Jumat, Juli 30, 2010

Lelucon Tentang DPR Malas


Humor adalah perlawanan orang-orang tak bersenjata. Saya bukan Satpol PP, Anda juga bukan tentara. Maka, marilah kita tertawa saja atas ulah wakil rakyat tercinta...


HP Tertinggal
Syahdan ada anggota DPR yang terkenal rajin dan mendapat julukan ”Anggota Teladan”. Saking rajinnya, dalam setiap masa sidang, tak pernah satukalipun ia bolos. (Nah, cocok pakai istilah syahdan kan? Karena di dunia nyata tak pernah ada anggota setekun itu, he..he..he..).


Tetapi Masa Sidang Bulan ini terjadi perubahan. Tercatat dua minggu si Anggota Teladan itu tak masuk. HP-nya juga tak bisa dihubungi.


Akhirnya, ketua Fraksi (yang merasa bangga dengan keteladanan anggotanya), datang ke rumah si Anggota, untuk mengecek langsung kepada keluarga yang bersangkutan.

Ketua Fraksi: ”Ibu, mengapa kok suami Anda dua minggu ini tak terdengar kabar?”

Isteri Anggota Teladan: ”Biar saja, dia lagi enak-enakkan kok. Katanya pergi cuma satu hari, ngambil HP, tapi sudah dua minggu ini tak pulang. Dasar kurang ajar!

Ketua Fraksi (bingung dengan respon emosional isteri anak buahnya): ”Lho, memangnya HP suami Ibu tertinggal di mana? Kok, lama banget...”

Isteri Anggota Teladan (menjawab ketus): ”Di sono... di rumah bini mudanya!!!”


Sudah Lupa

Demi menjaga martabat di mata rakyat, seorang Ketua Fraksi DPR memanggil anak buahnya yang terkenal ngeyel, tak pernah sekalipun datang di sidang paripurna. Sembari pasang muka masam, Pak Ketua Fraksi bertanya:

”Pak, sejak dilantik, kenapa Bapak tak pernah datang ke sidang paripurna.”

Anggota (yang malas rapat): ”Maaf Pak Ketua, saya sudah lupa di mana lokasi ruang paripurna...”


Cita-Cita
Seorang bocah SD membuat seluruh guru dan kepala sekolah kelimpungan. Anak bandel itu sering bolos. Kalaupun datang ke sekolah selalu terlambat. Merasa mengkel, Pak Kepala Sekolah turun tangan, bertanya langsung:

”Nak, kenapa sih kamu begini terus! Malas dan sering bolos. Mau jadi apa sih kamu?

Si anak sambil garuk-garuk rambut menjawab ringkas: ”Mau jadi Anggota DPR Pak...”

Kepala sekolah: !?%$&#!



Isi Pulpen Habis
Masyarakat mungkin belum banyak tahu, sebenarnya Anggota Dewan yang mangkir sidang paripurna itu banyak sekali (jauh lebih banyak dari yang diberitakan koran-koran). Tetapi mereka selamat dari kecaman publik, karena selalu meminta Staf Ahli untuk menandatangani kehadirannya. Caranya: si Staf Ahli datang ke ruang sidang paripurna, lalu ngobrol ”cincay” dengan petugas absensi (biasanya Staf dari Sekretariat Jenderal).

Biasalah, satu kali ”titip tandatangan”, uang seratus ribuan segera ”berpindah tangan.” Begitulah setiap kali sidang paripurna digelar, tradisi itu berlangsung.

Tapi, malang, rupanya Si Anggota salah rekrut Staf Ahli. Buktinya, namanya tetap terpampang sebagai Anggota DPR paling malas, sepuluh kali bolos.

Si Anggota murka luar biasa... Dipanggilnya Staf Ahli (kali ini bukan untuk menitipkan uang absensi, melainkan akan mencaci maki!).

Anggota DPR: ”Brengsek kamu, kan saya sudah suruh titip tanda tangan, kenapa nama saya masuk daftar? Kamu sudah mempermalukan saya!!!

Staf Ahli: ”Sudah kok, Pak. Sudah saya tandatangani...”

Anggota DPR: “Bohong kamu! Buktinya nama saya tetap diumumkan…”
Staf Ahli: “Itulah Pak, saya hanya punya satu pulpen dari dulu. Dan sudah lama isinya habis, jadi kalau dipakai tandatangan absen, tintanya tak muncul…”


“Dicium” Presiden
Dalam “Dokumen Rahasia BK” (Badan Kehormatan DPR), ada Anggota DPR yang cantik (tetapi rajin bolos rapat, lalu rajin pula mengirim Surat Keterangan, dengan isi yang aneh: Izin tak ikut rapat karena “dicium” Presiden. Begitu terus. Hingga tercantum data 5 kali izin dengan alasan yang sama.

Ketua BK sangat penasaran. Ia panas dingin, jika terendus oleh Media Massa, pasti menjadi santapan lezat untuk dipublikasi terus-menerus. Terlebih, ia tahu persis bahwa si Anggota memang cantik. Terjadi dialog antara ketua BK dan Si Anggota DPR cantik, berikut ini...

Ketua BK: ”Ibu, saya tak mengerti, maksudnya apa dicium presiden hingga tak bisa ikut rapat. Ini benar atau mengada-ada?”

Anggota DPR cantik:
”Benar kok, Pak. Saya memang dicium, tapi oleh Presiden TAXI.”

Rabu, Juli 28, 2010

Trully, Madly, Lazy (Lagu Malas DPR RI)



Seperti karya Savage Garden yang berjudul "Trully, Madly, Deeply", maka polah Anggota DPR yang malas adalah lagu lama (yang dimainkan ulang). Dulu, sorotan publik begitu senyap. Kali ini lain lebih nyaring: publikasi gencar dilakukan terus menerus.


Barangkali ada dua latar penyebab. Pertama, adanya pengakuan dari Marzuki Alie, Ketua DPR RI, yang mengaku kehabisan akal mengatur "anak buahnya di Senayan". Kedua, karena memang DPR periode 2009-2014 ini begitu rendah produktivitasnya. Soal kinerja rendah dan miskin produktivitas inipun juga bagian dari lagu lama. Mari ambil pembanding. Selama sejarah DPR RI, hanya pada periode Presiden Habibie DPR begitu produktif, mengahasilkan 90-an Undang-Undang, dalam tempo hanya satu tahun! Mereka tidak malas karena berada dalam tekanan luar biasa (maklum, reformasi sedang berkibar). Setelah itu: DPR selalu gagal memenuhi amanat Prolegnas (Program Legislasi Naisonal). Artinya, secara kelembagaan, DPR RI selalu tak mampu memenuhi kewajibannya (meski hanya di satu fungsi, yaitu fungsi legislasi).


Lalu seperti perilaku malas seumumnya, Anggota DPR RI hari inipun pandai melagukan pameo: bahwa "satu-satunya kecerdasan orang malas adalah rajin meracik dalih" ---guna membenarkan tindakannya. Terbukti, belakangan ini berhamburan suara politisi yang rajin membela rekan-rekannya yang rajin mangkir.


Political Exucesd
Dari sisi komunikasi politik, bergulir tiga model dominan dalam wacana pembelaan diri Anggota Dewan di Gedung Rakyat Senayan. Pertama, model alibi (seperti pesakitan kriminal yang mengaku sedang di tempat lain, tidak berada di TKP, Tempat Kejadian Perkara). Alibi Dewan adalah mereka sibuk dengan urusan di luar gedung DPR, jadi wajar saja kalau tak mengikuti sidang! Coba lihat: Ratu Munawaroh, Anggota DPR RI Fraksi PAN, yang oleh koran-koran Jakarta dijuluki" Ratu Pemalas" karena tidak menghadiri 9 kali sidang berturut-turut, mengaku sedang ikut Pilkada di Jambi.


Jawaban kedua, model testimoni, alias "meminjam" pengakuan pihak lain (yang dianggap berkompeten). Kembali mengambil sampel Ratu Pemalas (Ratu Munawaroh), yang dibela oleh Viva Yoga Maulandi, rekannya di Fraksi PAN, yang menyatakan bahwa ketidakhadiran Sang Ratu hanyalah untuk sementara. Lain waktu, politisi perempuan dari Partai Berlambang Matahari itu akan rajin hadir.


Jawaban ketiga, model Alegori, alias gaya bahasa retorika yang bersandar pada kiasan indah ---tetapi sesungguhnya mengkhianati kenyataan. Bayangkan saja, tak ada hujan tak ada angin, Pramono Anung Wibowo, dari Fraksi PDIP menyatakan bahwa Anggota DPR RI adalah negarawan, olehnya tak perlu rajin ikut rapat. Sungguh ini alegori yang menyakitkan nurani. Negarawan jauh melampaui politisi, dari sisi pengabdian, karakter, dan juga intelektualitas. Menyebut Anggota DPR RI sebagai negarawan adalah jauh panggang dari api. Inilah tiga model <\i>political excused dari wakil rakyat kita. Seperti menanak nasi kemarin sore, basi dan membuat mual.


Momentum
Menyedihkan ketika kontroversi "malas rapat dan rajin bolos" ini miskin counter opini dari pihak luar. Beberapa pengamat memang sudah menyatakan prihatin. Namun, tak ada gugatan panjang dan counter opini yang kuat, sehingga rakyat tidak memiliki referensi yang cakap. Bahkan cenderung opini yang dipublikasi oleh pers mengikuti arus yang sengaja dilemparkan oleh Anggota Dewan. Salah seorang aktivis dari Formappi (Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia), Sabastian Salang, hanya berkomentar pendek: bahwa soal DPR malas harus dikembalikan kepada internal partai, untuk melakukan pembinaan.


Mestinya ini menjadi momentum yang tak boleh lepas.


Persis di Tahun 2006, sejumlah lembaga independen, yaitu IFES, NDI dan PSHK (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan), bekerjasama dengan Tim Peningkatan Kinerja DPR RI, pernah melakukan riset untuk memperbaiki kualitas DPR RI. Salah satu temuan yang membuat kinerja rendah adalah basis pengetahuan dan pengalaman rendah dari para legislator kita. Artinya, mereka malas karena memang tidak kapabel dan tidak mengerti persoalan ----yang justru menjadi tugas wakil rakyat. Rekomendasi saat itu adalah menambah Staf Ahli, untuk memberikan fungsi konsultasi dan asistensi.


Poin ini sebenarnya menjadi pintu masuk dalam melacak fenomena malas di Gedung Rakyat. Urusannya adalah psikis, terkait dengan aktualiasi diri para politisi. Bagaimana mungkin Anggota bisa rajin dan memiliki minat tinggi, bila mereka tak mengerti apa yang dibahas dalam rapat? Wajar bila mereka mangkir, karena toh hanya akan menjadi penonton pasif. Jadi, isu DPR malas seharusnya kita dorong untuk membongkar pokok perkara yang sesungguhnya... yaitu "mindset" dan" block mental" para anggota. Tetapi itu tidak terjadi. Entahlah....

Minggu, Juli 25, 2010

Televisi Bukan Babby Sitter Untuk Anak-Anak Kita


Misalnya Tuhan mengutus kembali seorang nabi baru di zaman Facebook ini, maka salah satu tugasnya adalah "memerangi" Televisi. Paling kurang, mengajari pengikutnya dengan sebuah doa: Doa Terhindar dari Kejahatan Televisi. Lalu tentu paling perlu doa itu ditularkan kepada anak-anak.


Tetapi hanya nabi palsu yang berlahiran. Maka hingga hari ini, anak-anak hanya fasih merapal doa ketika hendak melakukan aktivitas biasa. Doa makan, doa berangkat sekolah, doa membaca Al Quran (atau mungkin juga Injil), dan doa-doa lain. Tetangga saya malah mengajar anaknya doa ketika melewati kuburan ----biar tidak kerasukan jin!


Padahal hakkul yakin, anak-anak kita benar-benar butuh perlindungan dengan cara apapun. Agar mereka tidak menjadi semacam wortel yang dimamah hingga lebur oleh keganasan televisi. Frase "perlindungan dengan cara apapun" pada awal paragraf ini, memang terdengar rada hiperbolik. Tepatnya ke luar dari pemikiran yang teramat sangat marah!


Kalau tidak marah berarti tak punya hati...


Adalah fakta bahwa jumlah "jam menonton" TV pada anak di Indonesia adalah sekitar 30-35 jam/minggu atau 1560-1820 jam/ tahun. Angka ini jauh lebih besar dibanding "jam belajar" di sekolah dasar yang tidak sampai 1000 jam/tahun. Padahal kita tahu, seperti apa kualitas tayangan Televisi kita, baik di pagi hari, siang, sore, mapun malam. Maaf saja, tak pernah ada kasus di manapun bahwa semakin banyak menonton TV, maka anak-anak akan semakin cerdas. Kalau contoh sebaliknya, malah bejubel.


Kita juga marah karena nyaris frustasi dengan kampanye bahaya televisi. Bukan semata pengelola stasiun televisi tidak peduli, tetapi juga SDM dan tenaga broadcaster kita hanya sedikit lebih bagus dari "kuli panggul kamera". Pejal dalam pemikiran, dan banal dalam krativitas. Hanya mampu meramu infotainment, reality show, sinetron, dan paket-paket konsumtif lainnya.


Kita juga dibuat jengkel karena belum ada metode jitu menangkal bahaya televisi bagi anak. Padahal hingga hari ini, paling tidak ada sebelasan buku yang pernah ditulis, tentang teknik dan kiat melindungi anak dari televisi. Puluhan riset telah diterbitkan untuk membeber bahaya televisi bagi anak-anak. Tak kurang-kurang, kaum agamawan, Guru SD, atau bahkan Menteri, ikut-ikutan ramai mengingatkan: awas televisi! Tetapi, nyaris terabaikan. Karena tak ada perjuangan sungguh-sungguh dari kita, orang dewasa, untuk menjaga anak-anak dari teror televisi.



Electronic Babysitter
Muara dari kejahatan orang tua terhadap anak-anak, adalah justru menjadikan televisi sebagai pengasuh. Ragam alasan berhamburan. Entah sibuk. Tak mau diganggu. Ingin santai tanpa anak. Atau alasan lain beraneka rupa. Tetapi intinya tetap sama: menjerumuskan anak dalam genangan materi televisi. Padahal sudah jelas, sebagai pengasuh, televisi sama sekali tak bisa diandalkan.


Kita tidak sedang mendakwa Televisi dari sisi totalitasnya. Memang, ada hal-hal baik di tayangan TV. Tetapi dalam kasus anak-anak, semua hal bisa menjadi bumerang. Lantaran berkaitan dengan alam pikir, daya jelajah intelektual, memori, dan cara anak-anak memahami tayangaan televisi. Anak-anak tak bisa dibiarkan menafsir sendiri, melainkan butuh pendampingan orang tua.


Pokok permasalahan yang paling besar, sebenarnya adalah ketidakmampuan seorang anak kecil membedakan dunia yang ia lihat di TV dengan apa yang sebenarnya ada di luar TV. Dalam memori anak kecil, tak ada sekat untuk memasukan mana tayangan terkategori fakta, dan mana yang fiksi. Ini yang berkaitan dengan otak. Sementara dari aspek psikis, anak-anak adalah cenderung melakukan peniruan, modelling, atau mengulang apa yang ia tonton. Lagipula, anak-anak justru membutuhkan bermain sebebas-bebasnya, yang melibatkan otak, emosi, dan fisik sekaligus. Bukannya terpaku di depan layar tellevisi. Pendek kata, jangan jadikan televisi sebagai Babysitter untuk anak-anak!


Litlle Bomb
Orang-orang "jahat" di masa dewasa, adalah orang-orang yang "dijahati" ketika kanak-kanak. Bisa pula diperpanjang: orang-orang "sakit jiwa" di masa tua adalah orang-orang yang "disakiti jiwanya" di masa kanak-kanak. Sebuah buku bercerita tentang itu: The Boy Who Called It. Kekerasan psikis, memori, dan fisik terhadap anak, bagaikan merakit bom kecil untuk meledak di lain waktu. Betapa mahal harga masa kecil, bahkan seorang Triliuner sekaliber Michael Jackson sekalipun tak mampu membeli ---ia hanya bisa meratapi nasib, karena ketika kanak-kanak, selalu disakiti sang Ayah.


Lalu, bagaimana televisi melakukan kekerasan terhadap anak? Apakah televisi juga merakit Litlle Bomb untuk anak-anak? Memang tak ada kekerasan fisik, tetapi TV jelas-jelas telah menyiksa "memori" dan "alam pikiran" anak-anak kita. Tayangan televisi kini nyaris hadir tanpa batas, dan tak lagi menghargai waktu serta ruang bermain anak-anak.


Televisi, seperti kata Neil Postman, dalam buku "The Disappearance of Childhood" (Lenyapnya Masa Kanak-Kanak), menulis bahwa sejak tahun 1950, televisi di Amerika telah menyiarkan program-program yang seragam dan anak-anak, sama seperti anggota masyarakat lainnya, menjadi korban gelombang visual yang ditunjukkan televisi. Dengan kata lain, televisi melakukan kekerasan karana "memaksa" anak-anak untuk sama dengan orang dewasa, baik dalam mode pakaian, hobi, lagu dan musik, film, makanan, atau bahkan gaya hidup. Perbedaan dan jarak antara anak-anak dan dewasa seperti dipangkas habis oleh televisi. Olehnya, jangan herna kalau anak-anak kita begitu fasik melantunkan syari-syair dari ST12, seraya tak pernah tahu lagu-lagu Ibu Soed. Begitulah...

Mabuk Citra, Ulah Politisi Kita


Hanya dua hal yang tidak bisa disembunyikan dalam hidup kita: "mabuk" dan "cinta". Jauh lebih parah bila hal itu datang bersamaan: mabuk cinta! Tak perlu penjelasan akan hal ini. Justru yang menarik adalah telaah terhadap perilaku "mabuk citra" yang menjangkiti para politisi.


Dalam politik, petuah sarkastik itupun berlaku. Hanya dua hal dalam politik yang tak boleh disembunyikan: "kebaikan" dan "kesantunan". Ketika politisi terserang mabuk citra, maka ia sedang getol memainkan kebaikan dan kesantunan berpolitik.


Baca pelan-pelan saja. Di saat berbuat baik, politisi sejati pasti akan mengundang koleganya dari media massa. Kalau perlu, disertai Konferensi Pers dan senarai puja-puji dari orang-orang terkenal. Pastikan bersok pagi koran-koran mewartakan tentang aksi "amal sholeh" si politisi sejati itu. Ini tentu berbalik punggung dengan "perbuatan baik" sejati dalam petuah agama (amal sholeh sebisa mungkin harus disembunyikan, jika tak ingin jatuh dalam amal riya, pamer diri). Jangan beramal tanpa sorotan televisi!!! Begitulah kiat politisi sejati.


Satu lagi yang tak boleh disembunyikan dari politisi sejati, tentang kesantunan. Belajarlah ke pihak yang tepat: para diplomat. Mereka ----para duta negara yang pekerjaan rutinnya antara lain makan-makan itu--- adalah Mahaguru yang sangat terlatih bermuka santun. Bahkan ketika cegukan sekalipun, mereka sanggup berkelit (sembari melempar seulas senyum di balik bibir gelas sampanye). Hanya diplomat yang bisa terbahak-bahak sembari merapikan dasi di leher ---atas guyonan yang pedas dan tak lucu.


Dua pokok itu yang menjadi sentral dalam teknologi politik pencitraan. Berhamburanlah, kini, paket-paket kampanye publik yang bernada amal shaleh. Teknik popular action ini sudah terbilang luar biasa. Ke luar dari pakem yang sesungguhnya, bahwa politik pencitraan berbasis pada sekumpulan fakta-fakta, gagasan, dan ideologi para politisi, yang ingin disebar agar dikenali dan dipahami orang banyak. Hari ini kita lihat: politik pencitraan berbasis pada perkara yang dibuat-buat. Hingga itu, di awal kompetisi Pilpres 2009, terdapat seorang tokoh yang memakan nasi aking (tetapi terlihat sangat terpaksa dan tak tulus, hingga menimbulkan antipati publik).



Operasi pencitraan ke luar dari rel, dan hanya berjalan karena gelimang uang. Fenomena ini yang melahirkan empat bentuk bencana dalam politik "kebaikan" dan politik "kesantunan" di Indonesia. Prahara itu adalah:


Bencana Politik
Pertama politik pencitraan dengan jualan "orang baik dan santun" menjadi ujung tombak dan mewujud sebagai satu-satunya pesan yang ingin disampaikan aktor politik tertentu. Ini jelas bencana. Sejatinya, politik pencitraan dengan jualan apapun adalah berada di tahap kedua dalam operasi komunikasi politik.


Masalahnya adalah kompetensi, kapabilitas, dan integritas untuk menjadi tokoh publik (pejabat, anggota DPR, Menteri atau bahkan Presiden), adalah perkara utama yang mesti hadir terlebih dahulu. Alur logikanya jelas: baik dan santun adalah persoalan personality, tidak mutlak hadir setiap waktu, dan pokok soal baik dan santun itu sangat relatif (baik dan santun versi Jawa, tentu beda dengan versi Manado).


Tetapi hukum inilah yang koyak, dicakar oleh politic imagology. Tokoh publik, terlihat buru-buru menyodorkan "rumus tebar pesona" sembari menyamarkan wilayah kemampuan, kompetensi serta integritasnya sebagai pemimpin. Ketika Gas Elpiji meletus, KPK loyo, isu Bank Century raib, dan harga Sembako melambung, malah dijawab dengan "bahasa baik dan santun". Walhasil kita tak pernah tahu apakah sang tokoh memiliki kompetensi untuk membereskan atau tidak.


Debu di bawah karpet

Kedua Meletakan superioritas "politik baik dan santun" menggiring tokoh untuk cenderung berhitung kepada respon dan bukan pada hasil. Padahal kita tahu, tata tertib kekuasaan mestinya berhitung pada hasil, berorientasi pada kemaslahatan publik, dan problem solving. Barangkali publik telah cukup lelah, atas tumpukan masalah yang "seperti menyimpan debu di bawah karpet". Dahaga publik yang haus akan penyelesaian masalah hanya terselesaikan sesaat, karena toh tak ada upaya penanganan tuntas. Bencana dari pola ini adalah menghasilkan apatisme publik. Lama-lama bergulir menjadi pembiaran, karena toh jawaban penguasa adalah politik pencitraan.


Mabuk Citra
Ketiga, dalam politik pencitraan dua pihak yang berinteraksi (penguasa dan yang dikuasai) bisa sama-sama jatuh dalam penilaian yang keliru. Dalam teknologi pencitraan, wilayah permainan berada dalam ruang persepsi, dan bukan realitas. Tentu saja persepsi tak harus benar atau tak mesti sungguh-sungguh terjadi. Ambil contoh soal kemiskinan. Kemiskinan akan dianggap tidak ada ketika tidak ada tragedi dan peristiwa-peristiwa yang meledak, dan persepsi publik akan berada pada asumsi aman. Padahal sesungguhnya, puluhan juta orang terjerat oleh tali kekang kemiskinan.


Tokoh Otentik
Keempat mabuk citra sama belaka dengan mabuk cinta, gampang terjangkiti imaji-imaji indah dan terbuai mimpi. Sang pemuda yang jatuh cinta gampang meniru kisah-kisah fiktif, dari film atau bahkan dari roman picisan. Inilah yang kita khawatirkan dalam blantika politik nusantara. Saat ini terjadi peniruan, duplikasi, dan bahkan modelling atau politik baik dan santun (versi pencitraan). Di mana-mana, politisi seolah tidak menghadirkan wajah kultural nusantara yang asli. Kita butuh karakter beraneka ragam, bukan tingkah laku yang dikemas. Hari ini, tak pernah jelas, mana politisi Jawa, mana politisi Ambon, dan mana politisi Sangir Talaud. Semuanya berlomba bermanis-manis muka.


Terakhir ini, ada tendensi bahwa tokoh tertentu menjadi role model, seraya mengakumulasi kekuasaan yang dipegangnya sebagai bagian dari instrumen pencitraan ---yang menguntungkan hanya dirinya sendiri. Menjadi role model, karena ia menjadi bayang-bayang dari berbagai kekuatan atau tokoh-tokoh alternatif. Nyaris menjadi kredo, bahwa jika ingin sukses, harus mirip dengan tingkah laku dan personality Sang Tokoh Utama. Kita kehilangan politisi yang otentik. Bahkan tokoh muda dan dianggap "inspiring" sekelas Anas Urbaningrum sekalipun, menjura hormat dalam role model yang dimainkannya.


Sungguh bencana politik yang tak patut kita tunggu. Indonesia sebelumnya tak mengenal politik duplikasi seperti ini. Tidak Bung Karno, tidak Bung Hatta, tidak juga Bung Sjahrir atau Tan Malaka. Mereka berkibar dengan jati diri yang otentik. Bahkan Jenderal Soeharto sekalipun, tak pernah dijadikan role model oleh siapapun ----kecuali karena ketakutan. Hari ini, Sang Tokoh Pencitraan menjadi blue print oleh politisi dan para konsultannya. Wallahu'alam bishawab.