Selasa, Agustus 31, 2010

DPR RI, Need A New (Character) Building?



Sewaktu menjadi Staf Ahli DPR RI untuk salah seorang selebritis, saya punya pengalaman lucu. Adik kandung sang seleb (Fraksi Demokrat), yang baru tiba dari belanda, datang ke kantor rakyat di Senayan itu. Lalu berkata: “Oh, ini ya… Gunung Rakyat?”

Sontak kami terpingkal. Lantaran lidah Belandanya salah ucap: yang maksudnya “gedung” malah disebut “gunung”. Namun belakangan, agaknya ujaran itu ada benarnya juga. Lebih-lebih bila mengingat betapa DPR telah menjelma menjadi gunung(an) masalah di republik ini. Sebagaimana lazimnya gunung, juga sulit dijangkau, dan hanya indah terlihat dari jauh.

Akses ke “gunung” DPR bukan dipermudah malah dipersulit —dengan proyek kartu khusus dan pengamanan berlipat. Gunung DPR juga hanya bagus sebagai sebuah pemandangan, persisi di tengah lanskap kota, dengan hutan kecil nan hijau. Tetapi, juga sebagaimana isi dalam perut gunung, di dalamnya “bergolak lahar berapi”.

Perkara terhangat adalah proposal pembangunan Gedung Baru DPR RI, yang menyerap anggaran triliunan rupiah, dan akan diselesaikan dalam kurun tiga tahun. Usulan ini sekali lagi menyembulkan masalah laten DPR RI, ketiadaan sense of urgency dan miskin sense of priority

Jelas-jelas yang dibutuhkan adalah pembangunan karakter, atau character building, tetapi proposal pengajuan justru adalah pembangunan gedung baru (a new building). Senyata-nyatanya diakui semua pihak, termasuk internal dewan sendiri, tentang perilaku malas, tidak produktif, rajin mangkir sidang, dan rupa-rupa bau tak sedap lain, inilah problem prioritas di kantor senayan itu. Bila diperas jadi satu, maka sumber penyakitnya adalah karakter atau mental. Mentalitas tak bertanggung jawab. Mengingkari amanat politik publik.

Proposal Gedung Baru itupun tidak valid dari aspek argumentasi teknis. Bahwa sarana yang tersedia saat ini, yaitu Gedung Nuantara Satu sudah overload (melebihi kapasitas). Rujukan informasi bahwa diasumsikan ada 2500 penghuni di sana adalah lemah dari sisi pembuktian. Karena yang terjadi adalah lalu lintas dan mobilitas di Gedung DPR begitu cepat. Konsentrasi para penghuni kerap tersebar-sebar, bergerak ke segala pojok ruang dan bangunan yang tersedia —-di luar gedung Nusantara Satu, ada juga gedung yang lain.

Siapa lagi yang bisa menjaga rahasia bahwa Anggota Dewan jarang naik ke Gedung Nusantara Satu? Hingga lahir guyonan pedas tentang Anggota yang bertanya ke Security DPR: Mas, ruangan saya nomor berapa, ya?

Basis rasionalitas tentang “antisipasi” lonjakan penghuni DPR ke depan nanti juga masih perlu diratakan dengan nalar sehat. Pihak pro pembangunan gedung baru senantiasa mengulang alasan sama, bahwa kelak akan ada penambahan lima orang staf ahli, olehnya butuh penambahan ruangan yang lebih luas.

Bila tak cermat, rasionalisasi seperti ini termasuk saru (alias terlihat agak kabur). Karena bisa jadi benar, bisa juga keliru.

Alasan ini bisa menjadi benar andaikata “segala yang tersedia” hari ini sudah berfungsi optimal.

Mengapa harus ada usulan penambahan lima orang staf ahli? Mengapa bukan perpustakaan yang lebih dilengkapi? Ini adalah kontradiksi hebat yang mestinya dilacak.

Sekarang ini, terjadi ironi Staf Ahli. Mereka lebih berposisi sebagai asisten, pembawa tas dan dokumen, pengawal pribadi, atau malahan menjadi kurir. Tak ada lagi asasement atau pengujian, tak ada evaluasi, dan tak ada standar keahlian untuk para Staf Ahli. Jangan tak percaya, saya punya kawan seorang Staf Ahli yang tak bisa mengoperasikan komputer, dan tidak bisa mengetik… Jumlahnya bukan satu, tapi dua orang.

Rekrutmen Staf Ahli berlangsung kacau. Dan anggota Dewan hanya menikmati “dampak ekonomisnya” saja. Karena negara harus membayar mereka per bulan 7 jutaan (uang ini bisa masuk ke tangan anggota, dan dibayar sisanya ke staf ahli yang asal rekrut, bisa sanak saudara, atau tetangga).

Sudah pasti, fakta-fakta ini akan menggiring pada asumsi tunggal, bahwa pembangunan Gedung Baru DPR lebih bermakna proyek materialistik, tinimbang perbaikan mutu DPR secara holistik.

Sebagai catatan pamungkas, saya yang berpengalaman “beredar” di DPR dalam hitungan tiga tahun terakhir, sungguh tertegun, ketika menyimak alasan lain untuk pengadaan gedung baru, yaitu masalah “penambahan ruang” Anggota Dewan, agar lega ketika menerima tamu/ aspirasi daerah.

Faktanya: bukan perkara mudah untuk lolos dan menemui anggota DPR. Rakyat yang benar-benar butuh, harus melalui prosedur berlapis-lapis untuk naik ke atas. Komunitas DPR, senyatanya, hanya ramah untuk kelas tertentu saja. Sesungguhnya, jarang sekali aspirasi dan dialog publik berlangsung di ruang-ruang anggota, kecuali di ruang rapat. Begitulah….

Senin, Agustus 30, 2010

Bung Sjahrir Yang Sunyi dan Penuh Tragedi



Buku baru tentang Soetan Sjahrir ini layak menggedor kembali memori publik tentang perebutan kemerdekaan yang begitu penuh prahara. Namun di luar penceritaan seumumnya, yang mengibarkan pergolakan mengharu biru, serta heroisme para pemuda, buku ini justru masuk dengan plot berbeda. Bahwa sejatinya, Revolusi Indonesia adalah penuh warna. Tak selalu ramai, melainkan bisa sunyi —-yang dilakoni oleh orang-orang yang kesepian, salah satunya adalah Soetan Sjahrir.

Berhentilah dengan bayang-bayang “sinematografik” bahwa kemerdekaan Indonesia melulu dengan darah, mesiu dan bambu runcing. Kita menganggap faktual, tentang Bung Tomo, Tan Malaka, Soedirman, atau tokoh-tokoh lain yang meletupkan perlawanan gigih mengusir penjajah. Tetapi, itu bukan satu-satunya pola. Jiwa revolusioner dan anti kolonialisme juga bergerak dengan polaritas yang banyak. Ada pihak yang tekun berpikir. Giat berdiplomasi. Menjaga teguh moralitas. Dan prihatin terhadap mentalitas “budak” yang mengidap anak bangsa secara parah.

Buku ini penting untuk menyelamatkan memori terbatas bangsa ini. Bahwa jangan sampai Revolusi Kemerdekaan jatuh sebagai mitos, legenda, dan hanya layak menjadi latar film-film perang (yang menguarkan asap mesiu, letupan bedil, atau bambu runcing).

Seorang Sjahrir, pejuang, dipolomat, pemikir, dan entah apalagi sebutan yang layak ia sandang (oh, ya, iya juga oleh kolega dekatnya biasa disebut Bung Kecil), adalah tokoh yang merebut panggung pergolakan kemerdekaan dengan cara berbeda. Si Bung Kecil yang berwajah simpatik, cerdas, dan humoris ini tentu tidak mengasah pedang atau mengukir bambu runcing untuk ditusukkan ke ulu hati penjajah Belanda. Ia bergerak dengan caranya sendiri. Bahwa revolusi tidak selalu rusuh. Tetapi bisa dengan tertib dan teratur. Kepada salah seorang rekannya, ia mengatakan: “Revolusi tidak mungkin diadakan sembarang waktu menurut kehendak nafsu si pemimpin yang gila berontak. Kalau memang mau berhasil, perjuangan harus tertib dan teratur (halaman xxv, Kata Pengantar oleh Subadio Sastropratomo).

Tentu saja ini adalah pilihan berat dan pahit, olehnya selalu berlangsung sunyi sendiri. Dalam sejarah, selalu ada tipe seperti ini. Seperti M.T. Kahin membuat tipologi solidarity maker (tokoh yang mampu menggalang emosi massa, seperti Bung Karno), dan tipe administratif maker (seperti Sjahrir dan Bung Hatta). Sjahrir agaknya tipe administratif maker ini, yaitu bergerak secara rasional dan terukur. Sekali lagi ini adalah pilihan pahit, dan dibenci oleh “kaoem republiken” lainnya. Karena tidak sepadan dengan jiwa zaman (zeitgeist) massa itu, yang bergolak dan emosional. Prinisip rasional ala Sjahrir sudah pasti juga tidak merakyat.

Namu berbeda dengan Mohammad Hatta, meski sama-sama pemikir, Sjahrir terlalu banyak musuh politik. Ia bukan hanya dibenci oleh misalnya PKI (yang tiga kali mengguntingnya), tetapi juga oleh Bung Karno dan kalangan muslim sekaligus. Majalah TEMPO Edisi Khusus 17 Agustus lalu seolah meneguhkan kebencian beberapa pihak kepada Soetan Sjahrir, diantaranya adalah para pemberontak DI/TII pimpinan Marjan Kartosoewiryo, yang menolak isi Perjanjian Renville versi Sjahrir. Lengkapnya, terpapar di halaman 189 dari buku ini.

“Sjahrir sangat dibenci oleh orang orang Komunis dalam PI (Perstoean Indonesia), yaitu Rustam Effendi, Setiadjid, dan Abdul Madjid. Hal ini berulang di kemudian hari, ketika ia menjadi Perdana Menteri, dan juga di awal pergolakan 65, ketika PKI mendorong Soekarno untuk membubarkan PSI (Partai Sosialis Indonesia). Selain itu, Sjahrir adalah orang yang berkali-kali mengalami bentrok dan keributan langsung dengan Bung Karno, oleh sebab itu wajar, Bung Karno juga membenci Sjahrir (halaman 63). Menurut Bung Karno, Sjahrir adalah orang yang tidak setia. Pernyataan ini dikeluarkan Bung Karno gara-gara Sjahrir pulang sendiri tanpa melepor ke Bung Karno, ketika ia menghadap utusan dari Belanda.”

Lalu apakah sikapnya itu kontra produktif? Tunggu dulu. Bagi siapapun yang mempelajari dengan detil bagaimana perundingan Meja Bundar dimenangkan, bagaimana Diplomasi Beras antara India dan Indonesia berlangsung, dan dua hal itu menyelamatkan muka republik di kalangan dunia internasional, pasti akan bersyukur dengan peran Sjahrir. Lagipula, tokoh ini tak kurang-kurang radikal. Sesuai dengan akar kata radikal, yaitu radix, tuntas hingga ke akar-akarnya, maka Sjahrir adalah radikal dengan prinsip, bahwa tak ada kata kerjasama dengan para kolonialis. Mohon dicatat, dari sekian banyak pejuang nasional waktu itu, Sjahrir adalah salah satu orang yang paling dicari Tentara Dai Nippon Jepang, karena menolak bekerjasama.

Barangkali konsistensi Sjahrir adalah berurat berakar dari pembacaannya atas watak Bangsa ini. Di tengah kentalnya kultur feodalis, karakter yang remuk karena penjajahan, maka tak boleh revolusi jatuh ke tangan orang-orang gila kuasa. Tokoh ini menolak jalan coup d’ etat, menggunting jalan sejarah dengan lumuran darah. Sjahrir sepertinya hendak memberikan pendidikan politik kepada bangsa ini. Untuk melewati pergolakan dengan sabar, sistematis, dan “proyek jangka panjang”. Kosa kata inilah, “proyek jangka panjang”, yang tidak cocok dengan tabiat Bung Karno, Tan Malaka, serta beberapa pejuang nasional lainnya.

Jalan sunyi inilah yang kemudian membuatnya terpuruk. Ia jatuh sebagai pesakitan. Dipenjara oleh kumpeni Belanda, diburu Jepang, diteror PKI, dan dipenjarakan oleh Bung Karno. Ia bahkan menghembuskan nafas terakhir jauh dari negeri yang dicintainya, yaitu di Swiss.

Sungguh tragedi, yang melampaui kredo “revolusi memakan anak sendiri”. Sjahrir bukan saja dimakan oleh kemaruk politik sesama anak bangsa. Tetapi sekaligus begitu terbatas apresiasi dan pengenalan anak bangsa sesudahnya. Anak-anak muda sekarang bahkan mungkin harus terbata-bata mengeja nama Sjahrir, berbeda bila mereka menyebut tokoh-tokoh lain.

Takdir menjadi kesepian ini sesungguhnya berbeda dengan tabiat sejati Sjahrir. Manusia besar ini justru tak tahan dalam kesepian. Pengakuan Bung Hatta, yang selama sepuluh tahun menjadi tokoh buangan di Boven Digoel, Banda Neira, dan Soekaboemi, bisa bercerita banyak. Menurut Bung Hatta, selama dipembuangan, Sjahrir mengangkat anak, masing-masing Ali, Lili dan Mimi, sebagai teman mainnya. Selama di pengasingan itupun, ia akrab bergaul dengan anak-anak muda, hingga sempat membuat koperasi dan Klub Sepakbola. Demi mengisi waktu kosong, Sjahrir rela memasak, menjahit baju, dan mengajari anak-anak itu berbagai mata pelajaran (halaman 179).

Catatan penting dari buku ini adalah (sekali lagi) pengingatan bahwa perjuangan dan proyek politik tak harus “grasa-grusu”. Bukan apa-apa, bila segala dobrakan politik bermain satu kali pukul, terlalu banyak orang oportunis yang terlibat. Seperti dalam Revolusi 45, seperti yang ditulis Y.B. Mangoenwijaya, adalah hiruk pikuk penculikan, intrik, intimidasi, pencurian dan penggarongan. Tidak semua adalah pahlawan, karena banyak pula pecundang. Terakhir, buku ini ditulis dari kumpulan catatan sejumlah tokoh, yang terlibat langsung, berinteraksi, atau menjadi anak didik Sjahrir. Dengan kata lain, diantara buku sejenis, inilah buku tentang Sjahrir yang otoritatif.

Informasi Detil Buku:

Judul : Mengenang Sjahrir, Seorang Negarawan, Tokoh Pejuang
Kemerdekaan, yang Tersisih dan Terlupakan
Editor : Rosihan Anwar
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : 2010
Tebal : xlv + 469 halaman

Sabtu, Agustus 28, 2010

SBY, Saatnya Pindah Quadran, Menjadi Presiden Efektif



Jika diibaratkan pengemudi, maka Presiden SBY adalah sopir yang beruntung. Ia berada di jalan lempang yang begitu mulus, karena struktur konstitusi menjamin masa jabatannya hingga tuntas, tak bisa distop sembarangan hingga berakhir nanti (2014).

Pun dengan kelengkapan untuk “tancap gas”, sangat lengkap bin mumpuni. Ia berhak menunjuk para pembantu (para menteri) untuk ikut dalam mengemudikan “perjalanan bangsa”.

Seorang “kenek” pendamping supir utama, sebagai “ban serep”, juga selalu siap menemani atau sesekali mengganti tugas-tugasnya, yaitu seorang wakil presiden. Lagipula, bukankah SBY mengantongi SIM yang begitu sahih, yaitu dukungan mayoritas rakyat Indonesia ---dalam Pilpres 2009 lalu. Satu lagi keberuntungan SBY, yaitu punya “kendaraan politik” begitu kuat, bernama Partai Demokrat. Sekali lagi, jika seorang presiden adalah pengemudi tunggal kendaraan Republik Indonesia, maka SBY adalah supir yang beruntung.

Analogi ini tentu tak main-main. Mari berhitung. Setidaknya dirunut dari Habibie, Gus Dur, dan Megawati, ia naik podium kepresidenan dalam konteks politik yang jauh lebih stabil (dibanding era sebelumnya). Ketika ia unggul dalam Pilpres langsung, maka struktur konstitusi kita sudah selesai diamandemen, dan terjadi purifikasi (perbaikan) atas berbagai kelemahan sistem presidensialisme. Kelemahan presidensialisme, yaitu masalah legitimasi politik, ia peroleh mutlak ---karena dipilih langsung oleh jutaan penduduk. Begitu juga hak, kewenangan, sudah selesai diatur Undang-Undang Dasar. Berkah lain, dari amandemen konstitusi yang memperkuat posisi presiden, adalah posisi kelembagaan presiden, beserta wakil presiden, serta para menteri-menterinya. Satu hal terpenting, ada pemisahan kekuasaan (separation of power) yang tegas, antara Presiden dengan Legislatif. SBY pula, yang ketika naik, berposisi sebagai chief of executive, sebagai kepala Negara sekaligus kepala pemerintahan.

Tegas-tegas bahwa akumulasi kekuasaan berada di tangannya. Tentu, jika saja mau, ia berhak mengelola kekuasaan kepresiden secara tegas dan efektif. Pilihan ada di tangannya, menggunakan cara-cara hard power, soft power, atau malah kompromistis ---dan tersandera oleh Partai Politik. Satu saja yang harus dihindarinya, yaitu menabrak rambu-rambu konstitusi.
Lalu kita melihat dengan miris. Sang sopir terlalu sering mengerem, atau bahkan memarkir kekuasaannya, untuk terlalu sering “menjamu” kehausan politik dari para rival.

Presiden SBY tersandera oleh jebakan Presidensialisme Reduktif, alias system presidensialisme yang lemah.

Memang galib saja, seorang Presiden seperti SBY mengahadapi rupa-rupa turbulensi atawa goncangan politik, seperti saat ini yang berhembus menderu-deru. Beragam serangan, isu, fitnah, kritik, dan serangan datang berhamburan. Sumber petaka politik bisa datang dari segala pojok, mulai dari politisi parpol, koalisi parlemen, LSM, demonstrasi publik, hingga ancaman pembangkangan massa dan aksi-aksi terorisme.

Tetapi seorang SBY juga memiliki perangkat yang memungkinkan ia berlindung, seraya tetap menjalankan roda pemerintahan secara efektif. Asal saja, seluruh agenda dan program pemerintahannya pro rakyat, rasanya jauh jika dirinya harus terjungkal.

Namun justru fenomena “low presidentialisme” yang mengemuka.

SBY cenderung terlampau lunak, ragu, kompromistis, lalu sibuk dibalik pembedahan operasi pencitraan.

Posisi yang berlawan-lawanan, antara struktur konstitusi presidensialisme dengan struktur politik kita yang multipartai, selalu menjadi sumber tudingan atas sikap SBY yang peragu. Para pembela SBY berkilah bahwa sumber instabilitas dan gangguan datang dari pihak eksternal (politisi parpol, koalisi yang tidak patuh, loyalitas ganda para menteri, dan celah politik lain yang dimanfaatkan untuk menyerang presiden). Pertanyaannya: bila memang semua hal itu adalah niscaya hadir, mengapa tidak dilawan?


Kurang lebih, buku ini menyediakan jawaban atas peluang SBY untuk pindah quadran, dari jebakan presidensialisme lemah (reduktif) menjadi presidensialisme efektif (catatan, semuanya harus berporos kepada kepentingan anak bangsa, bukan klan atau kelompok).

Menurut buku ini (halaman 273), SBY bisa memperkuat posisinya dengan cara: (1) melarang menteri rangkap jabatan, agar mereka membuat sikap “loyalitas ganda” atau “bermain di dua kaki”. Menteri harus loyal terhadap presiden, bukan kepada partai tempat asalnya. Ini penting, agar program pemerintah jalan bergegas dan mengena. Lalu (2) Memaksimalkan segala kewenangan dan veto yang dimilikinya. (3) Melembagakan kewenangan posisi wakil presiden. Rumusan ini berpusar pada energi kuasa presiden secara internal, artinya berpusar pada lingkungan kepresidenan.

Lantas, seputar gangguan politik dari luar, SBY juga berpeluang untuk meredam perkara menjengkelkan itu. Menurut buku ini, yang ditulis oleh seorang cendekiawan muda Alumni UGM, yaitu Hanta Yudha AR, adalah dengan memunculkan strong presidentialisme, presidensialisme yang kuat. Bagaimana?

Tak lain secara konseptual, adalah mensinergikan presidensialisme yang kokoh (dan sudah dijamin oleh konstitusi), dengan struktur politik di parlemen, plus menerapkan personalitas atau gaya kepemimpinan yang kuat pula.

Satu-satunya masalah di luar dirinya adalah struktur politik kita yang multipartai. Namun, dalam perkembangan politik, bukankah sudah berangsur menjadi sederhana, tidak lagi seribet dulu? Kini sudah terjadi penyederhanaan fraksi di DPR. Peta kekuatan juga sudah jelas, yaitu partai oposisi (PDIP), dan partai pendukung (Demokrat dan “terkadang” partai lainnya). Secara struktur, relatif peta kekuatan tidak bermasalah. Justru menjadi bergelombang karena karakteristik presiden yang rapuh, kompromistis, dan over akomodatif. Hingga sebentar-sebenatar muncul hak angket, hak interpelasi, dan gangguan dari DPR. Padahal, ujung-ujungnya adalah berbagai kekuasaan.

Output dari lanskap politik sedemikian, justru menyandera SBY untuk mampu menggolkan program-program terbaiknya. Karena, tawar menawar politik, menjauhkan SBY dari dukungan kabinet (yaitu para menteri) yang memenuhi kaidah meritokrasi (professional) dan kehilangan sifat zaken cabinet (cabinet yang kompeten), seperti terpapar di buku ini pada halaman 53. Contoh telanjang adalah tragedi terusirnya Sri Mulyani dari bangku kabinet, hanya gara-gara tukar guling kasus politik.

Buku secara sistematis dan lengkap menjadi bacaan yang bagus untuk menguliti sikap gamang presiden. Buku ini adalah karya skripsi penulisnya di Kampus UGM. Akan tetapi, sangat kaya contoh, konsep teoritis, dan pemaparan yang detil. Ditambah lagi dengan dua kata pengantar, masing-masing dari Amien Rais dan Anis Baswedan.

Amien Rais, dalam kata pengantar buku ini (halaman xxii), memberikan ilustrasi menarik, tentang sikap Abraham Lincoln, Presiden AS, yang merangkul lawan-lawan politiknya untuk duduk di kabinet, dengan satu syarat: mereka harus setia, bekerja untuk kepentingan rakyat banyak, bila melenceng, langsung dipecat! Lalu bagaimana dengan keributan Kongres (atau DPR RI, jika di Indonesia). Mudah saja: kalau bagus diikuti, kalau buruk tinggalkan. Bilakah kita melihat SBY seperti Lincoln?

Selasa, Agustus 24, 2010

Tentang Anak Saya Melawan Isu Penculikan



Ini senyatanya pengalaman pribadi, tentang saya, anak saya, isteri dan lingkungan tetangga. Dua minggu sebelum dua orang tak berdosa dibakar hidup-hidup, hanya belasan kilometer dari tempat tinggal saya, yaitu di Kecamatan Kresek (tetangga Balaraja) Kabupaten Tangerang, beredar sejumlah SMS iseng, tentang penculikan anak.

Tak ada yang bermanfaat dengan SMS iseng itu. Bahkan celaka. Isinya terlampau provokatif. Menebarkan horor tentang anak-anak yang hilang, yang diculik, lantas ditemukan dengan bola mata dicungkil, jantung terogoh, dan ginjal yang hilang. SMS beredar dari nomor ke nomor, dari orang ke orang, dari pribadi ke pribadi. Lalu mengular dengan berbagai versi (mesti inti pesannya adalah penculikan anak). Ada yang mengatasnamakan Kepala Desa, mencatut nama Kapolres, dan bahkan hebatnya mengutip peringatan dari Malaysia (tentang orderan rumah sakit di sana yang butuh organ tubuh anak-anak dari Indonesia).

Persis dua minggu saja untuk kemudian lahir horor nyata!

Sebelum peristiwa pembakaran manusia tak berdosa di Desa Tamiang, Kecamatan Kresek, Kabupaten Tangerang, Banten, terjadi dua peristiwa yang mestinya menjadi peringatan semua pihak untuk bersiaga. Bukan dengan menyiapkan golok atau bensin, melainkan membangunkan akal sehat.

Sebuah mobil AVP Hitam, dengan pelat nomor sekian-sekian dibakar masa di Kecamatan Jayanti, juga masih di Tangerang. Konon itu adalah mobil para penculik. Lalu, beberapa hari berikutnya, warga Kecamatan Balaraja yang heboh —karena menemukan mobil sejenis yang diparkir di tempat gelap. Lagi-lagi, konon itu adalah mobil para penculik. Hasilnya: orang-orang yang memiliki APV hitam di Balaraja dan sekitarnya benar-benar ketakutan. Mereka tak berani menggunakan mobil itu, karena takut diamuk massa.

Dua peristiwa itu mestinya menggiring akal sehat masyarakat Tangerang bangkit. Lalu disertai ikhtiar untuk melacak kebenaran isu keji yang sudah berusia dua minggu. Saya sendiri, langsung mengecek ke sebuah Desa, yaitu Desa Saga, Balaraja, tempat sumber isu tentang temuan APV hitam yang akan menculik anak-anak. Ternyata adalah lelucon. Mobil itu adalah milik orang yang akan berziarah. Lantas isu tentang anak-anak yang akan diculik tak lain adalah kekonyolan khas anak-anak. Mereka malam itu main petak umpet, lalu salah satu anak menangis karena dikerjai kawan-kawannya. Lantas anak itu pulang sendiri. Entah bagaimana ceritanya, lalu beredar isu bahwa anak itu menangis karena berhasil lolos dari sasaran penculikan. Gila…

Tentang SMS itu, jika dinalar dengan kritis sebenarnya tak perlu menjadi horor dan menelan korban begitu banyak. Tetapi yang mengherankan, tetangga saya, lingkungan saya, dan hampir semua orang yang saya tanyai di Balaraja dan sekitarnya bersikap sama. Mereka seolah menikmati isu penculikan itu. Seraya tak lupa menambah-nambahkan beragam versi. Tak pernah ada keinginan melakukan verifikasi dan pembuktian.

Satu peristiwa adalah begini. Saat menunggu buka puasa, kawan saya menerima sms tentang penculikan di desa sebelah. Sumber sms adalah kawannya yang sedang berada di pabrik. Anehnya, kawan itu percaya total. Padahal, bagaimana mungkin pesan itu bisa dipercaya, sebab sumbernya adalah kawannya yang tak ada dilokasi tempat isu penculikan itu dilakukan, melainkan sedang bekerja di pabrik. Lebih mencengangkan, lokasi isu penculikan adalah sangat dekat dengan lokasi kami berada. Jadi, bukannya ia segera pergi mengecek, malah lebih percaya isu dari kawannya. Saya hanya bisa geleng-geleng kepala.

Bagaimana tanggapan isteri saya dan anak saya yang sekolah di TK?

Ketika rantai isu bergulir, saya tengah menikmati kebanggan terhadap anak sulung saya, yang sekolah di TK. Ia hampir setiap saat bernyanyi dengan riang. Lagunya begini: Helikopter jalannya muter-muter, anak pinter sekolah tak dianter…

Mengapa saya bangga? Anak saya adalah satu-satunya yang berani pulang dari sekolah sendiri, tanpa diantar! Ia diantar Ibunya hanya ketika berangkat. Apa yang dilakukan anak saya seperti melawan “kehobohan” di lingkungan kami tinggal. Tiba-tiba saja anak-anak SD sekalipun ditunggu orang tua atau saudara mereka —gara-gara isu penculikan itu. Semua nampak panik dan khawatir. Tetapi saya tidak. Karena memang tak ada yang perlu dikhawatirkan. Tak ada juga yang diuntungkan, kecuali beberapa tetangga yang berprofesi sebagai tukang ojek (mereka kebanjiran order antar jemput!).

Lalu sempat pula isteri disergap rasa khawatir. Tetapi saya bilang, jangan sampai menakut-nakuti anak saya. Biarkan ia pulang sendiri. Kalau tetap mau jemput, jemput saja tapi jangan gabung dengan “para Ibu lain disekolah”. Ambil saja posisi yang agak jauh. Yang penting, anak saya tetap bisa konsisten dengan keriangan yang ia nikmati, bahwa ia adalah “anak pinter karena sekolah tak dianter!”

Alhamdulillah, isteri nurut. Ia “terpaksa” menjemput, tetapi tidak di gerbang sekolah, melainkan agak jauh (yang penting bisa mengawasi). Ini adalah kompromi adil, saya pikir. Artinya, isteri tetap bisa melepas nalurinya untuk melindungi, dan anak saya tetap terjaga kebanggaannya (dengan lagu helikopter muter-muternya itu).

Mengapa saya se-ekstrim itu, dan seperti sama sekali tak khawatir?

Begini, sesungguhnya kecut juga. Karena ketika meriset di internet dan membaca buku yang ada di DPR (sebuah jurnal tepatnya, tentang perdagangan anak, atau Child Traficking), memang ada poin yang menyebut bahwa modus penculikan anak adalah untuk diperdagangkan. Misalnya untuk dieksploitasi sebagai tenaga kerja murah, untuk dijadikan “hamba prostitusi”, dan juga untuk jual beli organ tubuh. Betul ada poin yang sama dengan teror SMS penculikan di Tangerang, yaitu anak-anak diculik untuk diambil organ tubuhnya.

Tetapi, saya membaca dengan cermat. Bahwa prosentasenya sangat kecil. Tak disebut-sebut pula bahwa Tangerang adalah simpul perdagangan. Melainkan lokasi yang sering dijadikan pasar penculikan adalah daerah-daerah perbatasan, di Kalimantan atau Sumatera. Lalu ada juga informasi persi KOMNAS ANAK, tetapi hanya berita tentang adanya laporan penculikan anak. Mereka sendiri belum melakukan verifikasi lapangan.

Selain meriset informasi, saya juga langsung melacak kebenaran isu ke sumber-sumber otoritatif, yaitu kepolisian. Berhubung sering ada SMS yang mengatasnamakan Kapolres, ya, saya tanya ke “anak buah Kapolres”, yang kebetulan kawan bermain saya kalau menunggu sahur (main PS 2, Winning Eleven). Ternyata, itu hanya isapan jempol. Belum ada bukti. Sama belaka dengan isu yang mengatasnamakan Kepala Desa, saat ditanya, tak ada yang mengaku.

Apa makna semua ini?

Peredaran isu culik anak ini adalah di Bulan Suci, di saat perintah bersabar dan menahan diri menjadi pokok utama. Tapi seolah tak ada sisa apapun yang tertinggal di masyarakat Tangerang. Mereka seolah termakan oleh fantasi yang diproduksi sendiri. Sumber SMS adalah dari mereka juga, lalu diolah, diedarkan, digosipkan, dan tiba-tiba menjadi horor yang diciptakan sendiri.

Tanpa dosa, penerima sms menambahi cerita tambahan, lalu dikirim lagi ke orang lain. Begitu seterusnya. Mereka seperti mengingkari pesan Rosululloh untuk melakukan proses Tabayun, yaitu periksa dan cek kebenaran sebuah informasi.

Satu lagi yang saya amati. Semoga tak terjadi di tempat lain. Masyarakat Tangerang seperti membutuhkan sarana untuk menguar-uarkan “naluri” bergosip. Mereka sadar dan tahu bahwa itu bohong. Tetapi digosok terus. Disertai dengan canda, tawa, dan adu pintar merekayasa cerita. Lantas hilang itikad untuk sedikit saja melakukan pengetesan. Misalnya seperti yang saya lakukan, melacak langsung ke sumber gosip. Bila begini, apa namanya jika bukan kegilaan terhadap isu? Atau kebodohan menyikapi isu? Saya semakin bangga dengan anak saya.

Rabu, Agustus 18, 2010

Hedonisme Politik Ruhut Sitompul


Salah satu pihak yang potensial menjadi korban politik pencitraan kelas tinggi adalah ini: para pelakunya sendiri. Jauh-jauhlah berharap bahwa Ruhut Sitompul adalah salah satu orang yang sadar akan ancaman ini. Mengingat tokoh pemeran Poltak ini hanya tahu satu hal: hedonisme politik!

Hedonisme adalah praktek bersenang-senang secara liar tanpa peduli nasib orang lain. Filsafat hedonisme tak kenal baik dan buruk, kecuali mencandu kepuasan sedalam-dalamnya. Sementara hedonisme politik adalah praktek menguras habis, memanfaatkan, memanipulasi, dan mencampakkan kepatutan, hanya demi mencapai ekstase (kesenangan) tanpa batas. Dan politisi Partai Demokrat yang kerap berulah minor ini secara sempurna menjadi politisi hedonis, baik dalam perilaku, gaya hidup, maupun kejahatan politik sekaligus.

Apa yang dilakukan Ruhut?

Ia menguras habis kebencian publik dan antipati terhadap arogansinya justru untuk kesenangan pribadi ---dan mungkin juga dinikmati beberapa kolega dekatnya.

Tokoh Poltak dalam tayangan Sinetron Teleivisi ini selalu sukses menghisap energi negatif masyarakat (rasa jengkel, muak, enek), untuk kemudian dipermain-mainkan sekehendak hati. Misalnya diarahkan untuk mengalihkan perhatian. Misalnya diarahkan untuk mengabaikan sesuatu yang jauh lebih penting dicerca atau dicaci publik. Tetapi yang paling keji, Ruhut menghisap energi negatif masyarakat untuk kemudian ia muntahkan ke lawan-lawan politiknya.

Tetapi jauh lebih menggilas nalar sehat kita adalah bahwa “tokoh” Ruhut ini kemudian menjadi peliharaan penguasa. Ia sungguh bermanfaat demi menyempurnakan agenda pencitraan para penguasa. Ruhut kerap menjadi “the trigger” ---pelatuk isu yang kemudian dibungkus dengan jawaban-jawaban plastis (sangat lentur dan plin-plan). Ruhut juga enjoy melakukan “test the water”, menguji suasana dan mood politik bangsa ini. Ruhut, terkadang juga berposisi sebagai “the ice breaker”, pemecah kebekuan politik yang kadang muncul.


Tak mungkin penguasa besar dan partai besar diam bila tak menangguk untung dari kadernya ini. Sekurangnya, mereka merasa perlu memiliki orang-orang seperti Ruhut. Terlebih poros politik bangsa ini lebih sering mengandalkan “okol” daripada “akal”.


Bagian awal artikel ini menyebut bahwa setiap orang berpeluang menjadi korban atas politik pencitraan yang dimainkan. Dalam tafsiran matematika politik, gaya Ruhut adalah surplus untuk (partai) pengausa. Tetapi dalam tafsiran rasionalitas politik, gaya Ruhut menyimpan sejumlah resiko.

Pertama, Ruhut berada dalam perahu besar yang selalu mulus melenggang. Mereka nyaris tak ada lawan seimbang. Ini menggiring pihak-pihak itu menjadi “gigantis”. Menjadi merasa besar, tambun, dan hilang kreativitas ---jangan tanya soal sensitivitas, partai besar ini bahkan tak pernah bicara soal teror tabung gas!

Kedua, Ruhut dan perahu besarnya (termasuk Pak Nahkoda yang selalu dicitrakan bijaksana), karena terlalu senang dengan rangkaian kemenangan, “digilai” jutaan fans, mereka menjadi narsis! Ingat, perilaku narsis bukan hanya senang dengan “kecantikan” diri sendiri, melainkan juga senang “menyakiti para pecintanya”. Sama persis dengan legenda Narcisus yang dikutuk oleh pemujanya ---yang bernama Echo. Konon, Dewi Echo yang mengejar-ngejar Narcisus menjadi dendam karena selalu diabaikan.


Dua penyakit ini, narsis dan gigantis, yang kelak akan dinikmati para penguasa dan partai penguasa yang terlanjur mabuk pencitraan. Mereka menjadi tak bisa melihat sebuah proses yang normal dan dinamik. Segalanya harus by setting dan by design. Lawan politik, kritik politik, dan musuh politik dipersilahkan hadir, asalkan melalui rekayasa pencitraan. Akhirnya, yang muncul adalah seolah-olah lawan politik, seolah-olah kritik politik, padahal semuanya semu.

Terakhir, perilaku Ruhut diam-diam mengirimkan pesan tentang segara matinya gagasan politik orisinal di negeri ini. Gagasan mengamandemen konstitusi, seperti disampaikannya, seharusnya bisa berlangsung wajar dan orisinal ---jika saja disampaikan oleh orang lain. Tetapi di tangan Ruhut, gagasan ini mati, karena orang terlanjur apriori. Publik terlanjur jengah. Gagasan Ruhut bukan orisinal, tidak cerdas, dan manipulatif. Inilah yang kemudian membuat banyak pihak meradang.

Semua yang diperlihatkan Ruhut dan para elit penguasa republik adalah hedonisme politik tanpa batas. Mereka bersenang-senang di atas kemarahan rakyat. Mereka tanpa henti mempermainkan opini, persepsi, dan memori public. Akal sehat dicampakkan. Tugas kita, tentu saja, menjaga agar rasio tetap jernih. Itu saja.

Selasa, Agustus 17, 2010

Amerikanisasi Politik Ala "Pak Beye dan Istananya"


Buku Pak Beye dan Istananya, karya Wisnu Nugroho, memangterasa khas dan unik. Khas sebagai sebuah laporan jurnalistik yang tak tertayang di media umum (mainstream), dan akhirnya muncul di blog (kompasiana). Khas karena menyembulkan sebuah temuan penting seputar istana, yang tak banyak diketahui awam.

Buku ini juga terbilang unik karena mengekspos pernak pernik dan "pritilan" sepele dari beragam hal, mulai dari mobil metromini masuk istana, air putih, hingga Pak Iwan yang bertugas membawa-bawa podium kepresidenan ke mana-mana (dari Jakarta, Banda, hingga Papua).

Ditulis mengalir tetapi kuat, penuh daya kejut dan daya gugah. Agaknya, bukan hanya masyarakat awam yang terhentak atas "berita ringan" tentang istana dalam sajian buku ini. Pun, bagi kalangan elit politik, tetap saja mengesankan. Tak kurang sejumlah politisi berkomentar, mulai dari Dino Patti Djalal, Ramadan Pohan, sampai Ibas (Edhie Yudhoyono). Mereka mengapresiasi baik buku ini. Tetapi hebatnya, tokoh yang tersengat secara langsung sekalipun, juga memberi pengakuan. Adalah Yenny Zarnubah Wahid, yang pernah ngantor bersama SBY, mengaku kena sentil juga. Ketika itu, Yenny mengikuti Pidato Pak Beye, yang salah satu poinnya adalah ajakan menggunakan produk dalam negeri. Persis ketika akan mengatakan hal itu, SBY terlihat badmood, karena orang-orang di depannya justru banyak yang menggunakan merek produk luar ---termasuk Yenny sendiri.

Panggung Belakang
Teramat banyak hal, setidaknya dalam 6 BAB dari buku ini, yang asyik ditelusur. Tetapi tidak banyak hal yang bisa digarisbawahi. Kecuali bahwa paparan dari buku ini menguatkan premis tentang perkasanya mesin politik pencitraan dari SBY –--dan anak buahnya.

Sejumlah cerita, misalnya tentang batik biru yang dikenakanSBY, baret Paspamres yang berganti warna menjadi biru, podium khusus yang selalu ke mana-mana, teleprompter transparan (sebuah alat yang menghadirkan teks untuk pidato SBY), hingga wawancara yang direkayasa, mencerminkan adanya sebuah "mindmap" yang seragam di lingkungan istana. "Mindmap" atau peta berpikir itu mengarah pada satu tujuan: citra sempurna! Pak SBY adalah orang yang perfeksionis ---serba sempurna, dan lagu kesukaannya adalah dari Andre and The Backbone, kau begitu sempurna....

Output dari strategi sedemikian juga terbilang sukses. Masyarakat awam seperti terhipnotis, oleh ketampanan, oleh ketenangan, oleh wibawa, oleh warna, dan oleh segala hal yang diekspos televisi. Sosok Pak Beye dibantu oleh para stafnya, akhirnya selalu tampil cool, calm and confidence.

Buku itu seperti memapar "panggung belakang" dari Political Showbiz seorang SBY. Panggung belakang ini adalah kerja keras orang-orang di sekitar SBY, baik kalangan elit politik, lingkaran dalam SBY, maupun orang-orang kecil yang terlibat (mulai dari penata ruangan, pembawa podium,petugas chek sound, tukang masak istana, hingga pawang hujan).

Kira-kira, terpikirkah anda bahwa sukses pencitraan SBY juga hasil jerih payah wong cilik seperti itu? Inilah hebatnya buku ini. Seperti pengakuan penulisnya, yang mengusung kredo "menjaga yang tidak penting agar tetap penting, dan yang penting tetap menjadi penting". Yang tidak penting itu adalah orang-orang seperti Pak Iwan ----petugas pembawa podium, agar tetap penting. Dan yang penting itu adalah SBY sendiri, agar terus dianggap penting.

Di sisi lain, bagi pengamat strategi pencitraan, maka fakta-fakta lugas seputar istana itu justru mengokohkan premis tentang kokohnya Amerikanisasi Politik di Indonesia. Melalui seorang agen besar yang sekaligus menjadi role model, yaitu Soesilo Bambang Yudhoyono.

Amerikanisasi Politik
Televisi dan lalu kemudian diikuti media massa lainnya, menjadi pemasok terpenting perang pencitraan dalam praktek Amerikanisasi Politik. Lalu diikuti oleh para electioneer para konsultan politik yang bekerja keras mengerek citra dan popularitas seorang tokoh. Di barisan yang sama, ada juga agensi periklanan. Dan yang tak kalah penting, serta harus senantiasa hadir, adalah "para bandar".

Begitulah bahasa gampangan untuk Amerikaniasi Politik. Dalam perincian ketat, Amerikanisasi Politik adalah proses duplikasi metode komunikasi politik dan kampanye publik yang sepenuhnya amerika (dengan "a" kecil). Proses ini, selain ditandai oleh kekuatan uang dan sindikasi media, juga melibas segala hal yang bernuansa alternatif. Yang terjadi adalah homogenisasi dan konvergensi. Lebih parah lagi, dalam Amerikanisasi Politik, substansi menjadi urusan yang kesekian. Buku Pak Beye dan Istananya ini, bila dibaca jeli, juga mengungkap kuatnya aroma Amerikanisasi Politik di lingkungan istana.

Sabtu, Agustus 14, 2010

Indonesia; Antara Plato dan Runtuhnya Teori Darwin


Salah satu ciri kegilaan adalah: membeber kisah yang sama secara berulang-ulang. Atmosfir intelektual juga mengenal rumus bahwa pengulangan (repetisi) adalah ciri-ciri dari hilangnya kreativitas. Sialnya, karakter mendasar dari perayaan Kemerdekaan Republik adalah riwayat pengulangan dan penceritaan terbatas.


Terlampau pejal dan miskin. Selebrasi HUT RI tak pernah jauh beranjak dari "heroisme bambu runcing" atawa pengagungan terhadap para founding fathers (Bung Karno, Hatta, dan lain-lain). Menyedihkan pula, bila perayaan HUT RI berputar-putar dari panjat pinang, balap karung, dan makan kerupuk.


Padahal tak sedikit peluang untuk membangkitkan ghirah ke-Indonesia-an dengan pelbagai cara. Misalnya dengan mengajukan temuan-temuan baru, inovasi, fakta, atau apapun. Sejauh hal itu adalah paralel dengan akal sehat. Indonesia adalah sebuah peta yang sanggup berbicara, baik dari aspek geografis, oceanologis, arkeologis, dan lain sebagainya. Bahkan ada satu teori, yang tanpa ragu menyebut bahwa Indonesia adalah Induk dari segala peradaban dunia (mother of civilizations).


Sebuah buku, berjudul Atlantis, The Lost Continent Finally Found, hasil riset 30 tahun, dari seorang Fisikawan Nuklir dan Geolog dari Brasil, yaitu Prof. Arsyio Nunes Dos Santos, menyebut bahwa Atlantis (atau surga yang hilang) adalah Indonesia. Menurut bukti-bukti yang disodorkan, Prof Santos tanpa ragu menyebut bahwa hanya Indonesia yang pantas disebut sebagai lokasi Surga (atau Benua) yang hilang itu.


Kalau cuma benua hilang, mungkin tak menarik. Justru yang kontroversial bahwa Benua yang hilang itu adalah (dulunya) berupa sebuah kemaharajaan dunia, kekaisaran internasional, yang menjadi "Ibu dari segala kebudayaan dunia". Negeri-negeri lain, dan peradaban-peradaban lain, yang selama ini dianggap sebagai "puncak sejarah dunia", seperti Mesopotamia, Eufrat, Tigris, Mesir, Yunani, China, India, Eropa, hingga ke revolusi industri di Inggris, adalah bersumber dari Indonesia. Buku itupun menyebut, bahwa asal usul manusia moderen (setelah zaman esberakhir), juga berasal dari Indonesia.


Buku Atlantis itu bukan ramalan konyol yang steril bukti ilmiah. Justru diperkaya dengan sederatan dalil, dengan ditunjang oleh analisis multi disiplin ilmu. Pembuktian bahwa Indonesia adalah Atlantis (Benua atau Surga Yang Hilang), bersumber dari fakta-fakta geografis, arkeologis, paleontologist, lingusitik, kitab suci, hingga aneka mitologi dari Yunani, Mesir, Inca, Maya, hingga Aztec.


Atlantis Versi Plato

Awalnya adalah dialog dalam risalah yang ditulis Plato, berjudul Timeaus dan Critias. Plato menuturkan bahwa: Atlantis adalah sebuah negara makmur dengan emas, batuan mulia, dengan balatentara gajah. Sebuah kerajaan berukuran benua yang menguasai pelayaran, perdagangan, menguasai ilmu metalurgi, memiliki jaringan irigasi, dengan kehidupan berkesenian, tarian, teater, musik, dan olahraga.



Plato (427 - 347 SM) juga menyatakan bahwa puluhan ribu tahun lalu terjadi berbagai letusan gunung berapi secara serentak, menimbulkan gempa, pencairan es, dan banjir. Peristiwa itu mengakibatkan sebagian permukaan bumi tenggelam. Bagian itulah yang disebutnya benua yang hilang atau Atlantis.


Mengapa Indonesia? Atau apa argumentasi untuk menunjuk bahwa Indonesia adalah memiliki karakter yang sama persis dengan "tanda-tanda" yang diceritakan Plato? Menurut Prof.Santos, setidaknya bisa ditelusur dari empat aspek.


Pertama, adalah teori difusi (penyebaran) peradaban dalam sejarah perkembangan dunia. Ia menemukan bukti, bahwa di dunia ini terdapat berbagai macam kesamaan, kemiripan, baik dalam asal usul bahasa, kata-kata, cerita-cerita rakyat, mitologi, kisah-kisah dari kitab suci, dan sistem teknologi ataupun pertanian. Menurutnya, tak mungkin kelahiran bahasa dan budaya dunia itu lahir independen,atau muncul sendiri-sendiri. Pasti saling terkait. Secara detil, ia memaparkan kesamaan dalam Mitologi Yunani, Kitab-Kitab Hindu (Rig Weda, Ramayana, Mahabarata),Talmud, Taurat, Perjanjian Lama, hingga dongeng-dongeng dari berbagai bangsa dunia (Mesir, Amerika, dan India).


Lingkaran Bencana

Kedua, teori katastrofisme (atau bencana besar), yang menceritakan adanya "banjir semesta" dan kebakaran semesta (universal conflagration) yang meluluhlantakkan dan menenggelamkan nyaris seluruh ummat dan peradaban manusia. Kandidat satu-satunya yang memiliki bukti bencana tak terperi itu adalah ledakan Krakatau, di patahan Sunda. Secara agak sinis, Prof. Santos mengatakan bahwa Indonesia memang ditakdirkan menelan bencana berulang-ulang, dari zaman prasejarah hingga kini, mengingat letaknya yang berada di "lingkaran sabuk api" (ring of fire). Catatan geologis membuktikan, hanya Krakatauyang sanggup membuncahkan kobaran api dan menyebabkan banjir besar, di sekitar11.600 tahun lalu.


Ketiga, metode matriks uji atas tanda-tanda yang diajukan Plato. Selama ini, dunia saling klaim tentang lokasi Atlantis yang sesungguhnya. Tercatat belasan tempat yang disebut paling layak sebagai situs Atlantis, mulai dari Selat Gibraltar,Bosporus, Sisilia, Mesir, dan tempat-tempat lain. Tetapi, tak satupun memiliki karakter atau ciri sahih, sebagaimana diajukan oleh Guru Aristoteles itu.


Sedikitnya ada empat tanda tentang Atlantis, Surga atau Benua yang hilang versi Plato. Yaitu: (1) Atlantis terletak di selat bersudutsempit, dan ini cocok dengan posisi selat sunda; (2) Atlantis berada di dekatpulau besar, dan selat Sunda terletak di antara Sumatera dan Jawa; (3) Atlantisberada di antara apitan banyak pulau, Selat Sunda dekat berada di hamparanpulau-pulau Indonesia; dan (4) Atlantis diapit dua benua, persis, posisi SelatSunda atau Indonesia berada di dua benua.


Keempat,melakukan negasi atau penyangkalan terhadap tempat-tempat lain yang disebut sebagailokasi Atlantis, seperti Selat Giblartar. Plato menyebut adanya pilar-pilar Hercules (dari istilah hera klai, latin, artinya penyangga dunia), yang merupakan metafora dari pegunungan yang berada di lokasi Atlantis. Nah, tak ada gunung berapi yang menjulang, dan layak disebut penyangga dunia dilokasi-lokasi lain, kecuali Selat Sunda, yaitu Gunung Krakatau.



Runtuhnya Teori Darwin

Lantas, benarkah memang ada Atlantis, atau hanya khayal Plato? Menurut Prof Santos, hikayat tentang Surga di Bumi yang hilang karena bencana besar, bukan klaim mitologi Yunani belaka ---dan Plato hanya penerus dari cerita Yunani sebelumnya. Pelbagai kebudayaan besar dunia menceritakan hal itu, termasuk dalam tradisi Hindu, Budha, Indian, dan juga kitab-kitab suci terkenal (ia juga menyebut Talmud, Perjanjian Lama, serta Rig Weda).


Jadi benang merahnya adalah dalam mitologi, korpus (naskah kuno), simbolisme suci, dan (memang) berbau spekulasi. Pertanyaan susulan, apa perlunya bagi Bangsa Indonesia, atas heboh Atlantis di Indonesia itu?


Faktanya, website internet tentang Atlantis versi Prof Santos telah diakses jutaan orang di dunia, dan meningkatkan hasrat mengunjungi Indonesia. Buku yang ditulis Prof Santos, yaitu Atlantis, The Lost Continent Finally Found juga laku keras. Teori kontroversial ini juga membuka debat baru, baik dari sisi keilmuan ataupun (untuk Indonesia) harga diri bangsa. Petikan kebijaksanaan juga bisa muncul dari fenomena Atlantis ini. Kita harus percaya, bahwa peradaban dan sejarah dunia memang dipergilirkan oleh Tuhan. Tak ada satu bangsa pun yang bisa eksis sepanjang sejarah bumi, melainkan muncul dan tengelam.


Terakhir sekali, pertanyaan spekulatif adalah, jika teori Atlantis di Indonesia benar, maka akan membawa segudang resiko luar biasa, terutama di bidang keilmuan dan sejarah dunia. Menurut Prof Santos, dunia barat tak akan rela untuk mengubah sejarah yang selama ini telah menjadi pakem. Butuh pengorbanan luar biasa untuk mengubah peta dunia ----karena posisi Samudera Atlantik yang ada dalam peta dunia sekarang adalah keliru. Selain itu, sejarah arkeologi, geografi, dan lingusitik juga harus diperbaharui.


Korban lain yang akan tumbang secara telak tak lain dan tak bukan adalah Teori Darwin. Dunia telah mahfum, teori Darwin berbasis pada asumsi seleksi alamiah ----bahwa mahluk hidup yang paling mampu bertahan adalah yang paling adaptif, survival of the fitest. Sementara jika merunut teori bencana besar ala Prof. Santos, justru kehidupan bisa musnah dan perlaya, karena adanya bencana besar ---dan tak ada mahluk yang bisa bertahan sempurna. Kehidupan alam dan mahluk, bukan lolos karena adaptasi, tetapi justru karena sesuatu yang tak bisa terjelaskan.


Sampai di sini, fenomena Atlantis berada di Indonesia bukan menggiring kita untuk apologis, bangga diri karena cerita masa lalu. Melainkan tercerahkan dan optimis, bahwa bisa saja sejarah kembali memihak kepada kita. Seperti pesan Anand Khrisna: "Wahai anak bangsa, Engkau bukan lahir untuk mengenang masa lalu, melainkan untuk menyongsong masa depan". Semoga...

Sabtu, Agustus 07, 2010

Ya Allah, Beri Aku Isyarat Tentang PertolonganMU...


Apa yang aku alami saat ini serasa melawan arus tentang kabar baik dari orang-orang sholeh. Beratus pengakuan mengemuka, terutama dari media, buku, televisi, atau internet. Tentang keajaiban shodaqoh, mukjizat tahajud, atau The Power of Sholat Dhuha. Sudah tentu semuanya berfaedah. Meneguhkan keyakinan ---bagi orang yang tekun melakoni, seraya memberi semangat untuk para pemula.


Lebih-lebih kehidupan begitu berat. Negeri ini masih berjibaku dengan aneka perkara. Bom meledak di mana-mana, dari bom teroris hingga bom elpiji. Para politisi makin buruk perilaku. Harga sembako melambung. PHK di berbagai industri. Kejahatan menggila. Dan sederet daftar hitam lainnya. Belum lagi bila menyimak kisah bunuh diri dari orang-orang yang terkena tekanan berat. Intinya: betapa tak udah untuk melewati jalan terjal kehidupan.


Semua orang butuh solusi atas belitan perkara. Maka sungguh mulia bila tawaran penyelesaian masalah itu datang dari sisi religius, sesuai dengan pesan illahiah. Sudah pasti, tak ada yang salah dengan ajaran Allah SWT, yang disampaikan oleh Rosul Muhammad SAW. Hanya saja, ketika pesan ini sampai kepada Ummat, terdapat beragam penyikapan. Dengan dampak yang juga tidak serupa. Ada orang yang mendapat kebaikan, atau juga yang makin terpuruk.


Tak perlu berpanjang lebar untuk mendetilkan tentang orang-orang yang mendapat pertolongan segera dan langsung dari Allah, atas ibadat Tahajud, Dhuha, maupun Shodakoh. Itu adalah sepenuhnya Kuasa Illahi Rabbi.


Tetapi justru menarik dibahas adalah "orang-orang yang kesulitan dan begitu sukar" mendapat pertolongan. Meski orang itu telah berikhtiar keras. Mencoba konsisten. Bersungguh-sungguh dalam tahajud, dhuha, dan shodaqoh. Namun (ini bukti ketidakmampuan seorang hamba di hadapanNYA), adakalanya semua upaya itu belum berbuah (dari sisi si pelaku, karena di mata Allah, pasti bukan seperti itu).


Misalnya saja, seorang Ummat yang terjerat utang. Dia berpaling kepada permohonan total kepada Allah. Tetapi pertolongan itu tak kunjung datang. Bukankah hal ini sering terjadi? Konteksnya bukan menyalahkan lambatnya pertolongan Allah. Orang beriman tahu, Allah adalah Maha Pemurah dan Maha Penolong. Dia akan selalu membalas permohonan doa, dengan beragam cara. Entah memberi kesehatan prima, entah memberi balasan doa di akhirat, atau entah dalam bentuk lain. Inilah yang disebut dengan konversi doa. Jadi, Allah akan selalu menjawab doa kita (selama itu dilakukan ikhlas dan sesuai dengan syariah). Tetapi bentuknya belum tentu sama dengan "jenis dan bentuk" yang diminta oleh si pendoa. Logikanya adalah: Allah yang berkuasa menentukan, bukan manusia!


Kita hanya berbicara dari aspek humanitas, fakta-fakta kemanusiaan sederhana. Bahwa manusia teramat lemah untuk mampu bersabar. Manusia sulit untuk paham dan mampu melihat skenario atau siasat Allah. Misalnya, ketika doanya belum dikabulkan, tentu ia merana. Padahal, jika tahu rencana baik Allah (tak ada renacana Allah yang jahat, tentu saja), tentu orang yang berdoa akan bersabar, bahkan bersyukur.


Betapa tak ringan ujian orang yang doanya belum terwujud. Barangkali ia sudah rajin bershodaqoh. Konsisten dalam tahajud. Tetap melaksanakan dhuha. Tetapi tetap saja hutang menumpuk. Gaji pas-pasan. Rezeki seret. Keharmonisan keluarga juga dalam masalah. Serasa kejam. Namun, bukankah ini bisa saja terjadi? Tanpa ada pengetahuan dari manusia? Seperti ujian yang diberikan Allah kepada Nabi Ayub, Nabi Sholeh, Nabi Ibrahim, dan juga Nabi Muhammad?


Tentang jawaban doa yang tertunda, barangkali ada sejumlah alasan penyebab ----tetapi ini dalam perspektif manusia, dan bukan dalam otoritas Allah. Bisa jadi kualitas doa yang belum memadai, doa yang tidak bijak dari aspek adab berdoa, atau pendoa belum terbebas dari gunungan maksiat. Sekali lagi ini adalah kemungkinan. Sebab, mungkin saja si pendoa telah berjuang keras memperbaiki kualitas semua hal. Ia bertaubat mohon ampunan atas segala dosa ---seraya tidak mengulangi lagi laku lampah maksiat di masa lalu. Ditambahi dengan shodaqoh, memperbagus silaturahmi, menjaga waktu sholat, dan melakoni semua perintah sesuai dengan kemampuannya. Lalu, bagaimana jika tetap saja doanya "gagal" terpenuhi?


Jawaban ringkas adalah Rahasia Allah. Namun bukan dosa juga bila kita mencoba mencari jalan pemahaman, agar ketika menghadapi suasana sedemikian tidak gelap mata.


Kita bisa mengira-ngira, sesuai dengan tuntunan yang diberikan Nabi dan para pewarisnya (Ulama).


Boleh jadi isi pesanan doa itu hanya baik dari sisi si pendoa, tetapi ternyata menurut Allah belum layak diberikan (misalnya doa orang yang ingin jadi Bupati, melalui pertarungan Pilkada). Atau mungkin timingnya tidak tepat bila dijawab segera, meskipun doa si pendoa adalah agar utangnya segera dilunasi ---karena sedang dikejar-kejar Debt Collector! Ini tentu saja bukan perkara mudah untuk diterima, terlebih untuk orang-orang dengan kualitas keimanan pas-pasan.


Nah, yang paling memberatkan adalah ketika seseorang berjuang, berdoa, melakukan aktivitas sesuai syariah. Rajin Tahajud, puasa sunnah, dhuha, shodaqoh, silaturahmi, membaca Al Quran, menyambangi orang tua, menengok orang sakit, menahan diri dari maksiat, dan menangis dalam taubat... Lalu, setelah berlangsung beberapa minggu, doanya bukan saja tidak terjawab, melainkan sebaliknya!


Ya, sebaliknya. Misalnya, perjuangannya itu agar Allah memberinya rezeki tambahan, eh, malah rezekinya terpotong. Atau minta disayang kawan dan bos, eh, malah hampir dipecat. Atau meminta agar ada pertolongan untuk melunasi hutang, eh, malah tak dapat-dapat, dan hutang kian menumpuk. Secara psikologis, problem ini sungguh mengguncang.


Inilah yang melawan arus, dari cerita-cerita yang pernah terbaca dari berbagai buku, artikel koran, ataupun publikasi internet, tentang faedah Tahajud, Dhuha, Shodaqoh dan lain-lain, yang menawarkan berbagai keajaiban. Ternyata tak selalu mudah. Ada juga proses yang maha berat dan panjang. Belum tentu rajin tahajud keinginan tercapai. Belum tentu rajin dhuha rezeki mengalir. Dan belum tentu yang lain. Kita harus bersiap dengan apapun rencana Allah.

Adalah mudah kalau hanya melaksanakan tahajud, puasa, dhuha dan shodaqoh, bila efek baiknya tercapai segera. Yang maha berat adalah, ketika kita rajin melakukan hal-hal itu, doa kita belum terjawab, malah yang terjadi adalah sebaliknya: kondisi makin buruk. Dan itulah yang terjadi saat ini. Begitu berat. Ya Allah, ampuni dan kasihanilah hambaMU yang buruk ini. Jangan Engkau biarkan aku berprasangka buruk dan berputus asa. Amien...

Teladan Puasa dari Kisah Bung Hatta


Sri Mulyani Indrawati pernah membuat analisis bagus, bahwa salah satu faktor kebangkitan ekonomi nasional di periode awal paska krisis moneter (sekitar Tahun 1999 hingga 2001) adalah karena adanya semangat "menunda berkonsumsi". Kala itu, mau tak mau, rakyat harus menahan diri untuk tidak menguras pundi-pundi hartanya untuk sesuatu yang tak terlalu perlu. Transaksi ekonomi, karenanya, menjadi terjaga, jauh dari spekulasi dan penghamburan.


Entah benar atau tidak analisis itu. Tetapi satu hal jelas, Indonesia tak jadi bubar.


Soal menunda konsumsi itu juga pernah tercantum dalam pesan-pesan mulia Bung Hatta. Tokoh proklamator yang namanya hanya diberi atribut sebagai Bapak Koperasi itu (dan nama belakang sebuah bandara di Jakarta), menyatakan bahwa Rakyat Indonesia harus pandai menunda hasrat berlebihan dalam mengkonsumsi.


Sebagaimana takalimat beliau yang lain, yang tak melulu indah dalam kertas, tetapi terang dalam perilaku, ia buktikan sendiri perjuangan menunda konsumsi itu. Siapapun yang rajin membaca kisah-kisah Bung Hatta, pasti mengenal yang berikut ini.


Pertama, tentang Sepatu Merk Bally. Ada kisah, Bung Hatta menggunting sepotong iklan dari koran, ia simpan baik-baik dan disisipkan di meja kerjanya. Guntingan "pariwara" koran itu adalah tentang produk sepatu Bally yang ia idam-idamkan ---tetapi belum bisa membeli. Bahkan hingga akhir hayatnya, guntingan koran itu tetap setia sebagai iklan, dan sepatu idaman itu tak beralih menjadi milik Bung Hatta. Barangkali ini kisah yang tak akan pernah terulang. Mengingat saat ini, wakil Bupati di daerah pelosok sekalipun, sudah sanggup membeli Prado (ini bukan sepatu, tetapi mobil mewah!).


Bisa saja kita berspekulasi, bahwa kalau Bung Hatta mau menggunakan posisinya, berapa banyak pengusaha yang sanggup mengirimkan berlusin-lusin sepatu Bally ke rumahnya? Tetapi si Bung sanggup menahan diri. Menunda konsumsi...


Kedua, sewaktu di pengasingan, Bung Hatta sangat "dibenci" oleh sahabat-sahabatnya hanya gara-gara soal air di kolam pemandian. Si Bung tahu persis, berapa gayung harus dikucurkan untuk membersihkan seluruh tubuh. Ia memperlakukan air dengan sangat hemat. Wakil Presiden pertama RI itu marah jika kawan-kawannya boros air. Ini juga mungkin mustahil dilakukan para pejabat hari ini, yang bahkan memandikan mobil mewahnya dengan semprotan air deras dari selang PAM, menghujani taman yang berada di belakang rumah, atau boros luar biasa mengganti air di kolam renang seminggu dua kali. Bung Hatta, dalam hal ini tak hanya menunda konsumsi, tetapi juga menjaga konsumsi...


Ketiga, Bung Hatta dan Industri Mobil Ford. Agaknya kisah ini nyaris menjadi folkrole (cerita rakyat) dari orang-orang Minangkabau. Konon, si Bung pernah ditawari oleh produsen mobil Ford, untuk membangun jalan lintas se-Sumatera, dengan syarat produk-produk Ford bebas diperjualbelikan di Indonesia. Bung Hatta menolak, bukan karena tak butuh jalan, tetapi khawatir rakyatnya keranjingan mobil Ford ---sesuatu yang belum pantas saat itu. Poin ketiga ini memperlihatkan, tokoh nasional ini mengajak sesama rakyat menunda konsumsi (terhadap barang-barang mewah). Wallahu'alam.


Senarai petikan itu pasti terkesan ekstrim. Tetapi saripatinya tentu tidak. Bahwa perilaku menunda itu memang perlu. Terlebih bila berada dalam posisi menjaga keseimbangan. Puasa di Bulan Ramadhan secara persis menitahkan kita untuk menunda sementara nafsu-nafsu konsumsi dan pemuasan libido. Setidaknya untuk belasan jam di siang hari.


Tetapi untuk spirit tingkat dasar itupun alangkah sukarnya.


Lebih-lebih, Ramadhan sekarang ini hampir-hampir menjadi even tahunan, berbalik sebagai ajang gala belanja di berbagai sudut kota. Menjadi pendorong konsumsi di desa-desa. Dan pesta besar dari stasiun televisi beserta media massa lainnya. Kita tidak lagi menunda, tetapi bersegera!


Dulu hadir pameo dari Kyai Haji Zainuddin M.Z, tentang puasa dendam! Kira-kira maksudnya, menahan lapar dan haus di siang hari, untuk kemudian balas dendam di malam hari. Semua yang sebelumnya haram, lantas menjadi halal. Segala hidangan di meja makan terkuras tuntas. Tak ada hikmah bersabar dalam hal ini. Tetapi itu dulu, kini lebih parah. Kita bahkan tak bisa menunda konsumsi di siang hari.


Nafsu konsumtif dan perilaku eksploitatif dalam perilaku berpuasa kita sungguh-sungguh berada dalam ujian berat. Akar persoalannya adalah gaya hidup yang permisif, hedonis, dan serba boleh.


Anak-anak remaja memang berpuasa, tetapi menghabiskan waktu berjam-jam di depan layar televisi atau media internet (main game, atau chatting). Mereka juga menonton bioskop, atau sembari belanja di Mall. Tak sedikit, ruas jalan tertentu menjadi arena balap tatkala Adzan Subuh berkumandang, atau malah di sore menjelang maghrib. Mereka menahan diri dari lapar dan dahaga, tetapi jebol dalam urusan hemat waktu serta berperilaku.


Ibu-Ibu rumah tangga mungkin sepemikiran dengan Sri Mulyani dan Bung Hatta, tentang menunda konsumsi itu. Tetapi mereka menjerit, karena harga Sembako melambung, dan daya beli yang rendah. Dalam hal ini, Ibu-Ibu mampu menunda konsumsi. Tetapi, mereka membongkar pertahanan diri untuk menjauh dari ghibah, pergosipan, sas-sus, dan tayangan-tayangan "non faktual" (dengan kemasan bagus bernama Infotainment). Sejatinya, penyakit ghibah memang bukan untuk ditunda, tetapi dalam konteks kesucian puasa, hal itupun tak mampu dihindari.


Dalam politik, komunikasi sosial, dan interaksi pergaulan sehari-hari, semuanya serba jauh dari konteks menunda atau menahan diri. Musababnya, lingkungan dan atmosfir sosial telah pekat dengan gaya hidup permisif, hedonis, dan serba boleh.


Itulah yang mengherankan. Bahwa harga sembako melonjak menjelang puasa. Bahwa pusat-pusat pertokoan berlomba perang diskon ---dan dijejali "jamaah al shopaholiciyah", bahwa televisi menguar-nguar lelucon konyol, bahwa The Show Must Go On... (semuanya berlangsung sama seperti hari-hari sebelumnya). Itulah pula yang memperkuat satu ajang bisnis, berbuka puasa di Mall.


Sekali lagi, pesan Bung Hatta, atau perhitungan dari Sri Mulyani, secara tegas membawa ajaran bahwa perilaku menunda itu sesungguhnya berfaedah. Lebih-lebih bila kemudian bertiwikrama menjadi spirit untuk upaya perbaikan seraya menguatkan disiplin. Tidak menunda untuk meledakkan keborosan secara berlipat-lipat.


Tetapi segalanya terlanjur bergulir. Negara menguras habis kekayaan negeri. Politisi mengeruk kantong kas negara. Dan rakyat berlomba-lomba menjadi konsumen agresif. Bila sudah begini, tak perlu jauh-jauh menelisik hikmah Ramadhan dalam perkara-perkara mulia. Karena untuk etape paling mendasar sekalipun, yaitu menahan diri, kita sudah keteteran.