tag:blogger.com,1999:blog-59913895155018620592024-03-20T19:57:44.733-07:00Coretan Sepenuh HatiBuku dan Renunganku...http://www.blogger.com/profile/15117190922345687552noreply@blogger.comBlogger154125tag:blogger.com,1999:blog-5991389515501862059.post-44383025993263485122014-12-09T22:24:00.000-08:002014-12-09T22:24:37.979-08:00Catatan dari Liang Lahat<b>Selasa, 9 Desember 2014, Uwa Atut (Pamanku) wafat dan dikuburkan:</b> <br />
Membujur kaku dalam lilitan kain kafan. Di kedalaman liang kubur. Perlahan ditutup dengan tanah merah yang gembur. Serta isak tangis dan jerit tertahan. Pak Ustadz melafadzkan Al Quran dengan ritmis. Di ujung prosesi, satu persatu sanak keluarga menaburkan air di atas pusara. Lalu Almarhum tinggal sendiri. Para pelayat pulang...<br />
<br />
Benak berkecamuk. Tadi malam masih terilbat obrolan lepas hingga jam 12.00, tapi siang ini melepasnya pergi. <i>Duhai, nasib dan rezekimu sudah dicukupkan oleh Allah. Semua urusanmu sudah selesai...</i><br />
<br />
Tapi malamnya, sepulang tahlil, mata tak bisa terpejam. Terbayang segala hal. Almarhum adalah seorang Mamang (Bahasa Sunda, artinya Paman) yang sangat pendiam, pemalu, dan tak banyak tingkah. Jalan hidupnya lurus-lurus saja. Satu-satunya minat beliau yang sangat kencang adalah mengamati Berita Politik. Entah mengapa, Almarhum begitu suka berdiskusi tema politik (yang ia saksikan di Televisi). Sifat pemalu dan pendiamnya hilang, jika aku bertamu ke rumahnya, dan duduk ngobrol ---sembari ngopi.<br />
<i> </i><br />
Tetapi itupun ---agaknya--- hanya berlaku dengan aku. Sebab dengan yang lain ia jarang seperti itu.<br />
<br />
Aneh, malam sebelum beliau pergi, ia begitu menggebu-gebu bertanya soal politik, yakni perseteruan Golkar. Lebih aneh lagi, aku kehilangan minat sama sekali. Sama sekali aku tak menanggapi. Hanya diam dan cuek. Sepertinya ia kecewa, karena langsung terlihat tidur-tiduran, bermalas-malasan. Jam 12.00, aku pergi pamit, pulang. Dan begitulah... siangnya pas aku di kantor, berita mengejutkan itu datang: <i>Mamang tergolek di Rumah Sakit, kritis, dan harapan tipis untuk bertahan...</i><br />
<br />
<br />
<br />
Buku dan Renunganku...http://www.blogger.com/profile/15117190922345687552noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5991389515501862059.post-87513022847621046462014-12-02T00:11:00.001-08:002014-12-02T00:11:19.397-08:00Belum Mati!Bertarung habis-habisan sering sudah. Bekerja siang malam. Berpikir keras. Belajar tuntas. Menadah serangan dan menghadapi kesulitan, tentu saja jadi bagian. Lalu semua itu berakhir dengan kemenangan, ya ada beberapa. Tapi juga terkadang mengalami kekalahan. Biasa saja.<br />
<br />
Tetapi yang benar-benar susah dijelaskan adalah menang tapi tak dapat apa-apa. Juara tanpa mahkota.<br />
<br />
Pastilah semua itu membuat amarah membuncah. Mengapa begitu keras segala yang terjadi. Seolah semuanya adalah garis nasib yang akan terus begitu. Mati-matian selalu meyakinkan diri bahwa kelak akan ada balasan yang menyenangkan. Meski itu tak juga terjadi.<br />
<br />
Satu hal pasti, aku belum mati. Saat ini pertaruhan bukan hanya untuk nyawa, pikiran, dan tubuh ini. Tetapi dua orang anak yang manis-manis, lucu, dan pintar. Juga untuk isteri yang setia (sedih juga, dia lebih sering menghadapi duka tinimbang derita).<br />
<br />
Iya, belum mati. Masih bisa berikhtiar. Masih terbuka peluang bertarung lagi. Buku dan Renunganku...http://www.blogger.com/profile/15117190922345687552noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5991389515501862059.post-1134223260429967082013-08-27T05:02:00.004-07:002013-08-27T05:02:51.419-07:00Alhamdulillah...Alhamdulillah, setelah sekian lama, blog ini bisa aku gunakan lagi. Nyaris berbulan-bulan mencoba dan selalu gagal, untuk bisa masuk ke blog perdana yang aku miliki ini.Buku dan Renunganku...http://www.blogger.com/profile/15117190922345687552noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5991389515501862059.post-28984640905914500182012-11-29T01:30:00.001-08:002014-12-02T00:00:35.643-08:00PingsanMancung. Bibir sensual. Rambut legam kemilau. Putih halus.Seksi. Wangi...<br />
Ramah. Baik hati. Periang. Tak sombong. Cerdas. Punya karir top ---dan penghasilan bagus. <br />
Semoga saja Tuhan masih memberikan ia berbagai kesempurnaan. Panjang umur. Sehat. Berkah. Berjodoh terbaik. Amin.<br />
<br />
Untuk semua kecantikan lahir batin di dirinya, aku pingsan... (Foto sudah dihapus, yang bersangkutan sudah menikah, aku menjaga privasinya).<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<br /></div>
<br />Buku dan Renunganku...http://www.blogger.com/profile/15117190922345687552noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5991389515501862059.post-15617871780879414922012-10-19T13:30:00.001-07:002014-12-02T00:00:52.546-08:00Selalu Rindu...<b>Selembar </b>rambutmu bisa menyayat ulu hatiku. Rasa ingin bertemu menggerojok tanpa ampun. Tak kenal siang, tak hirau malam ---bayangmu melintas-lintas dalam benak. Mau susah, mau senang, sama saja ---selalu ingat kamu. Kadang aku tak tahu lagi, kondisi seperti apa yang membuat aku lepas dari segala detil perkara yang ada dalam dirimu. Tapi tentu saja, aku tidak memposisikan dirimu sebagai Tuhan.<br />
<br />
Duniaku seperti dibangun oleh cinta yang terjerembab menjadi (sekedar) cita-cita.<br />
<br />
Makin keras ingin lepas, kian kokoh rasa getir dalam hati. Padahal aku memiliki segunung alasan untuk membuang segala memori tentang kamu. Alasan bahwa aku teramat sayang dengan anak-anakku, sayang dengan isteriku, dan banyak lagi. Keluargaku, adalah pusat pencurahan energi dan segala ikhtiar yang terus kulakukan. Dan untuk semua itu aku merasa bahagia. Anak-anakku nyaris menjadi permata yang menyelamatkan. Isteri aku juga selalu mampu mendatangkan kebaikan.<br />
<br />
Namun sepertinya dirimu telah terpancang dalam fondasi dasar kehidupanku, apapun yang ada di atasnya hanyalah pelengkap, sebab segalanya ada dalam dirimu. Hidupku roboh, bila fondasi cintaku terhadapmu merapuh.<br />
<br />
Yang bisa aku lakukan kini adalah kompromi.<br />
<br />
Semacam kemampuan untuk menggabungkan antara "fakta yang sebenar-benar nyata" (kebahagiaan dalam menjalani hidup normal bersama keluarga) dengan "fakta yang seolah-olah nyata" (yaitu menikmati cinta imajiner denganmu).<br />
<br />
Aku kira ini bukan sejenis kejahatan. Tak ada ajaran Islam yang aku yakini dengan sungguh-sungguh, untuk merawat sejumlah cinta dengan cara baik-baik. Toh aku tak sanggup melakukan keburukan yang mengganggu orang-orang yang aku cintai. Cintaku adalah cita-citaku. Tercapai atau tidak, hanya Allah yang tahu. Dan aku tak pernah menyesal...Buku dan Renunganku...http://www.blogger.com/profile/15117190922345687552noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5991389515501862059.post-70007185003199285512012-10-19T13:13:00.000-07:002012-10-19T13:34:27.371-07:00Pukulan Telak, Memalukan...Sebuah keputusan yang aku sadar betul keliru. Sekaligus meng<u>undangn r</u>asa malu. Akan tetapi harus... dengan pertimbangan bela keluarga. Jika saja bukan faktor Orang Tua, Kakak, dan Adik, sumpah mati aku tak sudi. Jika ingat hal ini, perih.<br />
<br />
Dan ternyata, aku tak memetik apapun dari semua itu, kecuali pukulan bertubi-tubi. Menjadi bahan pergunjingan kawan-kawan. Ditertawakan orang. Bulan-bulanan di media (massa) lokal Tangerang. Dan riwayat politik akupun tercoreng.<br />
<br />
Sebelumnya, meski aku selalu kalah dalam politik, tetapi (mungkin) masih ada apresiasi yang bisa diberikan pihak lain. Setidaknya adalah konsistensi, dan pro terhadap perubahan-perubahan (juga sangat anti despotisme, yang merusak demokrasi). Tetapi mulai hari ini jelas, bahwa aku pun melakukan keburukan fatal sebagai aktivis politik. Loncat pagar, pindah partai dengan tiba-tiba (tanpa argumentasi intelektual apapun, kecuali bahwa demi membela keluarga). Dan akupun "merebut" kekuasaan dengan cara-cara politicking.<br />
<br />
Lebih konyol lagi, secara tiba-tiba pula aku disingkirkan.<br />
<br />
Dengan demikian, secara pribadi, aku hancur berkali-kali. Merasa melakukan sesuatu yang sangat tidak aku sukai ---tetapi terpaksa dilakukan. Lalu menjadi bahan cibiran. Dan kini dipermalukan.<br />
<br />
Rasanya begitu kuat himpitan beban. Meski aneh juga, begitu mendengar aku disingkirkan dari gelanggang, selisir bisikan damai menyembul: bahwa sebaiknya pasrah saja. Tak bisa kita menghadang pusaran nasib. Jika Allah menghendaki, maka apapun bisa terjadi, termasuk tusukan yang membuat nyeri diri sendiri.<br />
<br />
Harapan yang tersisa adalah Allah memberi kekuatan...Buku dan Renunganku...http://www.blogger.com/profile/15117190922345687552noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5991389515501862059.post-30663634040688830622012-05-26T00:42:00.002-07:002012-10-19T13:34:05.408-07:00Seperti Sudah Dipatri...Dihitung-hitung, sepuluh tahunan ini pelbagai keburukan datang silih berganti. Bergagai cara dilakukan. Untuk bisa keluar, dan beralih posisi. Namun kondisi tak pernah bergeser ke arah lebih baik. Bukan sekali dua kali perasaan menyerah datang. Malah hampir-hampir tak ada lagi kesanggupan untuk berikhtiar. Satu-satunya yang tersisa adalah ingin pasrah. Menyerahkan semuanya kepada kehendak Allah.<br />
<br />
Mau bagaimana lagi. Lahir batin melakukan ikhtiar. Namun nasib ini seperti sudah dipatri, untuk tidak berubah sama sekali. Semoga saja Allah membuka nurani aku untuk sanggup melihat segala kebaikan yang Ia berikan. Kesadaran dalam diri memang selalu terbuka. Bahwa pasti ada sesuatu. Hanya kesanggupan diriku saja yang masih lemah, demi mengetahui maksud Allah. Inilah kini sumber inspirasi yang menguatkan tekad untuk kembali bangkit. Ya Allah, berikan aku kekuatan...Buku dan Renunganku...http://www.blogger.com/profile/15117190922345687552noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5991389515501862059.post-83824937335707368522012-04-23T21:57:00.000-07:002014-12-02T00:01:14.482-08:00Tentang Ulang Tahunnya...Dia bukan angin, tapi hembusannya selalu menyapa sepoi. Dia bukan api, tetapi selalu memantik bara. Dia bukan milikku ---sama sekali bukan! Tetapi rasanya dia begitu dekat. Meski hanya lekat dalam ingatan. Meski ingatan, tetapi tak sekedar membayang. Terasa segalanya begitu jelas.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Seandainya aku memiliki kebaikan ingin rasanya mengirim dan berbagi. Agar ia bertambah baik. Sayangnya, hidupku terus berputar-putar dalam pusaran yang tidak menyenangkan. Hati ini tak memiliki bahkan sekedar kekuatan hasrat. Hati ini telah lama luluh. Basah oleh kegetiran. Bukan amarah yang membuncah. Sama sekali tak berpikir untuk merasa jengkel. Sebab segalanya bagiku seperti sudah terpancang jauh-jauh hari. Bahwa dia seolah lahir hanya untuk menumbuhkan cinta di hatiku. Hanya untuk itu, bukan untuk apa-apa.<br />
<br />
Barangkali dia adalah "apa-apa", segalanya, bagi banyak orang dan bagi banyak kepentingan. Tetapi khusus untuk diriku sendiri, dia adalah pijaran kasih. Aku begitu mencintainya hingga tak berbatas. <br />
<br />
Semoga saja, ia selalu baik-baik saja. Semoga saja, ia berbahagia dengan segala yang berhak ia peroleh. Selamat ulang tahun, cantik...Buku dan Renunganku...http://www.blogger.com/profile/15117190922345687552noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5991389515501862059.post-48471897661746810702011-10-16T08:55:00.000-07:002012-04-23T21:55:03.090-07:00Sepuluh Hari Menjadi Santri<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgwtYyFgTpxHxKQheuW6XnTaliUbcYewqG-fL9_tLYFfy6nAFKUlb_cleubZykbatxGVSqbCLSkWUHi50ZNAIOt2wnNq9PzpswthV0NpTI58M7jyLmQdYSWOSs2pFcmwsbdmNaKEYmP0jo/s1600/Ponpes.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgwtYyFgTpxHxKQheuW6XnTaliUbcYewqG-fL9_tLYFfy6nAFKUlb_cleubZykbatxGVSqbCLSkWUHi50ZNAIOt2wnNq9PzpswthV0NpTI58M7jyLmQdYSWOSs2pFcmwsbdmNaKEYmP0jo/s1600/Ponpes.jpg" /></a></div>
<br />
Mengayun kapak. Membelah kayu kering hingga repih. Meniup-niup api di tungku agar terus menyala. Menanak nasi. Memanaskan air sampai mendidih. Dan rutinitas saban pagi buta (sekitar jam dua pagi) itu pun nyaris selesai. Tinggal menunggu aktivitas tambahan: makan sahur ---untuk persiapan puasa Sunnah di esok hari. Inilah yang biasa kami lakukan di Pondok Pesantren Al Hikam, Jayanti, perbatasan Tangerang, Banten.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Bersama-sama, sembari bercengkrama, para Santri melakukan pelbagai "agenda harian". Jauh sebelum sahur tiba, waktu terisi dengan aneka Ibadah tambahan. Dari dzikiran hingga baca Al Qur'an. Dari mempelajari kitab kuning hingga sekedar belajar berceramah. Nyaris semalaman penuh, Ponpes itu selalu hidup.<br />
<br />
Beberapa Santri senior bahkan ada yang sanggup menghabiskan malam sembari memilin tasbih, membaca Sholawat Nabi hingga ribuan kali...
Lain malam, lain pula siang.
Tak kurang dari enam orang Santri, termasuk aku (yang hanya numpang menjadi "murid kilat" di Ponpes itu), melakoni puasa Sunnah, dari subuh hingga maghrib. Tentu tak sekedar puasa, melainkan menempuh lelaku prihatin dan latihan memperbanyak ibadah tambahan.<br />
<br />
Seluruh proses itu, disebut dengan Riyadoh (yang artinya kurang lebih adalah melatih olah batin, untuk lebih peka, lebih mampu meresapi kekurangan diri).
Sebuah pengalaman istimewa dalam hidupku. Betapa selama ini pengetahuan tentang dunia pesantren sebatas pada sisi luar. Segala yang bernama Ponpes (dalam hal ini adalah yang Salafy, tradisional) hanya ada dalam pengalaman intelektual saja. Tahu melalui buku, cerita, film, novel dan semacamnya. Atau hanya sesekali berkunjung barang satu dua jam.<br />
<br />
Sementara menjadi Santri yang sesungguhnya, jujur saja, hanya pernah dua kali. Dulu, ketika masih bujangan, sempat pula ikut menjadi Santri di sebuah Pondok Pesantren, tetapi tidak menginap siang dan malam. Melainkan hanya belajar Murotal (membaca Al Qur'an, sekaligus mempelajari tajwid-nya). Atau, ketika kuliah, ikut pesantren kilat.
Tetapi kali ini sungguh jauh berbeda. Sekaligus bertabur makna.<br />
<br />
Hari ini, bahkan mendesir sebuah harapan, agar proses yang aku ikuti di Ponpes selama sepuluh hari itu menjadi semacam pengingatan, bahwa aku pun pernah dan sanggup untuk sungguh-sungguh beribadah...
Artinya, sebagai bagian dari Ummat Islam, aku pun pantas merebut sesuatu, dengan cara serius. <i>Man Jadda Wa Jadda</i> (siapa yang bersungguh-sungguh, pasti dapat).<br />
<br />
Tentu saja, frase "sungguh-sungguh ibadah" itu adalah dalam takaran kemampuan pribadi aku. Yang selama ini <i>easy going</i>, cuek, kurang perhatian, dan kerap mengabaikan kewajiban sebagai seorang Muslim.<br />
<br />
<br />
<b>Riyadoh Itu...</b><br />
Melalui bimbingan Pak Ustadz, aku melakukan proses olah jiwa, dengan memperbanyak dzikir, menangis, mengakui kesalahan, sholat taubat, baca shalawat, puasa penuh setiap hari, makan sedikit, mengurung diri di kobong (kamar bilik dari bambu, tempat menginap para santri), tidak melakukan hal-hal yang buruk, menghindari kesia-siaan, dan segala macam amalan.<br />
<b><br /></b><br />
Terasa berat pada awalnya. Namun tekad untuk mengubah watak, tabiat, dan segala keburukan diri, mendorong aku untuk melangkah terus. Malam pertama, (dari sepuluh hari sepuluh malam) di Ponpes, adalah kejutan tiada terduga. Semula berpikir, bahwa ikut Riyadoh ini bisa rileks dan nyaman. Bahwa paling-paling akan diberi nasihat, didoakan, atau mendapatkan terapi langsung dari Pak Ustadz. Ternyata tidak! Aku harus menempuh "jalan pembersihan jiwa" ini sendirian.<br />
<br />
"Selama ini," kata Pak Ustadz, "kamu pernah mengamalkan dzikir apa?"<br />
Aku, tergeragap kaget. Menjawab refleks: "Tak pernah, Pak Ustadz. Hanya dzikir pendek ba'da Sholat" (itupun kalau lagi mau, batinku).<br />
<br />
Pak Ustadz, rupanya mahfum. Dengan lembut, ia menyarankan aku untuk mengamalkan (dengan cara mendawamkan) Sholawat Nabi. Dengan jumlah ---dalam ukuran aku--- cukup banyak, tak kurang dari 11.000 kali, per malam. Tak boleh tertidur. Jika wudhlu batal, harus ambil lagi. Dilarang banyak makan. Kalaupun istirahat, cukup sebentar saja. Jika terlalu lama, akan menghabiskan waktu ---dan amalan ini tak terkejar, keburu Subuh datang.<br />
<br />
Anjuran ini kuterima. Pada hitungan awal, lancar-lancar saja. Begitu melewati 1.000 hitungan pertama, rasa suntuk, bosan, lelah merayap hinggap. Nyaris ingin menyerah. Pegel badan dan tak lagi bisa fokus. Sementara sisa yang harus ditempuh masih ada 10.000. Sekonyong pikiran baik menyapa: seumur hidup selalu kalah, mengalah, dan menjadi pecundang. Maka kali ini tak boleh lolos. Menyerah adalah kian membenamkan <i>mind set</i> dan <i>mental block</i> diri sendiri sebagai orang yang tak memiliki <i>Himmah</i> (tekad kuat).<br />
<br />
Kesadaran itulah yang sangat membantu. Inspirasi untuk tidak menjadi pecundang inilah yang mendorong bulir-bulir air mata jatuh. Sembari terus berdzikir, bayang-bayang pengalaman hidup datang bergantian. Tentang diriku yang selalu kandas. Sebagai pribadi yang mudah <i>keok</i>. Gampang menyerah pada tantangan-halangan-hadangan-gangguan. Memiliki jiwa labil, kadang baik, dan lebih sering buruk. Seraya bergantian datang memori tentang keburukan-keburukan yang kerap aku lakukan.<br />
<br />
Inilah Riyadoh di malam pertama: bahwa kukobarkan niat untuk mengganti identitas diri. Dari pribadi pecundang ke pribadi pemenang.<br />
<br />
Patokan ini, Alhamdulillah, membantu. Hingga bisa melewati malam pertama. Begitu masuk ke malam kedua, sekali lagi "inspirasi" datang. Bahwa saatnya aku menyicipi sesuatu yang biasa disebut dengan: ketekunan... Dalam bahasa penempuh Riyadoh, disebut sebagai <i>Itqon</i> (sungguh-sungguh, tekun).<br />
<br />
Diriku adalah orang yang kerap menjengkelkan pihak lain. Lantaran tidak rajin. Jauh dari karakter giat dan tekun. Paling-paling, punya tekad membara di awal-awal saja. Setelah itu, kabur dan angin-anginan. Nah, perintah membaca Shalawat 11.000 per malam ini benar-benar batu ujian. Hanya ketekunan dan kesungguhan yang sanggup melewati itu.<br />
<br />
Dan... terima kasih, ya Rabb, Engkau membisikan aku petunjuk, untuk mempraktekan "bahasa ketekunan" secara konkret. Singkatnya, di malam kedua aku telah mendapat dua hal: <i>Himmah</i> (tekad kuat) dan <i>Itqon</i> (ketekunan). Dua kosa kata penting itu aku tulis di selembar kertas, dan ditempel di bilik pondok.<br />
<br />
<br />
<b>Terasa</b><br />
Malam ketiga, cerapan batin khusyu dan hening mulai terjadi. Meski baru awal-awal saja membaca Shalawat, bibir sudah menggeletar, mata sembab, lalu meledaklah tangis. Malah sempat sangat menyayat. Ingat dosa-dosa. Ingat tindak maksiat dan pelbagai kebodohan serta kesia-siaan. Namun satu hal yang benar-benar membuat aku ingit berteriak minta ampun adalah: prasangka buruk (<i>Suudzhon</i>).<br />
<br />
Satu tabiat buruk yang membenam di dasar hatiku adalah mudah marah kepada nasib ---dan itu artinya menuding Tuhan tidak adil. Prasangka sesat itu menguat manakala membanding-bandingkan "kondisi" diri sendiri dengan pihak lain.Mengapa mereka yang jauh lebih jahat dan hidup serampangan selalu beruntung, sementara aku yang (merasa) tak terlalu keliru, hidup dengan begini-begini terus, itu adalah ungkapan batin yang menggelegak, jika aku merasa gagal memperoleh sesuatu.<br />
<br />
Gawat, memang.<br />
<br />
Lebih-lebih konsep diri yang cenderung mendengar ego. Merasa lebih pintar, bebeapa kelas lebih cerdas dari kawan-kawan yang lain. Tetapi kenyataan begitu pahit: aku bukan hanya tertinggal dari sisi materi, karier, atau pencapaian-pencapaian lain yang prestisius. Aku, hingga hari ini, bahkan terpuruk...<br />
<br />
Selaksa keyakinan lalu tumbuh. Biarlah yang lalu. Lebih baik mengikrarkan diri, sekeras kemampuan menyingkirkan pikiran butek, kotor dan tak senonoh. Menikmati terus menerus pikiran-pikiran jernih tentang banyak hal, terutama tentang ketentuan-ketentuan Allah...<br />
<br />
<br />
<b>Berikutnya...</b><br />
Catatan atas malam-malam berikutnya terisi dengan rasa haru dan syukur. Meski tingggal di bilik bambu tua, tidur tanpa alas kasur ---melainkan bambu yang dilapisi kain karpet lusuh, <i>toh</i>, tetap bisa istirahat tenang. Batin dan raga juga begitu mudah untuk beribadah. Panggilan Adzan Subuh bahkan menjadi sesuatu yang aku tunggu-tunggu. Pernah terjadi, perasaan sangat indah dan menceriakan, manakala seorang Santri mengumandangkan panggilan Sholat, yang terdengar begitu merdu.<br />
<br />
<br />
Sulit untuk menutupi, bahwa di Pesantren itu selalu muncul pengalaman baru.<br />
<br />
Paling banyak terkait dengan nuansa fisik. Semisal berbuka puasa dengan menu seadanya ---tanpa sekalipun, selama sepuluh hari, meneguk air es plus sirup, cukup air putih. Atau memunajatkan doa-doa panjang, seraya menjatuhkan kening dalam sujud yang berlama-lama. Tambahan lain: puasa di siang hari (meski panas), namun rasanya ringan-ringan saja.<br />
<br />
Tibalah pada titik akhir. Pak Ustadz dan kawan-kawan kerap mengingatkan adanya situasi yang tergolong mistis, untuk pelaku Riyadoh yang menjelang usai. Macam-macam bentuknya: mulai dari mendengar suara halus, penampakan, atau hembusan udara aneh. Namun yang aku alami, tak ada semua itu. Kecuali bahwa di malam ke sembilan, sempat merasakan suhu badan begitu panas, tapi juga menggigil menahan getaran. Tapi itu selesai dengan cara sederhana: mandi ---di sekitar jam setengah dua malam.<br />
<br />
Lagipula hal itu bukan ukuran keberhasilan. Biarlah diri ini terisi dengan kekayaan batin. Terisi penuh kesadaran tentang kelengahan diri. Sembari menggumpalkan tekad, untuk memiliki identitas baru. Menjadi insan yang terhindar dari prasangka buruk kepada ketentuan Allah. Bukankah, jika pikiran jernih, apapun bisa dilakukan dengan lebih tenang? Beribadah lebih tenang, dan melakoni kehidupan dengan tenang pula. Insya Allah... <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />Buku dan Renunganku...http://www.blogger.com/profile/15117190922345687552noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-5991389515501862059.post-41050176829545839962011-07-12T01:33:00.001-07:002012-04-23T21:55:37.627-07:00Dengan Lolongan, Dengan Tangis, Untuk Dapat Ditolong<span style="font-weight: bold;">Catatan Peristiwa Nyata, Hari Minggu Pagi, 10 Juli 2011:</span><br />
<br />
Pagi yang dingin. Kumandang Adzan baru beberapa jenak lewat. Sekonyong, satu dua kerumunan tercipta. Aku hadir di situ. Mengisi perut yang keroncongan. Terpaku di sebuah kursi milik Ibu Rahma ---penjual nasi uduk di kampung. <br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Seperti biasanya, begitu pelanggan datang, terutama dari kaum hawa, sepotong perkataan pembuka pun akan segera muncul. Sebagai awalan guna memanaskan obrolan. Biasanya, topik pembicaraan selalu berulang-ulang. Tentang anak-anak yang malas bangun pagi. Tetang tetangga yang kehilangan motor. Tentang Pak Tua yang sakit-sakitan. Atau sekedar meletupkan diskusi seputar harga Sembako yang kian menjulang.<br />
<br />
Namun kali ini berbeda. Adalah seorang perempuan yang mengeluh ketakutan. Katanya ia mendengar suara-suara aneh, seperti tangisan, tapi juga seperti dengus binatang. Yang jelas, suara itu telah ada sejak jam dua pagi buta. Gara-gara itu, ia bahkan tak berani ke luar untuk ambil air wudhlu. Sholat Shubuh pun lewat...<br />
<br />
Respon dan tanggapan langsung berlahiran.<br />
<br />
Agaknya, kabar suara menakutkan itu bukan bohong. Tak lama, datang pengakuan serupa. Lalu bergulir kepada kami, saya dan beberapa orang laki-laki yang ada di situ. Mereka minta tolong, agar kami melacak.<br />
<br />
Tentu saja, ini permintaan enteng. Segera, seusai makanan beres digilas usus, kami melangkah berkeliling. Tepat, di sebuah sumur kecil dan sempit, bekas galian sumur pompa (model lama, merk Dragon, yang digerakan tangan, bukan pompa air zaman kini), sumber suara kami temukan. Terlihat di kedalaman sekitar lima meter, tergolek sebuah mahluk warna hitam. Binatang itu benar-benar menyedihkan. Kedinginan. Gugup. Terengah-engah. Ia mungkin berada dalam batas yang tipis, antara hidup dan mati...<br />
<br />
Namun pemandangan ini tak disikapi seragam. Sebagian malah cuek, termasuk dua orang kawan yang segera berlalu sembari menggerutu: biarkan saja dia mati (mahluk di dalam sumur itu). Pihak lain, malah ada yang tambah takut. Mengira itu adalah setan, babi ngepet, atau anjing jadi-jadian. "Ngapain ada aning berkeliaran di sini", begitu katanya...<br />
<br />
Tapi kami bertiga, justru berdesir. Mana tega membiarkan mahluk yang terlihat samar (karena berwarna hitam, di tempat gelap pula) itu mati kedinginan dan tengelam di dasar sumur? Dengan berbagai cara, kami harus menolong.<br />
<br />
Tapi bagaimana? Turun ke dalam sumur, tak ada yang berani. Saya sendir, jujur saja, memang sangat ingin menolong. Tapi ragu, jangan-jangan itu adalah anjing liar yang galak. Terhadap mahluk Allah yang satu itu, saya memang agak penakut, dan sama sekali tak akrab bercengkerama. Atau, jangan-jangan memang babi...<br />
<br />
Agaknya, kawan yang lain, dua orang, juga memiliki persepsi sendiri-sendiri. Semuanya yakin untuk menolong. Tetapi benaknya terpengaruh oleh omongan orang di kanan kiri (yang saat itu mulai berdatangan). Ada yang menyebut aning rabies. Ada yang menyebut binatang jadi-jadian, dan ada juga yang mengatakan itu adalah Babi, jadi biarkan saja. Lebih baik nanti sekalian sumurnya ditutup!<br />
<br />
Tapi yang paling menyakitkan adalah respon dari pemilik sumur. Mereka cuek saja. Tak ada sepatah katapun. Bahkan mimiknya seolah keberatan atas keberadaan kami di dekat sumur itu. Satu lagi, ada juga seorang setengah baya yang malah memanas-manasi situasi, agar segera saja sumur itu diuruk, membenamkan hidup-hidup mahluk yang ada di dalamnya. Tega nian...<br />
<br />
Dua pendapat, dari pemilik rumah dan orang setengah baya, membuat aku agak panas. Maklumlah, dengan mereka selama ini aku kurang cocok. Meski lebih banyak dan nyaris selalu, aku mengalah dan membiarkan saja. Tapi kali ini batin rada jengkel. Tapi, lagi-lagi aku mengalah (hanya diam, tidak berkata-kata). Pilihan aku hanya satu, tetap menolong dengan cara yang aku bisa, agar mahluk di dasar sumur selamat.<br />
<br />
Ternyata, menolong pun tak mudah. Kami telah menurunkan bambu, agar mahluk itu mau naik. Lalu mengulurkan tali. Lalu menjerat kaki, ekor, dan leher binatang itu, tapi juga gagal. Malahan mahluk itu terlihat mengamuk. Seperti tak ingin ditolong. Proses ini berlangsung lama. Hingga itu, satu dua orang mulai pergi, diganti oleh orang lain yang baru datang. Tapi, tak satu pun dari mereka berminat bekerja sama dengan kami bertiga untuk memberikan pertolongan. Datang ke situ hanya ingin menonton, melihat, dan mencari tahu.<br />
<br />
Kami pun nyaris menyerah. Tapi, akhirnya nekat. Biarkan saja, kami akan pakai tali yang diikat di ujung bambu, dan menjerat dengan paksa leher binatang yang malang itu. Meski khawatir, bahwa akan mati ketika diangkat, tapi tak ada lagi pilihan lain. Upaya ini berhasil. Mahluk itu terjerat, dan kami angkat pelan-pelan. Dan, begitu tiba di mulut sumur, langsung ditepis ke luar. Nyatanya, binatang itu adalah memang anjing, warna hitam, bertubuh sedang. <br />
<br />
Aneh, begitu tiba di darat, ia terlihat diam sejenak. Sama sekali tak terlihat galak, panik, atau ketakutan. Malah melangkah santai, lalu pergi. <br />
<br />
Padalah, kami sendiri bersiap siaga, jika terjadi apa-apa. Misalnya, mahluk itu akan menyerang.<br />
<br />
<br />
<span style="font-weight: bold;">Tak Menyerah</span><br />
Dalam benak, sesaat setelah penyelamatan sederhana itu, muncul pertanyaan. Alangkah kuat anjing itu bertahan? Hampir 4,5 jam di dasar sumur, yang berair cukup dalam dan sebenarnya menenggelamkan dirinya. Ia memang sudah tak sanggup melolong, karena mungkin kehabisan nafas.<br />
<br />
Anjing itu,bahkan ketika kami temukan, hanya menyisakan nafas terengah, nyaris terkulai di dasar sumur. Seolah sudah frustrasi dan tak ada harapan untuk selamat.<br />
<br />
Ternyata tak begitu, begitu ia berhasil kami angkat, mampu pergi dengan langkah kaki yang sempurna, seolah tak terjadi apa-apa.<br />
<br />
Hebat benar, kata hatiku lirih, Anjing itu tak menyerah untuk minta tolong. Awalnya mungkin ia menggonggong, lalu hanya bisa mengkaik, dan terakhir mengerang. Tapi ia terus-menerus berupaya memanggil pertolongan. Mungkin ia juga meminta kepada Allah, agar datang bantuan. Yang jelas, ikhtiarnya tak sia-sia. Ada tiga orang yang hatinya digerakkan oleh Allah, untuk mau membantu.<br />
<br />
Tak ada yang istimewa dari kejadian ini. <br />
<br />
Kecuali jika mengenali, siapa tiga orang yang masih punya hati untuk mengulurkan tangan.<br />
<br />
Pertama, adalah bernama Buay, karena namanya Sabuay. Ia, pagi itu, baru saja kalah berjudi. Setahu aku, anak itu gila judi, nyaris tiap malam. Setiap pagi, jika aku bertemu dengannya di tukang nasi uduk, pasti ia baru selesai bermain, entah kalah atau menang. <br />
<br />
Kedua, adalah Kocel, ini adalah nama panggilan, nama aslinya aku lupa. Anak muda inipun setali tiga uang, baru saja selesai main kartu.<br />
<br />
Ketiga, yaitu aku sendiri. Sementara aku, di pagi itu, juga baru mengalami peristiwa unik. Persis beberapa jam sebelumnya, menemani isteri orang yang kabur dari rumah suaminya. Karena aku kenal dengan suaminya, maka terpaksa aku menemani dia, agar tak ada yang mengganggu (maklum, malam telah larut). <br />
<br />
Aku bujuk dia untuk pulang. Tapi dia tak mau. Aku janjikan padanya, bahwa besok aku antar ia ke rumah orang tuanya, juga tak mau. Dia malah terus jalan kaki menelusuri jalan raya. Dengan tangis yang sesekali meledak.<br />
<br />
Tentu saja aku merasa tak enak dan malu. Beberapa orang yang melihat, seperti curiga memandang aku. Mungkin mereka mengira aku pacar atau suaminya, yang sedang bertengkar. Tapi, aku cuek saja. Yang penting, bisa mengawasi wanita itu. Dan bertekad tak akan ke mana-mana. Aku khawatir, jika aku tinggalkan, wanita yang sedang menangis itu malah akan dijahati orang lain. <br />
<br />
Tapi peristiwa ini tak berjalan lama. Karena Alhamdulillah, aku berhasil menemukan suaminya (yang ternyata lewat di jalan itu). Anehnya, si suami sama sekali tak tahu bahwa isterinya bersama aku di pinggir jalan. Ia, ternyata, dalam keadaan mabuk, dan baru pulang dari menonton dangdut. Begitu sang suami melihat isterinya, sontak ia memaksa sang isteri pulang. Ternyata, sang isteri menurut. Dan aku bonceng mereka berdua pulang ke rumahnya.<br />
<br />
Dan malam itu, aku memang begadang. Tidak sholat subuh. Pikiran tetap ruwet. Karena kondisi kehidupan aku yang kini sedang tak baik.<br />
<br />
Nah, jelas, kami bertiga sama sekali bukan orang baik. Kami bukan Ustadz, bukan guru ngaji, bukan orang yang rajin sholat. Tapi, mengapa kami bertiga yang Allah gerakkan hatinya untuk menolong Anjing entah milik siapa?<br />
<br />
Dan, mengapa pula, secara kebetulan aku menemukan Isteri kawan yang kabur dari rumah?<br />
<br />
<span style="font-weight: bold;">Dua Peristiwa</span><br />
Dua peristiwa itu sama sekali tak ada kaitan. <br />
<br />
Aku hanya berpikir, luar biasa cara Allah memberikan pertolongan kepada mahluknya yang sedang susah.<br />
<br />
Allah bahkan sanggup membuka mata hati kami yang penuh maksiat. Mungkin Allah membiarkan para ustadz diam tak menolong, atau Ibu-Ibu yang suka sholat itu tetap cuek, karena pahala mereka sudah banyak. Dan sengaja menggerakkan kami bertiga untuk sedikit melakukan hal-hal yang baik. Mungkin begitu.<br />
<br />
Juga tentang isteri kawan, mungkin Allah sengaja mempertemukannya dengan aku, agar aku berkesempatan menjalin silaturahmi yang lebih kuat dengan suaminya. Karena terbukti sang suami sangat berterima kasih kepada aku (malam berikutnya, ia mentraktir aku ngopi dan merokok di rumahnya).<br />
<br />
Entahlah...<br />
<br />
Satu lagi. Aku sendiri ingin memiliki kekuatan seperti Anjing yang terperosok di dasar sumur. Betapa ia tak menyerah. Tetap berupaya. Sementara aku, selalu meratap, tak konsisten dalam mencari tolong, dan gampang menyerah...<br />
<br />
Ya Allah, bila kejadian itu Engkau sengajakan, maka bukalah mata batinku untuk memperoleh hikmah dari kejadian ini. Aku adalah mahluk Mu yang lemah dan naif. Tapi ingin bisa berbuat baik dan berdampak baik terhadap diriku sendiri...Buku dan Renunganku...http://www.blogger.com/profile/15117190922345687552noreply@blogger.com7tag:blogger.com,1999:blog-5991389515501862059.post-26699124178979052952011-06-28T11:26:00.000-07:002012-04-23T21:55:49.285-07:00Reminescenza<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEghARuvGNxGPdatQCfitjmfddY6XCtPfFCu0Fmmpi3-mCR23ULxH02rIhIUODy-GtU2bNCv5dRDem2C4pS0n9IeyC9XQBqa6I_wPBmKoF-jXR_GD51R9-MXgRk8YMvLG6oLZHoWlmC-DVs/s1600/Pretty.jpg"><img alt="" border="0" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5623339166004769986" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEghARuvGNxGPdatQCfitjmfddY6XCtPfFCu0Fmmpi3-mCR23ULxH02rIhIUODy-GtU2bNCv5dRDem2C4pS0n9IeyC9XQBqa6I_wPBmKoF-jXR_GD51R9-MXgRk8YMvLG6oLZHoWlmC-DVs/s320/Pretty.jpg" style="cursor: pointer; display: block; height: 213px; margin: 0px auto 10px; text-align: center; width: 320px;" /></a><br />
Entahlah,tak pernah bisa lupa dia walau sejenak...Buku dan Renunganku...http://www.blogger.com/profile/15117190922345687552noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5991389515501862059.post-86413181081155633512011-06-08T23:51:00.000-07:002012-04-23T21:56:05.072-07:00Tentang Hati Ini (Luapan Emosi Diri)Kerasnya besi bisa ditempa. Keras hati? Jawabannya tersebar di berbagai cerita. <br />
Ada sejumlah riwayat yang mencontohkan hati yang setegar karang dengan efek menakjubkan. Mereka yang mampu berjalan sesuai prinsip yang diyakini. Menadah badai, menghadang angin. Badai membuat mereka tambah jauh berlayar. Angin justru meninggikan derajat dan kemasyhuran.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Al Qur’an mensibatkan sebutan Ulul Azmi, untuk pribadi Agung dengan hati yang tak goyah oleh aneka gedoran atau tawaran. Selalu maju melangkah untuk memeluk kebenaran, meski bara api muntab ke sekujur tubuh (Nabi Ibrahim). Melepas diri dari jerat perempuan jelita, dan lebih memilih penjara (Nabi Yusuf). Menadah gatal, borok, dan rupa-rupa penyakit menjijikan, untuk bertahan di sebuah benteng hati bernama kesabaran (Nabi Ayub). What A Great Story… Dan tidak untuk melengkapi, melainkan menyempurnakan, seorang lelaki di Jazirah Arabiah, yang jujur, penuh amanah, tetapi juga berani tegas, yang disebut gila serta dianiaya, teguh merengkuh jalan syariah. Hingga Islam bisa tegak ---bahkan hingga detik ini.<br />
<br />
Namun posisi rata-rata manusia, tentu tidak selalu seteguh itu. Menurut Imam Al Ghazali, hati (atau qalb), adalah berarti bisa dibolak-balik. Kadang hitam, kadang putih. Kadang jujur, tapi seringkali dusta. It’s perfectly human…<br />
<br />
Agaknya, semua risalah, filsafat hidup, dan wahyu kenabian, datang justru mengantisipasi betapa goyah dan rapuhnya status hati manusia. Tak keliru pula, bila K.H. Abdullah Gymnasitiar sempat menciptak lirik, jagalah hati…<br />
<br />
Tentang itu pula, Konfusius meyakini satu jalan. Bahwa prinisip boleh teguh di satu titik. Tetapi jalan menuju ke sana bisa berkelok-kelok. Kira-kira, seperti mata mesin bor dengan batang yang meliuk-liuk. Memang ini baru asumsi. Bahwa rata-rata kita, tak memiliki kesanggupan untuk menembus blok penghadang secara langsung. Kita hidup dengan kemungkinan tak terbatas, untuk ke kiri atau kanan, untuk belok dan cari alternatif. Satu hal terpenting, prinsip yang benar adalah bertujuan pada kebaikan. Banyak jalan untuk mewujudkan itu.<br />
<br />
Salah satu jalan adalah ujian dan cobaan yang menerjang.<br />
<br />
Bisa jadi peristiwa pahit yang mendera, kesulitan yang meresahkan, kadang membuat prinsip goyah, Iman menyurut ke titik rendah, dan aqidah nyaris terpeleset. Artinya kita jatuh. Lantas bukan berarti semua itu jadi pembenaran untuk itikad berbuat keliru. Arahnya tak ke situ. Melainkan pada kasus kekhilafan. Berkaca pada aneka kelemahan diri pribadi. Memahami betapa sulitnya kita menapak langkah menuju cita-cita yang baik. Di sana ada tragedi jatuh bangun. Makanya, Allah menyediakan pintu taubat. Sebuah celah untuk memeras akal pikiran dan menjernihkan hati. Peluang atas hadirnya pengakuan kita ---atas rupa-rupa salah dan maksiat.<br />
<br />
Di sinilah kemestian hati (yang bersifat bolak-balik itu) butuh penyegaran-penyegaran. Pun, ketika hati senantiasa bening, mengecap hikmah dengan sepenuh nikmat, hati akan selalu butuh kalkulasi. Kita bisa membaca bahwa apa-apa yang disebut dengan muhasabah (menghisab diri) dan riyadoh (latihan mendekatkan diri pada ridho Allah), adalah tepat di pusaran hati yang bersih. Jika pelaku maksiat butuh penyegaran dengan tobat, maka para penikmat keikhlasan Ibadah butuh penyegaran dengan muhasabah. Kurang lebih begitu.<br />
<br />
Atas pelbagai kemungkinan hati yang seperti itu, mengapa pula masih lekat kekotoran yang ujung-ujungnya membuat kita resah, was-was, gelisah (atau bahkan dengan sejumlah penyakit lain, semisal marah, dengki, dan prasangka buruk?).<br />
<br />
Boleh dicoba pengingatan (tepatnya perbandingan) kebajikan yang bersumber dari kalangan lain. Dengan asumsi, bahwa perbaikan karakter dan prinsip hidup, adalah agenda universal manusia. Pergulatan menjadi pribadi yang bermanfaat dan membawa maslahat, adalah bukan cuma di kalangan Mu’min. Tetapi juga saudara-saudara kita yang lain.<br />
<br />
Misalnya dari para bijak bestari, atau Bikhu di kalangan Agama Budha. Mereka adalah para pelaku perawat (atau pengendali nafsu) dalam tubuh-tubuh wadag manusia. Tatkala bermediatasi, konsentrasi mereka adalah berpusat pada unsur ruhaniah. Membebaskan hati, pikiran, dari rupa-rupa beban (beban ruhaniah, beban jasmaniah). Mereka berdaya upaya melepaskan ketegangan, kecemasan, ketakutan, dan keburukan-keburukan. Dan rahasianya: semua itu adalah dari pilihan hati dan pikiran kita. Tubuh boleh sakit. Tapi jiwa tidak harus ikut serta…<br />
<br />
<span style="font-weight: bold;">Hatiku Saat Ini…</span><br />
Nah, kita yang Muslim, dengan syariah yang tak kurang-kurang sempurnanya untuk memperbaiki kondisi hati, seringkali oleng karena mungkin alpa terhadap hukum alamiah. Bahwa sakit, kekurangan uang, jeratan masalah, sikap kejam orang lain, adalah sesuatu yang terjadi (dan bisa terjadi) kapan dan di mana saja. Datang sebagai ujian. Muncul sebagai peringatan. Atau mewujud sebagai “perangkat” membersihkan dan menyempurnakan Iman kita. <br />
<br />
Hadapilah itu sebagai kemestian. Tidak panik dan murka. Tidak juga menagih kepada Allah bersegera menghentikannya (Tuhan jauh lebih tahu kapan harus berakhir). Dalam kondisi ini, jauh lebih memungkinkan adalah menerima… Seraya ikhtiar melakukan (mengerjakan) kebaikan-kebaikan yang masih mungkin. Ini memang kompensasi. Tetapi sangat berarti.<br />
<br />
Perhatikan. Di saat miskin, tinimbang marah, bukankah tersedia peluang menyalurkan rasa kemanusiaan kita dengan perbuatan-perbuatan kecil tapi bermakna. Senyum ramah. Tak hirau gengsi dalam melakukan sesuatu. Tertutup pintu kesombongan (kalau miskin, ngapain sombong?). Dan bukankah biasanya kemiskinan adalah kekayaan dalam bentuk lain, misalnya waktu luang? Lakukanlah kebaikan sedapat-dapatnya.<br />
<br />
Secara pribadi, saat ini saya mengalami ujian kekurangan materi yang lumayan berat. Tetapi ada satu dua yang selalu saya lakukan. Dan itu dalam keyakinan saya adalah baik. Ini dilakukan juga mengimbangi aneka kesalahan dan kebodohan saya dalam kondisi tertekan seperti hari-hari belakangan ini. Ada saat lebih banyak perbuatan bagus yang meluncur. Tetapi di saat lain, saya jatuh dalam laku lampah yang buruk dan merugikan banyak orang. Tetapi intinya: tegar dalam upaya. Agar hati tak hitam legam dan selalu dalam posisi maksiat.<br />
<br />
Hati ini sebenarnya butuh perlindungan. Perlindungan melalui hikmah. Perlindungan melalui nasihat. Perlindungan melalui inspirasi yang baik dari aneka sumber. Dan atau juga malah pelajaran dari kegagalan dan keburukan yang telah dilakukan. Paling penting, adalah keyakinan bahwa hati, ruh, kalbu kita, tak kalah dan tidak menjadi budak atas kondisi pahit yang ada dalam diri dan tubuh kita. Sebuah pertarungan yang belum berhenti hingga hari ini.<br />
<br />
Tuhan, bombing aku dalam peperangan sengit ini. Menangkan kebaikan…Buku dan Renunganku...http://www.blogger.com/profile/15117190922345687552noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5991389515501862059.post-27251380349411875402011-06-08T21:17:00.000-07:002012-04-23T21:56:16.241-07:00Surat Al Munafiqun...Surat Al Munafiqun menjadi bacaan yang paling aku minati terakhir ini. Dengan sengaja pula, belum membuka terjemah atau tafsirnya. Insya Allah nanti menyusul. Harapan terbesar adalah mendapat RidhoNya. Agar Yang Maha Kuasa membebaskan aku dari penyakit yang menjadi nama surat itu.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Betapa ngeri dan menyakitkan. Dari pelbagai bacaan atau pengetahuan yang kudapati, sifat munafiq begitu berbahaya ---bagi orang lain, dan terutama diri sendiri. Tidak konsisten. Pengecut. Jauh dari komitmen. Tidak ada posisi yang akan diraih bagi orang-orang dengan tabiat sejelek itu. Pun jika ia di kedudukan yang jahat, pasti terlempar hanya jadi coro. Kriminalis sejati dengan catatan mengerikan, adalah juga aktor yang konsisten dengan posisinya. Bukan coro kelas kacang yang gampang ditindas.<br />
<br />
Orang munafik pasti akan selalu terlempar ---di manapun ia berada. <br />
<br />
Lebih-lebih jika pilihannya adalah "ingin" menjadi manusia baik. Betapa banyak kebencian dan kemarahan akan dituai. Setiap orang tentu menjauh. Takut mememetik resiko. Menghindar dari bala dan apes karena sentuhan para munafiq.<br />
<br />
Ini tentu dalam konteks yang keras. Sebab, senyatanya, kadang hidup tak selalu membuat kita tegar dalam prinsip. Adalah kenyataan yang bisa kita terima, jika dalam perjalanan sesekali terantuk beberapa ciri kemunafikan. Misalnya berdusta. Misalnya ingkar janji. Misalnya gagal menunaikan amanat. Bukan menyarankan untuk melakukan itu. Melainkan pengingatan bahwa bisa saja kita menjadi lemah.<br />
<br />
Maksudnya, hati menjerit ketika terpakasa melakukan hal-hal buruk. Apa daya, Iman dan aqidah kita begitu tipis. Hingga terperosok.<br />
<br />
Namun, tentu ada pintu tobat. Kehendak yang kuat untuk berhenti dan tidak melakukan di lain hari. Beda bila kita seperti keledai yang terantuk batu yang sama berkali-kali. Tak ada sebutan lain, kecuali bahwa itu adalah pandir. Atau janga-jangan, justru sifat hipokrit itu sedemikan melekat...<br />
<br />
Tangisan aku sering berulang bila ingat "ancaman" itu. Jangan-jangan, karakter jelek itu telah menjadi bagian dari kekotoran hati. Takut bukan kepalang. Cemas. Hanya doa dan permohonan kepadaNYA, agar dibantu lepas.<br />
<br />
Pengakuan berkali-kali kuungkap dalam munajat. Hamba sering salah, Ya Allah. Aku lemah. Aku faqier. Aku kerap terpedaya. Tetapi jangan jadikan aku... Tolong, angkat aku dari masalah ini...<br />
<br />
Suatu saat, mendamba terbebas dari ini semua. Bebas dari rasa cemas. Khawatir. Was-was. Takut. Prasangka buruk atas segala hal yang terjadi. Menginginkan kebebasan dari segenap keburukan-keburukan. Alangkah indah, jika ada waktunya ketika percaya diri pulih. Tegar dalam mengarungi kehidupan. Bebas dari belenggu masa lalu. Membukukan prestasi yang berguna. Bisa bermanfaat bagi anak, isteri, dan keluarga. Yang lebih penting lagi, adalah sanggup menghadang semua resiko. Tidak pengecut dan lari dari kenyataan.<br />
<br />
Rintisan ke arah itu kucoba berkali-kali, dan gagal berkali-kali. Tapi alamat baiknya adalah belum kapok! Selama nafas masih berhembus, selama raga masih diberi sehat wal afiat, selama itu juga akan aku coba. Tuhan, beri aku kesanggupan untuk bertahan...Buku dan Renunganku...http://www.blogger.com/profile/15117190922345687552noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5991389515501862059.post-36809546892179802832011-06-04T07:47:00.000-07:002012-04-23T21:56:31.317-07:00Begitu Terlalu RapuhTak perlu menjadi pohon tinggi jika hanya tumbang di kemudian hari. Namun paling tidak, pohon yang jatuh, masih bisa memberi manfaat banyak.Beda dengan kita. Begitu jatuh, justru masalah bermunculan. Masalah untuk diri sendiri. Juga, termasuk, membuat masalah untuk orang lain. Begitulah aku,hari ini. Tersungkur ke titik dasar.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Dan, seperti pohon tumban, tak bisa lagi berdiri. Akankah kejatuhan ini berpindah pola? Hancur untuk kemudian menjadi lahan tempat penyemaian tunas. Entahlah.<br />
<br />
Yang pasti, diri ini begitu rapuh. Ternyata teramat gampang untuk terjungkal. Aku sudah tak bisa lagi berkata apa-apa. Hanya Allah yang bisa menjadi pelindung...Buku dan Renunganku...http://www.blogger.com/profile/15117190922345687552noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5991389515501862059.post-46145275101770099972011-06-03T08:38:00.001-07:002012-04-23T21:56:46.975-07:00Desakan-Desakan Pahit...Selalu bersyukur ketika melihat, menyaksikan, atau bersentuhan langsung dengan kebaikan-kebaikan. Semuanya meresap sebagai embun segar. Membasuh batin yang kerontang karena amarah. Meneteskan denting air bening ke jiwa yang gahar. Tapi yang lebih penting lagi, menyelamatkan keyakinan, bahwa manusia memang berkesempatan melakukan kebaikan-kebaikan. Aku, tentu saja, adalah salah satu mahluk Allah yang punya potensi melakukan itu. Entah kecil atau besar. Entah berfaedah banyak, atau hanya sekelebatan saja ---tanpa rasa menggeletar.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Di saat pikiran sungsang, ada juga kesempatan yang menyentil rasa haru. Beberapa hari lalu, misalnya, aku menolong seorang Nenek yang menuang Air Teh Panas. Mulanya tidak hirau. Tetapi tangan refleks mengambil cangkir dan teko ---membantu perempuan tua itu melakukan tugasnya. Sembar berkata sopan, aku katakan: Nek, biar saja saya yang bikin...<br />
<br />
Tak dinyana sama sekali. Si Nenek sangat berterima kasih. Mengaku bahwa tangannya memang sudah tak sanggup mengangkat teko berisi Air Teh Panas itu. Padahal, apa yang aku lakukan benar-benar sepele. Jauh dari dugaan bahwa itu benar-benar akan bermanfaat. Aku hanya bergerak naluriah saja. Tetapi, Alhamdulillah, kami berdua di pagi itu mendapat pesan kebaikan yang indah. Meski pun kecil sahaja...<br />
<br />
Di lain sisi, kejadian itu persis di ujung galau yang menggelayut. Pikiran kacau berseliweran. Malam sebelumnya, aku tak bisa tidur, hingga Adzan Subuh berkumandang. Gumpalan rasa kecewa, marah, pesimis, khawatir, kembali menerjang. Tapi, selalu ada setetes embun penyegar...<br />
<br />
Dan siang tadi, sebagaimana laku lampah aku yang tak berubah, aku masuk kembali di pusaran gonta-ganti mood (suasana hati). Kadang bagus, disertai dengan nikmatnya Ibadah. Tapi kadang jengkel, berujung pada beratnya melakukan perintah Allah. Di siang tadi, aku terjebak kebingungan kembali. Menghdapai pilihan melakukan keburukan (meski kecil), tapi mengganggu pikiran. Aku selalu terdesak dalam opsi yang pahit. Dan biasanya aku kalah. Akibatnya, depresi diri kembali tiba.<br />
<br />
Entah hingga kapan...<br />
<br />
<br />
Upaya terus saja dilakukan. Mungkin ikhtiar aku kurang keras atau entah faktor apa. Aku hanya sesekali mereguk nikmat batin, terutama dalam hikmah dan ibadah. Pesona hikmah ruhaniah, memang terkadang mendesir dalam kalbu. Namun jarang bertahan lama. Karena kenyataan hidup menggempur dengan peluru panas. Membuat aku terkapar, selalu. Hidupku memang pedih...<br />
<br />
Berbagai penyelamatan senantiasa kandas. Berbagai pembelajaran, nasehat, bacaan, kisah, atau bahkan pertolongan langsung yang pernah jadi contoh, seakan hanya berlaku realtime saja (hanya di saat tertentu). Lantaran di lain perjalanan, aku mengalami kebuntuan terbaru. Masalah muncul berentetan dengan versinya masing-masing. Memang sejujurnya, saat ini selalu terkait dengan problem finansial. Tetapi tak jarang pula menyangkut "psikologis".<br />
<br />
Misalnya perkara yang mendatangkan diri menjadi minder. Harga diri yang terluka. Penyesalan akan masa lalu. Gelora rindu kepada Dia yang kucintai. Dan masih banyak lagi. Aku, memang, tak bisa tidak, hanya bisa pasrah kepada Allah. Bahkan pun ketika aku melakukan kesalahan fatal. <br />
<br />
Namun bagaimanapun, setidaknya aku masih menjerit ketika melakukan sesuatu yang menurut syariah Islam adalah salah... Mudah-mudahan itu adalah masih sebagai tanda adanya geletar Iman. Wallahu'alam...Buku dan Renunganku...http://www.blogger.com/profile/15117190922345687552noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5991389515501862059.post-4232902411557328962011-05-31T12:13:00.000-07:002012-04-23T21:57:01.909-07:00Keluh Kesah Tak Berujung...Bounce back! Melejit kembali. Seperti bola yang dipantulkan sangat keras ke lantai, lalu melenting jauh...<br />
<br />
Alhamdulillah, tak berbilang lagi banyaknya, aku mengalami jatuh, bangung, jatuh, dan bangun lagi. Tetapi sama sekali belum pernah mengalami kebangkitan yang luar biasa, atau melenting, memantul jauh seperti bola basket di tangan para pemain. Kemampuan aku hanya sekedar jatuh, lalu bangkit sedikit, dan segera jatuh kembali. Polanya malah cenderung berbahaya... jatuh tiga tingkat, lalu hanya bankit satu tingkat. Dari hari ke hari, dengan demikian, yang terjadi adalah kemunduran.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Namun aku bertahan mati-matian dengan kejujuran ---kalau pun tak bisa disebut begitu, paling tidak aku berupaya untuk tak pernah menutup-nutupi kejelekan aku. Bersikap ksatria, mengakui kesalahan, walaupun pahit. Harapan tetap menyala (meski redup), bahwa kelak Allah akan mengangkat aku dari keterpurukan.<br />
<br />
Hari ini memang aku telah berupaya. Sebenarnya sudah sangat lama berikhtiar memperbaiki diri. Tetapi entahlah, aku begitu rapuh. Perjuangan seringkali patah. Terantuk batu kerikil dalam batin, yang kerap marah, benci, menyesali nasib, menyalahkan takdir, dan prasangka buruk. Atau juga barangkali karena keadaan yang begitu kejam?<br />
<br />
Aku dihempas oleh badai keburukan dari hari ke hari. Menghadapi situasi yang menyulitkan. Serba kekurangan. Kehilangan potensi dan peluang. Secara manusiawi, hal itu sungguh-sungguh menyiksa. Wajar saja sebenarnya, jika lantas aku terpelanting.<br />
<br />
Di sisi lain, ada faktor luka batin yang sesekali menganga... Tentang trauma, tentang kegagalan, tentang ketakutan, tentang cemas, tentang kekhawatiran, tentang rasa tidak mampu. Tuhan, tolonglah aku, beri aku petunjuk untuk melangkah.<br />
<br />
Satu lagi mental block yang teramat sukar aku kendalikan. Yaitu pikiran buruk, bahwa Tuhan memperlakukan aku dengan sangat kejam. Ia langsung menghukum aku dengan keras, jika aku melakukan kesalahan. Bahkan, aku merasa hukumanNya jauh lebih besar daripada kesalahan yang aku kerjakan. Ini pun adalah sebuah rasa (yang memang sebenarnya salah, tetapi sulit diabaikan). Kadang, jika dibanding-bandingkan, jika orang yang melakukan kesalahan seperti aku, mereka enjoy-enjoy saja, dan bahkan mendapatkan pelbagai keberuntungan.<br />
<br />
Lalu sebaliknya, jika aku melakukan kerja keras, ikhtiar total, dan komitmen penuh dalam melakukan sesuatu, malah dibalas dengan hasil sangat sedikit. Inilah yang membuat aku marah. Aku benci. Mengapa nasib selalu seperti ini... Orang menilai aku tak memiliki komitmen. Mereka tidak tahu, betapa aku sering bekerja jauh lebih keras dari mereka, jauh lebih cerdas, tetapi ketika menerima imbalan, sama sekali tak layak, bahkan terasa sangat menghinakan... <br />
<br />
Mengapa aku tak seperti orang lain, yang melakukan biasa-biasa saja, tetapi memperoleh reward yang begitu baik? Inilah sebenarnya salah satu sumber "penyakit batin" aku.<br />
<br />
Perih terasa. Bahkan berbagai buku, nasehat, dan latihan-latihan mengurangi beban batin aku lakukan. Tak hanya versi Islami, ajaran dari "pihak" lain pun aku ikuti ---sejauh tidak menggiring pada kemusyrikan. Ini harus aku lakukan. Jika tidak, aku pasti sudah benar-benar hancur. Sekarang memang sudah, tetapi masih ada peluang untuk diselamatkan, belum benar-benar porak poranda.<br />
<br />
Tanggungan beban aku berlipat-lipat. Secara mental, harus membersihkan penyakit batin dari luka dendam, marah, prasangka buruk, dan iri atas kemudahan orang lain. Secara pikiran, menjaga agar otak tetap tenang dan jernih. Secara kejiwaan, tak ingin mematikan diri, aku belum ingin mati, meski kadang-kadang tak tahan.<br />
<br />
Barangkali, hanya wajah anak-anak aku yang sering jadi penyelamat. Di kala mereka tidur pulas, di saat mereka riang bermain, di waktu mereka bercanda ria, di situlah semangat aku bangkit. <br />
<br />
Aku benar-benar tak berdaya. Hanya Allah yang bisa menolong... Kabulkan, ya, Allah...Buku dan Renunganku...http://www.blogger.com/profile/15117190922345687552noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5991389515501862059.post-58276692583422145152011-05-03T21:28:00.001-07:002012-04-23T21:57:31.446-07:00Tuhan...TUHAN, jangan engkau tertawakan aku. Jangan aku ditelantarkan. Hanya Engkau yang tahu betapa biadab dan brengseknya aku. Hanya Engkau yang mengawasi laku lampah aku yang salah. Diriku bahkan terkadang tak mengetahui dengan persis, mengapa aku harus seperti sekarang ini. Aku tak ingin jadi munafik, pelaku maksiat di hadapanMU. Engkau tahu, Ya Allah, aku tak pernah menikmati apa yang selama ini kulakukan. Aku butuh kesembuhan, Ya Allah...Buku dan Renunganku...http://www.blogger.com/profile/15117190922345687552noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5991389515501862059.post-11629323916896513422011-05-03T21:18:00.000-07:002012-04-23T21:57:50.747-07:00Real Life...<span style="font-weight: bold;">DULU</span> aku menyangka semua problema bisa diatasi. Atau segala kepedihan yang datang hanyalah sebentuk ujian, guna mengukuhkan kesabaran diri. Berbekal keyakinan seperti itu, motivasi untuk terus berjuang tak pernah padam. Jatuh bangun, bangkit dari kegagalan, dan berupaya keluar dari belitan masalah, menjadi hal yang biasa.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Tetapi satu tahun terakhir, luar biasa, pembalikan motivasi ke titik paling nadir. Sebelumnya, masih ada dugaan, bahwa ini adalah takdir. Dengan begitu, aku mencari beberapa sebab. Temuan dari pelacakan itu, biasanya, bersumber dari luar. Misalnya, karena memang sudah "nasibnya" aku harus begini, bertemu dengan orang seperti itu, ataupun karena sejumlah keterbatasan.<br />
<br />
Akan halnya yang terjadi belakangan: sumber petaka mutlak pada diriku sendiri! Benar-benar merasa ngeri dan takut. Ternyata penyakit di dalam diriku benar-benar memenjara. Melumpuhkan gerak. Menumpulkan ketajaman otak. Memadamkan nurani. Dan ujung-ujungnya menggerus keyakinan terhadap kebenaran Illahi. <br />
<br />
Hampir-hampir pasrah, bahwa mengenal dengan baik penyakit diri sendiri, membuat pengakuan, jujur terhadap kesalahan, mengakui kekeliruan adalah hal-hal yang baik dilakukan. Tetapi ternyata apa yang terjadi? Nyaris tak ada faedah. Aku mengaku aku buruk. Aku mengenali beberapa kelemahan diri. Aku juga tak munafik, atas segala keburukan yang telah dilakukan. Tetapi mengapa tak berhasil untuk sekedar mengurangi keburukan itu? Malah kian menggila...<br />
<br />
Hari-hari terakhir aku bahkan telah melakukan kesalahan fatal. Berdampak terhadap pihak lain. Merugikan orang lain. Dan berpotensi menjerumuskan... Batin aku remuk, karena sesungguhnya aku tak ingin hal ini terjadi. Aku juga tak kuasa, tak berdaya, dan sepenuhnya tak mengerti mengapa terjadi? Begitu rapuh. Begitu kosong. Begitu hancur moralitas dalam diriku. Rasanya aku tak sanggup lagi. Integritas aku mungkin hancur-hancuran. Tuhan, tolonglah...Buku dan Renunganku...http://www.blogger.com/profile/15117190922345687552noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5991389515501862059.post-61098155538691172462011-04-29T09:21:00.000-07:002012-04-23T21:58:03.245-07:00Life Is...Dunia memang begitu lebar menyediakan ruang untuk segala hal. Dari mulai hal-hal yang bermanfaat, hingga ke urusan yang mudharat. Dari hal-hal menyenangkan, hingga hal-hal yang menjengkelkan. Dunia juga menyediakan ruang untuk kombinasi dari sejumlah faktor yang disebut barusan.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Misalnya, gabungan antara perkara bermanfaat ---tetapi kurang menyenangkan. Atau sebaliknya, perpaduan antara urusan yang tak berfaedah alias mudharat, tetapi betul-betul mengasyikan.<br />
<br />
Bisa juga jalinan perpaduan itu dicampur-campur lagi. Misalnya, ada sesuatu yang tak jelas manfaat dan mudharatnya, tetapi benar-benar menghibur.<br />
<br />
Petikan contohnya: Royal Wedding Week, antara Kate Middleton (oleh pers Inggris diplesetkan menjadi Kate Middleclass, karena ia berasal dari keluarga kelas menengah) dengan Pangeran William.<br />
<br />
Tapi itupun, lagi-lagi tergantung pada sudut pandang.<br />
<br />
Boleh jadi, di mata sebagian besar orang, Royal Wedding itu (sebagai contoh bahasan) adalah benar-benar bermanfaat, atau juga sebaliknya, benar-benar merugikan. Mari mulai dari pandangan yang terakhir, yang menyebut betapa tak bermanfaatnya pesta akbar di abad moderen itu.<br />
<br />
Orang Inggris sekalipun, konon, tak semuanya suka. Mereka mengeluhkan pembiayaan pesta, yang dikuras dari kantong pajak ---dan itu artinya duit rakyat.<br />
<br />
Tapi ini pandangan minoritas. Dunia malah membalikkan fakta yang lain. Orang begitu terpana. Publikasi meluas ini, malah menjadi ajang promosi gratis bagi kerajaan Inggris (yang memang sudah beken). Sekaligus mengerek citra. Mempercantik performa Inggris, dan kelak berdampak pada bidang-bidang lain: wibawa British Kingdom, menaikkan wisatawan, dan lain-lain.Buku dan Renunganku...http://www.blogger.com/profile/15117190922345687552noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5991389515501862059.post-49031379098889496122011-04-11T01:19:00.000-07:002012-04-23T21:58:18.268-07:00Slametan Mobil Baru...<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjtUGWJp201FJsGkJEncfMl7jFyHmVXttwQOKte73ZPhZV_vH2hC8TPKJ2aCcaIiM8-7pw4V_JMlg4f8tItm8rJCxubVjgL24J7r3n-F7Eys3bsp6ATJ0gD3YgI_bs-jxFIE3Rp5i2mpoY/s1600/Untitled.png"><img alt="" border="0" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5594238006084265954" src="http:http://www.blogger.com/img/blank.gifhttps://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjtUGWJp201FJsGkJEncfMl7jFyHmVXttwQOKte73ZPhZV_vH2hC8TPKJ2aCcaIiM8-7pw4V_JMlg4f8tItm8rJCxubVjgL24J7r3n-F7Eys3bsp6ATJ0gD3YgI_bs-jxFIE3Rp5i2mpoY/s320/Untitled.png" style="cursor: pointer; display: block; height: 204px; margin: 0px auto 10px; text-align: center; width: 320px;" /></a><br />
<br />
<br />
Alhamdulillah, akhirnya jadi juga syukuran (atau orang Banten bilang Slametan) beli mobil. Jamaah sudah pulang dengan sumringah. Pak Ustadz, setelah ngobrol agak lama, ngeluyur pula ---sembari menyisipkan amplop di saku baju koko. Handai taulan sudah tuntas mendoakan (saya lihat ada yang khusyu, ada pula sembari sms-an). Biarlah… Yang penting niatanya mengharap Ridho dan Perlindungan Allah Subhanahu Wata’ala. Amien.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Keterlaluan kalau cita-cita lama yang diperjuangakan dengan susah payah (maksudnya lebih sering susah, dan membuat badan payah bin lelah), setelah berhasil lantas tak diwarnai dengan kenduri Selametan. Tetangga mau bilang apa? Tak tahu juga ---berhubung belum pasang camera CCTV yang bisa rekam suara juga di rumah sebelah<br />
<br />
Kata Alhamdulillah itu, semoga bisa ke luar dari lisan saya sebagai cerminan batin yang khusyu. Sebab yang dikatakan saat ini, bukannya tidak tulus murni, tetapi masih bercampur dengan kecemasan. Cemas jika keberuntungan seperti itu tak datang dalam hidup saya. Maklumlah, apa yang terjadi saat ini adalah “adegan” ceria di rumah tetangga ---juga kawan dekat. Ia baru saja berhasil membeli mobil baru. Tentu, demi menjaga tradisi dan barangkali juga memang sungguh-sunggu berdoa, perlu berepot-repot undang jamaah kiri kanan. Agar bertandang ke rumahnya. Mereka statusnya adalah bertamu sembari dijamu. Bercengkerama sebelum dan sesudah berdoa. <br />
<br />
Dan saya, meski pasang muka “shaleh” sebagus mungkin, toh cuma (hanya) hadir sebagai pelengkap dan saksi. Atas kebahagiaan keluarga kawan. Alhamduliillah. Hingga kini,boro-boro mobil, untuk sehari-hari saja kadang utang ke para “pihak” yang masih percaya (atau juga kasihan).Buku dan Renunganku...http://www.blogger.com/profile/15117190922345687552noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5991389515501862059.post-59365029634299689672011-04-03T00:01:00.000-07:002012-04-23T21:58:48.360-07:00Cul-De-SacSeribu jalan menuju Roma. Banyak cara mencapai keinginan. Namun sesungguhnya, kita jauh lebih butuh sedikit saja alternatif. Kebingungan justru hinggap lebih kuat manakala terlalu banyak "metode" yang tersedia ---dalam merengkuh target.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Bagaimanapun, tak elok menyingkirkan pepatah bagus di awal kalimat ini. Di mana-mana, kiasan atau metapora memang butuh perumpamaan bagus, seperti rangkaian kata "banyak jalan menuju Roma itu". Meski dalam realita kehidupan, kebanyakan pilihan jalan justru cenderung menyesatkan. Hidup adalah bergumul dengan keyakinan untuk memastikan. Dan itu tak perlu bertele-tele dengan tumpukan pilihan dan peluang. Cukup satu dua saja. Setegas ungkapan "seperti memakan buah simalakalma". Ini begitu tegas. Tapi dengan resiko begitu besar. Namun, bukankah setiap pilihan selalu mengandung "ancaman kerugian"?<br />
<br />
Beruntunglah bila masih tersedia opsi, antara "A", "B", "C" dan seterusnya. Karena berarti kondisinya bukanlah <span style="font-style: italic;">cul-de-sac</span> (jalan buntu).<br />
<br />
Berbeda bila segalanya mentok. Bersalah adalah <span style="font-style: italic;">resultante </span>(hasil akhir) yang selalu terpetik. Sama sekali bukan bohong, bila berada dalam situasi yang memaksa kita untuk sempit bergerak. Pilihan hanya sedikit, bahkan nyaris tidak ada. Kalaupun ada, maka bleum tentu berhasil. Ataupun jika berhasil, tetapi resiko dan syaratnya berat. Malahan kerapkali berhadapan dengan kondisi "kita tak sanggup".<br />
<br />
Biasanya terjadi dalam atmosfer penuh tekanan, keterdesakan, dan beban yang menggunung. Hidup begitu getir. Tatkala masalah berlipat-lipat, sementara jalan ke luar tak kunjung muncul. Mengerikan sekali, suasana seperti ini biasanya melahirkan problem-problem baru. Gagal membayar utang bulan ini, adalah menambah beban untuk bulan berikutnya, begitulah, bila sekedar menyebut contoh. Masih banyak perkara pahit lain yang mewujudkan catatan tentang ketidakmampuan kita dalam menyelesaikan masalah.<br />
<br />
Baiklah, barangkali jarang-jarang situasi ini terjadi. Namun bila ya, menerepa lakon hidup sehari-hari, apa yang harus dilakukan? Menyerah adalah perilaku manusiawi. Berpikir buruk. Purbasangka berkembang-biak. Kemarahan menggumpal. Cacimaki, luapan emosional, hingga melahirkan gejala-gejala neorosa (stress, depresi, dan lain-lain), juga termasuk bisa saja. Setiap manusia tak bisa bebas dari ancaman stress, depresi, dan halusinasi. Tetapi, bedanya, ada kondisi sementara, dan ada yang menjadi permanen (jika hal terakhir yang terjadi, tak ada cara lain kecuali minta bantuan Psikolog).<br />
<br />
Gambaran sedemikian <span style="font-style: italic;">mumet</span> itu terjadi pada saya hari-hari belakangan ini. Sesungguhnya, perjalanan hidup saya jauh lebih sering bersirobok dengan kondisi-kondisi menjengkelkan ini. Namun, sukses atau gagal, lama atau sebentar, bisa juga sesekali saya berkelit. Setidaknya, lari dari masalah. Kalau ini tak bisa, maka mengalihkan masalah. Jika tak bisa juga, menghadapi masalah ---apapun tantangannya.<br />
<br />
Boleh dibililang, rasio antara gagal dan berhasil (dalam ikhtiar menghadapi masalah itu), terlampau jomplang. Bagian gagal jauh lebih banyak ketimbang sebaliknya. Hingga hari ini...<br />
<br />
Menyerah pun juga sering. Hanya gengsi laki-laki dan lapisan Iman yang tipis menjadi penyelamat, untuk tidak meraung dalam tangis, dan tidak melumatkan murka ke mana-mana. Saya sering diam tergugu. Atau menetes bulir air mata di kesunyian (tak ingin dilihat orang).<br />
<br />
Akar tunjang yang selalu jadi cantelan (meski rapuh), adalah rasionalitas dan intelektualitas. Maksudnya, belajar dari buku-buku, atau menyimak cerita-cerita yang menyembulkan kekuatan. Inilah penawar sementara. Meskipun polanya begitu terbatas. Bacaan yang saya konsumsi itu ---terkadang sangat banyak--- belum berhasil melentingkan posisi saya ke zona nyaman. Malah boleh dibilang, terkunci di situ-situ saja. <br />
<br />
Namun saya percaya, bahwa rasio dan akal sehat saya belum mati... Seraya melacak lembar-demi-lembar petunjuk Iman, dalam Al Quran, dalam buku-buku Islam. Lumayan memang, saya hingga hari ini masih mereguk nafas. Tidak melakoni <span style="font-style: italic;">seppuku <span style="font-style: italic;">atau</span> harakiri</span> (Bahasa Jepang, artinya bunuh diri).<br />
<br />
Tiang penyangga yang paling rutin menghibur hati tak lain adalah melihat anak-anak. Mereka, Ya Allah, aku bersaksi, telah menjadi penyelamat utama. Meski beban menggunung, kesedihan menggantung, tapi mereka sanggup membuat saya merasa beruntung. Mereka tampan, lucu, periang, cerdas, dan selalu mengajak bercanda.<br />
<br />
Kondisi inilah yang tak ingin aku abadikan. Aku tetap meloncat-loncat mencari tangga pelarian. Agar penjara kekalutan ini segera menjadi catatan sejarah. Tidak lantas menjadi Biografi yang Abadi.<br />
<br />
<span style="font-style: italic;">Culdesac</span> itu, semoga cepat berlalu...Buku dan Renunganku...http://www.blogger.com/profile/15117190922345687552noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5991389515501862059.post-58830241934407582042011-04-01T09:33:00.000-07:002012-04-23T21:59:28.370-07:00Limbung...Aku limbung. Bingung. Menggantung. Ingin sekali rasanya menenggelamkan diri dalam air yang segar dan jernih. Ingin sekali rasanya mereguk hawa segar. Supaya batin basah, mampu meresapi kejernihan. Ya Allah, langkah seperti apa yang harus kutempuh, agar tak begini-begini terus.Buku dan Renunganku...http://www.blogger.com/profile/15117190922345687552noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5991389515501862059.post-81576807137127766222011-03-27T23:34:00.000-07:002012-04-23T21:59:44.114-07:00Konsistensi Berpikir Positif...Mempertahankan pikiran positif dan memelihara prasangka baik sulitnya minta ampun. Konsistensi dan daya juang untuk mengendalikan akal pikiran agar tidak permanen dengan amarah dan kesedihan, butuh berbagai macam cara. Tidak hanya membentengi diri dengan nasehat-nasehat segar keagamaan, menatap berbagai hal baik di sekeliling, juga perlu dilengkapi dengan kepasrahan. <br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Agaknya bagian yang belakang inilah, kepasrahan, yang menjadi tiang sandar terakhir. Tatkala segala daya dikerahkan untuk menjaga keyakinan untuk selalu berpikir baik dan berprasangka baik menemui kegagalan, maka pasrahlah sahaja. Siapa tahu, Allah memberikan hembusan kekuatan agar kita kembali tegar.<br />
<br />
Senyatanya juga, pikiran negatif dan prasangka buruk bukannya haram sama sekali. Adalah fitrah, bahwa kita adalah mahluk lemah, Inal Insana Halu'a, manusia itu suka berkeluh kesah, begitu kata Al Qur'an. Paling penting justru mengelola kenegativan itu agar tidak permanen, mengendap dalam benak dan kalbu setiap saat. Biarkanlah pikiran negatif datang sesekali sebagai alat uji, menyadarkan kita akan kelemahan diri sendiri.Buku dan Renunganku...http://www.blogger.com/profile/15117190922345687552noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5991389515501862059.post-21887584333354796382011-03-27T07:53:00.000-07:002012-04-23T21:59:59.956-07:00Ingin BeruntungBagaimana menghadapi tekanan berat seperti ini? Bukannya aku tak tahu cara bertahan, atau bersabar dengan kekecewaan berat seperti sekarang. Masalahnya, nasib seperti berpesta atas seluruh kesialan aku. Rasanya semua kekuatan bersekongkol dan begitu menikmati menghancurkan ketahanan diri. Jika berbuat keliru, aku mendapat hukuman keras. Jika berbuat baik, berbalas racun. Entah apa lagi yang harus dilakukan.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Tentu saja bukan berarti aku menyerah kalah. Berberak dan upaya terus menerus, besar atau kecil, masih sanggup diperbuat. Akan tetapi begitu pedih hasil balik yang terjadi. Segala upaya selalu berakhir dengan menjengkelkan. Padahal, aku tak berbuat jahat. Tidak melakukan kejahatan. Baiklah, satu dua kali mungkin bertindak maksiat dan dosa, tetapi lebih sering karena tekanan frustrasi.<br />
<br />
Hampir-hampir saja keyakinan terhadap Iman melepuh. Hanya bacaan dan buku yang kerap jadi penyelamat. Sedikit hati terbasuh oleh harapan. Batin terbisiki oleh sepoi optimisme. Atau di saat melihat keluarga, anak dan isteri, semangat tempur bergelora kembali. Namun...<br />
<br />
Tuhan, bukankah Engkau Maha Tahu aku adalah serapuh-rapuhnya hambamu? Betapa tak kuasanya aku terhadap tekanan, peristiwa getir, dan cobaan-cobaanMU? Keyakinan terhadap KekuasaanMU, memang, tak lekang dalam hidup, akan tetapi Imanku tak teguh. PertolonganMU, ya Allah... Kasih sayangMU... <br />
<br />
Benak kini tergulung-gulung oleh amarah dan kesumat. Hati menggumpal dalam kebencian dan kemarahan. Insya Allah, ya Rabb, dengan pertolonganMU, aku tak terjerumus dalam kekalutan dan berbuat angkara. Akan tetapi jiwa kian rapuh. <br />
<br />
Tak ingin dalam keadaan seperti ini, sebenarnya. Hati ini mendamba tenang. Batin ingin bersyukur. Jiwa butuh resapan manisnya hidayah dan petunjukMU. Akan tetapi betapa tak mudah. Selalu, dan selalu bertemu dengan rangakain kejadian yang aku yakin datang dari MU. Ya Allah, jika selama ini Engkau berkuasa dan mengizinkan keburukan selalu datang, bukankah hanya Engkau pula yang sanggup menyingkirkannya? Ya, Allah, betapa inginnya aku menjadi hambaMU yang beruntung... Tolong aku, ya, Rabb...<br />
<br />
Bukankah aku hambaMU yang sama seperti orang lain?Buku dan Renunganku...http://www.blogger.com/profile/15117190922345687552noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5991389515501862059.post-3792693367931806082011-03-15T10:12:00.000-07:002012-04-23T22:00:26.708-07:00The Story of My Former Boss: Extravaganza DukaDitangan orang-orang bengis, maka tangis berubah menjadi kisah politis...<br />
<br />
<br />
Empat puluh hari kematian seseorang adalah bau hangat yang masih terendus. Nuansa khidmat dan penuh hormat, akan larut di batin orang-orang yang tunduk pada kaidah perputaran nasib. Inilah petikan hikmah kematian, yang berlaku bagi siapapun sahaja. Bahwa kematian adalah garis takdir yang tak bisa digeser, tetapi orang-orang yang hidup mestinya tidak memetik manfaat lain, kecuali mendaras doa dan shodakoh kebaikan.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
<br />
Tetapi orang itu sanggup ke luar dari batas kelaziman. Duka sejati, tidak meronta dalam sorotan. Memeram tangis yang tersedak dalam keheningan. Ia akan menghindar dari ingar bingar. Inilah duka sepenuhnya. Harapan yang berkumandang adalah untuk kebaikan-kebaikan orang yang "meninggalkan", sekaligus untuk orang-orang yang "ditinggalkan". Tak lantas berputar-putar dalam skenario kenikmatan yang dirancang memenuhi ego pribadi.<br />
<br />
<br />
Inilah selebrasi kematian yang secara langsung aku lihat dengan mata kepala sendiri. Bos ku telah pergi. Kami menorehkan banyak kenangan. Ia, baik atau buruk, tetap saja bagian dari sejarah hidup kami. Tetapi, aku marah ketika mengetahui bahwa setelah ia pergi sekalipun, masih ada orang-orang yang memanfaatkan namanya, popularitasnya, dan segala kenangan orang yang melekat... Sebuah extravaganza duka...Buku dan Renunganku...http://www.blogger.com/profile/15117190922345687552noreply@blogger.com0