Rabu, Februari 24, 2010

Bunga Ingatan di Taman Academus HMI Manado


Jika mimpi adalah bunga tidur, maka lelucon adalah bunga kesadaran. Tapi kebanyakan orang lebih suka bunga yang lain, semisal Bungalow, Bunga Bank, atau paling tidak Bunga Desa. Rangkaian lelucon berikut saya harap menjadi "bunga ingatan", terhadap apa-apa yang banyak terjadi di belasan tahun lalu, di HMI Cabang Manado.


Mari mulai dari yang terseru. Seorang senior di HMI Cabang Manado, pernah mendapat pertanyaan sepela dari kami para yuniornya. Oh, ya, senior itu juga seorang dokter. Tetapi kami tak pernah tahu apakah ia pernah buka praktek atau sekedar numpang mengamalkan ilmunya ---di klinik orang lain misalnya. Ia lebih dikenal sebagai politisi kawak, Anggota DPRD, dan pengurus di Partai Politik Penguasa (waktu itu, ya, Golkar lah...).


Pertanyaan sepele? Tentu saja. Seorang senior bernama Muin Sumaila, bertanya padanya: Dok, kepala saya agak sakit dan pusing, obatnya apa, ya? Spontan mendapat jawaban: D..e..c..o..l..g..e..n, jo!


Efeknya langsung terasa: kepala Muin itu kian pening. Bisa-bisanya seorang Dokter memberi jawaban yang akan sama mirip jika disodorkan kepada gadis perobek karcis di Studio 21 (mending nanya ke situ, siapa tahu disertai senyum manis, puyeng bisa ilang otomatis). Asli. Kisah ini terjadi di depan mata saya, Muin Sumaila, dan Dokter Makmun Jakfara (mohon dikoreksi jika namanya salah, maklum sudah lama tak berinteraksi dengan beliau-beliau itu). Berlokasi di Manado Beach Hotel (kin sudah bangkrut), saat berlangsung Musda Golkar.


Supaya adil, kawan Muin juga menyimpan cerita unik. Kali ini dari versi dia sendiri ---yang diutarakan ke Haryanto, mantan Ketum HMI Cabang Manado. Pernah suatu kesempatan emas terbuka untuknya, menjadi Kepala Sekolah di Sekolah Dasar paling bergengsi di Manado, seingat saya namanya SD Garuda. Tetapi ia menolak. Mengapa? Karena ngeri berhadapan dengan rapat orang tua murid. Keengganannya bersumber dari satu hal: orang tua murid di sekolah itu justru adalah para seniornya dahulu. Terdiri dari: Jafar Al Katiri, Benny Rhamdani, Katamsi Ginano, Dokter Taufiek Pasiak, dan entah siapa lagi. Lebe bae kita adu mulu denga Walikota, daripada deng dorang... (Begitu, katanya).


Sengaja dimulai dari kisah para senior yang malas bergaul di Facebook. Lumayan untuk mengulik kenangan-kenangan lama. Tokoh paling ditunggu dan mungkin juga paling dikenang oleh kami di HMI Cabang Manado adalah Bang Naid, Mantan Ketua Umum HMI Cabang Manado, periode paruh awal 90-an.


Kisah bersumber dari koran. Bukan kutipan kisah lucu di pojok halaman surat kabar. Bukan! Anda pasti tahu, koran di tangan aktivis bisa bermanfaat banyak. Jadi ganjal meja yang miring. Dimanfaatkan untuk menambal dinding kamar kos yang bolong-bolong. Atau mungkin ditumpuk lalu dijual di akhir bulan ---ketika subsidi orang tua lenyap dan Ibu Warung sudah rewel menagih utang.


Tetapi Bang Naid lain lagi. Fakta ini bukan asal karang. Benar-benari sungguhan. Beliau tak pernah kelihatan kekurangan uang, penampilannya saja selalu plamboyan. Kamar kosnya juga selalu bagus, nggak ada cerita tambal-tambalan. Tetapi, koran bekas di tangan Bang Naid justru menjadi "penambal" penampilan. Caranya: dilipat-lipat seukuran dompet, lalu di masukkan ke kantong celana belakang. Nah, ini membantu menutup kekurangan pada bagian belakang tubuhnya, yang memang tipis itu. Duh...


Mereka yang disebut di atas adalah senior-senior jauh saya. Kini mengarah ke senior dekat, yang kuliahnya hanya beberapa semester di atas saya. Di mulai dari Kanda Mustafa As'ad.


Guyonan hambar kalau sekedar menyebut olahan lidah Sulawesi Selatan yang kental-medok dari lisan beliau. Menyebut James Bond sebagai James Bong, saluran air got menjadi air go, dan lain-lain. Harap dimaklumi saja. Andi Malarangeng saja masih kental lidah orang selatannya, padahal cukup lama merantau di luar negeri. Justru ada sisi keunikan lain. Percaya boleh, tidak pun tak masalah. Dia itu, di awal-awal kuliah, sewaktu masih "hijau" di HMI, ke mana-mana tak lepas dari tradisi di tanah kelahirannya. Apaan? Bawa badik ke mana-mana. Nah, lho, ngaku ya... Namun begitu gairah intelektual menyergap kesadarannya, naluri sirri (harga diri orang Selatan) mulai melunak. Ewako!


Sisipan penting lainnya adalah fakta bahwa masih ada aktivis yang keliru menafsir perintah seniornya.


Di era 97-98-99 HMI Manado mendapat komputer baru, kalau tak salah Pentium II, masih memakai Window 98. Para senior menjaga dengan ketat, agar tak cepat rusak. Suatu saat, muncul perintah seorang senior kepada "bawahannya". De, kurang lebih begitu bahasa instruksi bersuara, tolong dibersihkan komputer itu. Dengan sigap, si Yunior membersihkan benda pintar tersebut. Tetapi, Masya Allah, dia tak cuma menyikat chasing, melainkan juga bagian dalamnya (hard ware). Mending kalau memakai spon lembut, tetapi justru menggunakan sikat cuci, ditambahi dengan busa dan sabun... Cerita ini saya dengar dari Fanny Salamanya, dan pelaku pembersihan adalah La Ode Themrin (ke mana ya, kawan satu ini sekarang?).



Warna-warni keganjilan para aktivis itu memang masih tergolong datar, lantaran tidak disaput dengan nuansa asmara. Tentu saja kawan-kawan di korps Ijo-Itam juga menyimpan romansa yang asyik-asyik, namanya juga anak muda. Beberapa di antaranya malahan tergolong seru. Tak sedikit menjadi bahan ejekan abadi hingga sekarang ini.


Menurut sahibul gosip, banyak KOHATI yang terkena syndrom "menyesal kemudian". Dulu semasa menjadi aktivis, mereka cuek terhadap kaum pria HMI yang memang kebanyakan kumal dan lusuh. Padahal tak sedikit lelaki yang memasang jerat cinta untuk KOHATI pujaan. Tapi Gone With the Wind, bertepuk sebelah tangan. Di kemudian hari, ternyata HMI-wan itu malah menjadi sosok tajir. Kebanyakan menjadi anggota dewan, pejabat, atau profesional terkemuka di bidang masing-masing. Tentu saja tak semua Srikandi HMI seperti itu. Banyak diantaranya bahkan menentukan sikap dengan tepat: menolak HMI-wan, dan tak pernah menyesal hingga kini...


Petikan barusan memang berskala umum. Untuk kategori lebih spesifik, cerita person to person, jauh lebih tak lazim. Sebelumnya harap diingat, zaman itu tak ada Hape tak ada Laptop yang bisa online. Metode tradisional jadi andalan ----tetapi tanpa burung merpati. Kirim-kiriman surat. Titip ke kawan. Dan, ini dia yang seru, menulis pesan di kertas kecil yang diselipkan di halaman buku. Sudah tentu, buku yang dimaksud adalah buku milik "sasaran tembak".


Biasalah... pura-pura pinjam buku dari pujaan hati. Lalu menyisip pesan rahasia, entah puisi, entah janji ketemuan. Tetapi juga ada yang celaka. Ternyata buku yang disisipi pesan itu bukan milik si Dia, melainkan punya orang lain (mungkin juga koleksi perpustakaan kampus). Inilah yang disebut surat cinta nyasar... Jauh lebih mengerikan tinimbang sekedar surat yang tak pernah sampai.


Seorang kawan HMI Manado, al kisah, pernah menjemput seseorang dari HMI Manado, pakai taksi, dari Manado ke Tondano (dengan biaya yang cukup besar, untuk ukuran saat itu). Tujuannya cuma sepele: meminta izin kepada anak dari HMI Manado, karena si HMI Tondano itu akan memacari KOHATI Manado ----yang konon sangat disukai juga oleh si HMI Manado. Aneh, kan? Masa kompetitors minta izin kepada rivalnya...


Lalu yang seperti ini: rajin Shalat Tahadjud dan Shalat Shubuh, di Sekretariat HMI (Gedung Serimpi), khusus untuk memanjatkan doa cinta kepada Srikandi (atau malah Bidadari-nya) HMI Manado. Kontan kegiatan ibadah tambahan ini membuat geger para aktivis. Lebih dari sekedar geger, jadi bahan guyonan pula.


Tambahan lain, Gedung Serimpi sama sekali bukan ajang cari jodoh. Tapi tak sedikit pasangan yang bisa berpacaran lamaaaaa dan berakhir begitu saja. Entahlah, jumlahnya lebih banyak atau lebih sedikit tinimbang pasangan yang berpacaran di sesama aktivis HMI lantas berakhir di pelaminan. Soalnya nggak ada yang mencatat detil tentang itu. Boleh dikata, dalam urusan ini, Gedung Serimpi bisa menjadi berkah, atau sebaliknya menjadi musibah. Tergantung pasangan siapa yang menjalani proses asmaranya...


Rasanya tulisan ini sulit berakhir. Rupa-rupa kisah masih menggunung. Termasuk yang bernada agak tragis.


Pengakuan yang baru diperoleh beberapa belas menit lalu. Dari aktivis KOHATI di era menjelang dan paska reformasi 98. Ia mengaku ngeri datang ke Serimpi karena melihat pemandangan senior dengan tangan yang senantiasa menggenggam buku. Bukan itu saja, pihak yang mengaku ngeri itu juga ciut nyali kalau datang ke Serimpi. Was-was jika mendapat interogasi ala senior: Dinda, sudah baca buku apa? Tragis lantaran dalam pengetahuan banyak orang, KOHATI itu justru dianggap berkelas. Ya dari tampang, dari penampilan, dari senyuman, dari kecerdasan, dan dari semua hal. Kira-kira jujur nggak ya, testimoni itu?


Tragedi lain juga muncul dari sikap super proteksionis para senior terhadap kader didikannya. Kompetisi antara organisasi esktra kampus luar biasa ketat. Pesan-pesan bernada permusuhan, antipati, dan "saran intimidatif" agar menjauhi saingan HMI selalu datang bertubi-tubi. Tak tahulah, paragraf ini terkategori aib, unik, atau malah lucu ---setidaknya bila kita renungkan untuk saat ini.


Terakhir, mari kita tutup dengan jerih lelah jika melakukan kegiatan HMI, seperti LK, diskusi buku, seminar, atau yang lain-lainnya. Formula baku adalah menyodor proposal ke Alumni. Pernah, suatu kali, di siang terik dan keringat bercucuran karena berjalan kaki, seorang HMI muda datang ke Alumni. Ditanggapi dengan wellcome dan sumringah. Di ujung basa-basi, Alumni itu berkata: Dinda, saya juga akan menyumbang kegiatan Dinda, ya. Tapi sumbang saran doang...



+++++++++++++++++++++++++++++
Konfirmasi: Dua Catatan Ringan, masing-masing
1. Chronica et Serimpia, Dari Bang Naid, Baso Affandi, dan Rully Amri,
2. Bunga Ingatan di Taman Academus HMI Cabang Manado,

adalah sepenuhnya hasil obrolan santai saya dengan Haryanto (Mantan Ketum HMI Cabang Manado) dan sudah dikonsultasikan kepada Danny Rogi. Bukan salah saya sendirian, ya...

Senin, Februari 22, 2010

Bahasa Politik DPR RI


Orang-orang eskimo di kawasan dingin kutub utara sana memiliki belasan kosa kata untuk menunjuk satu benda bernama salju! Mereka hidup dan beraktivitas di lingkungan berlapis es tebal, bahkan rumah mereka, disebut Igloo, juga terbuat dari bongkahan es! Sedangkan di belahan dunia lain, istilah untuk hamparan es abadi berwarna seputih kapas itu, paling hanya disebut dengan satu kata. Di Indonesia disebut salju. Sementara di dunia Arab disebut Tsalaj.


Contoh bisa dibalik. Di kawasan gurun sahara dan negara-negara Arab, binatang Unta sangat amat dibutuhkan. Tak salah jika Al Quran menyebut Unta sebagai bahan pelajaran akan keajaiban ciptaan Allah: Apakah kamu tidak memeperhatikan bagaimana Unta diciptakan? Keseluruhan tubuh unta, dari ujung kuku hingga bulu dan tulangnya, bisa dimanfaatkan oleh orang-orang gurun pasir. Malahan menurut Robert Lacey, dalam buku Negara Petro Dollar Arab Saudi, kotoran dan air seni Unta bahkan bisa dijadikan obat-obatan!


Dan mereka, para badui pengelana itu, memiliki puluhan kosa kata untuk menunjuk binatang berpunuk besar itu. Sementara kita, hanya satu kata saja: Unta! Atau Camel dalam Bahasa Inggris.


Satu lagi sebagai pelengkap. Di Indonesia, lantaran pendudukunya sangat akrab dengan kebiasaan makan, maka punya banyak kosa kata untuk menunjuk bahan makanan pokok mereka. Mulai dari gabah, beras, hingga nasi. Karena yang dimakan adalah nasi, maka ada belasan istilah untuk benda bernama nasi, yaitu nasi goreng, nasi tumpeng, nasi uduk, nasi liwet, nasi kucing, nasi (silahkan tambah sendiri), hingga nasi-hat dari Ibu dan Bapak, nasihat Ibu Guru, dan nahsiaaaan dech lo!


Relasi bahasan dengan alam, kaitan budaya dan bahasa, mengundang berpuluh-puluh teori. Tapi ada yang paling unik. Konon, keberagaman atau justru keseragaman berbahasa ditentukan oleh "tinggi-rendahnya" curah hujan!


Teori bahasa dipengaruhi curah hujan ini bukan omong kosong. Di gurun, karena hidup butuh mobilitas tinggi, berjuang untuk berkelana, berdiaspora ke daerah-daerah yang jauh, mereka butuh alat komunikasi yang simpel, agar memudahkan interaksi atar suku dan kawasan. Maka bahasa yang digunakan cukup satu dua saja. Berbanding terbalik dengan penduduk di kawasan subur, yang curah hujannya tinggi. Mereka merasa aman berdiam di lokasi masing-masing, dan mobilitas sosialnya rendah. Sehingga itu, mereka bisa membuat rupa-rupa bahasa. Sekalian untuk alat "klangenan". Inilah yang terjadi di Indonesia...


Kerasnya alam, corak nuansa budaya, dan bahkan iklim, bisa membuat dan memperkaya bahasa. Bagaimana dengan kekuasaan? Atau, tepatnya, bisakah politik membuat dan memperkaya bahasa?


Politik bukan hanya membuat, membentuk, atau memperkaya bahasa. Politik juga mempermainkan sekaligus merusaknya... (Persis anak-anak TK yang doyan mempermainkan dan merusak sesuatu).


Kalangan pengkaji bahasa politik selalu menyebut contoh fenomenal yang selalu disebut berulang-ulang (causa celebrare). Dulu, ketika Uni Sovyet berkuasa, mereka membuat kamus standar nasional. Khusus untuk lema (entri) revolusi, diterjemahkan atau dijelaskan panjang lebar, habis berlembar-lembar halaman, mulai dari sejarah, teori, pelaku, hingga metode revolusi! Wajar belaka, negara komunis terkuat di era lampau itu memang tumbuh dari akar revolusi Bolshevick oleh Vladimir Ilich Lenin dan Stalin. Anehnya, di luar negara komunis, bahasa atau istilah revolusi, diterjemahkan di dalam kamus secara singkat saja. Biasanya diartikan sebagai perubahan yang radikal, perubahan segera, atau perubahan dengan kekerasan! Dalam poiltik, ternyata, bahasa tak pernah netral.



Agak Ngeri
DPR RI hari ini memperlihatkan kebenaran bahwa kancah politik juga menjadi ajang mempermainkan sekaligus merusak bahasa!


Dengan agak ngeri, saya teringat kembali pengingatan dari George Orwel, bahwa bahasa politik adalah alat untuk membuat kebohongan terlihat menjadi jujur. Sekaligus membuat kelicikan dengan kesan sopan...


Namun yang lebih menyesakkan dada adalah pola kompromistis dan budaya permisif (serba menerima) dari rakyat kita, terhadap apa saja yang menjadi reproduksi kata-kata dari para politisi Senayan. Rakyat seolah hidup dalam memori keliru, bahwa bahasa tak akan berarti apa-apa, sekedar sebagai alat komunikasi. Terbukti, pengungkapan gaya berbahasa poiltisi DPR RI justru berkibar di media, dikonsumsi publik dan ditiru banyak orang. Celaka.


Sudah terlihat gejala pejal (banality, mati rasa) dalam berbahasa di panggung politik nasional. Dalam forum rapat resmi, seorang tokoh seenaknya memaki dengan bahasa kelas preman terminal, terdiri dari tujuh hurup, diawali hurup "b" dan berakhiran hurup "t". Reakasi keras sempat muncul, tetapi selesai begitu saja.


Atau juga, seoarang tokoh yang dikenal santun dan cerdas, menyebut istilah baru, bahwa Pansus adalah industri politik. Ini kelihaian berbahasa politik luar biasa. Sudah jelas urusan Pansus diatur konstitusi, tetapi malah disebut sebagai industri (dengan makna penyindiran).


Pendangkalan Bahasa
Maka hanya ketekunan yang cenderung kurang kerjaan saja yang akan sanggup mencatat reproduksi bahasa politik Indonesia hari ini. Betapa tidak, setiap tokoh punya istilah sendiri. Setiap lembaga, rajin menyodor bahasa sendiri, yang kadang-kadang asal comot asal pakai, tanpa memperhitungkan kualitas berbahasa.


Di DPR misalnya, belakangan berkembang istilah politik "masuk angin". Ini bukan berarti penyakit yang menjadi segemen khusus obat jamu orang pintar produksi Jamu Djago (milik Jaya Suprana). Masuk angin di sini justru enak, bukan dikerok, tetapi dikeruk, dengan uang, dengan fasilitas, dengan iming-iming jabatan. Bila rakyat curiga bahwa Pansus Bank Century masuk angin, maka itu berarti Angin Sorga sudah membuai...


Rentetan perisitilahan lain menderu-deru tiap waktu. Para politisi menciptakan kesan gampangan dan membuat wajar segala sesuatu yang sesungguhnya penuh aib dan nista. Bila ada politisi yang kemaruk, gasak kanan dan kiri, maka disebut bukan sebagai koruptor, tetapi kapal keruk! Kalau ada usulan rakyat yang agak rumit dimasukkan ke DPR, lantas tidak mendapat penanganan segera, maka jawaban yang muncul adalah istilah ini: itu bisa diatur! Dengan catatan: ikut aturan main si politisi.


Masalahnya, aturan main itu kerap dibikin melelahkan. Cobalah buka berbagai buku tentang metodologi atau bahkan kamus, cari kata tentang kesimpulan. Tidak akan jauh, bahwa kesimpulan adalah tahapan dan proses akhir untuk meringkas sebuah pekerjaan. Pekerjaan yang besar adalah justru dalam proses bagaian awal, pendahuluan, isi, lalu ujung. Kesimpulan menjadi sisi teringan dari pekerjaan besar.


Nah, bagaimana dengan DPR RI. Mereka mampu membalik semua logika itu. Kesimpulan akhir Fraksi, misalnya, yang ramai diperdebatkan hari ini, dibuat mendakik-dakik jauh ke ujung. Bahasa lalu dipermainkan, sesuatu yang sudah jelas dibuat rumit. Bayangkan, untuk membuat kesimpulan saja, butuh permainan opini publik yang melelahkan.


Terakhir, bagaimana dengan istilah menyebut nama?


Barangkali, baru sekarang ini masalah menyebut nama orang menjadi konsumsi politik yang luar biasa gencar. Untuk hal ini, maaf saja, saya tak bisa menjelaskan. Belum lengkap informasinya. Dalam permainan politik bahasa di DPR RI, agaknya, bisa terangkum dalam dua konsep besar. Masing-masing adalah: (1) terjadi pendangkalan makna bahasa atau kata (peyorasi), yang diwarnai dengan pengasaran makna bahasa (disfemia); dan (2) terjadi perlusan makna bahasa (ameliorasi) dengan praktek eufemia (pengahalusan bahasa). Agaknya, praktek seperti itu masiht terus berlangsung. Beginilah nasib Bahasa Indonesia....

Jumat, Februari 19, 2010

Chronica Serimpia et HMI Cabang Manado


George Santayana, seorang filsuf moderen, pernah mengingatkan kita untuk tidak lupa sejarah. Menurutnya, orang yang mengabaikan masa lalu akan dihukum dengan peristiwa yang sama di masa mendatang. Catatan itu barangkali satu dari ratusan petuah yang berbunyi mirip. Salah satu The Founding Father kita, Bung Karno, bahkan menitahkan dengan keras: Jasmerah! Jangan sekali-kali melupakan sejarah!

Sekalian melengkapi, bahwa tabiat minor anak bangsa ini adalah punya ingatan pendek. Praktek-praktek impunitas, amnesia sejarah, dan tidak tekun mencatat sesuatu (penting atau tidak penting), di kadang waktu selalu berbuah kerugian. Padahal sejatinya, kata Milan Kundera, perjuangan menegakkan demokrasi adalah perjuangan melawan lupa...

Dua kategori itu, "sejarah" dan "perasaan lupa", yang ingin saya perbincangan dalam notes di facebook ini.

Selalu ada peletup untuk mengingat tempo doeloe. Seorang kawan Mantan Ketum HMI Cabang Manado, bertutur dengan nada gondok. Sekarang ini, ungkapnya, anak-anak lepasan LK I saja sudah bermain di Pilkada.

"Lebe gila lei," ia menambahkan dengan jelas, "acara Musda REI saja dorang so iko-iko." Istilah Musda adalah Musyawarah daerah, biasanya untuk memilih ketua baru. Sementara REI tak lain adalah Real Estate Indonesia. Saya terperangah! Bagaimana mungkin kami dulu membayangkan bisa masuk wilayah seelit dan semewah itu?

Imajinasi liar lantas beredar ke Gedung Serimpi, Jalan Roda, dan para penghuninya. Di era itu, kelas kami paling banter bertarung di KNPI, satu level lebih tinggi dari Konfercab HMI Cabang Manado. Lain-lainnya tidak. Kalaupun ada, masih setingkatan saja. Seperti ikutan di Muktammar Badan Tadzkir, perebutan Ketua Senat Fakultas atau Universitas, dan bersilaturahmi ke PMII atau IMM. Sudah, itu saja.

Wajar terperangah. Setahu saya Real Estate Indonesia adalah organisasi profesi beranggotakan orang-orang yang sudah jadi ---bukan anak-anak komisariat HMI Cabang Manado. Kok, bisa ya?

Lantas tentang informasi yang sebenarnya terlacak agak jauh-jauh hari. Bahwa anak-anak lulusan LK 1 dan "hanya" pengurus Komisariat sudah mampu bertarung di Pilkada. Entah dalam posisi apa, yang jelas pasti beragam. Konon ada yang cuma bawa-bawa tas dan turun naik mobil calon Walikota. Kadang rada berposisi bagus, misalnya jadi perancang strategi kampanye. Lebih banyak lagi, katanya, yang jadi Mak Comblang dan jualan isu. Raja Olah, istilah aktivis Jakarta. (Mengolah isu, mengolah gosip, dan mengolah informasi).


Jika dihampiri dengan telaah serius, maka ulasannya panjang lebar. Misalnya dengan membubuhkan teori proliferasi dari Sejarawan Almarhum Koentowijoyo. Proliferasi berarti penyebaran (kader HMI) ke berbagai lapisasn sosial. Patokan ini menyebut, sukses tidaknya kaderisasi HMI bisa dilihat beberapa tahun setelahnya. Apakah kadernya bisa sukses di berbagai profesi dan lahan pengabdian, atau cuma di situ-situ saja.

Mestinya, bisa bermain di Pilkada dan Musda REI adalah bagian dari proliferasi itu. Tetapi bila menelisik detil-detil informasinya, agaknya kita patut kecewa. Benar mereka memang menyebar ----dan besok-besok mungkin sudah mampu mengobok-obok Ikatan Dokter Indonesia--- tetapi mission-nya tetap sama, politis belaka!

Namun bila telisikan kita tarik ke diskusi santai, maka fenomena Anak Komisariat Berpilkada itu juga tak lepas dari ceceran tradisi yang berlangsung belasan tahun sebelumnya.

Bang Naid cs
Supaya jelas garis telusur, maka baiknya kita candra latar sejarah di zaman Bang Naid dan kawan-kawan (terutama Bang Coen, Bang Taufieq, dan Bang Yayat). Periode itu adalah zietgeist (semangat zaman) yang terpampas oleh gurita kekuasaan Orde Baru. Penguasa, melalui kebijakan NKK/BKK rancangan Daud Joesoef, mengerangkeng mahasiswa dan aktivis kampus untuk selalu "tiarap". Meminjam istilah anak-anak kiri, mahasiswa era itu adalah apolitis, ahistoris, anakronistis. Pokoknya duduk diam manis di kampus.

Bukan berarti tak ada perlawanan. Malah sesungguhnya mereka berikhtiar dengan cerdas. Tentu saja tidak bergerak sendiri, melainkan menjadi bagian dari skenario pergerakan yang berlaku di zaman itu. Tak lain dengan strategi membentuk Kelompok Studi, yang dimotori oleh Denny J.A (kini Direktur LSI) di Universitas Indonesia, Jakarta. Produk perlawanan mereka adalah Kajian, Jurnal, Buku, dan Intellectual Product lainnya. Saya ingat persis, Bang Naid dan kawan-kawan waktu itu juga masuk dalam kategori ini, yaitu membentuk Kelompok Studi, yang bernama Kelompok Studi Pancasila (beranggotakan Dokter Taufieq Passiak, Coen Hussein Pontoh, dan Bang Yayat).

Di mata saya, di sinilah benih-benih intelectual exercises (pelatihan intelektual) bersemai. Mohon maaf dengan takzim, sebelumnya juga pasti ada, misalnya oleh Ka Fadly Tantu, Ka Anang Otoluwa, dan Ka Hamzah Latief. Tapi jelas di masa Bang Naid itu begitu menonjol. Mereka berlangganan Jurnal Ulumul Quran, yang harganya waktu itu bisa membeli sepasang sepatu olahraga. Menjadi distributor Jurnal CSIS (disebut sebagai think tank-nya Orde Baru), dan sudah pasti menjadi penikmat bulanan untuk Jurnal Kajian Politik, Ekonomi, dan Budaya terbitan LP3ES, yaitu Jurnal Prisma.

Jangan main-main dengan mereka. Saya ingat penuturan Ka Mustafa As'ad (sekarang pejabat di Pelindo). Ia memberi nasehat kepada saya dan Basri Amien. Perintahnya begini: Endi, Basri, ngoni jang coba-coba iko pa dorang pe diskusi, kalau belum baca buku Arief Budiman deng Sritua Arief. Maksudnya, kami berdua harus membaca lebih dulu buku-buku berat tersebut, baru bisa ikut diskusi dengan Bang Coen, Bang Naid dan kawan-kawannya.

Pelatihan intelektual lain dari zaman itu adalah aktivitas tulis menulis dan berdebat hingga adzan subuh berkumandang (lalu, tidur, he..he..he..). Segala rupa teori-teori besar, seperti Post Moderenisme, Strukturalisme, teori ketergantungan ekonomi politik (dependecy theori), gerakan kiri baru (new left), dan paradigma-paradigma besar, terhidang bebas di masa itu. Thanks for Bang Naid, Coen, Dokter Taufiek dan Bang Yayat.

Nah, bagaimana corak politik atau gerakan politik mahasiswa dari Bang Naid cs?

Selalu serius dan penuh perhitungan matang. Silahkan cek ke Ka Idun, Ka Djafar Al Katiri, atau ke Benny Rhamdani. Hanya untuk sebuah aksi demo di DPRD Sulut, mereka butuh kajian dan analisis satu bulan lebih, dengan setumpuk dokumen pendukung. Tidak asal turun, teriak, dan cuma bermodal urat leher panjang ---ditambahin spanduk dan poster provokatif. Kentara sekali, warna intelektualitas begitu berkibar-kibar. Saya pikir, saat itu tak ada permainan culas dalam bentuk Money Politics, dalam gerakan-gerakan yang mereka bangun.

Penelusuran berlanjut ke periode antara (maksudnya masih di era itu juga, hanya berganti tokoh). Di sini bertumpuk nama-nama lain. Namun tabiat dan karakter gerakannyanya sama. Persisinya di penghujung cakar kuasa Pak Harto dan di awal persemaian era reformasi.

Ada corak baru di situ. Euphoria reformasi, kebebasan pers, kebebasan berserikat, kebebasan berdemonstrasi benar-benar mewujudkan bulan madu bagi aktivis mahasiswa. Para aktivis mahasiswa dan pegiat politik praktis, beredar tidak dalam satu warna. Begitu pun anak-anak Ijo Itam penghuni Gedung Serimpi, Manado.

Dari beberapa nama, seperti Baso Affandi, Rahmat Adam, Hasdien Mondika, Harris Surachman, Lita Mamonto, Irman Meilandi, Budiyanto Napu, Dadang Nugroho, Rusli Djalil, dan juga termasuk Basri Amien, dan entah siapa lagi, beraktivitas dengan sedikit kelebihan dari pendahulu mereka. Mengapa?

Secara intelektual, mereka menikmati tetesan ilmu para senior, dan rata-rata pecinta buku. Tetapi jaringan dan akses informasinya lebih leluasa ---tak ada lagi sensor dan ketakutan. Kelebihannya, adalah terwujudnya selera outward looking, melihat ke luar. Mereka aktif di organisasi lain, seperti Partai Politik (Budianto Napu), LSM (Lita Mamonto), Pers (Rusli Djalil), dan bahkan bisnis (Irman Meilandi). Jika memakai paradigma demokrasi ala Romo Magnis Suseno, pegiat gerakan mahasiswa zaman itu sudah masuk ke empat pilar penunjang demokrasi dan mewujudkan kekuatan civil society. Tak lain adalah: Pers, LSM, Partai Politik, dan Organisasi Kemasyarakatan lainnya.

Dari benih intelektualisme kritis, kawan-kawan di era paska reformasi itu melakukan proliferasi (penyebaran) ke ranah intelektulaisme praktis (di politik, LSM, atau media). Rata-rata berkibar bukan sebagai pengekor, tetapi menjadi aktor kunci dan agen penting yang dihormati banyak kalangan. Selalu ada cela memang. Dalam catatan saya, sisi sumir dari corak gerakan mahasiswa era Baso dan kawan-kawan adalah ini: tidak berhasil membuat barisan, kecuali kerumunan! Mereka bergiat sendiri-sendiri, dan agaknya abai melakukan kaderisasi dan membangun basis gerakan yang kokoh di komunitasw masing-masing.

Dua kemiripan periode Bang Naid Cs dan Baso Affandi Cs adalah sama-sama tidak menyantap tetesan berkah politik (uang dan fasilitas) dari kekuatan politik manapun. Masih sama-sama kere...


"Tentang Rully Amri"
Tentang periode setelah itu saya tak sanggup mencatat banyak. Barangkali yang bisa dilakukan adalah sedikti perbandingan-perbandingan. Dulu, para senior dikenal tak pernah lupa menggapit atau menenteng buku baru ---atau buku lama, tetapi benar-benar penting! Benar adanya, ingatan Pretty Mamonto di facebook ini atas foto Bang Mus (Mustafa As'ad), bahwa ke mana-mana beliau membawa buku. Nah, sekarang? Di genggaman tersedia Handphone atau Smartphone bagus. Di dalam tas, bukan buku baru, tetapi mungkin laptop. Dan jemari tangan sibuk mengetik SMS.

Kalau mendengar wilayah pergaulan mereka, sungguh luar biasa. Seorang junior jauh bahkan menjanjikan tiket agar saya bisa ke Manado. Duh... dulu kami pontang panting hanya untuk berangkat dengan tiket PELNI. Mereka enteng saja menembus elit-elit politik dan tokoh-tokoh penting. Dulu, berhadapan dengan Almarhum Ka Aries Patanghari saja gemeteran...

Inilah yang disebut dengan geneasi penikmat. Tidak salah, justru bagus. Perubahan harus mengarah ke ajang lebih baik. Tetapi apakah "bersih" dari resiko? Sama sekali tidak...

Berjarak dengan kekuasaan memberi keleluasaan dalam bersikap. Lebih-lebih di masa perkembangan intelektualitas dan pengakderan untuk anak-anak HMI (misalnya lulusan LK 1 dan pengurus Komisariat).

Wilayah politik praktis semacam Pilkada adalah berorientasi hasil, bukan proses. Seraya meminggirkan wacana, teori, moralitas, dan benih-benih intelektualisme. Prakteknya adalah pragmatis, azas manfaat, dan segera (bukan berorientasi investasi ke masa depan). Tokoh dan agen yang terlibat, maaf saja, pastinya sudah lelah dengan urusan pengkaderan dan penyemaian sikap kritis.

Saya agak ngeri membayangkan, jika benar inforamsi bahwa anak-anak level Komisariat sudah ikut rombongan calon Walikota, calon Bupati, atau bahkan calon Gubernur. Ada di mana posisinya? apakah penghargaan terhadap mereka karena kualitas personal, atau justru sebagai cheer leader dan Mak Comblang yang gampang disuruh-suruh?

Ini adalah keluhan. Sebab, dari beberapa nama Yunior yang saya kenal, satu dua saja yang agaknya tekun dengan medan intelektualitas. Salah satu yang saya kenal, ya itu dia yang jadi judul: Rully Amri.

Semoga saya tidak dianggap melankolis, sentimen dan rewel.

Kamis, Februari 11, 2010

Valentine Day Ala The Jakarta Post


"Lho, kok, Valentine Day cuma ngasih kado The Jakarta Pos?"

Sergah seorang Ibu kepadaku, beberapa tahun lalu. Tak ada bayangan apapun, bahwa si Ibu akan menanyakan sesuatu yang selama ini telah jauh dari file memori aku: Hari Kasih Sayang, Valentine Day. Bukan apa-apa, menjelang usia Life Begin At Fourthy ini, pikiran lebih padat dengan urusan pekerjaan dan... utang!

Sialnya, jawaban cerdas untuk menghindar tak jua datang.

Memang sepenuhnya tak siap. Datang ke rumah si Ibu, seraya membawa koran The Jakarta Post justru memenuhi amanat. Seorang gadis muda, cantik, mahasiswi jurusan bahasa Inggris di Untirta Banten, anak dari Sang Ibu itu, menitahkan sebuah amanat. Disampaikan via SMS berbahasa Anak Baru Gede ---dan sempat membuat kening mengernyit, lantaran tak mengerti. Maklumlah... Posisi seorang pria dengan dua anak, sudah jauh dari gaya bahasa ABG. Kalau tak salah, deretan hurup di layar HP aku itu bertuliskan:

bang, mnta tolong dunk, bawain koran english. q da tugas kampyus neeeh. plis, plis, plis :)


Dengan semangat 45, pesanan itu kupenuhi. Mencari koran Inggris terbitan Grup Gramedia Kompas itu semudah meniup kapas di ujung jemari. Nggak pake beli pula, tinggal ambil. Dorongan lain yang menggelegak adalah bersitatap muka dengan perempuan muda...

Tapi mengapa seorang Ibu, tepatnya Ibu Hajjah, iseng menyentak dengan kalimat "kado Valentine cuma bawa koran?" Padahal dia tahu persis tak mungkin anak gadisnya mendapat sesuatu dari seorang pria yang sudah berumah tangga? Kalau urusannya bercanda, jangan-jangan memang benar, perayaan V-Day telah menjadi milik umum. Bukan spesial pasangan lajang. Tetapi juga untuk laki-laki beristeri kepada perempuan belum bersuami. Artinya, boleh saja saya (jika suatu saat kepikiran), tiba-tiba memberi kado V-Day kepada seseorang (yang sosok, penampilan, dan statusnya, saya tentukan sesuai selera). Ah... mudah-mudahan jangan sampai begitu.

Gawat perkara, kalau budaya Hari Kasih Sayang sudah seliberal itu. Cowok lajang memberi kado cokelat kepada isteri orang; gadis cantik muda perawan meminta hadiah kepada seorang yang dipanggil keponakannya paman; atau seorang kakek mengirim bunga dan cokelat kepada cucu perempuan orang lain... Setahu saya, belum ada film, buku, sinetron, dan iklan yang mengajari "kekurangajaran" seperti itu.

Sumber diskusi memang si Ibu.

Di usia yang telah jauh dari The Golden Age untuk seorang perempuan, masih juga kepkiran V-Day. Tahu dari mana? Dengan wawasan lengkap pula, bahwa hari 14 Februari itu mesti memberi kado. Jangan-jangan, Ibu Haji (biasa aku panggil begitu), paham secara seksama bahwa hadiah V-Day yang paling cocok adalah sebungkus cokelat dan sekuntum mawar... Bukan The Jakarta Post itu!

Mudahnya adalah dengan menuding televisi, iklan, tayangan selebritis, dan rupa-rupa barang publikasi lain. Hari-hari terakhir ini, bahkan produsen barang yang tak ada jalin-hubungan dengan urusan kasih sayang sekalipun, mempublikasikan produknya dengan warna-warni dan atribut V-Day. Seperti iklan cat, perusahaan asuransi, dan produk perawatan tubuh.

Pointnya adalah: kedahsyatan media massa.

Bukan kita yang mendefinisikan apa yang kita mau, barang apa yang dibutuhkan, dan agenda seperti apa yang layak dilakoni. Media redefined our life. Teori klasik dari komunikasi massa memang meningatkna tentang hal itu. Disebu dengan teori Jarum Hypodermik. Kita, massa penonton, seperti pasien yang disuntik serum, terpengaruh begitu saja.

Hari ini babak baru daya terpa media semakin menggila. Bukan saja media "mengajari" tetek bengek gaya hidup kita. Menunjukkan mana barang bagus dan mana komoditas kuno. Menawari dengan desain bagus, makanan apa yang perlu dan cemilan apa yang tak bermutu. Mengajak atau membujuk pergi ke tempat anu dan meninggalkan tempat anu. Pendek kata, kalau mau eksis, hiduplah seperti kehidupan dalam publikasi media.

Akhirnya, media massa bukan saja mendefinisikan bagus dan tidak bagusnya sesuatu untuk kita ikuti atau tiru, tetapi juga memanipulasi instink dan naluri kita yang paling purba sekalipun!

Kasih sayang adalah instink, its perfectly human. Hubungan emosional antar sesama adalah hukum naluriah. Tetapi media memanipulasi dengan (sebenarnya) cara-cara kasar. Maksudnya kasar dalam tujuan tetapi lembut membujuk dalam pengemasan.

Misalnya perayaan Valentine Day.

Media massa dan para punggawanya tahu persis, dari ujung Papua sampai pelosok Maroko, orang tahu berkasih sayang. Tetapi, ini dia, caranya berbeda-beda. Mungkin disertai keunikan, gaya khas, kental tradisi, dan disertai filosifi dan makna mendalam. Media tak berurusan dengan keragaman cara berkasih sayang seperti itu. Lantaran tidak komersial dan jauh dari peningkatan taraf gengsi. Maka jalan pintasnya adalah mengajari cara dan kemasan berkasih sayang.

Media mengemas V-Day dengan nuansa, atribut, warna, tema, bahkan hari dan tanggal dan waktu dengan semirip mungkin. Kalau pun ada perbedaan, hanya dalam urusan teknis tambahan. Itulah yang hadir dalam film, lagu, showbiz, pesta, dan segala barang dagangan di televisi dan Mal.

Di sini hukum monopoli berlaku. Seakan momen kasih sayang paling "menyentuh-mengharukan" adalah V-Day. Lalu harus dipestakan beramai-ramai di setiap pojok planet. Padahal, tak jelas benar, di mana sosok heroisme dan keteguhan nilai V-Day? Sejarahnya sekalipun masih kontroversial. Semangat kasih sayang yang universal, sejatinya, tidak berbentuk tunggal. Melainkan beragam tema dan berbagai cara. Bukan melulu sekotak cokelat dan setangkai mawar...

Jika bersumber dari narasi sejarah dunia, tak kurang cerita yang mengharu biru dengan tema kasih sayang ---terkhusus antara pria dan wanita muda. China mengenal Sam Pek Eng Tay, di Jawa ada Roro Mendut, di Bali, di Sunda, di India, atau bahkan spirit Romeo Juliet, jika urusannya adalah mesimbolisasikan kasih sayang. Tetapi hikayat-hikayat ini kalah komersil oleh V-Day.


Tambahan lain, betapa terkuras naluri purba manusia untuk berlomba menghabiskan energi dan potensi diri ke arah pemujaan terhadap barang! Pengidolaan terhadap komoditas jualan dan pesona kecantikan sensualitas adalah tradisi lama dengan kemasan (selalu) baru. Lagi-lagi media mengeksploitasi gairah ini.

Bila begitu, kini saya memaafkan Sang Ibu dan juga anak gadisnya. Mereka juga adalah bagian dari manusia yang penglihatan, pendengaran, dan juga mimpi-mimpinya, telah dibantu dengan intensif untuk mengikuti selera media massa. Happy Valentine Day for All...

Audit Komunikasi Pansus Bank Century


Di DPR ada sesuatu yang membuat banyak kalangan cemburu. Bukan lantaran tungkai kaki lenjang milik Aura Kasih atau sensasi no bra dari Andi Soraya. Melainkan menyasar kepada sekelompok politisi di Pansus Bank Century.

Kecemburuan menguat, manakala kemeriahan Pansus bertabur dengan rupa-rupa peristiwa. Seolah DPR RI hanya terdiri dari Pansus Century, yang lain “pemain figuran” belaka.

Coba hitung, ratusan aksi massa yang pro dan kontra. Ribuan spanduk dan atribut demonstrasi. Berlahirannya istilah-istilah baru yang sebelumnya tak diajarkan di kamus politik (seperti istilah banxxxt, masuk angin, dan yang terbaru industri Pansus). Sampai ke urusan berapa besar biaya yang sudah dihabiskan.

Televisi pun seperti mendapat berkah. Liputan nyaris blocking time, tak kenal pagi, siang, malam, terus-terusan ditayang ekslusif. Berlembar-lembar halaman koran mencetak berita utama, hari demi hari. Jika memakai tradisi Majalah TIME, maka Pansus Bank Century tergolong Mans of The Month. Sengaja memakai istilah “man”, karena “woman” tak kelihatan…

Padahal ada potensi tandingan dari mana-mana. Saya ingat persis, di tengah rapat Pansus yang mirip telenovela itu berlangsung, di Komisi VIII DPR RI gencar mengkritisi penyelenggaraan haji. Juga di Komisi lain yang tengah sibuk membahas APBN Perubahan (dengan nominal jauh di atas kasus Century). Tetapi realitas itu tersaput “komersialitas” pemberitaan Pansus.

Di luar lingkungan parlemen, tak sedikit hiruk-pikuk rakyat berhamburan. Ada demonstran menggembalakan kerbau di lahan beraspal (pasti dia bukan anak petani, atau penggembala dadakan!). Rangkaian peristiwa bunuh diri. Berita penculikan anak-anak di bawah umur. Atau segala sesuatu yang setelah selesai anda simak hanya bisa mengelus dada…

Lalu apa faedah yang terpetik? Selesai sebagai showbiz politik dengan akhir layaknya sinema Hollywood?

Untuk orang-orang yang terlibat langsung, terutama politisi DPR RI, arahnya mudah ditebak. Jika patokannya harga normal, minimal biaya Pansus meneyerap anggaran dua milyar rupiah. Tak tahulah jumlah yang tercantum dalam nota tak tertulis. Boleh jadi, cibiran Wakil Presiden Boediono bahwa Pansus sudah menjadi industri, berlatar dari “pengetahuannya” tentang biaya politik Pansus. Dalam rumusan orang awam pun, istilah industri selalu mengacu pada investasi, keuntungan, dan uang banyak. Pihak lain menyindir Pansus melulu menghamburkan anggaran negara, buying time, dan politik dagang sapi (political trade off).

Masalahnya adalah tak ada makna pendidikan politik apapun jika kritik berkutat ke pusaran “kecurigaan” melulu. Jelas-jelas kinerja Pansus butuh dana. Termasuk bargaining, loby, dan pendekatan. Begitu juga kampanye penggalangan dukungan. Semua itu masih berada dalam wilayah fatsoen politik dan memenuhi kadar kepatutan. Publik juga paham persis, hukum ketatanegaraan kita memungkinkan terjadinya proses-proses politik di Pansus itu.

Kalaupun lahir gugatan, jauh lebih segar andai menyasar pada efektivitas dan pelipatgandaan manfaat dari Pansus Bank Century ---terutama untuk khalayak ramai.

Posisi Netral
Lantaran negeri ini jenuh dengan mimpi dan pengandaian, maka tulisan inipun tak patut diawali dengan kata: “jika atau andai”. Semisal mencantumkan utopia: jika saja seluruh rakyat berhak menentukan, maka mereka akan memilih kompromi terbaik (kembalikan saja uang negara, salurkan untuk kaum tak berpunya!).

Tetapi wacana Pansus mahal, melelahkan dan sekonyong menjadi cibiran sejumlah golongan, tak boleh juga dituruti. Kalau perlu, justru dibendung sedari awal. Sebab jika telah membesar menjadi opini publik, lantas menimbulkan apatisme serta kemarahan khalayak, maka benar-benar panggung Pansus hanya melahirkan kerusakan dan kemudharatan.

Dari ukuran apapun, baik konstitusi, regulasi, fatsoen politik, hingga urusan kebutuhan faktual, Pansus Century memang layak hadir ---kecuali, sekali lagi, “jika” saja tak ada peristiwa dana talangan trilunan rupiah ke Bank Century.

Logika politik pun harus ke arah rasional: bahwa Pansus adalah metode membongkar kejahatan politik yang tidak biasa (extraordinary circumstances). Kebijakan dana talangan Bank Century, jika terbukti bersalah, adalah kejahatan luar biasa. Lebih dahsyat dari sekedar “kejahatan kerah putih”, kejahatan korporasi, atau sekedar korupsi kebijakan. Justru jauh melampaui semua itu. Boleh jadi, sudah termasuk kejahatan konspirasi. Nah, mengusut kejahatan seperti itu benar-benar butuh strategi politik seperti yang terdapat di Pansus Bank Century DPR RI.

Pembelajaran terpenting adalah terang benderang: biarkan Pansus bekerja, jangan ada delegitimasi politik apapun. Bisa jadi suatu hari nanti, bangsa ini butuh alat Pansus untuk mengusut peristiwa politik yang merugikan rakyat.

Audit Komunikasi
Terakhir arah politik Pansus memang mengecewakan. Tensi politik menurun, rapat sudah kehilangan greget, dan seperti terbaca arah ke mana. Padahal, selama proses kemarin, letupan semangat publik seolah terwakili. Terjadi debat panas, dan agak sukar para politisi untuk berpura-pura. Ada harapan agar Pansus bergerak ke ”bola liar” yang tak bisa dijinakkan dengan mudah. Juga melibatkan emosi para petinggi negeri. Tapi, entah karena terlalu lama, Pansus tiba-tiba mencapai anti klimaks.

Barang sudah jadi bubur. Rakyat, untuk kali ini, jangan lagi mengidap amnesia dan terlalu asyik dengan ”ingatan pendek”. Kita semua punya rekam jejak secara lengkap. Catatan tentang baik buruknya perilaku Anggota DPR RI, sikap tidak tegas dari Fraksi, atau polah tingkah para pejabat, adalah data-data primer yang bisa kita audit. Mari periksa secara seksama, lakukan audit komunikasi atas tindak tanduk para pihak yang terlibat di Pansus. Tujuannya satu: menagih integritas dan kebenaran aktivitas mereka dalam Pemilu nanti....

Sabtu, Februari 06, 2010

Saya (masih) Cacing di HMI...


Sejarah tak mencantumkan nama para cacing. Bahkan tidak untuk catatan kaki sekalipun. Seperti keluhan Antonio Gramsci, bahwa sejarah tak pernah mencatat pengorbanan cacing yang menggemburkan ladang…

Kalau bangga dengan artefak Borobudur, maka ketakziman hormat itu barangkali mengarah kepada Wangsa Syailendra, atau kepada pesan-pesan kultural keagamaan yang ditoreh dalam relief. Selalu tidak ada pengingatan tentang berapa ribu nyawa melayang, diperbudak mengangkut bebatuan besar dari dasar ke puncak. Siapa punya catatan tentang penindasan Dynasti Rhamses (Firaun) ketika menitahkan ambisi pembangunan Pyramida Sphinx?

Bertebaran ribuan hikayat fiktif atau faktual yang bisa dicandra siapa saja, hari ini. Tentang bangunan, bendungan, patung, tugu, dan peninggalan-peninggalan bernama keajaiban dunia, yang dikenang banyak orang. Tetapi, sekali lagi, tidak untuk mempertanyakan bagaimana para budak, buruh, romusha, atau koeli rodi meregang nyawa ---demi kehendak ambisius para penguasa.

Tetapi sejarah bukanlah kincir angina yang bisa dihentikan. Meski berputar dan cenderung terjadi pola-pola pengulangan, sejarah harus terus berlalu. Jika dulu peninggalan-peninggalan besar selalu mengharumkan nama-nama besar, hari inipun mirip seperti itu. Kecuali ada sedikit saja perbedaan. Bahwa orang-orang besar hari ini juga lahir atas jasa orang kecil dalam jumlah besar.

Di mana posisi anda hari ini?

Orang besar yang menempel pada orang yang lebih besar? Atau orang besar yang bertengger pada jumlah besar orang-orang biasa? Dengan cara wajar atau culas, sejumlah nama besar di jagad kekuasaan agaknya melulu membesar dari dua pola itu. Tentu tidak gratis. Memakai formula berlapis-lapis. Barangkali dengan kemampuan “menjinakkan” para petinggi negeri. Atau barangkali dengan manipulasi dalam panggung Pemilu untuk “merebut” suara orang-orang biasa (tetapi dalam jumlah besar).

Karuan saja ini bukan kemarahan tanpa makna. Lantaran kita miskin contoh untuk pola-pola menjadi tokoh besar dengan jalur-jalur alternatif. Belum ada pemenang Nobel (versi apapun) yang kemudian benar-benar dicintai seraya menjadi teladan (figur) publik. Belum banyak lahir atlet kaliber dunia yang merebut kecintaan lahir batin dari jutaan penduduk. Masih sedikit para intelektual, akademisi, atau professional yang mengharu biru dunia karena karya hebat ----lantas merebut simpati suara rakyat.

Artinya, panggung politik kekuasaan hari ini berkutat dalam dua alur besar tadi: manipulasi suara dukungan rakyat dan ketergantungan tinggi terhadap kekuatan yang lebih tinggi. Jika rumusannya masih seperti ini, maka wajar saja bahwa kompetisi politik yang berlangsung selalu memakan “banyak korban”.

Berikut adalah pengakuan: hingga hari ini posisi politik saya berada dalam orbit “banyak korban” itu. Sederajat saja dengan tukang ojek ---yang meraung-raungkan motor berkonvoi bising dalam kampanye Pemilu. Setingkat lebih tipis dari pemilih buta hurup yang datang ke TPS karena dipelototi Kepala Desa. Tidak berbeda jauh dengan ratusan juta pemilih lain, yang statusnya adalah partisipan politik. Suara dan dukungan kami mengalir begitu saja. Tanpa daya kuasa bila ada the factor yang mengarahkan ke muara, danau, atau malah ke saluran got kotor.

Tetapi apakah itu nista?

Harga yang harus dibayar adalah perasaan terhimpit. Meskipun ada nasehat yang terus terngiang, dari Almarhum Nurcholis Madjid. Bahwa dalam melahirkan seorang tokoh, selalu ada tunas yang merepuh, menjadi jasad renik yang menyuburkan tunas yang lain. Dalam satu rumpun pohon bambu, tak semua tunas menjulang, ada yang mati, tak berarti.

Penghargaan tak bisa diharapkan datang dari siapapun. Tak berbilang kisah tentang orang-orang yang besar atas dukungan kelompoknya tiba-tiba terbang menjauh, tanpa datang lagi ke dangau. Menengok pun tidak. Saya kira, bila ukurannya adalah organisasi HMI, maka HMI adalah ladang subur untuk bertumbuhnya ratusan (atau ribuan) tunas. Serta ladang “pembantaian” untuk ribuan lain yang tak jadi apa-apa. Itulah yang disebut “cacing” oleh Antonio Grmasci ---sekedar ikut menyuburkan lahan.

Tetapi juga jangan kaget. Ribuan kader HMI kerap mempermulus langkah orang-orang besar di mana-mana. Tak cuma di panggung politik, tapi juga di jalur birokrasi, pemerintahan, dan mungkin juga bisnis. Nama-nama mereka tidak disebut sebagai orang besar, dan dengan mudahnya diabaikan oleh para pihak yang telah diuntungkan. Namun, seperti cacing, mereka tidak berpotensi menggulingkan apalagi menistakan. Selalu membuat subur ladang….

Kembalinya adalah kepada Tuhan. Tuhan, bila aku pernah sedikit saja berjasa, bagi siapa saja (yang kini telah menjadi orang-orang besar dari HMI) maka Engkaulah yang menentukan.

Hingga hari ini, Saya Masih Menjadi Cacing di HMI.

Selasa, Februari 02, 2010

Komputer DPR RI Terlalu Mahal? Mari Lacak...


Enemy of my enemy is my friend. Rumus ini seolah menjadi formula jitu dalam dunia perpolitikkan. Tetapi, dalam kondisi tertentu, kisah keseharian kita sering terkerangkeng dalam rumusan yang sama. Salah satu cara untuk selamat dari "kredo" itu adalah menjaga kewarasan dan akal sehat.

Masalahnya selalu ada pihak yang keliru mengambil posisi, sudah tentu juga keliru dalam menempatkan sesuatu sebagai "musuh". Sembari meletakkan rasa hormat dengan seperlunya saja, saya menganggap kawan-kawan pers dan aktivis LSM hari ini memperlakukan DPR RI (dan segala isi di dalamnya) adalah sebagai musuh.

Dalam politik, posisi sedemikian secara sempurna memperlihatkan cara pandang "binner oposition". Cara pikir yang meletakkan sesuatu selalu bertentangan secara keras, hitam-putih, tanpa ada celah kompromi. Dalam batok kepala orang-orang seperti itu, tak ada istilah yang akrab disebut sebagai "grey area", wilayah abu-abu, yang memberikan banyak opsi dan alternatif.

Celakanya, mindset seperti ini tidak dikonsumsi sendiri. Artikel ini tak perlu muncul bila urusannya orang per orang belaka. Lain perkara karena mereka (pers dan aktivis LSM itu) gencar melakukan kritik dan evaluasi terhadap DPR RI, seraya melakukan psywar-perang urat syaraf di media. Alias melakukan rangkaian publikasi sistematis. Dengan muara yang kentara sumir: melakukan public distrust, menggerogoti kepercayaan publik terhadap parlemen.

Teknik tergampang dari operasi black campaign seperti ini adalah dengan mem-blow up perkara sepele menjadi besar. Sembari menghilangkan detil informasi, menyingkirkan azas keberimbangan informasi, dan menistakan informasi alternatif.

Artikel ini, maaf saja, bukan pembelaan hitam putih. Melainkan berpihak pada kepatutan. Bahwa yang benar, publik harus memiliki kesadaran bahwa dalam politik tak boleh ada musuh abadi. Bahkan, jika sepakat dengan petuah Almarhum Nurcholis Madjid, bahwa dalam politik, sejatinya tidak memposisikan pihak yang berseberangan sebagai musuh atau enemy, melainkan cukup sebagai lawan atau oponen. You are my oponen, not my enemy...


Distorsi Informasi

Duduk perkara adalah publikasi gencar tentang pengadaan fasilitas komputer baru di ruang anggota DPR RI (artinya juga adalah ruang kerja Staf Ahli Anggota dan Asisten Pribadi Anggota DPR RI). Berita-berita yang dilansir, sebagaimana lazimnya, melakukan teknik penjudulan yang menggunakan kata-kata penuh "daya gugah" dan "daya kejut". Tak ada judul yang normal atau biasa saja (barangkali kalau seperti itu, takut tak dibaca orang).

Simak saja:
1. Wow, Anggota DPR RI Mendapat Komputer Mewah...
2. Komputer DPR RI, Rp. 15 Juta Terlalu Mahal...
3. Pengadaan Komputer DPR RI Potensial Korupsi...
4. Komputer di DPR RI Diganti 2 Tahun Satukali...

Di luar judul, isi pemberitaan kentara tidak bersumber dari pelacakan serius. Sekedar, mengutip Ana Nadhya Abarar, pakar komunikasi politik, meletupkan realitas psikologis semata. Realitas psikologis adalah pernyataan nara sumber terhadap media yang dilakukan at time at locations without investigation. Bicara di tempat itu, di waktu itu, selesai. Tanpa ada pelacakan detil. Nihil konfirmasi dari narasumber lain. Dan, maaf saja, miskin otoritas serta kompetensi.

Pemberitaan model begitu, aduh, jauh dari porsi pencerdasan pubilk. Bayangkan saja: para jurnalis bergerombol, sibuk kanan kiri, di hadapan nara sumber. Pertanyaan tak mungkin mengejar, cukup sepenggal-sepenggal saja. Alhasil, ucapan yang keluar pun hanya sedikit lebih bagus dari asal bunyi. Inilah salah satu penyakit jurnalisme kita --dan juga narasumbernya.

Mau contoh? Dalam konteks ini adalah pernyataan seputar komputer DPR RI. Ada narasumber yang menyebutkan bahwa komputer mahal itu paling banter dipakai main facebook. Berita lain menyatakan bahwa komputer mahal itu hanya cocok untuk layouter, untuk setting image, design, dan desktop publishing belaka. Intinya, mempersoalkan produktivitas dan manfaat dari komputer DPR RI.

Jika dilakukan analisis isi, gamblang terlihat bahwa framming (pembingkaian isu) dalam masalah komputer DPR RI berada dalam garis delegitimasi. Setidaknya ramai-ramai menghasut sentimen pubilk untuk terus memperlakukan DPR RI sebagai musuh. Pencitraan dan opini publik yang dibangun adalah DPR RI sarang kerakusan dan ketamakan.... Kebetulan sejauh yang terlihat, pihak DPR RI lemah dalam melakukan hal ini. Lengkap sudah, mereka senantiasa menjadi bulan-bulanan massa.


Sederatan Fakta

Di tingkat paling dasar, berita-berita tentang komputer DPR RI bahkan gagal memenuhi "prinsip dasar jurnalisme", yaitu kecermatan. Jikapun berita komputer itu tidak berniat melakukan penyesatan informasi publik, maka paling pantas disebut berita keliru. Patut diketahui, pengadaan komputer tersebut bukanlah untuk properti pribadi Anggota DPR RI, melainkan sebagai alat penunjang kerja Staf Ahli Anggota. Nah, dalam pemberitaan, fakta ini sama sekali tak (ter)sebutkan.

Bagaimana dengan tuduhan "paling banter dipakai main facebook-an?

Setahu saya, komputer itu benar-benar optimal menunjujang kinerja. Dengan SDRAM mencapai 3-5 Gigabyte, Memori berkapasitas 350 Gigabyte, Printer Canggih, bisa scan, fax, tentu memudahkan urusan kerja. Cocok untuk mobilitas politik. Ingat, urusan Anggota DPR tak melulu berkutat di ruang rapat dan ruang kerja. Melainkan juga ke konstituen, mitra kerja, media, perguruan tinggi, termasuk juga dengan LSM dan pers. Kecapatan dan tampilan fisik yang baik, tentu menjadi harga mati.

Faktanya, tak mungkin terus menerus dipakai Facebook-an... Mana berani kita iseng berselancar di situs jejaring sosial, manakala pekerjaan bertumpuk, dan agenda bos sedang sibuk.

Berita lain yang segera terbantah adalah tentang penggantian komputer yang dilakukan dua tahun satu kali. Secara pribadi, saya tak mengalami hal itu. Komputer yang kini menjadi cadangan, HP compaq dengan processor Intel Pentium 4, sudah lima tahunan belum diganti. Bagaimana ini?

Pengharapan
Sudah tentu, paparan ini adalah pendapat pribadi. Meski tak tertutup kemungkinan disepakati oleh ratusan kawan-kawan se-profesi. Dalam kemelut perpolitikan yang kian rumit, mengapa harus berlelah-payah melakukan gugatan atas hal-hal yang tidak perlu (atau perlu, tetapi tidak substantif). Lagipula, ingat pesan Samuel Huntington, bahwa langkah awal mengahancurkan proses konsolidasi demokrasi adalah dengan terlebih dahulu melakukan delegitimasi terhadap proses dan lembaga demokrasi yang sah. DPR RI bukan musuh, mungkin lawan... Tapi jangan diabadikan.