Kamis, Mei 28, 2009

Mukzijat Itu Nyata....

Dengan mengucap Bismillahirrahmanirrahiem: saya sangat menyukai kidung religi Ummat Nasrani, berjudul Mukjizat Itu Nyata. Tak ada kata-kata yang kurasa mengeroposi ketauhidan. Netral saja. Jadi, amanlah untuk kudendangkan sewaktu-waktu.

Tetapi lagu memang bisa berarti apa saja. Kisah masa kecil bermain layangan, abadi dalam lirik Layang-Layang. Kerinduan tentang sosok mama, mengalun syahdu di lagu Julius Sitanggang (Mama, oh Mama), atau dendang Nyong Ambon tentang Mama'e. Secara agak vulgar, kenyataan pahit kehidupan juga sering tercantum dalam bait-bait lagu dangdut. Mulai dari ingin bunuh diri, merasa paling miskin di dunia, sampai kekenesan menjadi janda atau puteri panggung, adalah tema-tema khas di dendang dangdut. Meski tak suka, beberapa lirik "ajaib" versi dangdut, masuk dalam batok memori. Mau bagaimana lagi, pengamen di bus kota, kawan nongkrong di kampung, sampai sound system tetangga sebelah, hobinya seperti itu.

Sulit meracik definisi tentang makna lagu. Jika kata-kata yang terhimpun adalah: rangkaian kata yang indah, diiringi musik merdu, dengan suara vokal aduhai, maka itu tak terlalu cukup menjelaskan. Pokok perkaranya: justru banyak yang kebalikan dari itu semua terhidang dalam lagu. Coba jujur: kata-kata jorok-cengeng-vulgar, juga bisa jadi lagu laku. Pun dengan suara sember atau fals, malah bisa jadi penyanyi beken. Begitu pula dengan iringan musik brung-brang tak tentu irama, malah digilai anak-anak muda.

Lebih baik memang membuat kategori sendiri. Saya misalnya, memperlakukan lagu (lengkap dengan musik, vokal, dan piranti pendukngnya) semata sebagai alat hiburan. Dengan fungsi yang belum tentu menghibur... Karena terkadang dalam keadaan terpaksa. Rasanya belum bisa lirik lagu menjadi bagian dari inspirasi. Apalagi untuk menjadi api penyemangant. Ketika merunduk takzim dalam upacara bendera menyanyikan Indonesia Raya, batin tidak tersaput rasa takzim. Paling banter, haru mengenang Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir. Tak pernah menetes air mata ini karena lagu. Lebih cocoknya: belum!

Nah, di titik inilah Lagu Mukjijat Itu Nyata cocok buat saya. Ia menghibur ---tanpa inspirasi tanpa semangat. Lagipula, kenal dengan kidung rohani inipun dalam keadaan tak sengaja (dengar dari statisiun radio dan sesekali dari vokal artis bus kota).

Menggali Makna
Saya tak tahu, bagaimana tafsir Mukzijat dalam teologi Kristen. Mungkin saja ada titik persamaan, dan juga garis pembeda dengan keyakinan ke-Islaman yang saya anut. Mencoba mengira-ngira, unsur keajaiban, keuasaan Tuhan, penyelamatan, dan pembuktian akan keagungan Allah serta para Rosul, ada dalam tafsir Mukzijat dalam Islam maupun Kristen. Toh, sesungguhnya dua religi ini terikat dalam kesamaan sejarah. Sama-sama Agama Samawi yang masuk dalam keluarga besar Nabi Ibrahim. Mengutip istilah Nurcholis Madjid, Islam, Kristen dan Yahudu sejatinya adalah Abrahamic Religions (agama yang lahir dari rumpun keluarga Nabi Ibrahim).

Mukjizat dalam penjelasan ahli tafsir DR. Quraish Shihab adalah pertolongan Allah sebagai bukti kerasulan seorang Nabi, yang diberikan khusus kepada Nabi pilihan. Ini dirancang oleh Allah untuk menjawab pelecehan dari kaum kafir terhadap para nabi. Mulai dari tongkat Musa terhadap pasukan Fir'aun, Nabi Isa yang mampu menyembuhkan orang buta, dan Nabi Ibrahim yang lolos dari kobaran api yang menggelegak. Nabi Muhammad pun, untuk kategori ini juga diberi mukjizat, yaitu lolos dari kepungan "pedang terhunus" kaum Quraisy, setelah bersembunyi di mulut goa (dan pintu goa itu tertutup kembali oleh sarang laba-laba, seolah sudah ratusan tahun tak dilewati, kafir Quraisy pun terkecoh, padahal mondar-mandir persis di depan pintu goa).

Setingkat di bawah Mukjizat adalah Karomah. Inipun adalah kekuasaan Tuhan yang dimata manusia sangat tidak mungkin, tetapi justru terjadi. Penerima Karomah adalah golongan orang-orang pilihan, manusia sholeh, anbiya, wali, ataupun para ulama/ kyai khos. Pokoknya mereka memiliki kualitas iman lebih baik di banding orang-orang biasa seperti kita. Berpuluh-puluh kisah populer ---terutama dari cerita sufistik--- membeberkan tentang karomah yang berada dalam diri para wali. Hingga hari inipun, di Jawa, karomah para wali masih dipegang. Terbukti dari persepsi (sebenarnya keliru) para peziarah yang ingin mendapatkan karomah.

Di level paling akhir adalah Ma'unah, atau pertolongan Allah. Ini dianugarehkan oleh Allah kepada manusia-manusia biasa seperti kita. Berbentuk pertolongan yang datang tak diduga, seringkali ajaib alias di luar nalar, tetapi justru terjadi. Dalam kecelakaan maut di jalan tol, mobil ringsek berguling-guling, tetapi ada orang yang selamat, lecet pun tidak. Nah, inilah karomah. Rasio akan mengatakan mustahil bisa selamat. Tetapi Allah berkehendak lain, orang ini bisa hidup jauh dari celaka! Barangkali orang-orang di sekitar kita banyak yang mengalami hal ini. Termasuk anda....

Butuh Pertolongan (Ma'unah)
Hari-hari terakhir ini dengan teramat sangat saya membutuhkan pertolongan Allah. Agar diselamatkan dari kungkungan kotoran hati yang melekat. Penyakit itu sesungguhnya tak ingin saya pelihara, ingin dienyahkan dalam benak dan kalbu. Saya tak ingin membenci, marah, ataupun berputus asa. Lagipula, sesungguhnya itu berhasil. Kalaupun muncul, sejenak saja, segera terusir oleh berbagai sebab. Lebih-lebih saya bersumpah untuk tidak membenci, marah, dengki, apalagi dendam, terhadap seseorang. Masalahnya, sering kali kejadian yang berulang dari sumber yang sama, yang membuat saya benci, marah, dendam. Meski berhasil diatasi, tetapi saya takut kalah oleh kekecewaan yang teramat mendalam. Tolong aku ya Allah....

Saya juga butuh ma'unah, agar optimisme (prasangka baik, husnus zhon) tetap berkobar di jiwa raga dan pikiran. Sebab kenyataan yang dihadapi sekarang ini terasa merentakkan tulang punggung. Beban bertumpuk-tumpuk seperti tak mau lepas.

Allah juga maha tahu, bagaimana kondisi (ekonomi) yang memburuk terakhir ini. Allah pasti punya skenario dan rencana tertentu. Tentu saja aku memohon diselamatkan. Jangan sampai keadaan ini meluluh-lantakan bangunan iman dan keyakinan. Takut jika gagal, aku melampiaskan kebuntuan hidup ini kepada perkara yang tidak perlu. Kalaupun harus sedih, cemas, was-was, khawatir, itu manusiawi belaka. Asal jangan menjadi permanen dan mengendap menjadi perilaku buruk. Tolong aku, ya Allah....

Pilihan Keras, Keras Pilihan















Hidup harus berani memilih, sekalipun sering kita terpojok tanpa alternatif. Hanya satu-satunya opsi yang tersedia, dan dengan resiko yang berat pula. Tetapi, meski tawarannya tunggal, toh, judulnya mesti memilih.

Dalam serbuan tekanan hidup, berhadapan dengan kerasnya persaingan, serta kesulitan yang membekap, sering kali membuat kita nyaris limbung. Seolah tiada lagi yang bisa menyelamatkan. Seluruh harapan akan terjadinya perbaikan tumpas. Posisi seperti ini biasanya membuat kita rapuh. Jangan heran bila kemudian terjadi hal-hal yang aneh, yang dijadikan pilihan orang sebagai "peluang" penyelamatan. Lari ke dukun, merampok, berjudi, menenggak minuman keras, dan semacamnya adalah perilaku yang memperlihatkan pilihan mentok! Sepertinya tak ada sesuatu apapun yang bisa dijadikan gantungan. Seorang kawan, dengan cerdas membuat perumpamaan: dalam keadaan krisis, benang basahpun dijadikan tongkat penopang....

Saya sekarang berada dalam status tertekan luar biasa. Juga miskin ---kalau tak ingin menyebut sama sekali tak ada--- pilihan. Kerja keras, dedikasi, seperti kapas tersaput angin, hilang tiada guna. Mentalitas juga dijajah, tak ada respon baik. Minus penghargaan dan respon. Malahan cercaan, hujatan, dan penghinaan bermunculan. Bukan hanya hak yang tak bisa diperoleh. Bahkan untuk sekedar mendapat perlakuan wajar sekalipun tak dapat. Betapa buruknya keadaan ini.

Mungkin bisa saja tersedia banyak pilihan: berhenti kerja, keluar, dan tak perlu datang kembali. Tetapi hal ini nyaris musykil. Sebab saya masih membutuhkan gaji bulanan, yang lumayan cukup untuk penghidupan keluarga. Dengan lain istilah, saya terjebak.

Tak kalah ringan, sesungguhnya, untuk tetap bertahan. Takut bahwa semua itu menggumpal menjadi bara dendam, kebencian, dan sifat negatif dalam hati. Pengulangan-pengulangan atas perlakuan yang tak enak, jelas adalah gangguan. Sementara, kreativitas aku untuk menghindari keburukan itu habis sudah. Bersikap getol dalam kerja sudah. Mengabdi siang malam juga dilakoni. Berhasil dalam memperjuangkan keinginan bos, telah tergapai. Semua. Seluruh yang terbaik dalam diri terpaparkan. Tetapi, ya itu tadi, no response!

Hanya ketundukkan yang tersedia. Pasrah bersimpuh dalam kuasa Allah. Barangkali ini sikap petarung yang lehernya terhunus tombak lawan. Tetapi apa daya, hanya itu pilihan yang tersedia. Jadi aku datang kepada Allah, bukan dengan kualitas iman teruji. Tetapi karena lelah oleh kekalahan.... Adapun niat untuk memperbaiki diri dan amaliah, itu adalah ikhtiar belaka. Sebab yakin seyakin-yakinnya, Allah Maha Tahu apa yang ada dalam diri kita. Satu hal saja yang bisa dipegang: bahwa orang pecundang yang datang kepadaNYA bukanlah perbuatan dosa!

Berani Memilih
Awalnya memang terpojok oleh kekejaman situasi. Tetapi pikiranku berontak! Tidak bisa.... Harus ada sesuatu yang bermakna. Tak boleh pasrah begitu saja. Justru kepasrahan ini wajib menjadi sikap baru, pilihan baru. Bahwa aku akan menyerahkan segala-galanya total kepada kehendak Allah. Pikiranku, jiwaku, hatiku, ragaku, hari ini benar-benar mengakui kekuasaan Illahi Robi.

Ini adalah pilihan keras. Tak boleh lembek dan gampang dipilin-pilin, berubah bentuk dan kondisi. Kalau bisa sekeras dinding tebing. Senarai sumpah berkumandang. Ya Allah, aku telah memilih Engkau sebagai jalan kebenaran.... Pusatkan seluruh jiwa, hati, pikiran, raga, hanya kepadaMU.

Pengharapanku adalah perubahan. Mental tak boleh lembek. Tujuan harus jelas. Ketekunan dan kegigihan dalam bekerja kudu bangkit. Ikhtiar dan perjuangan dalam menggapai rezeki harus serius. Amaliah dan pengabdian kepada perintah Allah juga semakin baik. Dan jangan sampai semua itu tertuju kepada mahlukMU, ya Allah. Hanya untuk jalanMU, ya Rabbi....

Terseok
Bukan jalan sederhana. Sebabnya adalah mentalitas dan karakter pribadi aku yang goyah. Gampang limbung oleh sapuan angin. Tetapi bukan berarti tak ada pertahanan sama sekali. Beberapa perilaku baik masih bisa kupertahankan. Klaim ini bukan berbasis kesombongan, melainkan harapan akan mendapat perlindungan dari Allah. Meskipun terseok, jalan menuju keberananMU, ya Allah, akan terus kuperjuangkan. Amien.

Selasa, Mei 26, 2009

Luar Biasa Tertinggal....

Banyak pribadi yang mampu menaklukkan lingkungan. Dalam jumlah yang jauh lebih besar justru sebaliknya, patah bertekuk tulang punggung, dibekap buruknya suasana sekitaran. Ibarat rebung bambu di kebun liar, hanya beberapa batang saja yang tinggi menjulang, sisanya pupus menjadi renik.

Aku adalah sosok yang nyaris kalah ---jika tak ingin disebut tumpas sama sekali! Menjadi benih yang tidak tumbuh malah terserap ke dalam taburan tanah dan becekkan lumpur. Berkali-kali, sebagai sebuah bibit, aku terlempar dalam berupa-rupa ladang. Kadang mendapat lahan persemaian yang cocok, tapi berkali-kali juga terlempar di sahara tandus. Atau sesekali tetirah di padang nyaman. Dari proses penyemaian itu, bukannya tinggi menjulang malahan amblas ditelah kerasnya persaingan hidup.

Setelah lama berselancar dalam jejaring sosial bernama Facebook, untuk kesekian kali batinku tergetar. Kaget oleh gedoran informasi tentang kisah bagus dari kawan-kawan (terutama kawan kuliah dulu). Betapa batin tidak meratap, mereka yang start bareng, mengambil lintasan yang sama, dengan fasilitas yang standar pula, toh bisa melambung jauh ---jauh meninggalkan aku sendirian.

Kini mereka bertebaran dengan profesi dan prestasi masing-masing. Fastabikul Khoirah, berlomba-lomba dalam kebaikan. Sementara aku terpuruk dalam kebengisan nasib. Dalam kungkungan kedholiman. Terpatok oleh sergapan rasa takut dan khawatir.

Bila kawan-kawan mampu mengubah jati diri, aku malah mengangkangi karakter dan idealisme yang dulu disemai. Dalam fase kuliah dan merintis kemampuan, akulah yang paling idealis dan sangat bersemangat dalam mengejar ilmu. Berani melawan, kritis, dan tak kenal surut. Kini semuanya berbalik. Merunduk, kalah, hanya bisa meratap-ratap. Memalukan!

Memang sejujurnya sering aku mengucap Alhamdulillah atas keberhasilan kawan-kawan. Beberapa di antara mereka tercatat luar biasa. Menjadi penulis hebat, bukunya laku, dan menekuni profesi terhormat: dokter ---adalah cerita salah satu senior yang sukses. Pun begitu, yang lebih junior, tak kurang hebatnya: sebagai Public Relations Offiecer di Perusahan Raksasa. Sementara yang lain, terserak di aneka bidang pengabdian. Seperti menjadi diplomat di KBRI Timor Loro Sae, sebagai jurnalis, profesi perbankan, praktisi bidang asuransi, politisi, anggota dewan, anggota KPU, dan banyak lagi. Hanya aku yang terpuruk....

Entahlah... Ini sebagai balasan atas kesombongan dan lelaku dulu, sebentuk ujian, atau (ini mendekati kepastian), memang hasil dari seluruh proses yang telah dirintis.

Satu hal yang paling aku takuti: putus asa terhadap Rahmat Allah, marah terhadap Illahi Rabbi, menyimpan kesumat yang tak habis. Jika ini semua terjadi, selesailah semua. Habis cerita tentang manfaat ilmu. Tak ada arti tentang kebijaksanaan hidup. Pupus semua makna kesabaran.

Semoga kekejaman perjalanan ini tak melemparkan aku ke sudut paling hitam itu. Biarlah sementara ini mungkin aku terlempar, terpojok dalam ketertinggalan. Tetapi aku ingin tegar dalam keyakinan. Semangat harus tetap meluap-luap. Titik api kebangkitan masih menyala. Artinya ada peluang untuk memutar kendali. Meski tertatih, aku harus tetap berjalan ke arah yang hendak digapai. Menuju jalan yang Engkau Ridhloi. Tolong Aku, ya Allah....

Potensi
Meski bimbang dalam bersikap, tetapi harapan masih tersisa. Kini untuk sekedar mendefinisikan apakah dosa proses kerja yang kurintis saja aku tak bisa menjawab. Perasaan bersalah menyembul karena aku menjadi bagian yang menunjang kemulusan proses orang yang dungu-lalim-jumawa. Juga terlibat dalam perkara-perkara politik yang tidak jujur, merampok uang rakyat dalam jumlah banyak. Tapi aku adalah pendosa yang sial, resikonya kena, tetapi uangnya tak dapat.

Tetapi untuk ke luar dan berhenti juga tak berani. Karena itu adalah sandaran nafkah. Keluargaku tak punya apa-apa. Bahkan dalam beberapa hal, aku mesti mencukupi kebutuhan keluarga isteri. Alhamdulillah, sekarang mereka masing-masing sudah berkeluarga, jadi ada yang menopang. Aku adalah tongkat penopang keluarga. Jika berhenti memperoleh rezeki dalam satu bulan saja, bisa babak bundas! Kasihan anak dan isteri.

Dalam perenungan, tak ada ujung yang terang: salahkah aku atas pekerjaan ini. Juga sebaliknya: dosakah aku bila berhenti? Hingga kini menanti-nanti hikmah dan hidayah dari Allah. Agar batinku tenang.

Potensi diri yang kumiliki, akhirnya, tak tergarap optimal. Karena berada dalam posisi takut dan tak pasti.

Bertekad
Skenario yang kurancang, dan pelan-pelan dilakukan adalah bertahan sembari mencari profesi yang pas. Biarlah, pahit getir, gelap terang, badai ombak, petir halilintar, sigap kuhadap. Menjadi perlaya sekalipun tak masalah. Pengabdian aku harus cukup dan tuntas!

Dalam gemuruh proses itu, keinginanku adalah mencari sekoci penyelamatan, agar segenap potensi dan kemampuan bisa dimanfaatkan. Misalnya sambil terus menulis, mengirimkannya ke media massa, menulis blog, atau membantu beberapa kawan. Lalu, meski dengan ketidakpastian yang tinggi, mengirim lamaran kerja ke sana dan ke sini. Diiringi dengan proses pendalaman hikmah ke-Islam-an, mempraktekan sepuluh amaliah baik yang sangat ingin kurutinkan. Bila strategi ini berjalan sempurna, mungkin akan ada titik terang.

Mestinya memang tidak memakai kata "mungkin", sebab itu adalah pertanda keraguan. Harus pasti. Memastikan diri untuk terus produktif menulis ---dan sebanyak mungkin membaca, tentu saja. Inilah daya tawar yang paling potensial membantu aku dalam profesi dan prestasi. Kemudian bermunajat meminta dengan sungguh-sungguh kepada Allah, agar aku dibebaskan dari suasana serba tidak nyaman ini.

Bersyukur
Betapapun pahit dan jengkel, aku harus tetap bersyukur. Allah masih memberi kesempatan. Tertinggal dan kalah adalah lumrah, yang penting jangan pengecut lari tunggang langgang dari gelanggang.

Ya Allah, teguhkan niat aku untuk terus produktif menulis dan membaca. Baik dalam tema ke-Islaman ataupun yang berkaitan dengan profesi yang aku tekuni.

Ya Allah, jadikan sepuluh amaliah harian menjadi rutin dalam diriku....

Ya Allah, berikan aku kemudahan dalam mencari rezeki....

Merutinkan Shodaqoh

Merutinkan shodaqoh agar menjadi bioritme dan individual habbit dalam diri. Dalam urusan yang ini aku tak bisa muluk-muluk. Penghasilan pas-pasan. Tanggungan di rumah cukup banyak. Tak mungkin bisa seperti orang lain, punya anggaran khusus dan membuka rekening untuk didermakan ke berbagai lembaga (tentu, yang terpercaya, terbukti bermanfaat bagi ummat). Semangatkul berlatar dari niat sederhana: ada amal ibadah yang bisa ringan aku lakukan, kalau bisa otomatis terjadi, tanpa pertimbangan rupa-rupa.


Rutinitas Mudah
Pilihannya adalah shodaqoh. Agaknya ini tak terlalu berat ---dibanding merutinkan Shalat Tahadjud, misalnya. Sejumlah faktor pendukung telah tersedia. Bukan sesuatu yang berat, terutama dalam perjalanan hidupku, untuk mau menolong orang lain yang kesusahan. Pun, tabiat pelit dan kemaruk, sulit kulakukan. Dalam kondisi tertentu, perilaku mudah ke luar uang itupun bahkan menjurus buruk: misalnya nraktir teman, membebaskan rokok untuk diisap bersama, atau untuk main-main. Jadi urusannya adalah tinggal mengkonversi. Judulnya tetap sama: ke luar uang untuk pihak lain. Hanya arahnya dibelokkan, untuk perkara yang lebih punya guna.

Itupun bila kategori shodaqoh terbatas pada uang. Lantaran, setahuku, masih banyak amaliah lain yang masuk ke kelompok itu. Membantu tenaga dan pikiran untuk kepentingan bersama. Bermuka ramah. Mudah tersenyum. Juga bagian dari "derma". Insya Allah, semua itu mendapat persetujuannya. Nah, sekali lagi, perilaku seperti itupun bukan perkara berat untuk aku jalani.

Janji disertai tekad dan membiasakan dalam perilaku harian ini lumayan berbekas. Setiap hari, berapapun jumlahnya, dan seperti apapun bentuknya, selalu berjuang agar bisa bershodaqoh. Kebetulan, terdapat beberapa "fasilitas" yang mendorong untuk itu.

Terutama di hari kerja. Dari rumah hingga ke kantor, puluhan hingga belasan orang yang butuh bantuan selalu kujumpai. Mulai dari pengemis cacat di atas jembatan penyeberangan sampai pengamen yang ---terlihat sangat---- butuh uluaran tangan. Tak jarang aku mengamati bahwa pengamen itu terkesan lapar, belum makan. Tangan mereka gemeletar ---jauh dari kesan dibuat-buat. Dalam urusan ini, aku lebih percaya nurani. Kalaupun misalnya aku salah memberi, biarlah itu menjadi urusan Allah.

Sementara untuk lingkungan sekitar, tak sedikit keluarga yang kurang beruntung. Aku akrab dengan mereka. Anak-anak yatim adalah sasaran utama, mereka toh, butuh jajan dan perlu uang. Sementara tetangga yang kurang mampu dari sisi ekonomi, kubantu sebisanya. Tak ada itikad sombong dalam hal ini. Hati terlepas dari kejumawaan. Bahkan yang sering terbersit adalah kesedihan, bahwa Allah mengingatkan aku ---masih bisa memberi dan berbagi.


Sekedar Kisah
Saya cukup banyak membaca referensi dan pengalaman terhadap orang-orang yang ringan tangan. Rata-rata kisahnya memberi inspirasi dan meneguhkan niat ---Allah akan membalas orang-orang yang berbuat baik. Meskipun, dari sejumlah artikel, tak sedikit juga yang menceritakan kerasnya proses pembiasaan diri dalam bershodaqoh. Dua hal itu, yaitu masalah balasan Allah dan proses yang berat, juga sempat mampir dalam hidupku.

Paling fenomenal adalah mendapat uang tak terduga berjumlah luar biasa ----tentu dalam ukuran aku. Di luar dugaan dan bayangan. Tiba-tiba aku mendapat pemberian dari suatu pihak sebesar Rp 20.000.000 (dua puluh juta rupiah). Kondisi yang terjadi ketika uang itu kuterima juga menambah keharuan. Maklum, persis satu minggu sebelumnya, cadangan uang terkuras. Terpakai untuk membantu biaya rumah sakit adik ipar, berjumlah kurang lebih Rp. 1 juta rupiah. Saat membantu, tak ada pikiran macam-macam. Kecuali niat bahwa memang adik ipar harus dibantu ---mereka juga sama-sama miskin seperti aku, tak punya uang.

Kurang lebih, dari penuturan tausiah Ustadz Yusuf Mansur, bahwa balasan Allah adalah 1o kali lipat. Tapi hari itu aku mendapat 20 kali lipat!

Beberapa kejadian lain juga pernah hinggap. Di Bulan Ramadhan tahun lalu juga sempat mencicipi nikmat balasan shodaq0h. Ceritanya: di dalam bis, ada Bapak yang mengeluh kehabisan ongkos pulang. Dia mencoba menawarkan pakaian bekas yang dibawa ---katanya, ia bekerja di Tangerang, tetapi di tipu oleh mandor, pekerjaan mereka tak dibayar. Aku, saat itu, hanya punya uang pas-pasan. Tapi hati tak bisa dilawan. Segera saja, kuberi uang pada si Bapak, jumlahnya persis Rp 12.000. Tak sampai belasan jam, Allah mengganti. Sore harinya, aku ditelepon Bos, agar mampir ke rumahnya. Malamnya, ia mengajak aku jalan, membantu ursan pekerjaan. Begitu pulang, aku diberi ongkos taksi, sejumlah Rp. 600.000. Aku tak bisa menghitung, berapa kali lipat balasan itu?

Bila dirangkai-rangkai, ceritanya panjang. Pernah tak punya uang ketika lebaran, malah nekat disumbang ke anak yatim. Begitu masuk kerja hari pertama, bos malah memberi uang, tanpa prasyarat apapun, benar-benar memberi. Jumlahnya menyelamatkan perekenomian keluarga untuk beberapa hari, sejumlah Rp. 2.500.000. Pesannya hanya satu: kamu segera cukur rambut kamu, biar rapi! Atau, menolong korban kecelakaan, bayar biaya pengobatan luka ringan, jumlahnya Rp 150.000. Beberapa hari kemudian, urusan yang membuat aku stress, tiba-tiba selesai! Balasannya memang bukan uang, tapi SK pengangkatan aku sebagai Staf Ahli, dengan gaji yang baru. Alhamdulillah....

Hari-hari terakhir ini, aku berada dalam tekanan berat. Pekerjaan agak terganggu. Sikap bos membuat kurang nyaman. Dan keuangan terkuras. Mudah-mudahan Allah memberi pertolongan. Tapi ada satu hal yang sangat kuinginkan dari merutinkan shodaqoh ini. Yaitu agar Allah membimbing hati, pikiran, jasmani, agar selalu bersujud. Agar rutinitas shodaqoh ini juga mendorong aku lebih banyak melakukan amaliah lain. Mulai dari sholat, membaca Al Quran, menggali ilmu (hikmah) ke-Islam-an, menjaga amanat, berpuasa sunnah, sholat dhuha, dan lain sebagainya. Bantu aku, Ya Allah....

Senin, Mei 25, 2009

Mencari Makna Shodaqoh Sejati

Petikan pengalaman dari situs www.wisatahati.com, yang dikelola ikon shodaqoh Indonesia, Ustadz Yusuf Mansur, menebalkan keyakinan diri. Tak ada yang sia-sia dengan perbuatan baik. Surat Ar Rahman menyebut: Jazaul Ikhsan ila Ikhsan, perbuatan yang baik pasti berbalas kebaikan. Begitupun dengan nasehat-nasehat dari orang tua dan guru kita, ada ubi ada talas. Ada budi ada talas.

Namun penyikapan tak bisa gegabah, bahwa tausiah itu adalah berbentuk verbal, matematis dan saklek. Bahwa dalil tentang manfaat shodaqoh ---dan berbuat baik--- adalah memang haqul yakin benar. Tetapi bentuk konsekuensinya, atau balasannya, bisa beragam. Tidak monolitik, misalnya kalau kita sedekah Rp. 10.000, maka Tuhan segera mengganti dengan Rp. 100.000. Bukan begitu (meski bisa saja itu terjadi). Kalau cuma sebegitu, justru akan menjadi masalah, karena kering makna dan miskin hikmah. Lagipula, balasan rezeki dari Allah tak melulu uang dan materi.

Saya bahkan ada dalam barisan orang yang menganggap rezeki itu lebih dari sekedar bentuk (uang, barang, atau bentuk fisik lainnya). Rezeki Allah itu lebar, seluas lanskap pemikiran dan persepsi kita. Artinya, dalam kondisi tertentu, bisa saja sakit hati pun adalah rezeki, jika persepsi kita justru memaknai dengan positif. Banyak pihak membuktikan, rezeki yang dalam perwujudan awalnya tidak mengenakan, tetapi malah berkesan nikmat di sisi akhir. Misalnya tentang seorang penumpang kereta api, yang mati-matian berjuang beli tiket, tapi tak berhasil (padahal sebelum berangkat, ia sudah sholat, berdoa, minta restu keluarga, dan mengeluarkan uang untuk bershodaqoh. Tetapi, dalam hitungan jam, ia justru merasa sangat beruntung, lantaran tak berhasil dapat tiket ----kereta api yang akan ditumpanginya kecelakaan, dan memakan banyak korban jiwa.

Intinya, hati-hati memaknai balasan rezeki Allah atas aktivitas shodaqoh kita, agar tak jatuh pada lelaku materialistik!

Kamis, Mei 21, 2009

Tim Gegana atau Pawang Singa?

Hawa nafsu itu seperti singa, kata sebuah nasehat. Terlalu liar, akan sulit ditaklukan. Bisa-bisa malah muka robek tercakar.

Menjinakannyapun tak bisa sesegera yang kita ingin. Mesti telaten, ekstra hati-hati, dan butuh ilmu ---mungkin petugas di Ragunan dan Taman Safari paham betul soal ini. Saya tak tahu tabiat singa, apakah liar tetapi hatinya baik, atau memang buas karena memang tuntutan alamiah? Tetapi agak bisa diyakini, bahwa segalak-galaknya raja hutan itu, tak pernah terdengar memperkosa anaknya sendiri....

Tamsil barusan sepadan dengan cara olah kita terhadap hawa nafsu. Dalam kaitan ini, maksudnya terbatas pada masalah amarah, kerakusan, birahi, kesombongan, jumawa, egois, kesenangan duniawi, dan ingin menang sendiri. Ada memang tafsir teliti terhadap masalah ini, setidaknya yang pernah saya baca dalam buku Nafsiologi dalam Islam.


Terlena Terbiasa
Jika terlampau longgar dan umbar amarah tiap saat, sulit mencerna sikap sabar. Pun, kalau mentradisikan diri dalam kebiasaan (mendekati) zina, tentu repot kalau kemudian ingin berhenti. Demikian juga buat nafsu buruk lainnya, semacam kesombongan, egoisme, dan sejenisnya. Lantaran rangkaian dari perilaku yang menjadi rutinitas hidup itu akan menjadi tabiat, atau habit. Wajar jika kita menanggap aneh pendapat yang selalu dipelihara banyak orang, bahwa kelak mereka akan berhenti zina, ketika sudah tua. Atau akan bijak (tak korupsi) di masa pensiun. Lebih konyol lagi yang mencita-citakan kesholehan pada suatu hari nanti, karena hari ini masih ingin bersenang-senang.

Hal-hal yang berkaitan dengan nafsu buruk itu memang berwujud gamblang. Banyak orang yang mampu mengendalikan ---sekurangnya mencegah dan menekan sesedikit mungkin. Tetapi ada urusan yang samar, tetapi dengan dampak perusakan cukup besar. Samar karena seolah berbentuk kebaikan. Padahal sejatinya adalah bentuk dari maksiat dan pelanggaran syariat.

Mudah-mudahan saya tak gegabah. Bahwa kemalasan, pura-pura bersabar padahal hati dongkol, menunda-nunda urusan dengan alasan macam-macam, mengalah karena pengecut, juga adalah bentuk dari manipestasi hawa nafsu (negatif). Bisa jadi perbuatan semacam ini jauh lebih berbahaya dari "kejahatan" yang kasar, seperti memaki dan memarahi orang lain. Logikanya sederhana: bahwa mungkin kita menganggapnya sepele dan membiarkan terus berulang. Hati dan pikiran kita tidak pernah mau bertaubat atas tindak-tanduk "pengecut" seperti itu. Lagi pula, tersedia ratusan alasan pembenaran, atas perilaku kita yang malas, munafik, dan kurang amanat seperti itu.

Ukuran paling jelas adalah justru diri sendiri. Jarang rasanya, saya marah secara terbuka, atau menghakimi orang lain dengan kata-kata pedas atau perbuatan jelek. Tetapi lain soal bila bersikap pengecut, khianat, munafik, dan pemalas. Rasa-rasanya, gunungan dosa dan sumber kelemahan saya ada di situ.

Celakanya, dalam sejumlah peristiwa, tindakan tercela tersebut justru menjadi tameng penyelamatan diri. Seraya membatin dalam hati: "Ini karena terpaksa". Lama kelamaan, resah gulana berkepanjangan. Penyesalan begitu menyiksa. Batin rusuh dan tak enak hati. Pernah juga terisak dalam tangis, (mengapa) ini selalu terjadi?

Dalam diri saya ---pastilah, karena ini juga dari Allah--- tentu ada potensi Singa. Bisa mengaum dalam amuk, gusar dan terjang kanan-kiri. Katakanlah itu bagian dari insting kemanusiaan. Tetapi Singa dalam diri itu relatif jinak, lantaran telaten diurus oleh pawang yang lihai.


Aku Pengecut
Tetapi beda dengan sifat-sifat yang bertentangan dengan karakter Muslim sejati. Idealnya, muslim sejati adalah dia yang berani, teguh pendirian, amanat, dan giat atau rajin. Sungguh sedih, hingga detik ini bioritme saya masih jauh dari hal itu. Kehadiran akhlak tercela (yang saya sebut samar, karena agak sukar terdeteksi) justru lebih sering hadir. Saya adalah ---sering--- menjadi orang yang pengecut. Munafik. Kurang mampu mengemban amanah. Ini adalah siksaan. Seolah jalan hidup saya lepas dari pengawasan ilmu, jauh dari kaidah moral, miskin amanah, dan kalah oleh kelemahan diri.

Butuh lebih dari sekedar pawang untuk menjinakan perilaku kurang terpuji itu. Mungkin perlu Tim Gegana atau Jihandak (penjinak bahan peledak). Karena mereka bekerja dengan alat deteksi canggih, fasilitas komplet, prosedur kerja yang baku, terlatih, dan mampu mengukur resiko.

Ya, diriku butuh Gegana dan Jihandak. Agar ledakan perilaku buruk itu bisa dihindari, kalau bisa membersihkan sebutir kecil apapun potensi dari bom kemunafikan, kepengecutan, dan kemalasan. Semoga Allah memberiku petunjuk. Amien.

Rabu, Mei 06, 2009

Kesejatian... Kekuatan.....

Bagaimanapun tak boleh cengeng. Kekuatan bisa terbentuk justru karena gempuran palu godam. Lihat mutiara, berlian, dan batu-batu mulia. Keras, tapi pancaran pesona dan wiabawanya tanpa saingan.

Api cahaya kesejatian dalam diriku tak boleh meleleh. Sekalipun tiupan menderu-deru. Sesumbar dan tekad yang selama ini menghampar dalam diri, mestinya segera menjadi kristal ----kristalisasi keringat, kata Tukul Arwana. Langkah-langkah tegap adalah awalan yang butuh kusegerakan. Bersandarkan pada sepuluh kebaikan yang disunnahkan oleh Rosul.

Meniatkan dan melaksanakan sholat tahadjud dan shubuh....
Membiasakan (jika memang ada waktu luang dan kesempatan) Sholat Maghrib berjamaah....
Membangun silaturahmi dengan siapapun....
Berbuat baik terhadap sesama....
Bershodakoh secara rutin, harus setiap hari, berapapun nilainya....
Membaca Al Quran....
Menelusur ilmu dan hikmah ke-Islam-an....
Sholat Dhuha....
Mendawamkan dzikir....
Membiasakan Istighfar....

Semoga saja, semua prinsip yang total aku percayai, dan sedikit banyak bisa kulakukan, adalah jalan menuju kesejatian, melahirkan kekuatan.

Bantu aku, ya Allah....