Rabu, Juni 16, 2010

Twitter, Era Baru Kecerdasan Berkomunikasi


Sebutan Trending Topics di Twitter agaknya segera menjadi frase baru dalam khazanah jurnalistik mutakhir. Dulu, betapa ribet mengukur kadar popularitas sebuah isu atau topik. Kini, hanya dalam hitungan menit yang sedang berlangsung, kuantitas respon publik segera terbaca. Dengan perincian yang saklek: berapa ratus ribu follower yang menanggapi. Bahkan juga dengan melihat profil pengguna Twitter, apakah segmen anak muda, atau bahkan A-B-G saja.



Lalu apa pelajaran yang bisa dipetik? Mudah saja. Ratusan ribu penanggap isu adalah "respon konkretl" atas harga popularitas sebuah isu atau topik. Ditambahi dengan kategori tanggapan yang muncul, positif atau negatif. Dan pihak yang harus merasa malu atas "komentar massif" dari Trending Topics di Twitter adalah para opinion leader (atau yang merasa dirinya tokoh publik). Mereka bisa dengan mudah dicaci atau dipuji...


Seperti Dedy Corbuzier yang menjadi bulan-bulanan aktivis Twitter, karena aksinya di RCTI malah dianggap menggangu kedahsyatan Pembukaan Piala Dunia di Afrika Selatan. Begitupun tentang simpati pengikut di Twitter terhadap kekuatan Cinta Pak Habibie (uniknya, justru bersumber dari Twitter milik ABG). Bercerminlah ke Twitter.


Bagaimana pula makna tambahan dari fenomena publik yang "berkicau" via Twitter?


Meski agak membosankan, namun tetaplah perlu menelisik ke sejarah lama. Bahwa sesungguhnya, ramalan tentang ledakan partisipasi publik dalam merespon sebuah isu, telah hadir jauh-jauh hari. Bahwa sejatinya, interaksi sosial tanpa batas di situs jejaring sosial (Twitter, Facebook, atau yang lainnya), juga menjadi bagian dari nubuat para pakar komunikasi massa tempo doeloe. Jika diperas dalam satu kalimat, maka fenomena publik yang "berkicau" via Twitter, adalah seperti ini: Wellcome The Global Village, The Borderless Age, The World is Flat. Semuanya, jika di Indonesiakan adalah kurang lebih: selamat datang komunikasi cara baru! Yang tidak mengenal batasan dan (barangkali juga) aturan-aturan.




Barangkali butuh penjelasan. Marshal Mc Luhan, dalam buku The The Gutenberg Galaxy: The Making of Typographic Man (1962), menyebut Global Village sebagai kampung global, di mana interaksi dan komunikasi antar sesama manusia berlangsung begitu mudah, seperti layaknya di pedesaan dan perkampungan. Sementara The Borderless Age, seperti dijelaskan Nicholas Negroponte, dalam buku Being Digital, adalah runtuhnya batas-batas geografis dalam berkomunikasi. Sehingga, kata Nicholas, Teknologi digital dapat menjadi kekuatan alami untuk mengajak orang ke dalam dunia harmoni yang lebih besar. Sejumlah nubuat itu memang terkesan optimis. Meski ada pula pengingatan dari seorang Alvin Toefler, bahwa revolusi komunikasi dan informasi (yang saat ini mewujud dalam media internet), akan membawa sebuah kejutan... kejutan budaya alias cultural shock!


Debat teoritik memang bisa berpanjang lebar. Akan tetapi rahasia paling penting adalah ini: runtuhnya tirani monopoli isu. Era digital melalui wahana internet dengan sungguh-sungguh memperlihatkan bahwa sumber informasi tidak lagi monolitik dan seragam. Melainkan mudah pecah dan tercerai berai. Hingga itu, bahasa bahwa Knowledge is Power (pengetahuan itu adalah kekuasaan), butuh penerjemahan ulang. Kekuasaan atas informasi, saat ini, bukan lagi sebagai sarana penakluk. Melainkan cukup sebagai referensi saja. Pasalnya, bagaimana mungkin orang berkuasa mengendalikan informasi, jika "tak satu pihakpun" takluk di dalamnya?




Kecerdasan Berkomunikasi
Trending topics di Twitter, sejatinya, justru mengingatkan para pem-besar di manapun, untuk hati-hati menggelontorkan informasi. Karena tak ada lagi yang bisa didiktekan. Karena tak ada lagi keseragaman. Karena tak ada lagi persetujuan yang sifatnya pasif. Ratusan ribu pengikut di Twitter adalah para persona yang berani berekspresi sebebas-bebasnya. Para pihak yang selama ini menikmati posisi sebagai opinion leader (pengemuka pendapat publik), sebaiknya memiliki formula baru agar tak menjadi bahan olok-olok. Milikilah kecerdasan berkomunikasi! Setidaknya, dengan tidak mengeluarkan pernyataan norak atau merendahkan nalar publik.



Sedikit tentang prototype Twitter. Teknologi ini terbilang paling bungsu. Sama belaka dengan yang sudah-sudah (Facebook atau Friendster), sebagai sarana interaksi sosial di dunia cyber. Twitter layak bincang dari aspek kecerdasan berkomunikasi karena memang dirancang secara khas, yaitu simple dan spesifik. Twitter adalah blog mikro yang tidak ribet. Tanpa fasilitas untuk video atau rekaman suara. Daya tampung untuk berekspresi pun terbatas, cukup 150-an karakter saja. Entah sengaja atau kebetulan, ini sejalan dengan kecerdasan komunikasi di era digital ini, yaitu singkat, padat dan langsung. Tanpa basa-basi komunikasi atau bahasa bersayap banyak.

Kontra Budaya Digital
Kalaupun harus pesimis, maka tak lain adalah dalam perkara daya dukung dan cara pemanfaatan Twitter di negeri ini. Fenomena Twitter justru hadir di tengah berbagai paradoks yang lazim berkembang di Indonesia. Bukan lagi rahasia, di saat segalanya butuh kecepatan dan akurasi, budaya kita justru terhambat dengan "rantai panjang segala urusan". Birokrasi yang begitu berjenjang. Urusan yang mudah dibuat rumit. Penyakit kronis itu bukan hanya berlaku dalam instrumen fisik atau budaya kerja semata, tetapi juga di lingkup budaya komunikasi.



Kecerdasasn berkomunikasi dalam kultur kita disergap oleh efek buruk budaya massa, yang semata-mata berurusan dengan hiburan, gaya hidup dan abai terhadap fungsi-fungsi prioritas.


Perangkat canggih dalam komunikasi massa belakangan ini, seolah-olah adalah hadiah yang bisa dimainkan seenak hati. Internet, yang melahirkan Facebook, Twitter, Blog, dan lain-lain, juga hadir dalam posisi manusia Indonesia sebagai homo luden (mahluk yang senang bermain). Maka yang bermunculan adalah video porno, gosip perselingkuhan, penipuan, atau informasi-informasi terkategori pembodohan publik.


Ini benar-benar berseberangan dengan etos budaya digital yang dikibarkan oleh para penemu di Silicon Valley (AS) sana. Budaya digital menghendaki adanya kultur serba cepat, praktis, cerdas, simple, dan tidak bertele-tele. Artinya, interaksi dan komunikasi antar manusia harus memasuki fase elektronis dan meninggalkan tabiat mekanis atau manual (yang berproses secara lambat).


Kita bercermin dalam ukuran sederhana, dalam panggung komunikasi publik di media massa, mulai dari polah selebritis, tingkah politisi, ataupun ragam kelakuan para penguasa. Mereka masih mempertontonkan budaya kontra digital. Jika berbahasa, atau mengeluarkan pernyataan, maka selalu dengan bahasa bersayap yang tidak tegas. Atau dalam istilah Tjipta Lesmana, seorang pakar Komunikasi Politik dari Universitas Indonesia, budaya komunikasi di Indonesia adalah budaya komunikasi konteks tinggi, karena selalu sukar dipahami.


Contoh kongkret, hingga hari ini, publik masih heran dan sebal, kasus rekaman hot Luna Maya masih harus disebut dengan kata "mirip" Luna Maya. Betapa samar dalam bahasa, tetapi telanjang dalam adegan! Di ranah politik juga begitu. Betapa butuh waktu hampir satu bulan untuk Anas Urbaningrum, padahal urusannya simple saja, membuat pengurus baru DPP Demokrat. Budaya manual yang kontra digital, juga terlihat dalam kasus-kasus lain di negeri ini: pemilihan Ketua KPK, pengusutan Bank Century, dan yang lain-lainnya.


Jika begitu, maka teknologi Twitter hanya habis dalam "kicau" para pengikutnya. Sekedar men-twit, dan selesai di situ. Tidak ada respon atau budaya cepat tanggap yang menyertai sikap para tokoh publik di negeri ini. Akhirnya, Fenomena Twitter, hanyalah era baru berkomunikasi yang minus kecerdasan!

Jumat, Juni 11, 2010

Sepakbola, The Art of (im)possibility


"Juara atau mati!" Ancaman serius bin angker ini dikirim seorang Diktator Fasis bernama Benito Mussolini. Dikirim via secarik faximile, ke tangan kapten Tim Kesebelasan Italia, yang akan bertanding di Partai Final melawan Cekoslovakia. Karuan, para pemain berkeringat dingin.

Tak ada "kamus" main-main dalam dari sesosok Il Duco Mussolini. Bahkan Perang Dunia ke-1 pun sanggup ia kobarkan (bersama dengan Adolf Hitler). Apalagi jika cuma "memetik" sebelasan lembar nyawa pesepakbola! Kisah nyata ini terjadi di 1934. Beruntung darah tak jadi tumpah, Italia menang 3-0.


Cerita itu hanya satu serpih torehan dari gunungan kisah menakjubkan dalam panggung permainan sepakbola. Dunia memang butuh katarsis (ajang pelepasan) untuk segala naluri yang dimiliki manusia. Tentu saja, di situ juga termasuk naluri menghabisi, instink melumpuhkan, serta perusakan-perusakan besar. Tidak dengan cara-cara dingin melulu sebagaimana gaya Mafioso Sisilia. Tetapi juga dengan sorak sorai menggempita. Misalnya contoh-contoh berikut.


Pasukan pemerintah El Salvador memasuki perbatasan Honduras karena sepakbola ---dan perang pun meletus. Seorang suami menembak mati istrinya karena sepakbola di Bucharest. Seorang pria memuncratkan isi kepalanya dengan sebuah peluru karena sepakbola di Buenos Aires. Ribuan supporter Liverpool membantai tifosi Juventus atas nama sepakbola di Brussels. Di jalan raya Istambul, pendukung Galatasaray memukuli dan menikam mati dua pendukung Leeds United karena sepakbola. Di alun-alun kota Roma, seorang wanita memamerkan buah dada dan kemaluannya karena sepakbola. Sementara itu di Jakarta, seorang pria menceraikan istrinya juga karena sepakbola. Oh, ya terlewat. Mungkin anda pernah mendengar serangkaian penembakan terhadap para pemain bola di Mexico, beberapa waktu lalu. Belum lagi bila kita memasukkan kata Hooligans, Tifosi, Bonex Surabaya, dan Bobotoh Bandung...


Konsep ringkas untuk semua kegetiran itu adalah bahwa sepakbola menjadi katarsis. Sebagai ruang-ruang pelepasan naluri bar-bar ummat manusia. Mengalihkan gejolak kegilaan manusia yang destruktif ke dalam sebuah permainan yang menyenangkan. Persis, seperti di tulis oleh Professor Johan Huizinga, dalam buku "Man the Player", di Tahun 1938, bahwa manusia adalah homo luden (mahluk bermain).


Hanya perputaran zaman yang kemudian menjadikan sepakbola (dan cabang olahraga lain) menjadi lebih beradab. Tidak ada lagi gladiator bertarung melawan singa lapar, di bukit olympus. Objek panahan cukup sebentang papan keras yang dilingkari garis hitam ---bukan prajurit tawanan yang kalah perang. Dan tradisi baku pukul dilokalisir ke ring tinju dengan pengawasan ketat dari wasit. Konon, dulu sekali, bola yang disepak para pemain adalah batok tengkorak para tentara yang kalah perang.


Lalu setelah itu?


Johan Huizinga menjelaskan bahwa manusia adalah "mahluk" bemain, dan bukan "binatang bemain". Garis tegas jadi pembeda: sebagai mahluk, manusia dibekali kepandaian memilih-mengelola-memanfaatkan. Tidak seperti binatang, dari dulu hingga kiamat nanti "permainannya" begitu-begitu terus. Sepakbola, misalnya, oleh "mahluk bemain bernama manusia" itu kemudian dikelola dan dimanfaatkan. Tetapi satu hal tak berubah, dalam permainan, segala kemungkinan bisa terjadi...


Dari sinilah titik masuk berjalan. Hanya mereka yang memiliki kepiawaian berlebih bisa memanfaatkan sepakbola. Piawai dari sisi ekonomi, canggih dalam manajemen, kreatif dalam menjual, hebat dalam prestasi. Segala aspek kehidupan, kemudian, ramai-ramai melakukan proses simbiosis mutualisme dengan sepakbola. Salah satu "causa celebre" (contoh yang sering disebut), adalah kebangkitan sebuah kota kering di Italia, bernama Turin, yang kemudian melesat menjadi kosmopolit gara-gara kehadiran Klub Torino dan Juventus. Ini contoh keuntungan ekonomis antara sepakbola dan bisnis. Orang Inggris, di mana-mana, bahkan selalu bangga dengan dua hal yang terkenal. Pertama adalah BBC (British Broadcasting Cable) dan MU (Manchester United). Belum lagi beberapa negara "terasing" yang kemudian tenar gara-gara sepakbola, seperti Kamerun, Togo, dan Pantai Gading. Jika bukan karena sepakbola, akankah mereka dikenal seperti hari ini?


Piawai mengolah, rapi dalam manajemen, kreatif dalam menjual, dan hebat dalam prestasi, faktor-faktor ini nampaknya dibagi rata oleh negara-negara peserta piala dunia.


Jika misalnya, Amerika tidak terlalu hebat dalam kepemilikan bakat sepakbola ---di negara itu bahkan sepakbola kalah populer oleh basket, maka mereka digdaya dalam manajemen. Hasilnya sudah jelas, mereka berkali-kali lolos sebagai kontestan. Begitu juga Inggris, yang sejatinya adalah pemilik sepakbola, benar-benar mampu menjual tontonan sepakbola ke seluruh penjuru dunia ----meskipun mereka hanya pernah satu kali memiliki Piala Dunia, di Tahun 60-an.


Penegasan kembali: sepakbola adalah seni segala kemungkinan. Bayangkan Togo, Pantai Gading, Meksiko, Brazil. Bukankah mereka negara-negara dunia ketiga yang masih perlu belajar banyak hal? Dari negara-negara itu, bahkan tak sedikit yang bermasalah. Mexico adalah negara dengan kategori terjebak utang (debt trap), begitupun Brasil. Sementara beberapa negara Afrika adalah negeri dengan segudang masalah. Tetapi toh tetap bisa unjuk diri. Singkat kata, meski lemah dalam ilmu manajemen, payah dalam bisnis, tetapi mereka hebat dalam prestasi.


Lalu jika segalanya mungkin, mengapa kemudian Indonesia selalu terperangkap menjadi penonton setia?


Sepakbola adalah seni segala kemungkinan bila itu berjalan dalam arena yang jujur dan tidak manipulatif. Kita gagal untuk mengenali permasalahan diri sendiri secara jujur. Bahkan gagal merumuskan "exit strategy" (jalan keluar) dari segala perkara yang memenjara. Karena memang tak pernah mau jujur terhadap borok diri sendiri. Negeri ini hanya pandai memanipulasi dan mengalihkan masalah. Belajarlah dari Afrika Selatan, yang tercabik isu rasial, tetapi bisa bangkit. Belajarlah dari Iran yang diluluh-lantakkan, tetapi juga bangkit. Belajarlah dari Korea Utara yang dikucilkan, tetapi juga jadi peserta. Mereka tak pernah memanipulasi masalah di negerinya sendiri.


Sepakbola di Indonesia lalu berubah menjadi seni segala ketidakmungkinan... karena kebohongan itu. Rezim PSSI pimpinan Nurdin Halid, bukan belajar bangkit dari masalah, malah mengalihkan masalah yang sesungguhnya. Bukannya bergegas membentuk tim bagus, malah sibuk mencalonkan diri menjadi tuan rumah Piala Dunia 2020. Sungguh konyol... Sepakbola, di negara lain adalah The Art of Possibility. Di negeri kita, The Art of Imposibility. Wallahu'alam.

Selasa, Juni 08, 2010

Luna, Ariel, Cut Tari, dan Suguhan Ala Junkfood


Tragedi besar Luna-Ariel-Cut Tari adalah betapa besar jumlah orang yang menyantap tragedi itu. Betapa besar pula volume pemberitaan menggerojok tiada henti. Meski belum pasti, kita bisa mengira-ngira betapa super besar keuntungan di industri media atas isu sensitif ini. Sudah pasti adalah: betapa besar kerugian tiga pesohor kawak itu. Luna bahkan hilang dari Variety Show Dahsyat ---dan terpaksa membuat surat ke Unilever.


Bahkan setelah dua pekan, koran-koran meramu penjudulan tanpa habis kata-kata, olah respon para pengikut Tarekat Al Facebookiyah, hingga guyonan di gedung-gedung perkantoran. Batas akhir pergosipan Luna Ariel Cut Tari, mungkin hanya ada di tempat sujud!


Tetapi tentu di sana tak ada kaitan dengan kualitas diskusi dan harga sebuah pertukaran informasi. Asumsi bahwa ledakkan sebuah isu selalu membuncratkan hikmah (mari kita petik hikmahnya, kurang lebih begitu komentar para Ustadz), sama sekali tak ada tempat dalam perkara ini. Belakangan muncul Farhat Abas, pengacara perlente yang doyan gonta-ganti isteri, membawa isu hukum dan moral. "Ah", kata sebuah komentar di detikforum, "urusin aje bini elo!"


Dalam pededahan konsep komunikasi massa, inilah yang disebut dengan "voyeurism syndrome".


Masyarakat yang getol mengulik noda cela orang lain. Terhipnotis oleh privasi yang ditutupi ---lalu kemudian tersembul ke mata publik. Mengintip, mencuri dengar, lantas menguar-uarkan pelbagai aib kehidupan antar sesama. Boleh saja berdalih membela, atau misalnya memaklumi: bahwa di manapun fenomena "mengulik aib" selalu ada. Entah di pedalaman Papua, hingga ke ke kutub utara sana. Iya, barangkali Tuhan pernah menitipkan naluri purba untuk "mencuri" seraya menyantap tragedi orang lain. Normal-normal saja.


Menjadi absurd adalah ketika gigantisme tak terbendung. Volume pemberitaan, frekuensi penyiaran, dan kuping kita yang nyaris budek atas "tragedi" Luna Ariel Cut Tari, benar-benar merembes melewati takaran. Sebentar, lalu apa tapal batas normalitas dalam overpublisitas sebuah isu?


Luna-Ariel-Cut Tari adalah Man/Woman Makes News, para pesohor yang warna kaus kakinya pun layak ditulis oleh seorang reporter (terserah akan digunting editor atau dipampang di halaman muka surat kabar). Mereka adalah sejumlah tokoh dengan kelas extra ordinary person (orang-orang yang luar biasa dari sisi potensi jual berita). Rumusan itu hanya perlu satu cantolan sederhana, with ordinary circumtances (sesuatu yang biasa-biasa saja). Reporter amatiran yang baru dua minggu magang sekalipun akan mahfum, bahwa orang-orang tenar, dengan kejadian kecil sekalipun, toh akan tetap bernilai berita. Itulah kemudian mengapa artis menyumbang menu buka puasa di Panti Asuhan diberitakan berulang-ulang (padahal orang lain melakukan lebih sering dan lebih ikhlas daripada artis yang hanya berjilbab di bulan puasa, lantas pamer sedekah!). Orang biasa jangan masuk media, barangkali begitu singkatnya.


Hitung-hitungan menjadi sederhana jika "insiden" Ariel-Luna-Cut Tari selesai di situ. Apalagi di sebuah era ketika NEWS, bukan lagi berdefinisi North, East, West, and South, sebagaimana definisi klasik, yang kurang lebih mengartikan berita sebagai segala sesuatu kabar yang berhembus dari Barat, Timur, Utara dan Selatan. NEWS, di era showbiz dan penghambaan terhadap gaya hidup adalah berarti Names (big names), Entertaint, Womans (Luna dan Cut Tari ada di situ), serta SEX or Sport. Menakjubkan! Ariel-Luna-Cut Tari berada dalam orbit sedemikian. Mereka punya nama beken, terlibat dalam panggung hiburan, dua diantarnya adalah perempuan cantik, dan terlibat dalam "sesuatu" yang terkateogi Sex... Hanya unsur Sport yang hilang.



Mohon permisi untuk menambahi satu lagi teori: segala apa bidang pergosipan memang laku bila pangsa pasar menghendaki. Christianto Wibisono punya istilah bagus, readibilitas (kecerdasan membaca berita), di masyarakat kita terbilang payah. Kecerdasan bermedia (media literacy) juga kendor. Bila saja dibikin adonan, maka publik pembaca yang lumpuh daya kritis itu adalah tepung terigu yang pas untuk kue gossip di televisi dan koran. Lalu minyak goreng yang dipakai adalah "waktu santai" yang begitu panjang ----milik publik pemirsa di Indonesia.


Nah, leisure time atau waktu luang yang begitu leluasa, menyebabkan orang-orang menyergap isu sampah sekalipun di televisi. Ini terjadi di kalangan bawah, atau kategori D, untuk pemirsa tivi, dengan karakter: (1) pendidikan rendah; (2) penghasilan rendah; (3) produktivitas rendah; dan (4) penghasilan rendah. Ini bukan prasangka, tapi parameter dalam riset penonton. Empat karakter itu hanya sedikit punya peluang untuk menikmati hiburan, dan yang tersedia tanpa batas adalah pergosipan ala infotainment.


Sialnya, di Indonesia, kalangan terdidik dan makmur sekalipun tak lepas dari penyakit "lahap isu" ini. Mengapa? mereka punya leisure time yang tinggi pula. Nongkrong di cafe, ngobrolin artis. Jalan-jalan ke mall, beli media hiburan. Di kantor, "ssst, hebat ya, Ariel? Leisure time yang bercokol sebagai Pleasure Time. Cucok, brow!


Maka betapa gegabah jika kemudian persoalan digiring untuk menghukum Luna, Ariel dan Tari. Hukumlah diri sendiri. Dengan cara-cara lunak, tentu saja. Misalnya dengan memotong jam nonton televisi. Misalnya dengan menukar koran kuning ke koran serius. Misalnya dengan mengganti topik obrolan yang rada bermutu. Jika tidak, seorang dokter yang 1x24 jam praktek di laboratiorium tertutup sekalipun pasti kena imbas, jika para suster perawat cekikikan melihat video tiga artis itu di layar handphone. Hukumlah diri sendiri, untuk tidak menularkan gosip tak perlu ke orang lain.


Ujung keruwetan adalah kecerdasan bermedia (media literacy) yang sama sekali tak nampak dalam pengalaman Indonesia sejak awal hingga kini. Kita adalah pemirsa yang tidak siap. Lantas itu pulalah yang sengaja dipelihara para pemain di industri media. Dengan suguhan-suguhan ala junkfood (menu tak sehat rendah gizi).


Akhirnya, Ariel-Luna-Cut Tari adalah trigger (pelatuk peristiwa). Bila melihat respon ketiga pesohor itu, sama sekali tak ada niatan mereka menikmati overpublisitas yang bertendensi notorious (terkenal karena buruk!). Sama sekali tidak. Mereka, dalam konteks ini, sama sekali tak berdaya menghadapi "kapal keruk" milik pemburu berita. Disertai sorak-sorai para pemirsa. Kata orang palembang: Kejam nian!!!

Video Lucu Versi Bukan Luna Maya



Untuk semua yang sudah jenuh dengan berita Ariel, nampanya menyimak yang berikut ini perlu juga...

Rekaman Video Pertama:

Seorang Anggota DPR, sebut saja namanya Bapak Bravo, panik setengah mampus. Gara-gara sms teror yang berbunyi ancaman:

"Segera! Transfer uang Rp. 500 juta ke rekening saya, jika tidak, video kita yang sedang tidur bareng akan saya sebarluaskan di internet dan media massa."

Anggota DPR itu kelimpungan. Ia berpikir keras. Jika menolak, riwayatnya akan jadi bulan-bulanan. Imajinasinya segera ke nasib Ariel Peterporn (eh, Peterpan). Demi menyelamatkan karir politik, akhirnya ia transper juga uangnya (ke rekening si peneror).

Setelah selesai mengirim uang, ia kirim sms ke alamat "pemeras sialan" itu. Dengan kalimat yang rada sopan:

"Mbak, uang sudah saya kirim. Tapi memangnya kita pernah tidur bareng di mana?"


Tak lama, sms balasanpun datang... Isinya ini:

"Alah, jangan pura-pura deh, Mas. Kita kan sering tidur bareng, di kursi masing-masing, kalau lagi sidang di DPR. Mau saya kirim videonya? He..he..he.."

Si Anggota DPR itupun langsung lemas...


Rekaman Video Kedua:

Di depan puluhan santri, seorang Kyai berfatwa dengan galak:

"Allah akan mengazab orang yang tidur bareng dengan non muhrim! Dan Allah akan melipatgandakan hukumannya jika para pelaku tidur bareng itu merekam serta menyebarkannya ke orang lain". (Rupanya Kyai kita ini rada gaul juga, buktinya sampai perlu-perluan bikin fatwa tentang penyebar vidoe tidur bareng).

Tiba-tiba, seorang Santriwati pingsan. Suasana jadi heboh... Sigap Pak Kyai mengobati. Setelah siuman, si Santri Puteri langsung diinterogasi... (tentu hanya berdua dengan Pak Kyai, di ruang khusus).

Pak Kyai: "Nak, tolong ceritakan, kenapa kamu langsung pingsan setelah saya berfatwa..."

Santriwati (dengan sesenggukan): "huu..hu..hu... Pak Kyai, ampuni saya. Doakan agar Allah tidak menghukum saya...."

Pak Kyai (rada mulai curiga): "Nak, memangnya kamu pernah..."

Santriwati (tangis meledak!): "Ampuuuun Pak Kyai, saya pernah... pernah merekam teman-teman saya, lelaki dan perempuan, yang tidur bareng... Tadinya saya berniat mempermalukan mereka. Saya dendam dengan mereka berdua, Pak Kyai....

Pak Kyai: "Hah, siapa mereka? Tidur bareng di mana? Mari sini, saya lihat videonya, ada di HP kamu kan?"

Singkat cerita, Pak Kyai melihat video tidur bareng itu dengan teliti. Akhirnya....

"Yah, Nak... kalau cuma begini mah nggak usah pake pingsan..."

(Ternyata hanya rekaman video tidur bareng di dalam bus wisata, ketika rombongan anak-anak SMA Tur ke Bandung, dan semua siswa tertidur lelap di kursi masing-masing).


Rekaman Video Ketiga:

Seorang pakar IT (Information Technology), tapi bukan Roy Suryo, dan nggak "mirip" sama sekali, tertegun-tegun. Jakunnya naik turun. Hari ini dia dipercaya oleh Redaktur sebuah media massa terkenal, untuk memeriksa keasilian video tidur bareng yang dilakukan oleh dua tokoh terkenal ---sangat terkenal, baik yang cewek, maupun yang cowok (tapi sama sekali bukan Ariel, dan boro-boro mirip, jempol kakinya aja beda jauuuuuh dengan mantan vokalis Peterpan itu).

Besoknya, ia mengetik lembar rekomendasi. Ia tulis dengan hati-hati, takut mengundang perdebatan, dan takut tidak terbaca sebagai rekomendasi seorang ahli...

Begini rekomendasinya:

Pak Redaktur yang terhormat...
Demi Tuhan, saya dengan keahlian yang sudah teruji, menyatakan bahwa video ini asli, tanpa rekayasa sama sekali. Kedua pelaku, laki-laki dan perempuan, memang direkam langsung.


Tetapi, tanpa mengurangi rasa hormat kepada Anda, saya mengatakan bahwa video bareng ini tidak perlu ditanggapi serius. Dan tidak akan laku jika dipublikasikan. Karena... mereka adalah tokoh kartun, Mickey Mouse dan Minnie.

Rabu, Juni 02, 2010

Ersatz Yesrael, Not in My Back Yard...


Anti semitisme adalah fenomena baru bagi Ummat Islam.


Sementara di Eropa sudah berakar jauh dari dulu. Barangkali milyaran Ummat Islam saat ini membenci Zionis Israel karena memang "terpaksa". Bagi ummat yang memiliki pengalaman manis terhadap penaklukkan Yerussalem dengan solusi damai, dari zaman Khalid Bin Walid, perintah Ummar Bin Khatab, hingga perlindungan Sholahudin Al Ayubi, yang semuanya berakhir dengan perjanjian damai terhadap Yahudi, adalah lebih dari cukup.


Atau Piagam Madinah yang tegas-tegas memberikan jaminan hidup terhadap Yahudi. Memang ada pengecualian, ketika pengkhianatan Bani Qainuka terhadap kedamaian di Madinah dibayar dengan hukum pancung oleh Nabi, tetapi itu adalah respon untuk menciptakan "law and order", yang hampir empat kali dilanggar oleh para munafiq Yahudi.


Islam, secara genealogis dan doktriner, sama sekali tak ingin memuncratkan darah,bagi Yahudi, bagi siapapun. Bila ukurannya adalah tragedi, maka 1/3 Ummat Muslim di dunia saat ini dengan mudah menunjuk: bahwa Yahudi lebih sering diperlakukan biadab justru di sepetak wilayah yang saat ini disebut pelopor HAM dan Demokrasi. Yahudi lebih sering dibantai oleh Eropa!


Perburuan progrom di Spanyol, tatkala Ratu Issabel dan King of Ferdinand menekuk Kekhalifahan Islam, adalah salah satu horor yang bahkan oleh sejarawan barat sekalipun ditulis dengan penuh kengerian. Darah tergenang hingga selutut, dan bukan hanya darah Ummat Islam, melainkan juga Yahudi. Juga periode kelam abad pertengahan yang disebut Inquisista, yang memakan korban para heresist (murtad) dari kalangan agama tertentu, tetapi juga memakan korban banyak Ummat Yahudi.


Di Perancis, bahkan ada peristiwa yang hingga saat ini disebut tragedi pertama dalam kasus "prasangka bersalah", mendakwa orang hanya karena kebencian, yang disebut Pengadilan Dreyfuss, seorang Perwira Yahudi yang dihukum sebagai pengkhianat --- karena semua Yahudi dianggap bersalah...


Bukan lagi rahasia, bahwa sesungguhnya Eropa paling tak tahu diri terhadap perlakuan mereka terhadap Yahudi. Kedigdayaan Eropa sedikit atau banyak justru karena sumbangsih para Yahudi Diaspora (yang menyebar dari Polandia, Rusia, hingga Eropa Tengah). Yahudi Diaspora bukan hanya genius dalam menciptakan temuan-temuan penting, tetapi juga menjadi penguasa di dunia perbankan, mengajarkan Eropa dari urusan Kantor Pos, sistem akuntansi, hingga urusan Filsafat... Tetapi timbal baliknya adalah Holocaust oleh Nazi Jerman.


Sudah tentu bukan urusan kita! andai saja tidak ada aneksasi terhadap tanah Kanaan, Yerussalem, atau Palestina Moderen. Dan biang keladi dari titik didih yang berlarut-larut hingga penyerangan Freedom Folitelia terjadi baru-baru ini. Dan kita bisa tegas-tegas menunjuk, Barat, Eropa, dan juga Amerika, adalah tangan-tangan licik yang menikmati pembantaian Yahudi dan penistaan terhadap Syuhada Palestina...


Mengapa licik?


Kampanye, propaganda, dan disertai pengejaran-pengejaran berdarah melalui Anti Semitisme (yang kemudian bertiwikrama menjadi Anti-Jews’ atau Anti Judaisme di daratan Eropa inilah) yang sesungguhnya menjadi cikal bakal berdirinya Negara Israel, yang sepadan dengan cita-cita ideologi Zionisme, mendirikan Ersatz Yesrael, koloni Israel (Jewish State).


Tanyakanlah kepada Theodora Herzl, atau tepatnya berkaca pada perjuangan Sang Ideolog Zionisme itu. Dalam berbagai konferensi Zionisme, terutama Kongres yang pertama di Bezel, Swiss, puluhan tahun lalu. Theodora Herzl yang sukses mengemas tragedi Anti Yahudi di Eropa sebagai satu-satunya alasan untuk Yahudi Diaspora merebut tanah manapun di dunia ini untuk tempat tinggal "merdeka" bagi kaumnya.


David Vital, profesor pada University of Tel Aviv dalam bukunya The Origins of Zionism (1975) menulis bahwa Zionisme modern (sering disebut juga Zionsime politik) pada mulanya merupakan impian seorang wartawan Theodore Herzl setelah menyaksikan berbagai pembantaian Yahudi di Eropa. Dalam buku La Tahzan, tulisan Aidh Al Qorni, disebut Herzl hanya tidur 3 jam per hari untuk bekerja mengorganisir dan meloby jaringan Yahudi di mana-mana, agar setuju dengan Ideologi Zionisme. Meski, sesungguhnya, Zionisme secara diametral bertentangan dengan nilai-nilai religius Ummat Yahudi ---dan tak sedikit tokoh Yahudi yang menolak, termasuk Einstein...


Peta dunia kemudian berubah puluhan tahun setelah Kongres Zionisme berlangsung. Eropa menyadari Anti Semitisme dan Zionisme adalah "kerikil dalam sepatu". Untuk mematikan tentu saja tak bisa, eksistensi sebuah negara atau bahkan sebuah komunitas tak bisa ditumpas begitu saja, salah satu jalan terbaik adalah memindahkan.


Eropa lalu belakangan disusul Amerika, tahu persis: Yahudi memang perlu hidup, Ersatz Yesrael, Negara Yahudi harus ada, tetapi bukan dihalaman belakang Eropa, Not in my back yard... tetapi di Palestina!


Pemikiran inilah yang mempermulus gagasan Zionisme, terlebih-lebih setelah janji konspiratif dari sepucuk surat dari Menteri Luar Negeri Inggris Raya, tertanggal 2 Novembe 1917, yang bernama Arthur James Balfour. Diam-diam, Inggris telah lama merancang sebuah tanah untuk Yahudi, hanya mereka belum tahu kapan dan di mana... Surat inilah, yang kemudian disebut Deklarasi Balfour, yang kemudian menciptakan neraka berkepanjangan di Timur Tengah, tepatnya di Palestina.


Sejarah memang multifafsir. Tetapi kesengsaraan atas berdatangannya kapal-kapal Yahudi Diaspora ke Palestina adalah bukti. Hanya dalam hitungan tiga tahun, 30 ribu komunitas Yahudi pendatang, menyatakan kemerdekaannya di tanah yang baru mereka tempati, dengan mengangkangi 600 ribu warga asli di Palestina (gabungan antara Arab, segelintir Eropa, sedikit Yahudi Asli, dan warga asli Palestina). Eropa, Inggri, Amerika, jelas-jelas paling bertanggung jawab atas semua peristiwa yang telah berlangsung, termasuk pada saat ini, penyerangan biadab terhadap Freedom Flotilla, di Jalur Gaza.


Catatan: sumber utama yang dijadikan acuan adalah tiga buku dari Karen Armstrong, Sejarah Tuhan, Berperang Demi Tuhan, dan Perang Suci.