.


Mengapa ia menulis ulang? Seraya membuang beberapa nama yang sebelumnya masuk daftar 100, disertai penjelasan detail.


“Satu alasan untuk membuat revisi,” kata Hart, “adalah bahwa sejarah tidak berhenti di tahun 1978, ketika edisi pertama buku ini ditulis. Sebaliknya, banyak peristiwa baru terjadi sejak itu—beberapa di antaranya tidak terantisipasi—dan tokoh-tokoh sejarah baru bermunculan. Walaupun pengetahuan saya tentang masa lalu memang sempurna pada dua belas tahun lampau, buku ini tetap membutuhkan revisi karena dunia telah berubah sejak itu.”



Nabi Muhammad
Ummat Islam mungkin tak memusingkan perguliran kontroversi. Tetapi bukan berarti subyektivitas buta, jika kemudian buku ini nyaris menjadi fardu kifayah, tersimpan baik di rak perpustakaan (di rumah atau komunitas mereka). Buku ini toh memakai tata krama sahih dalam penulisan, standar yang jelas. Ada tujuh kriteria, mengapa sebuah nama masuk dalam 100 daftar.


Menurut Hart sendiri, aturan pertama yang dia gunakan adalah orang yang masuk dalam daftar merupakan tokoh yang benar-benar ada. Aturan kedua, Hart tidak hanya memilih tokoh yang paling terkenal atau prestisius dalam sejarah. “Ketenaran, atau bakat, atau kemuliaan karakter tidaklah sama dengan pengaruh,” tulis Hart. Aturan ketiga, Hart tidak membatasi daftar orang yang masuk dalam bukunya hanya pada orang-orang yang memengaruhi kondisi umat manusia saat ini. Pengaruh pada generasi terdahulu juga dipertimbangkan dalam posisi sejajar.


Aturan keempat, dalam menetapkan di mana tepatnya seseorang berada, Hart amat menekankan arti penting dari kontribusinya terhadap sebuah gerakan sejarah. Secara umum, perkembangan sejarah besar tidak pernah bergantung pada tindakan satu orang saja. Karena buku ini menyangkut pengaruh individu dan pribadi, Hart berusaha membagi pujian sebuah perkembangan pada beberapa orang yang berpartisipasi di dalamnya. Dengan begitu, perorangan tidak diperingkatkan bersejajaran dengan arti penting dari peristiwa atau gerakan yang terkait dengannya.


Aturan kelima, setiap orang yang dimasukkan dalam buku ini dipilih berbasiskan pengaruh aktualnya, bukan sebagai perwakilan sebuah gerakan penting. Aturan keenam, setiap orang yang masuk dalam daftar di buku ini—menurut pemahaman Hart—merupakan tokoh-tokoh yang amat monumental dalam sejarah. Aturan ketujuh, buku ini didasarkan pada apa yang sungguh terjadi di masa lalu, bukan apa yang seharusnya terjadi, atau apa yang mungkin terjadi jika masyarakat manusia lebih memgutamakan kesetraan. Demikian “ketujuh” aturan yang dicoba disarikan dari buku karya Hart.


Khusus Nabi Muhammad, penempatannya dalam peringkat pertama karena pengaruh langsung yang dilakoni sang Nabi sendiri. Menurut Hart, berbeda dengan Isa, Budha, atau tokoh agama lainnya, Muhammad adalah pemimpin politik (duniawi) sekaligus ukhrawi (akherat, keagamaan). Tulis Hart: dialah Nabi Muhammad satu-satunya manusia dalam sejarah yang berhasil meraih sukses-sukses luar biasa baik ditilik dari ukuran agama maupun ruang lingkup duniawi.


Last But Not Least

Pesan gampangan untuk buku ini barangkali adalah klasik: memperkaya khasanah tentang ketokohan manusia-manusia besar. Tetapi, bila sepakat, ada juga tafsir lain, terutama dari lahirnya Edisi Revisi baru ini. Bahwa sejarah tak pernah berhenti. Tokoh legendaris bisa lahir dan berakhir. Keterkenalan dan kehebatan, juga tak semata-mata bersumber dari kebaikan, tapi juga kedholiman. Pilihan ada di tangan, berkiblat ke mana?

Buku Tentang Tokoh Pendiri (Mobil dan Motor) Honda


SETIAP menyimak pemberitaan mudik, hati saya selalu giris. Terutama untuk angka kecelakaan transportasi yang grafiknya tak pernah turun. Sepertinya fenomena ini melawan hajat sejarah. Bahwa dulu, ketika moda transportasi diciptakan, entah motor, mobil, atau kereta api, tujuannya adalah untuk kenyamanan manusia. Tetapi dalam kasus mudik, semua seolah terbongkar.


Lebih gila lagi adalah kecelakaan (yang disebabkan) oleh kendaraan bermotor roda dua. Artikel pendek ini mengulas tentang cita seorang penemu mesin motor-mobil bermerek honda. Barangkali menambahi perspektif anda tentang "penyakit" mudik.



Soichiro Honda
Soichiro Honda akan menangis bila saja saat ini ia masih hidup, seraya melihat Jakarta, Semarang, Surabaya, atau kota-kota besar lainnya di Indonesia. Karya inovatifnya di bidang otomotif (mobil dan motor) ----yang dikemudian hari berlabel Honda, hari ini (telah) memakan begitu banyak korban. Tak terkecuali para pemudik di Indonesia.

Perintis awal pabrikan otomotif Honda itu mungkin akan bergumam, bahwa hasil perjuangannya sama senasib dengan Alfred Nobel, seorang penemu dinamit. Kita tahu persis, atas rasa sesal mendalam, Alfred Nobel menyumbangkan seluruh hartanya untuk ikhtiar perdamaian dunia, melalui piagam bergengsi bernama Hadiah Nobel. Barangkali, inilah yang disebut dengan kompensasi.

Mengapa Soichiro Honda pantas menangis? Di Indonesia, ledakan populasi kendaraan bermotor gila-gilaan. Menggelembungkan asap polutan di atmosfir dan itu berarti memperlebar lubang ozon. Menguras sumber daya energi. Biang kemacetan, dan lebih miris lagi menelan ribuan korban di jalanan.

Data terbaru menyebutkan, 373 nyawa meradang di jalur mudik, dengan jumlah kecelakaan mencapai 1.027 kasus. Modus umum yang muncul adalah kecelakaan karena kendaraan bermotor (roda dua atau roda empat, enam, dst). Dari berbagai riset, seringkali menyebutkan biang keladi kecelakaan adalah kendaraan (ber)motor roda dua. Agak mudah diterima, bahwa standar keamanan dan perilaku pengemudi roda dua adalah menyedihkan ----terutama anak-anak muda yang ugal-ugalan.


Alasan lain, konon Soichiro Honda ketika merancang sepeda motor tak lain guna tujuan sangat mulia. Ia melihat bahwa bis umum, kapal laut, pesawat terbang, dan kereta api punya kelemahan mendasar: tidak mampu melayani jalur-jalur khusus berjarak pendek. Tidak lincah berkelak-kelok di jalan perkampungan. Sifatnya melayani jalur umum. Beda dengan motor yang memiliki kelincahan untuk melayani rute pendek, berkelok, dan masuk ke kampung-kampung.


Tapi, sekali lagi, di Indonesia temuannya itu telah berubah menjadi petaka. Kendaraan bermotor roda dua, di Jakarta, malah jadi wahana kebut-kebutan, tunggangan liar anak-anak a-b-g, dan sarana kriminalitas. Belum lagi bila menyebut tumpukan motor yang menyesakkan jalanan Ibu Kota.



Gagal Sekolah

Tapi beruntung sejarah (ataupun biografi) tak melulu menyimpan tragedi. Di sana juga ada yang disebut dengan prestasi dan inspirasi. Sama belaka dengan sosok yang kita perbinangkan ini.


Kisah sukses Soichiro Honda mirip-mirip dengan legenda lain di kolong langit ini, terutama mereka-mereka dengan karya luar biasa besar dan berpengaruh (diantaranya menjadi kaya raya). Dalam biografinya, Soichiro Honda adalah orang yang gagal sekolah. Nilai pelajarannya selalu jelek, dan ia drop out, lantaran lebih asyik mengulik mesin daripada termangu bersandar di bangku kelas. Cerita seperti ini, juga terjadi pada Bill Gates, yang keluar dari perguruan tinggi bergengsi bernama Harvard University. Sekolah (ataupun kampus) memang bukan jaminan.


Succes Story mereka bertumpu pada minat dan kecintaan luar biasa pada obyek yang mereka tekuni. Kerja keras, konsisten membangun mimpi. Itulah kata kunci para pembesar di berbagai bidang. Kita tak akan kehabisan contoh untuk tipologi manusia terpilih seperti ini. Dalam banyak hal, celotehan Ivan Illich bahwa Sekolah itu candu menemukan titik kebenaran. Tak sedikit orang sekolah karena kecanduan dengan gelar, titel atau priveledge yang didapatkan. Tidak untuk berkarya dengan sungguh-sungguh.



Selain tragedi, prestasi, dan inspirasi, sejarah dan kisah orang-orang besar juga potensial melahirkan kontradiksi. Inipun, lagi-lagi, terjadi pada temuan Soichiro Honda. Dalam kasus tokoh penemu yang kita bahas ini, kontradiksi justru berawal dari idealismenya sendiri, menciptakan kendaraan serba cepat dan serba nyaman itu, kini seolah menguap bersama kepadatan lalu lintas, kemacetan, polusi, penghamburan energi, dan penonjolan gaya hidup tanpa henti. Anda sepakat?

Selasa, September 15, 2009

Toomy Soeharto, Isu, dan Buku Shandy Harun yang Ketakutan


MARIO PUZO, dalam novel Orang-Orang Sisilia (dan difilmkan dengan judul The Godfather oleh sutradara kawak Francis Ford Coppola, dibintangi Marlon Brando dan Al Capone), membuat ilustrasi menarik tentang ajaran saling percaya dalam keluarga mafioso, di Sisilia, Italia.


Begini. Don Carleone, meminta anak kesayangannya Michael Carleone, memanjat tembok. Begitu sampai atas, The Don menyuruh anaknya loncat. Sembari bertitah: Saya akan menangkap kamu di bawah sini, dan kamu tidak akan jatuh tersungkur. Si anak menurut. Langsung melompat. Apa yang terjadi? Ternyata The Don membiarkan anaknya jatuh terjerembab ke mencium tanah.


"Mengapa?" Tanya si anak protes.

Dengan dingin Don Carleone menjawab (lebih tepat memperingatkan)."Mulai hari ini kamu harus ingat, jangan percaya kepada perintah dan janji siapapun, ---kecuali terhadap keluargamu sendiri."


Dibalik kehidupan para mafioso yang bengis (sanggup meletupkan peluru ke dada lawan sembari menyesap wine), ternyata punya prinsip agung: kepercayaan terhadap klan, keluarga sendiri, dan mereka para Don itu teramat sangat mencintai keluarganya.


Pak Harto bukanlah The Don. Tradisi Jawa bahkan tak mengenal Mafioso (di Italia), Triad (di Hongkong), Yakuza (di Jepang), Cartel Narkotik (di Kolumbia), atau kehidupan ala Gangster sekalipun. Tetapi dalam satu dua hal, agaknya mirip-mirip. Tak banyak pihak yang bisa ia percayai. Dingin ---the smiling general---, enigmatik, misterius, dan mampu melumpuhkan lawan-lawan politiknya. Setidaknya, begitulah tuturan dari O.G. Roeder, penulis Biografi Soeharti, The Smiling General. Satu lagi tambahan: ia teramat sangat mencintai anaknya....


Dari sekian kontroversi terhadap Soeharto, baik yang ilmiah, provokasi, atau bahkan fitnah sekalipun, agaknya akan sepakat dalam satu hal: faktor kejatuhan Pak Harto didorong oleh sikap "berlebihan" dari para puteri dan ----terutama--- putera-puteranya. Tokoh-tokoh duniapun bilang begitu, termasuk Mahatir Muhammad dan Lee Kuan Yew. Salah seorang mantan diplomati Inggris yang berkantor di Jakarta (1998-2001), dengan liris menyatakan: Indonesia tanpa Soeharto tak akan seperti sekarang ini. Menyedihkan. Keserakahan anak-anaknyalah yang menghancurkannya.



The Golden Boys

Akankah Tommy comback dan mampu membangun kembali kejayaan "Kartel Politik Ekonomi Cendana"? Melalui pintu Ketua Umum Partai Golkar? Pasti tak mudah. Negeri ini meski tersaruk-saruk dalam pusaran konflik, toh, belum jatuh sebagai negeri mafia seperti Columbia ----di mana jaringan pengedar narkotika bisa menentukan hitam putihnya negeri di Benua Amerika itu.


Tak akan mudah bagi mantan Napi di Nusakambangan itu menutupi berbagai kasus hitam yang mengiringi perjalanannya. Jika didata, artikel ini akan menjemukan. Cukup kasus-kasus terbilang gajah. Diantaranya: kesemrawutan tata kelola cengkeh via BPPC, monopoli mobil nasional Timor, ruislag PT Goro dan Bulog, hingga keterlibatanya dalam pembunuhan Jaksa Agung Nasruddien ---yang membuatnya harus tinggal di Nusakambangan.


Lebih menarik mengulas isu-isu bawah tanah tentang putera bungsu kesayangan Pak Harto itu. Saya pernah membaca pengakuan mantan pengawal pirbadi Pak Harto (sayang, judul buku dan pengaranya tak terlacak, tak ada di Google).


Tommy pasti paling disayang. Sewaktu Tommy bujangan, kegiatan Pak Harto jika malam minggu justru adalah memantau ke mana dan dengan siapa anak emasnya itu pergi. Seraya memerintahkan anak buahnya itu untuk membuntuti Tommy. Bahkan ---kata buku itu--- orang-orang Pak Harto menyebar ke Pub, Bar, atau bahkan Klub Malam di mana Tommy berada. Asal tahu saja, terhadap anak-anaknya yang lain, Pak Harto tak begitu-begitu aman. Wajar, jika Tommy disebut sebagai The Golden Boy.


Buku Shandy Harun

Kata-kata apa yang harus kita ungkapkan, seandainya 25% saja dari isu-isu panas tentang Tommy Soeharto mengandung kebenaran. Mulailah dari publikasi koran The Age Australia, dan juga salah satu Tabloid di Belanda, tentang keterlibatan Don Yuan Cendana ini dalam Kartel Medellin, jaringan pengedar narkotika internasional. Begitu juga tentang kisah-kisah plamboyannya, hingga ia dijuluki Playboy (memang masih bisa dikategorikan isu, tetapi banyak pengakuan dan publikasi faktual yang telah terungkap, misalnya kedekatan dengan beberapa perempuan cantik, serta pesta-pesta kalangan jetset).


Sebenarnya ada peluang pengungkapan. Beberapa tahun lalu, mantan orang dekat Tommy, Shandy Harun (kakak Donna Harun, dan anak dari Harun Al Rasyid), menulis buku biografinya sendiri. Tetapi, sayang ia tak bercerita banyak tentang Tommy. Kepada media massa, Shandy mengaku bahwa jauh-jauh hari ia telah melakukan perjanjian dengan Tommy. "Jika saya suatu hari menulis buku," kisah Shandy, "saya tak boleh menceritakan hal-hal buruk tentang Mas Tommy." Tapi dari sini kita bisa menelurkan spekulasi nakal: berarti memang keburukan-keburukan Tommy parah... hingga tak boleh dipublish ke publik....


Akhirnya, negeri ini memang belum seperti Amerika atau negara-negara barat lainnya. Di mana orang-orang dekat dari manusia-manusia jahat (biasanya para tokoh) mampu menulis dengan berani. Perihal perilaku buruk para tokoh publik. Buku tentang para tokoh di negeri ini belum jauh bergerak dari Kitab Mazmur ---ucapan penuh puji-pujian. Hingga itu, gossip tak pernah selesai. Dan masyarkat pun tak belajar apa-apa dari situ. Begitulah....

Senin, September 14, 2009

Para Penulis Buku Yang Aneh


JANGAN kira Aidh Al Qorni, penulis La Tahzan, kaya raya. Meski karyanya dibaca jutaan orang, diterjemahkan dalam puluhan bahasa, ternyata pendapatannya dari penerbitan edisi pertama saja. Ia, kalah gesit oleh kapitalis buku. Hingga tak menerima royalty dari buku-bukunya yang dijual di berbagai negara (terutama) Islam.

Tetapi “tragedi penulis besar” itu bukan kasus pertama. Barangkali mirip dengan para seniman, entah pematung, pelukis, atau para penemu teknologi modern sekalipun. Ada anekdot, para seniman yang kaya raya itu adalah (justru) jandanya ---maklum, ketika si seniman wafat, karyanya menjadi legenda, harganya melangit, dan yang mencicipi berkah adalah isterinya yang masih hidup.

Dunia memang unik. Dibalik riwayat nasib sengsara para penulis besar, ada juga yang dengan sengaja tak ingin namanya terkenal, meski karyanya dibaca jutaan orang dari masa ke masa. Salah satu yang patut disebut adalah Imam Syafii. Ini adalah Ulama Besar dikalangan sunni, segala litetarur fiqh (syariah) yang dialamatkan ke namanya, konon adalah sesuatu yang tak dia minta. Sang Imam malah berkata: “Seandainya bisa, aku ingin namaku tidak tercantum di sampul buku-buku yang aku tulis.”

Sulit dipercaya hari ini lahir sikap kesalehan radikal seperti itu. Tidak untuk periode salaf (awal-awal perjuangan Islam, di 2,3 abad Hijriah).

Tradisi keulamaan dalam sejarah Islam awal memang mengenal prinsip-prinsip kesalehan luar biasa. Ini bergulir dalam praktek-prakek sufistik, seperti zuhud (asketism), wara (kehati-hatian), ro’ja (berprasangka baik), dan banyak lainnya. Mereka mempraktekkan pula kaidah untuk membersihkan kalbu dari unsur-unsur ujub-riya-takabur (aroganisme), dan sum’ah (ingin terkenal). Sang Imam, dalam perihal buku tanpa namanya itu, agaknya sedang mempratekkan prinsip terakhir.

Suatu posisi yang diametral dengan fenomena kepenulisan zaman modern ini. Orang menulis karena ingin terkenal. Kemudian, bila bukunya laku, tentu mengharap royalty. Sesuatu yang sangat manusiawi. Dan barangkali dalam kondisi tertentu memang sangat dibutuhkan. Terutama bila kita membahasakannya sebagai bentuk apresiasi terhadap karya yang telah dilahirkan.


Orang-Orang Aneh
Tapi zaman selalu melahirkan gharaba (orang-orang aneh, yang menentang arus zaman). Bahkan kata Ali Syariati, menyebut perkara ini sebagai kewajiban. Lihat saja, bila dalam masyarakat ada orang-orang yang aneh, kritis, berani melawan wacana umum, maka biasanya dia yang paling mampu menggerakan perubahan.

Teori sosiologi juga mengenal konsep creative minority. Bung Karno, Bung Hata, Sjahrir, Tan Malaka, adalah creative minority pada masanya. Mereka adalah sedikit tokoh yang berpikir berbeda dibanding benak masyarakat Hindia Belanda tempo doeloe. Sejarah membuktikan, merekalah yang sanggup memerdekakan bangsa ini.

Siapa penulis-penulis yang aneh, nyeleneh, nyentrik, dan melawan arus zaman saat ini?

Lupakan dulu soal “menolak” penghasilan dari keuntungan menulis buku, perkara ini agak sulit dicari saat ini. Lain perkara bila yang kita tangkap adalah spirit untuk berani melawan arus. Untuk ini, harapan bisa bertaburan.

Pertama adalah dalam aras menciptakan budaya tanding. Andrea Hirata, Dhee, Ayu Utami, segolongan kaliber yang member makna baru. Mereka penulis aneh karena memperlihatkan kekuatan budaya tanding atas trend chick-lit, buku-buku pop, dan karya fiksi yang mengeksploitasi romantisme dramatis. Bila boleh, Habiburahman El Shirazy masuk kelompok ini pula. Setidaknya ia memperkuat dengan dalil dan referensi kesilaman atas dramatisasi percintaan.

Kedua, para penulis yang melawan monopoli penerbitan besar, yang dalam ranah industri musik disebut major label. Jangan sampai dunia perbukuan didikte oleh selera pasar ---yang sejajar dengan selera kapitalis industri buku. Buku bagus tak harus dari penerbit besar dengan tipe yang itu-itu juga. Tetapi juga bisa (dan harus) dari pojok yang lain. Maka kita pun mengenal penerbit-penerbit mandiri, self publishing, dengan sumber yang meruyak. Mulai dari koleksi pribadi yang difotocopy, sampai buku yang diterbitkan dari blog. Seorang penulis terkenal di bidang motivasi, Edy Zaques, malah menyambut gejala ini. Bahkan katanya, menerbitkan buku sendiri jauh lebih menguntungkan, bebas dari potongan dan “kecurangan”.

Ketiga, penulis buku yang membuktikan demokratisasi gagasan. Kini siapapun orangnya, bisa menulis buku laku. Penyandingan gelar tak berarti banyak mendongkrak kualitas dan sukses pasar. Porsi pembubuhan title seperti ini cocok disampul belakang, sebagai afirmasi telah dibaca oleh Profesor, Doktor, atau para seleb di bidang keilmuan. Lantaran sebagai penulis, belum tentu gelar-gelar mewah itu menjadi jaminan mutu.

Seorang pembantu rumah tangga di luar negeri, yang sering secara kasar kita sebut TKW sekalipun, sanggup menulis buku bagus dan diserap pasar dengan baik. Contohnya adalah Eni Kurnia, yang menulis buku Anda Luar Biasa. Pengalaman akademik memang alat bantu saja, yang lebih penting adalah kegigihan. Olehnya, anak kecil atau remaja belia sekalipun, bila mau, bisa membuat karya pustaka.

Bukankah nikmakat bila fenomena seperti ini meledak? Pilihan makin banyak. Perang gagasan pun kian marak. Lebih penting lagi, peluang menciptak buku kian terbuka. Besok-besok, siapa tahu, andalah salah satunya (yang memberi warna pada kemajuan perbukuan kita). Semoga....

Para Penulis Buku Yang Aneh

JANGAN kira Aidh Al Qorni, penulis La Tahzan, kaya raya. Meski karyanya dibaca jutaan orang, diterjemahkan dalam puluhan bahasa, ternyata pendapatannya dari penerbitan edisi pertama saja. Ia, kalah gesit oleh kapitalis buku. Hingga tak menerima royalty dari buku-bukunya yang dijual di berbagai negara (terutama) Islam.

Tetapi “tragedi penulis besar” itu bukan kasus pertama. Barangkali mirip dengan para seniman, entah pematung, pelukis, atau para penemu teknologi modern sekalipun. Ada anekdot, para seniman yang kaya raya itu adalah (justru) jandanya ---maklum, ketika si seniman wafat, karyanya menjadi legenda, harganya melangit, dan yang mencicipi berkah adalah isterinya yang masih hidup.

Dunia memang unik. Dibalik riwayat nasib sengsara para penulis besar, ada juga yang dengan sengaja tak ingin namanya terkenal, meski karyanya dibaca jutaan orang dari masa ke masa. Salah satu yang patut disebut adalah Imam Syafii. Ini adalah Ulama Besar dikalangan sunni, segala litetarur fiqh (syariah) yang dialamatkan ke namanya, konon adalah sesuatu yang tak dia minta. Sang Imam malah berkata: “Seandainya bisa, aku ingin namaku tidak tercantum di sampul buku-buku yang aku tulis.”

Sulit dipercaya hari ini lahir sikap kesalehan radikal seperti itu. Tidak untuk periode salaf (awal-awal perjuangan Islam, di 2,3 abad Hijriah).

Tradisi keulamaan dalam sejarah Islam awal memang mengenal prinsip-prinsip kesalehan luar biasa. Ini bergulir dalam praktek-prakek sufistik, seperti zuhud (asketism), wara (kehati-hatian), ro’ja (berprasangka baik), dan banyak lainnya. Mereka mempraktekkan pula kaidah untuk membersihkan kalbu dari unsur-unsur ujub-riya-takabur (aroganisme), dan sum’ah (ingin terkenal). Sang Imam, dalam perihal buku tanpa namanya itu, agaknya sedang mempratekkan prinsip terakhir.

Suatu posisi yang diametral dengan fenomena kepenulisan zaman modern ini. Orang menulis karena ingin terkenal. Kemudian, bila bukunya laku, tentu mengharap royalty. Sesuatu yang sangat manusiawi. Dan barangkali dalam kondisi tertentu memang sangat dibutuhkan. Terutama bila kita membahasakannya sebagai bentuk apresiasi terhadap karya yang telah dilahirkan.


Orang-Orang Aneh
Tapi zaman selalu melahirkan gharaba (orang-orang aneh, yang menentang arus zaman). Bahkan kata Ali Syariati, menyebut perkara ini sebagai kewajiban. Lihat saja, bila dalam masyarakat ada orang-orang yang aneh, kritis, berani melawan wacana umum, maka biasanya dia yang paling mampu menggerakan perubahan.

Teori sosiologi juga mengenal konsep creative minority. Bung Karno, Bung Hata, Sjahrir, Tan Malaka, adalah creative minority pada masanya. Mereka adalah sedikit tokoh yang berpikir berbeda dibanding benak masyarakat Hindia Belanda tempo doeloe. Sejarah membuktikan, merekalah yang sanggup memerdekakan bangsa ini.

Siapa penulis-penulis yang aneh, nyeleneh, nyentrik, dan melawan arus zaman saat ini?

Lupakan dulu soal “menolak” penghasilan dari keuntungan menulis buku, perkara ini agak sulit dicari saat ini. Lain perkara bila yang kita tangkap adalah spirit untuk berani melawan arus. Untuk ini, harapan bisa bertaburan.

Pertama adalah dalam aras menciptakan budaya tanding. Andrea Hirata, Dhee, Ayu Utami, segolongan kaliber yang member makna baru. Mereka penulis aneh karena memperlihatkan kekuatan budaya tanding atas trend chick-lit, buku-buku pop, dan karya fiksi yang mengeksploitasi romantisme dramatis. Bila boleh, Habiburahman El Shirazy masuk kelompok ini pula. Setidaknya ia memperkuat dengan dalil dan referensi kesilaman atas dramatisasi percintaan.

Kedua, para penulis yang melawan monopoli penerbitan besar, yang dalam ranah industri musik disebut major label. Jangan sampai dunia perbukuan didikte oleh selera pasar ---yang sejajar dengan selera kapitalis industri buku. Buku bagus tak harus dari penerbit besar dengan tipe yang itu-itu juga. Tetapi juga bisa (dan harus) dari pojok yang lain. Maka kita pun mengenal penerbit-penerbit mandiri, self publishing, dengan sumber yang meruyak. Mulai dari koleksi pribadi yang difotocopy, sampai buku yang diterbitkan dari blog. Seorang penulis terkenal di bidang motivasi, Edy Zaques, malah menyambut gejala ini. Bahkan katanya, menerbitkan buku sendiri jauh lebih menguntungkan, bebas dari potongan dan “kecurangan”.

Ketiga, penulis buku yang membuktikan demokratisasi gagasan. Kini siapapun orangnya, bisa menulis buku laku. Penyandingan gelar tak berarti banyak mendongkrak kualitas dan sukses pasar. Porsi pembubuhan title seperti ini cocok disampul belakang, sebagai afirmasi telah dibaca oleh Profesor, Doktor, atau para seleb di bidang keilmuan. Lantaran sebagai penulis, belum tentu gelar-gelar mewah itu menjadi jaminan mutu.

Seorang pembantu rumah tangga di luar negeri, yang sering secara kasar kita sebut TKW sekalipun, sanggup menulis buku bagus dan diserap pasar dengan baik. Contohnya adalah Eni Kurnia, yang menulis buku Anda Luar Biasa. Pengalaman akademik memang alat bantu saja, yang lebih penting adalah kegigihan. Olehnya, anak kecil atau remaja belia sekalipun, bila mau, bisa membuat karya pustaka.

Bukankah nikmakat bila fenomena seperti ini meledak? Pilihan makin banyak. Perang gagasan pun kian marak. Lebih penting lagi, peluang menciptak buku kian terbuka. Besok-besok, siapa tahu, andalah salah satunya (yang memberi warna pada kemajuan perbukuan kita). Semoga....

Sabtu, September 12, 2009

Buku Diary, Mengikat Kejutan Hidup



Tinta yang paling pudar sekalipun masih lebih jelas daripada sekedar ingatan (Pepatah Arab). Menulislah... meski sekedar dalam lembaran kertas di buku Diary.


Andreas Harfefa bahkan berani mengklaim: menulis bisa membuat seseorang cantik. Bagi perempuan, andai ini benar, tentu membahagiakan. Bagaimana dengan lelaki. Nanti, makin produktif seorang pria, makin kemayu parasnya (celaka!). Tidak juga. Bukankah cantik bisa bermakna luas, termasuk untuk akronim berikut, Cantik = Cowok Anti Kekerasan….


Hari-hari ini mungkin jauh lebih mendesak, agar tradisi menulis makin dikebut. Berbagai fasilitas tersedia ---dan menuntut untuk menuang gagasan ke dalam bentuk teks. Teknologi memang mengambil alih tradisi kita, dari Diary ke Blog, dari surat pos ke email. Berkirim telegraf bahkan mungkin sudah punah di kalangan mahasiswa kos, karena cukup SMS dan tarik duit dari ATM. Dulu, kalau mahasiswa menunggu berita wesel dari orang tua, maka yang lebih dulu datang adalah selembar telegraf. Wahana bertiwikrama atau alihrupa. Tetapi gagasan yang dituliskan tetap harus berjalan. Maka menulislah.


Mengapa Diary?
Dunia mengenal Diary yang meledak. Seorang anak yang tinggal semasa rezim fasis Hitler, Anne Frank, menggugah dunia dengan catatan-catatannya. Ia menulis, “Kertas memiliki kesabaran yang lebih ketimbang manusia.” Sungguh, belum tentu ada manusia yang mau terus menerus menyimak keluh kesah, ratapan, atau malah sumpah serapah.

Tapi lembaran-lembaran Diary sanggup.


Sewaktu konflik di negara-negara Balkan meletus, ada seorang gadis bernama Zlata Ifipovich, ia korban perang yang meratap. Tulisnya: “Perang bukanlah lelucon, orang-orang membunuh, membakar, dan menghancurkan rumah-rumah. Sebuah tangis yang diikat dengan kata, bermakna begitu kuat.


Tapi Diary tak sekedar menampung cucuran kesedihan. Tapi ilmu juga.
Para ilmuan punya cara sendiri mengabadikan inovasi atau selaksa gagasan mereka. Konon, hingga hari ini terus berlangsung perburuan sengit terhadap “sisa-sisa” catatan pribadi dari Galileo Galilei, ilmuan jenius dari Italia. Lembaran-lembaran catatan itu diyakini menyimpan potensi sains yang tak ternilai.


Tak sedikit para punggawa ilmu yang mengakrabi aktivitas menulis Diary ---atau kalau istilah ini terlalu ngepop, bisa diganti dengan Catatan Harian. Salah satu contoh adalah apa yang dilakukan oleh Carl Gustav Jung, Psikolog yang menjadi mitra paling kritis terhadap Sigmund Freud. Rangkaian catatannya ini kemudian dibukukan sebagai Biografi atas dirinya sendiri, Biografi Jung.


Malahan seorang ahli biologi Bruce Frederick Cummings lebih terkenal berkat diarynya daripada profesinya. Sedari kecil ia sudah melakukan pengamatan terhadap hewan semut dan kadal di sekitarnya. Semua pengamatan dituliskannya secara detail di dalam buku Diarynya.


Diary bisa juga menjadi sarana untuk meletupkan pesan-pesan pemberontakan. Ini bisa kita longok terhadap orang-orang hebat di Indonesia yang (sayangnya) mati muda. Mereka adalah Shoe Hok Gie dan Ahmad Wahib. Dua buku, Catatan Seorang Demonstran dari Shoe Hok Gie, dan Catatan Harian Ahmad Wahib bahkan pernah menjadi literature wajib para aktivis. Pikiran-pikiran mereka sungguh berani ---melampaui zamannya. Karya adik Arief Budiman (Shoe Hok Gie) malah sempat difilmkan beberapa waktu lalu, dengan judul Gie.


Marshanda Diary
Menulis tentu saja berbeda dengan berteriak, memaki dan meliuk-liukkan tubuh seperti orang depresi. Segala gerak, teriak, dan aktivitas harus tercoding dalam teks. Proses ini yang sama sekali tidak instan, butuh kesabaran. Di sini justru kekuatannya. Ada tahap refleksi, artikulasi, dan penyaringan. Jika saja itu adalah pilihan Marshanda, maka ia tak perlu menguar-uar aib sendiri dalam situs Youtube. Kita memang tak tahu, apakah Marshanda punya Diary…

Jumat, September 11, 2009

Tak Lagi Benci Buku Buku Psikologi


Bertahun-tahun merasakan bernafas dengan kebencian. Terutama terhadap buku-buku Psikologi Populer, dengan judul aneh-aneh, ilustrasi semarak, dan kutipan-kutipan berbahasa melangit.

Kejengkelan kian klop, manakala buku genre How To itu sering mengekor buku-buku lain yang sejenis (dan sukses di pasar). Karena yang laku adalah The Secret-nya Rhonda Bryne, maka penulis lain gegabah mencantumkan istilah serupa di depan judul bukunya sendiri. Mereka para epigon di ranah intelektualitas.

Satu dua, ada juga yang mengundang minat baca, tapi itupun harus sesuai kategori buku bagus yang telah terjangkar di benak belasan tahun. Syaratnya: buku tebal, penulis luar negeri, dan banyak catatan kaki ----sebagai karakter buku ilmiah. Tapi belakangan ideologi itu merapuh (tak benar-benar hilang, tapi nyaris tanpa bekas).

Padahal khasanah pustaka yang memberikan motivasi dan melentingan daya juang itu tak salah-salah amat. Selain “berhasil” memprovokasi pembacanya, juga menjadi agen yang mempopulerkan istilah-istilah keren dalam ranah psikologi. Di ujung teratas, menggiring publik untuk sesering mungkin memakai kata positif thinking. Lalu diikuti oleh lema yang lain, seperti mind set, mind map, mental block, spirituality, the secret of…., dan lain-lain.

Ketidaksukaan itu mungkin berlatar agak rumit. Dulu, waktu kuliah dan berkenalan dengan buku, saya jatuh pada tangan senior yang sombong-sombong. Mereka akan memandang hina buku-buku yang tidak berbau ilmiah. Koleksi para senior di kampus dan di organisasi kemahasiswaan itu melulu pada referensi tentang politik, filsafat, ekonomi, dan sastra ----tapi sastra kritis, biasanya beraliran kiri. Daftar tambahan di rak buku para senior itu paling jauh adalah buku-buku “terlarang” di era orde baru. Dari merekalah saya bersentuhan dengan Madilog Tan Malaka, Tetralogi Buru Pramoedya Ananta Toer, dan Bayang-Bayang PKI terbitan Majalah Tempo.

Dengan hakul yakin saya ikut selera mereka. Dan memang konteks politik saat itu agaknya harus begitu. Setiap buku harus menghadirkan energi perlawanan dan sumber inspirasi dalam menggugat rezim Orde Baru. Seingat saya, jarang ada tradisi seperti sekarang, di mana buku-buku genre pop, dan psikologi praktis (berlabel panduan sukses atau jadi kaya raya), mendominasi pasaran perbukuan. Singkatnya, saat itu belum ada Robert T Kiyosaki yang berkibar dengan Rich Dad, Poor Dad, atau sejenisnya. Paling-paling, ya, tak jauh dari Dale Carnegie, Daniel Goleman, atau Steven R. Covey.

Sialnya nafas kebencian itu terlalu dalam ---pantas saja Al Quran mengingatkan agar kita berperilaku adil, bahkan terhadap musuh-musuhmu, atau jangan terlalu membenci, bisa jadi itu adalah yang baik buatmu! Tak luruh ketika beberapa kali bersikutat dengan buku-buku begituan. Ketika tergeragap takjub dengan Chicken Soup for People, misalnya, saya tak segera tersadar bahwa buku-buku populer itu juga penting.

Namun belakangan ini harus menyerah ----tetapi dengan senang hati, disertai seulas senyum. Anda Luar biasa! Itulah buku sederhana yang ditulis oleh seorang perempuan eks TKW di Hongkong, yang tak pernah kuliah, tetapi bisa menulis buku best seller. Atau pernah membaca sebuah ulasan di internet, tentang penulis buku dan motivator handal yang ternyata pernah berkubang sebagai pecandu narkoba. Fakta ini membuat terhenyak, di luar bayangan yang terhunjam dalam memori sejak lama. Bahwa penulis buku hebat adalah berlatar kuliah bermutu dari kampus ternama, dan juga orang “baik-baik”.

Lebih membuat bertekuk lutut, adalah buku-buku fiksi (tak selalu novel, tapi inspiratif) yang saya candui belakangan ini. Buku-buku tersebut menggugah bukan karena berjudul dahsyat, atau mengutip komentar para tokoh dengan iming-iming norak, dan tidak juga menawarkan janji melambung. Datar saja, tapi padat, kaya, dan lebih penting berlatar sejarah (baik sejarah pribadi, komunitas, atau bahkan perjalanan sebuah bangsa).

Pertama saya se The Swordless Samurai. Mengisahkan tentang pria buruk rupa, pendek, anak petani miskin, dipanggil orang lain dengan sebutan hina: monyet! tapi sanggup menjadi wakil kaisar…. Pria kumal itu bernama Hideyoshi.

Berikutnya City of Joy, karangan Dominique Lapiere, tentang sikap hidup orang-orang nestapa. Buku ini jatuh di tangan penerjemah yang pas, pejuang kaum miskin kota di Jakarta, yaitu Wardah Hafidz. Buku menutur perjuangan ---lebih tepatnya pergulatan hidup--- orang-orang miskin papa di Calcuta, Anand Nagar atau Negeri Bahagia. Di sana bertabur “lilin semangat” bahwa hidup yang getir tak berarti harus terus menerus diratapi dengan tangis. Kemiskinan dengan martabat… Kata pepatah India, persetan dengan kesengsaraan asalkan kita bersama-sama menanggungnya.


Terakhir, buku Footnote, Hidup Tanpa Batas, oleh Lena Maria, tentang otobiografi seorang gadis cacat fisik (tak punya tangan, dan kaki panjang sebelah), tetapi mampu membuat serentetan prestasi gemilang. Ia menang dalam olahraga renang di olympiade, pandai main piano, hobi melukis, dan melakukan konser di puluhan Negara di dunia…

Kamis, September 10, 2009

Hikayat Seekor Lalat dan Buku Agung


Bahkan seekor lalat mampu berperan dalam kelahiran sebuah literatur klasik yang terkenal hingga detik ini, baik di kalangan Muslim atau mereka-mereka yang tertarik dengan sejarah Islam.

Syahdan, ketika Imam Al Ghazali menulis kitab Ihya Ulumudin, sempat tersela oleh hinggapnya seekor nyamuk di ujung penanya. Harap ingat, pena Jadul (zaman doeloe) bukan Du Pont atau Pilot seperti yang kita kenal sekarang. Mungkin lebih mendekati ini: sebatang bulu angsa yang diisi dengan tinta. Nah, si lalat pengganggu itu hanya sekedar melakoni instink hewaninya, menganggap isi pena sebagai darah...

Sang Imam membiarkan mahluk kecil itu. Padahal jika mau, sekali kibas umur si lalat langsung tumpas. Di sini faktor keimanan yang bermain: bahwa sesama mahluk Allah tak boleh saling bunuh. Oleh karena pilihan bijak ini, menurut beberapa atsar Ulama, Imam Al Ghazali naik derajat. Allah meninggikan statusnya di antara kaum Muslim. Lalu kita mengenal dengan bangga, sebuah Kitab Ihya Ulumudin, yang disebut-sebut sebagai magnum opus (karua luar biasa) dalam khasana literatur ke-Islam-an.

Mudah-mudahan petikan kisah ini cukup pantas guna mengawali serentetan cerita menarik di balik lahirnya buku-buku besar. Dengan terlebih dahulu memuat pesan pentingnya, bahwa karya-karya yang berpengaruh sepanjang zaman itu tidak selalu lahir sendiri. Melainkan ada berbagai sumbangsih (besar atau kecil) dari orang-orang di sekeliling. Bahkan juga peran dari mahluk lain.

Sebuah buku memang tidak dari langit. Kehadirannya juga tak bisa dipesan cepat sebagaimana meminta Bang Agus membuat martabak telur. Ada proses yang berjalin berkelindan, interaksi dan pergumulan dari waktu ke waktu. Perkara ini tercermin, misalnya, dari buku Das Capital-nya Karl Marx atau The Origin of Species-nya Charles Darwin. Dua pemikir hebat ini mendapat bantuan penting dari kawan-kawannya, baik teman dekat atau kolega dari jauh.

Namanya Frederich Engels, dan dia yang memberi support materi terhadap Karl Marx, selama nama yang terakhir ini sibuk meriset di perpustakaan. Beberapa kalangan malah curiga, kalau-kalau buku Das Capital tak lain adalah pesanan Engels. Berlanjut ke tokoh lain, Charles Darwin, perumus teori Evolusi. Mari lihat penggunaan kata "perumus" di kalimat barusan. Sengaja memang tidak ditulis dengan kata "penemu". Lantaran sejatinya Darwin berhasil merumuskan teori evolusi, dia bukan satu-satunya orang yang menemukan teori yang membuat marah penganut agama fanatik, di Islam, Kristen, atau Yahudi sekalipun. Artikel ini tak berpanjang debat tentang kerumitan Das Capital atau Charles Darwin. Semata mengingatkan ada pihak lain yang berperan. Charles Darwin, ketika menyusun teorinya, mendapat sumbangan materi ilmiah hasil temuan lapangan di Molucas (Maluku), dari seorang periset bernama Wallacea.

Debat memang bisa dibuka tentang "seorang jenius dengan buku hebat" dan sumbangsih orang-orang di sekelilingnya. Sebelumnya, mari telusur informasi berikut.

Saya pernah membaca di buku-buku motivasi. Ketika Nathaniel Harthow menulis The Scarlett Letters, nyaris frustasi, ada isteri yang memberi dukungan menggebu, agar novel itu dituntaskan. Begitu pula, kata sahibul hikayat, tentang lahirnya novel Gone With The Wind. Omong-omong, bukankah Andrea Hirata tak berniat menerbitkan bukunya (tetralogi Laskar Pelangi), melainkan kawannya sendiri yang mengirim naskah dahsyat itu ke "pabrik" buku? Dari panorama yang sewarna, J.K. Rowling pun bisa digolongkan dalam kasus yang mirip. Saya hanya membayangkan, seandainya penjaga Cafe itu seorang yang garang dan mengusir Rowling karena kebiasaan duduk berlama lama hanya dengan pesanan murah: setengah cangkir kopi. Kala itu, ia belum kaya raya, masih miskin dan hanya mampu pesan kopi setengah gelas. Paling jelas, ada kemungkinan spekulatif di sini, bahwa ide Harry Potter berkembang biak dalam lamunan Rowling di (salah satunya) Cafe itu. Meskipun ide kuat Harry Potter terumuskan dalam perjalanan di sebuah gerbong kereta api.

Barangkali lebih tepat membuat posisi cocok, di mana dan sejauh mana peran orang-orang di sekitar penulis-penulis hebat. Agar kita ingat dengan persis, bahwa talenta dan kegeniusan tak berarti apa-apa bila "tak ada atmosfir dan pertolongan yang tepat".

Ini dikuatkan oleh dalil sebuah buku baru, yang diterbitkan Gramedia tahun ini, berjudul The Outlier, karangan Malcolm Gladwell.Dengan berani Gladwell membuat klaim: bahwa para jenius sekalipun membutuhkan kesempatan untuk besar dan bantuan yang disebut sebagai "kecerdasan praktis". Frasa kecerdasan praktis mengacu pada kemampuan membaca situasi dan mendapatkan apa yang diinginkan. Dan hal ini hadir dari orang-orang di lingkungan tempat si jenius tinggal.

Mari berkhayal, dengan sedikit contoh soal pilihan ganda. Pertanyaannya adalah: Bila Kaka Kaladze (bintang Real Madrid yang tampan) atau Maria Sharavova (petenis cantik) lahir dan besar di Jakarta, akan jadi apakah ia? Jawaban yang tersedia:
a. Menjadi atlet dan olahragawan besar
b. Menjadi bintang sinetron dan bintang iklan
c. Menjadi foto model
d. Menjadi pembawa acara acara konyol di televisi...

Tolong jawab dengan jujur. Bukankah gampang saja kita memilih butir b, c, dan d untuk jawabannya?

Kalau poin a yang anda abaikan, berarti kita sepakat. Bakat besar, talenta luar biasa dan sesuatu yang bernama kejeniusan, hanya salah satu faktor di luar faktor-faktor lain.

Rumusan pendeknya adalah gampang. Lingkungan yang cocok, orang-orang yang memberi semangat, kehadiran materi yang dibutuhkan, menjadi unsur penting dan penentu dari lahirnya karya-karya agung. Karl Marx bahkan mengatakan pikiran seseorang ditentukan oleh benda-benda material di sekitarnya. Jangan harap, mungkin bisa dibilang begitu, lahir Michael Jackson di lingkungan yang kecanduan musik keroncong atau dangdut.

Olehnya, saya wanti-wanti. Mungkin kebanyakan kita tidak jenius, biasa-biasa saja. Tetapi bukan berarti kesempatan kita hilang sama sekali. Posisi sebagai penolong, pembantu, pemberi kontribusi pada lahirnya buku (atau karya apapun) bukanlah sesuatu yang hina. Bahkan bisa jadi (ter)amat penting. Siapa tahu, kita menjadi penolong untuk teman, keluarga, kenalan, anak, isteri, atau atasan kita, dalam merumuskan sebuah buku yang bagus. Semoga....

Selasa, September 08, 2009

Mudah Mudahan Anak Kita Tak Membakar Buku


Dulu pernah ada iklan susu formula di televisi yang menggambarkan "anak cerdas dan kreatif", dengan cara menginjak buku ---sebagai balok penatah, karena si bocah itu ingin meraih mobil-mobilan di rak yang tinggi. Inilah salah satu cara orang Indonesia mengajari anak-anak tentang buku. Betapa barbar dan bodoh (seolah tumpukan buku sama belaka denganseonggok balok-balok atau batu bata).

Namun ajaib, iklan itu selamat dari hujatan. Tak ada perang protes, sepi respon, dan kalau tak salah hanya secarik surat pembaca yang menggugat muatan iklan ini. Info pariwara di media pandang dengar itupun Gone With the Wind, lalu bersama angin....

Mari kita masuk ke isu pembakaran buku yang kini kembali mencuat ---dan agaknya tidak akan menjadi kasus terakhir, sejauh batok kepala rakyat di negeri ini masih menganggap buku sebagai benda remeh temeh. Sebelumnya, sedikit menguar keganjilan dan tradisi berpikir orang-orang kreatif di industri periklanan, yang tega-tega membuat skenario "menginjak buku", seperti yang dipetik di atas barusan.

Asumsinya gampang: pekerja kreatif di industri periklanan pastilah tergolong manusia berpendidikan, jebolan kampus bermutu, dan bergulat dengan ide-ide cerdas. Lalu salah satu produknya adalah menistakan nilai seonggok buku ---untuk dilihat anak-anak balita. Jika di kalangan ini saja sebegitu rendah pandangannya, maka bagaimana dengan publik di bidang profesi lain?


Rezim SBY pun Membakar Buku
Jangan sampai tradisi bakar-bakaran buku ini berlanjut. Meskipun hingga hari ini udara negeri ini begitu pekat dengan bubungan asap dari lembaran pustaka yang gosong. Sesuatu yang membuktikan betapa munafiknya bangsa ini, menurut saya, adalah dengan berkaca cari peristiwa-peristiwa berikut:

Di saat rezim SBY gencar mengkampanyekan budaya baca, termasuk Ibu Ani yang rajin membuat motor pintar, perahu pintar, dan mobil pintar yang membawa ratusan buku ke berbagai penjuru negeri, justru di saat yang bersama Kejaksaan dan aparat pemerintah membakar ratusan buku ---dengan alasan sepele, ada sebuah buku ajar yang tidak mencantumkan kata PKI di depan istilah Gerakan 30 September!

Ini cermin hipokrisme (kemunafikan) telanjang...

Mengangkangi terang-terangan program yang dihela oleh SBY dan aparatnya, termasuk, misalnya bantuan BOS buku ke sekolah-sekolah. Atau proyek digitalisasi buku gratis untuk para pelajar. Mengapa? Perlakuan tak adil, di situlah masalahnya. Rezim SBY bertindak sebagai hakim tunggal, mempromosikan satu produk buku dan memberangus produk yang lain. Saat bersamaan juga mengkerdilkan daya kritis dan pemahaman publik pembaca ---siapapun mereka, mulai anak sekolah hingga penyandang gelar doktoral. Agaknya semua kita masih belum percaya, bahwa para pembaca punya mekanisme sendiri untuk menilai mana buku palsu, mana buku bermutu. Untuk itu, tak perlu ada ritus pembakaran buku.


Guru Besar Bakar Buku?
Lalu berita heboh berikut ini memperpanjang fakta tentang ruwetnya opini publik terhadap nilai sebuah buku. Diberitakan, Guru Besar Sejarah ikut-ikutan dalam aksi membakar buku berjudul Revolusi Agustus, karangan Soemarsono. Dengan gampang nanti, peristiwa ini dijadikan teladan terbalik (dan teladan terbaik bagi pihak yang berlaku barbar terhadap buku). Sang Guru Besar, kelak menjadi causa celebrare, peristiwa yang selalu di kenang, diulang-ulang, untuk tragedi yang serupa. Jangan lupa, ia memperkokoh perilaku barbar, untuk manusia-manusia yang tak cinta buku.

Adakah beliau telah kehilangan akal, atas sebuah karya yang berlatar ketokohan seorang yang terlibat di PKI? Lupakah ia pada perjuangan Amelia Yani dan Keluarga Aidit yang mencoba untuk melakukan rekonsiliasi? Bagaimana bangsa ini bisa bijak, bila dendam dan kesumat masa lalu terus dihembus-hembuskan? Termasuk dengan membakar buku yang berbeda versi ----dari mereka yang pernah terlibat di peristiwa 65 lalu.

PKI seperti hantu, bahkan dalam industri perbukuan kita.

Seolah-olah tak ada sama sekali hikmah sejarah, bahwa negeri ini bisa lolos dari cengkraman kolonialisme, bukan semata-mata oleh bedil, tombak, atau bambu runcing para pejuang. Tetapi juga lahir dari sumbangsih gagasan, tentang nasionalisme, tentang sosialisme, dan bahkan tentang komunisme. Bahkan, jika tak keliru, pemberontakan melawan belanda juga pernah dilakukan oleh kaum kiri ini. Saat itu, bukankah mereka hero untuk kita?

Barangkali juga aksioma bahwa buku harus dilawan dengan buku telah terlalu melelahkan....

Hingga itu, mereka-mereka yang berikhtiar pendek, kurang tekun, selalu mengambil jalan pintas: bakar!

Boleh belaka, bahwa seruan buku di lawan buku bisa kita tolak. Karena tak gampang dilakukan, butuh energi, materi, serta pemikiran serius. Untuk apa pula buku-buku sampah harus ditanggapi dengan kelas yang sama. Bukankah lebih baik dibiarkan saja? Serahkan pada pembaca. Saya kira, ini adalah salah satu pilihan masuk akal. Termasuk untuk generasi di bawah kita nanti, anak-anak kita (jangan sampai membakar buku lagi).

Buku Pendek Ala Krisdayanti


Salah satu perilaku celaka elit politik adalah menulis buku dengan materi yang sudah bisa ditebak arahnya: bela diri, raih simpati. Belakangan trend sejenis ini juga menyergap tokoh publik yang lain, misalnya selebritis. Dengan agak enggan, saya terpaksa memasukan nama Diva, Krisdayanti dalam golongan ini.

Wajar saja disebut celaka, lantaran hal itu juga menghadirkan sejumlah kecelakaan bawaan. Misalnya mencetak buku dengan hard cover dan print digital, sebuah pemborosan yang mestinya dialihkan saja ke buku-buku ajar anak-anak sekolah. Mencantumkan testimoni atawa pengakuan dari sejumlah nama di halaman belakang, dengan isi yang kadang keterlaluan. Lalu beberapa waktu setelah diluncurkan, si buku itu juga kesulitan memperoleh tempat layak, biasanya di rak perpustakaan umum yang jarang tersentuh. Terkadang teronggok begitu saja di tempat-tempat yang kurang terurus. Lantaran tak layak untuk menempati gerai khusus di toko buku dengan label best seller. Saya sendiri kerap mengikuti peluncuran buku model begini (dalam seminar atau diskusi), meski bukunya dibagi gratis, tapi orang sering malas membawanya pulang....


Pendek Usia
Dari berbagai kasus, bolehlah dilahirkan sebuah premis: bahwa buku-buku tersebut, meski menyimpan potensi kebenaran, tetapi usianya tak lama. Pupus dan tak terbukti hanya dalam hitungan bulan atau tahun. Terbantahkan isinya secara otomatis, tak lama setelah tokoh yang dibukukan itu naik jabatan. Ini khusus untuk buku-buku politisi yang diterbitkan di masa kampanye.

Saat ditulis, berhamburan pernyataan dan idealisasi atas sebuah cita-cita. Tentang visi misi anti korupsi, cita memberantas kemiskinan, dan perjuangan menegakkan keadilan publik. Namun begitu si penulis duduk di parlemen, berbalik punggung dengan harapan. Ia bahkan menjadi sosok yang begitu rakus.

Model lain, adalah buku putih atas tokoh-tokoh kunci dalam sejarah. Pengakuan mereka menggetarkan, seakan hero yang menyelamatkan nasib negeri. Seraya tak lupa menista nama lain yang menjadi saingan. Akan tetapi, begitu kontroversi meledak, lahirlah pengakuan-pengakuan yang sebaliknya, justru membuktikan ketidakbenaran buku putih yang ditulis sebelumnya. Misalnya, adalah pertarungan dalam dunia pustaka, antara Prabowo, Wiranto, Habibie, dan Sintong Pandjaitan.


Sesungguhnya banyak contoh. Tapi cukup satu tambahan lagi.

Sebelumnya kita membincang buku-buku biografi, otobiografi atau personal profile. Namun ingat, dalam mitologi Yunani, ada istilah yang disebut dengan hegiografi, alias buku-buku yang ditulis tentang orang-orang suci. Nah, bedanya dengan kita sekarang, manusia yang dijadikan objek buku tak benar-benar suci. Melainkan pengakuannya saja yang seolah-olah bersih tanpa cacat.

Satu tambahan itu adalah tentang betapa sejarah mengulang-ngulang kebiasaan lama, historia panta rei (sejarah selalu terulang, kata pepatah Perancis). Begitu suatu rezim menang, ia akan menerbitkan puluhan buku yang membenarkan tindak tanduknya, dengan mencantumkan begitu panjang kesalahan-kesalahan musuh. Tipe seperti inipun sama saja, berusia pendek. Terbantahkan setelah rezim itu runtuh oleh kekuatan yang lain.

Buku Krisdayanti
Terus terang saya bukan golongan kaum nihilis yang mengosongkan makna atas tindakan seseorang. Benar, bahwa selalu ada nilai positif atas sesuatu, termasuk penerbitan buku Krisdayanti, My Life, My Secret, dengan sampul mewah nan kinclong. Setidaknya pelantun Menghitung Hari ini memulai kebiasaan bagus, menulis buku untuk kalangan yang sesungguhnya jauh dari produk seperti ini. Setahu saya, ada beberapa pesohor industri hiburan yang telah melakukan hal yang sama. Ada Nurul Arifin, Pelawak Dono, Dhee, dan lain-lain. Karena perilaku mereka selalu ditiru, siapa tahu mengedukasi fans mereka di mana-mana. Tapi agaknya ini pun belum terjadi.

Dalam karyanya, Krisdayanti menulis tentang puja puji terhadap peran sang suami, Anag. Dalam resensi yang saya baca, ada bab khusus tentang hal itu. Bahwa suaminya itu adalah salah satu tiang yang meyangga kesuksesan karirnya.

Tapi rupanya My Life, My Secret inipun pendek umur. Hari ini terjadi kegemparan di jagat infotainment, tentang kisruh rumah tangga pasangan ini. Menurut pengakuan manajer Anang, konflik mereka sudah lama, artinya terjadi sejak buku itu belum ditulis. Nah, bukankah ada kontradiksi di sini?

Pelajaran yang bisa dipetik sederhana saja: tak mudah menulis buku! Lebih-lebih bila tujuannya jauh dari menebar gagasan dan melakukan pencerahan. Tetapi di sisi lain, teramat mudah menemukan kebohongan dalam buku. Dari sini, tanpa ragu saya menyebut: buku tak selalu menjadi guru yang baik....

Bahwa Indonesia Masih Butuh Buku


Anda mungkin sering mendengar, eksekutif perusahaan raksasa di Eropa atau Amerika yang melakukan “bunuh diri status”. Menanggalkan rutinintas kerja bergelimang dollar, pergi ke belahan dunia nun jauh, ke Etopia, Somalia, atau puncak Himalaya sana. Tak jelas benar apa yang dicari. Namun luar biasa adalah hasil dari yang mereka kerjakan.

Lihatlah Jhon Wood, pejabat pemuncak di kerajaan (atau imperium) Bisnis Microsoft. Bagi kebanyakan kita pilihannya lebih patut disebut kurang waras. Dalam buku hariannya, Leaving Microsoft to Change the World, memilih dengan tegas: ke luar dari pekerjaan yang telah memberi segalanya, untuk kemudian bergumul dengan kaum papa di pegunungan Nepal. Ia, dengan falsafah Tujuan berani akan mengundang orang-orang yang berani, kemudian berhasil membangun ratusan perpustakaan lengkap dengan ratusan ribu buku ---ya, yang Jhon Wood lakukan adalah mendirikan perpustakaan dengan makna yang sebenar-benarnya (bukan papan nama bagus tapi kosong).

Tetapi senyatanya negeri inipun tak berarti sepi dari manusia-manusia berobor dedikasi. Tatkala Tsunami menghumbalang dan menghempaskan setiap pojok bumi Nangroe Aceh Darussalam, para musisi kawak unjuk muka. Melalu konser amal, Iwan Fals dan Grup Band Slank berhasil mengumpulkan Rp. 3,3 milyar, sebuah jumlah yang mampu membangun kembali perpustakaan Aceh yang tumpas. Lengkap dengan bangunan baru dan tiga ratus ribuan eksemplar buku.

Begitu juga gaya hidup Jakarta. Bukan pemandangan ganjil menemukan kotak sumbangan buku, di pintu masuk restoran, lantai Mall, atau bahkan kantor Partai Politik (dan ini sedikit melenyapkan rasa sumpek kita melihat pemandangan kotak amal lain untuk tujuan yang itu-itu juga).



Penyemangat
Sayangnya belum lahir rallying point, tapping point atau penularan efek, untuk kasus-kasus heroisme di dunia perbukuan kita.

Aneka bahasa penyemangat, tema kampanye, “hikmah pejabat” dalam prosesi upacara bendera di kantor pemerintahan, belum benar-benar menolong untuk posisi akut perbukuan kita. Bila statistik berikut ini berbohong, itupun tak berarti kabar bagus. Data Bank Dunia menyebutkan rasio jumlah buku dengan populasi kita adalah jomplang. Begitupun dengan kabar gembira tentang tingginya tingkat melek hurup (mengecilkan jumlah buta hurup), tak beriring dengan jumlah produksi plus konsumsi buku. Aneh, bila alasan daya beli yang dijadikan ganjalan. Coba bandingkan, di pelosok kampung sekalipun begitu mudah mencari gerai Hape guna membeli pulsa, tapi tak begitu untuk mencari loper koran… dan jangan bilang mencari perpustakaan.

Dan untuk “jamaah Ahlul Hisapiyah” maaf saja: berita penjualan PT Bentoel Internasional cukup mengejutkan. Mereka mengaku tahun 2008 lalu berhasil menjual 3.000.000.000 batang rokok di dalam negeri. Belum lagi perusahaan lain, PT. Sampoerna, Gudang-Garam, dan silahkan tambah sendiri. Berapa puluh milyar batang? Andai uang yang dibakar itu teralihkan untuk buku….

Harus mulai dari mana? Sedangkan mayoritas penduduk negeri ini yakin bahwa wahyu pertama Al Quran berbunyi IQRA, bacalah. Bahwa penaklukan Tarikh Bin Jiyad di Bumi Andalus (Spanyol) berlanjut dengan pembangunan perpustakaan akbar, di Grenada, Sevila dan Cordoba. Bahwa yang disebut ulama salaf adalah mereka yang mampu menulis, menyalin, menerjemahkan ribuan suhuf, lembar-lembar papyrus yang ditulis tangan seraya menghasilkan karya setebal bantal semen.

Bila itu terlalu jauh, ada teladan yang melekat dalam riwayat republik. Betapa Muhammad Hatta harus rela lubang hidungnya menghitam, lantaran membaca dengan ditemani lampu minyak tempel. Atau Bung Karno, yang untuk mengumpulkan bahan debat tentang keruntuhan Dinasti Usmaniyah di Turki, perlu memesan ratusan buku, langsung dari negeri Kemal Attaturk sana? Tetapi hari ini, malah tak terdengar politisi yang prihatin tentang isu buku. Tak ada demonstrasi aktivis mahasiswa yang protes karena kampusnya tak punya perpustakaan bagus.

Tak Perlu?
Keprihatinan layak lahir karena atmosfir Indonesia terasa kering gagasan. Lebih-lebih dengan kemajuan sains, teknologi informasi, dan gurita bisnis. Posisi kita hanya menjadi pengimbang rezim pasar, dalam margin konsumen-user. Rantai kemajuan pasar, yang terdiri dari produsen, distribusi, dan konsumen, bergerak beriringan. Tetapi locus kita tak pindah, di rantai terakhir saja. Seolah kemajuan millennium kedua ini (di benak kepala kita) lepas sama sekali dari faktor buku. Padahal senyatanya tidak. Tengolkalh Singapura, China, India, yang berhasil membangun basis kedigdayaan sains karena berhasil mengembangkan pendidikan bermutu, berbasis buku.

Kalau pengamat di negeri ini begitu pasih mengurai tentang berbagai keboborokan negeri, maka mereka hanya ngoceh di televisi. Lupa menulis buku ---kalaupun ada, kelasnya adalah a half book, kumpulan tulisan yang disabet dari sana sini. Bukan buku utuh.

Berikut secuplik bukti. Tentang keunikan Indonesia, perkara kerusuhan, gonjang-ganjing politik, budaya, ekonomi dan sosial, telah melahirkan ratusan buku, puluhan grand theory, dan adagium besar di blantika ilmu pengetahuan dunia. Margaret Mead terkenal karena teori post figurative, yang berdasarkan pada fakta budaya Hindu-Bali. Begitu juga Cliford Geertz, yang bukunya menjadi magnum opus (literatur agung) karena meneliti keunikan Santri-Priyayi-Abangan di Mojokuto, Jawa. Termasuk Julien Benda yang mengamati ketertinggalan Negara dunia ketiga, termasuk Indonesia. Nah, adakah lahir teori-teori besar dan buku laku, hasil riset tentang fenomena terorisme di Jakarta?

Saya menjadi curiga bahwa ratusan kampus, ribuan doktor, dan serombongan pengamat, juga masih berposisi sebagai konsumen buku. Belum sanggup menulis Indonesia dengan selengkap-lengkapnya. Kemampuan kita, jujur saja, masih dalam kategori buku-buku popular segolongan chick lit, buku kompilasi, dan psikologi how to…. Begitulah.