Selasa, Desember 09, 2014

Catatan dari Liang Lahat

Selasa, 9 Desember 2014, Uwa Atut (Pamanku) wafat dan dikuburkan:
Membujur kaku dalam lilitan kain kafan. Di kedalaman liang kubur. Perlahan ditutup dengan tanah merah yang gembur. Serta isak tangis dan jerit tertahan. Pak Ustadz melafadzkan Al Quran dengan ritmis. Di ujung prosesi, satu persatu sanak keluarga menaburkan air di atas pusara. Lalu Almarhum tinggal sendiri. Para pelayat pulang...

Benak berkecamuk. Tadi malam masih terilbat obrolan lepas hingga jam 12.00, tapi siang ini melepasnya pergi. Duhai, nasib dan rezekimu sudah dicukupkan oleh Allah. Semua urusanmu sudah selesai...

Tapi malamnya, sepulang tahlil, mata tak bisa terpejam. Terbayang segala hal. Almarhum adalah seorang Mamang (Bahasa Sunda, artinya Paman) yang sangat pendiam, pemalu, dan tak banyak tingkah. Jalan hidupnya lurus-lurus saja. Satu-satunya minat beliau yang sangat kencang adalah mengamati Berita Politik. Entah mengapa, Almarhum begitu suka berdiskusi tema politik (yang ia saksikan di Televisi). Sifat pemalu dan pendiamnya hilang, jika aku bertamu ke rumahnya, dan duduk ngobrol ---sembari ngopi.

Tetapi itupun ---agaknya--- hanya berlaku dengan aku. Sebab dengan yang lain ia jarang seperti itu.

Aneh, malam sebelum beliau pergi, ia begitu menggebu-gebu bertanya soal politik, yakni perseteruan Golkar. Lebih aneh lagi, aku kehilangan minat sama sekali. Sama sekali aku tak menanggapi. Hanya diam dan cuek. Sepertinya ia kecewa, karena langsung terlihat tidur-tiduran, bermalas-malasan. Jam 12.00, aku pergi pamit, pulang. Dan begitulah... siangnya pas aku di kantor, berita mengejutkan itu datang: Mamang tergolek di Rumah Sakit, kritis, dan harapan tipis untuk bertahan...



Selasa, Desember 02, 2014

Belum Mati!

Bertarung habis-habisan sering sudah. Bekerja siang malam. Berpikir keras. Belajar tuntas. Menadah serangan dan menghadapi kesulitan, tentu saja jadi bagian. Lalu semua itu berakhir dengan kemenangan, ya ada beberapa. Tapi juga terkadang mengalami kekalahan. Biasa saja.

Tetapi yang benar-benar susah dijelaskan adalah menang tapi tak dapat apa-apa. Juara tanpa mahkota.

Pastilah semua itu membuat amarah membuncah. Mengapa begitu keras segala yang terjadi. Seolah semuanya adalah garis nasib yang akan terus begitu. Mati-matian selalu meyakinkan diri bahwa kelak akan ada balasan yang menyenangkan. Meski itu tak juga terjadi.

Satu hal pasti, aku belum mati. Saat ini pertaruhan bukan hanya untuk nyawa, pikiran, dan tubuh ini. Tetapi dua orang anak yang manis-manis, lucu, dan pintar. Juga untuk isteri yang setia (sedih juga, dia lebih sering menghadapi duka tinimbang derita).

Iya, belum mati. Masih bisa berikhtiar. Masih terbuka peluang bertarung lagi.