Minggu, Mei 30, 2010

Negara Selalu Kalah... dan Sesat Pikir DPR RI


Statistik itu dusta, kata sebuah buku ---yang berjudul Kebohongan Statistik! Cara mudah mendeteksi kepalsuan dalam data statistik adalah ini: "Angka Bulat Selalu Palsu!". Tetapi, hari ini, di Indonesia, statistik ternyata juga penuh insiden. Tragedi penistaan terhadap rakyat jelata yang berlelah-lelah melakukan pencatatan. Selembar pernyataan Surat Tugas Negara ternyata sia-sia.


Negara selalu kalah... Tanyakan hal itu pada petugas sensus yang mewakili tugas pemerintah. Mereka diusir, datanya dirobek lalu dilempar, digigit anjing, beropeasi malam bersama para gelandangan, dan sungguh melelahkan. Mudah-mudahan ini bukan cermin perilaku kebanyakan orang-orang super kaya di Indonesia. Cukup sebagian saja...


Jika saja mampu memilih, barangkali ribuan petugas Sensus yang mengikuti pelatihan nan melelahkan tak akan mengabdi sebagai pencatat data penduduk. Boleh juga diragukan: jangan-jangan Biro Pusat Statistik tidak menyiapkan modul untuk mengajari strategi "menginterogasi" status kependudukan orang-orang kaya. Strategi minimal untuk memaksa secara halus, bahwa data setiap kepala itu penting bagi negara! Maka yang terjadi di lapangan adalah exit strtegy, petugas kabur dan menghindar.


Itupun adalah apa-apa yang kita baca melalui media massa. Belum, misalnya, mengira-ngira baratnya perjuangan para petugas Sensus di pelosok Papua, di pedalaman Kalimantan, berhadapan dengan ganasnya kondisi alam di lembah-lembah dan gunung-gunung. Dari sini, klaim Universalisme Ilmu Statistik langsung rontok. Desain sensus versi WHO, atau Worl Bank yang digunakan BPS, sama sekali tak membaca "tantangan demografis" di Nusantara. Tak pernah ada publikasi rinci, apakah UNFPA, badan PBB yang menjadi partner BPS kali ini membuat desain khusus atau tidak. Betapa tak mudah!


Lalu yang selalu terjadi dalam setiap apapun agenda pekerjaan nasional di negeri tercinta ini, adalah betapa jomplangnya beban kerja dengan daya dukung anggaran. Hitung kasar: populasi penduduk Indonesia yang keempat terbesar di dunia itu diperkirakan mencapai 235 juta, dan untuk objek sebanyak itu hanya mencadangkan anggaran 1,3 Triliun, alias termurah sejagat!




Negara Kalah
Per definisi, status negara kalah adalah tahapan paling awal menuju negara gagal. Dunia tahu persis, failure state, atau negara gagal adalah ketika negara dan perangkat penyelenggara kekuasaannya tak mampu memenuhi kebutuhan mendasar para penduduknya. Itu dari aspek pelayanan. Sementara dari aspek otoritas, negara gagal adalah negara yang bahkan tak berhasil melaksanakan apa-apa yang menjadi kehendaknya. Negara gagal adalah negara yang tidak didengar... bahkan oleh penghuninya.


Lalu negara kalah?


Sifatnya agak temporal, tidak permanen ajeg sebagaimana negara gagal. Kadang negara begitu super power memaksa rakyat tunduk, misalnya ketika harga BBM dinaikkan. Tetapi terkadang negara lumpuh berhadapan (vis a vis) rakyatnya. Indonesia lumayan berpengalaman dalam status seperti ini. Dalam isu kisruh Sensus Nasional, agaknya cukup pantas disebut gagal. Sekurangnya, gagal melindungi harga diri dan kehormatan para petugas sensus ---dengan titel demi tugas negara!


Sementara target negara melambung ke ujung langit. Situs detik.com menyebut Sensus 2010 ini ingin menjadi proyek percontohan sedunia. Secara formal, sensus juga memberi fungsi mendasar bagi dokumen penyelenggaraan pembangunan nasional. Agar penyaluran distribusi anggaran tak salah sasaran. Agar tahu persis alokasi APBN untuk orang tak punya. Agar pemerintah siap siaga melakukan pemerataan pembangunan ekonomi. Dan banyak lagi fungsi penting dari data hasil Sensus. Akan tetapi, bagaimana target-target penting itu tergapai bila di lapangan para petugas bekerja kocar-kacir! Apa yang bisa diharap dari orang yang kehilangan martabat (karena tidak dilindungi penuh oleh negara?).



DPR Lalai
Atas semua itu, ke mana hendak mengadu? Kembali mengutip berita detik.com: DPR RI akan memanggil BPS, atas semua proses Sensus yang mendekati ujung. Dalam rangka evaluasi menyeluruh, terhadap kendala, halangan, tantangan, dan profesionalisme petugas Sensus. Anggota DPR RI dari Komisi II, A. Malik Haramain mengatakan bahwa isu penting yang akan diangkat adalah profesionalisme petugas di lapangan.


Kita akan bergembira (sekali) apabila DPR RI justru terlebih dahulu memanggil penghuni perumahan elit di Menteng, Pondok Indah, di Apartemen Mewah, atau di Cluster Elit Alam Sutera Tangerang, yang menolak disensus. Tanya kepada orang-orang maha kaya itu, mengapa tak sudi di data? Tidak kah para legislator itu tersinggung jika ada "wakil petugas negara" yang digigit anjing? Diusir dan dilecehkan?


Tetapi kenyataannya selalu begitu. DPR tidak hadir ketika dibutuhkan. Dan muncul ketika persoalan terlanjur memusingkan. Lelah, sudah...

Rabu, Mei 26, 2010

The Bright Side of Habibie


Taruhan! Anak-anak SD era 80-90an awal, dengan tegas menjawab ingin jadi Habibie ---ketika Bu Guru bertanya lembut apa cita-citamu? Sisanya bercita-cita jadi Insiyur, pilot, dokter, atau menteri (kalau tidak Habibie, ya, Harmoko). Ada sih, lagu tentang cita-cita jadi Presiden, tapi dari sebuah boneka kenes bernama Susan, dari mulut mungil Ria Enes.



Belakangan saja berubah. Ketika Billboard raksasa terang benderang menampilkan leher lenjang milik Luna Maya; di saat anak-anak TK fasih dengan ucapan cadel becyek nggak ada ojyeg; atau mungkin terbius dengan Harry Potter. Maka "Bu Gulu" terlongong-longong karena ada murid berniat menjadi penyihir!!!


Sssstttt, bukan cita-citanya yang berubah. Hanya ada penambahan: ingin jadi dokter yang kaya, insinyur yang kaya, pilot yang kaya, atau menteri yang kaya. Pokoknya kaya raya. Kalau perlu sekalian saja kaya dan beken. Tuhan, aku ingin jadi artis...



Maka tayangan terakhir tentang duka mendalam Habibie atas berpulangnya isteri tercinta seperti mengulang lagu lama yang pernah kita lupakan. Tentang sosok yang pernah menyingkirkan kerikil dalam sepatu bernama Timor Leste (dan ia harus mendapat cibiran kanan-kiri). Tentang konflik dengan pengagumnya yang bernama Jenderal Prabowo. Tentang pengakuannya yang berbunyi rada hiperbolik bagi aktivis mahasiswa era 98, bahwa Guru Besar dan Profesor Politik-nya adalah Soeharto. Catatan ini akan berisi seratusan kata tentang lagi, tapi cukuplah itu.



Kekaguman dan kedengkian mungkin berada dalam neraca yang seimbang terhadap sosok Burhanuddin Jusuf Habibie. Namun memang niscaya begitu bagi manusia-manusia berharkat tinggi.



Dan ia, satu dari sedikit tokoh bangsa yang memiliki kelengkapan nyaris paripurna. Teknokrat yang berhasil menerbangkan pesawat dengan teknologi Fly By Wire melalui CN 135; Ekonom yang melahirkan varian Habibienomic dengan kritik keras dari Rizal Ramli plus ITB Connections; seorang Presiden yang berhasil menelurkan begitu banyak Undang-Undang Pro Reformasi Pro Demokrasi; serta (yang ini juga perlu) mendorong kekuatan baru Islam Politik melalui ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia).



Dengan agak menyesal, kita juga pernah menyaksikan betapa ia pernah dinista dengan ganas! Laporan pertanggung-jawabannya ditolak DPR RI, beberapa "brutus" menelikungnya dari belakang. Proyek IPTN perlaya dengan alasan salah urus dan overheating. Tragedi Kampus Atmajaya, yang disebut sebagai Insiden Semanggi Dua di zamannya. Lalu pelabelan (political labeling) secara negatif bahwa ia adalah The Golden Boys of Soeharto. Itupun, jika kita ingin menghindari penulisan kata Antek Orde Baru di depan namanya. Maaf saja, di kalangan non Islam, dengan nyaman orang menyebutnya sebagai Islam Garis Keras!



Lalu bangsa ini seperti termakan mitos Sysiphus, yang melakukan tindakan yang sama secara berulang-ulang.



Pencandraan terhadap seorang tokoh tersaput oleh kekaguman nyinyir atau malah penolakan buta. Susah menjadi hero dengan kondisi yang manusiawi ----bisa salah, bisa keliru. Biografi para tokoh di Indonesia adalah catatan sekelas Whos Who yang memetik sisi-sisi spektakuler sahaja. Pengenalan menjadi tak utuh. Hasilnya, kita abai bahwa orang seperti Habibie sekalipun adalah manusia yang bisa menangis tersedu-sedu. Seraya memiliki cinta mulia yang mungkin sebanding Rose and Jack dalam film Titanic. It's perfectly human.



Betapa Presiden SBY pun tak mampu mengangkat dagu, bertekuk karena berempati mendalam atas tangis Habibie. Juga hal yang sama tampak dari roman mendung-muram para pelayat. Kejam rasanya bila nurani tak haru, meski misalnya hanya melihat dari tayangan televisi.



Almarhumah Ibu Asri Ainun Habibie diberitakan mengalami operasi sebanyak dua belas kali. Sejak Maret lalau mengalami kondisi kritis. Penderitaannya tentu tak alang kepalang. Namun ia beruntung ---sangat beruntung, tepatnya--- memiliki seorang pria bermartabat. Setia menunggu dengan terus menerus membaca Al Quran. Seorang keluarga dekat menuturkan, Pak Habibie tak pernah sesaat pun berniat meninggalkan isteri tercinta yang tergolek lemah ----sepenting apapun agenda yang harus beliau ikuti. Baginya: mendampingi Isteri bukan lagi agenda, melainkan kewajiban (ter) penting. Sebagai laki-laki, saya lebih dari sekedar meneteskan buliran air mata kekaguman, tetapi juga malu. Malu karena sebagai manusia biasa (dan gagal pula) saja sering "menipu" isteri dengan alasan ba-bi-bu. Koran-koran menulis dengan ukuran hurup besar: "Saya (maksudnya Habibe) Lahir Untuk Ainun." Duhai, para perempuan se-Indonesia, berhentilah mengatakan bahwa semua laki-laki adalah sama...


Inilah sisi terang Habibie, The Birght Side of Habibie. Meskipun sayangnya kita terperangah justru di ujung kisah dua manusia terkemuka itu.



Mudah-mudahan sisi terang itulah yang paling bisa diterima dengan mudah. Bagi siapapun ---sejauh ia punya nalar sehat--- apa yang dilakukan Habibie terhadap Isteri tercinta adalah mengagumkan. Patut jadi oase di tengah kepengapan hidup yang menggelayuti republik. Di mata saya, Habibie juga ada cela. Mungkin juga bagi anda. Ia punya banyak kontribusi, seklaigus juga kekeliruan-kekeliruan. Meski memang di tangan seorang pemimpin, tak pernah ada kebijakan yang mampu memuaskan semua orang. Semoga saja, penentang Habibienomics, aktivis 98 yang anti Orde Baru, pengkritik IPTN, dan yang marah atas lepasnya Timor Timur, sedikit berkhidmat untuk seorang pria tua yang sedang berduka.

Selasa, Mei 25, 2010

Uji Petik untuk Politik Gagasan Anas Urbanaingrum


Anas membayar kontan "elan vital" yang berdengung kian kencang. Itupun bila berkaca pada perang gagasan belakangan ini, yang nyaris berbunyi sebagai high call (permintaan tinggi) belaka, alias bargaining agar politisi muda memperoleh jatah. Bahwa sudah saatnya tampuk kepemimpinan berada di kalangan "para belia".


Belum-belum, kita bertubrukan dengan keruwetan definisi. Kamus Webster mengkategorikan kaum muda (youth) di kisaran 18-35, negara-negara persemakmuran sepakat merujuk pada usia seperti itu, juga UU Tentang Pemuda, yang belum lama disahkan. Istilah "para belia" tak lain adalah sebutan Pemuda di negeri jiran Malaysia, yang menyebut kaum muda adalah mereka yang berusia di bawah 50 tahun. Bila sedikit toleran, bolehlah Ketum Baru Partai Demokrat itu kita kategorikan sebagai pemimpin muda. Dari sisi usia, tentu saja.


At least, secara simbolik, Anas membayar tuntas: bahwa kaum muda bisa memperoleh apa yang diinginkan. Mur'uah (kehormatan diri) politisi muda terselamatkan....



Proposal Masa Depan
Tetapi persoalan menjadi panjang bila posisi Ketua Umum PB HMI era 96-98 itu diletakkan dalam locus kepemimpinan politik kaum muda. Masih berbaur antara das sein dan das sollen, antara fakta dengan realita, antara aksi dengan fiksi. Sanggupkah Anas memperlihatkan diri sebagai politisi muda dengan ghirah yang mencukupi? Dengan semangat, yang oleh Shoe Hok Gie disebut The Young Angry Man (marah terhadap korupsi dan ketidakadilan)? Dengan kemampuan anak muda untuk mewujudkan sesuatu yang oleh Pramoedya Ananta Toer disebut sebagai pemegang proposal masa depan?



Tentu saja ada beberapa cara singkat menguji kondite Anas, sebagai politisi muda yang patut menjadi icon. Mematahkan opini publik, bahwa ia tak akan sanggup meruntuhkan AM yang mendapat restu, disokong (luar biasa) mesin kampanye FOX, plus merebut dukungan internal politisi Demokrat, adalah salah satu catatan khusus yang membuktikan bahwa dirinya adalah petarung sejati (sebuah karakter kaum muda). Menjungkirbalikkan prediksi bahwa Partai Demokrat adalah partai dengan akar tunjang patronase yang kokoh, siapapun yang terkesan "berbeda" akan terpental. Sekaligus menelikung rumus standar dalam kontestasi partai politik besar, bahwa uang adalah segalanya.



Bukan berarti Anas tidak mengeluarkan ongkos politik. Tetapi dihitung-hitung, pundi-pundi pribadinya pasti jauh kelas dibanding dua kompetitors lain. Lain urusan bila kita memasukkan current money dari para bandar yang Pro Anas. Barangkali juga angkanya seimbang. Sudahlah, kita peras saja poin pentingnya: bahwa ia keluar sebagai pemenang dengan catatan bagus. Dalam sebuah pertarungan Kongres yang juga cukup bagus, setidaknya bila kita melihat komentar banyak kalangan di media massa.



Itu paragraf singkat tentang kondite Anas. Bahwa sejatinya ia bukan Don Quixote yang bermimpi menjadi ksatria tulen tetapi dengan cara-cara yang anakronistik ---bertentangan dengan kenyataan yang terjadi. Singkatnya, kita tak boleh menyematkan baju kebesaran Tan Malaka, Shoe Hok Gie, Sjahrir, dalam raga Anas, sebab jubah itu old fashion. Lagipula, dialektika politik terkini harus bergerak ke arah lain. Tak melulu perlawanan kaum muda adalah semangat meruntuhkan. Mengutip istilah Eep Saefulloh Fatah, bahwa agenda politik kaum muda kini adalah menyusun (to arrange), bukan lagi meruntuhkan (to destroye).



Proposal masa depan Anas, secara kebetulan bersumber dari janji politik ia sendiri, berlaku dalam medan Revolusi Sunyi (judul buku yang ia luncurkan dua hari sebelum Kongres Bandungi). Bergerak melalui ranah politik gagasan.



Jika begitu, metode menguji Anas menjadi terang benderang. Tiap-tiap gagasan, menurut mendiang Soedjatmiko, yang pernah menjadi Rektor di Tokyo University, harus punya kaki. Pesan barusan Ini jelas menjadi garis tegas yang membedakan antara gagasan dengan lamunan, antara ideologi dengan imajinasi. Di mana kaki "politik gagasan" Anas berada?




Uji Petik


Mari mulai dari sisi praksis politik gagasan dari Anas. Serumusan gagasan politik, jika kemudian lahir sebagai panduan praksis bagi para pendukungnya, kelak menjadi ideologi. Maka memakai definisi seorang tokoh yang merumuskan istilah ideologi, yaitu Destrut De Tracy, maka pemikiran atau gagasan Anas kita sebut saja sebagai ideologi. Sebab, menurut De Tracy lagi, ideologi adalah motivasi bagi praksis sosial, yang menjadi pembenaran dan mendorong suatu tindakan.


Dalam Kata Pengantar buku Revolusi Sunyi, yang membedah tentang kemenangan Partai Demokrat yang spektakuler, ia menulis bahwa prestasi itu berlangsung dalam proses yang tidak gaduh. Melainkan melalui proses sistematik, terukur, matang dan kerja keras bertahun-tahun.


Uji petik di sini patut memakai ilmu curiga. Bukankah kegaduhan di televisi dan iklan luar ruang Demokrat begitu gemebyar? Hingga muncul pameo, Demokrat bukan pusing mencari logistik Pemilu, tetapi bingung menghabiskannya? Bagaimana juga dengan lelucon bahwa kemenangan Demokrat adalah karena faktor SBC, Soesilo Bambang Century? Agak sukar diterima, bahwa prestasi Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden adalah berlangsung dalam tataran Revolusi Sunyi versi Anas.



Lalu, terlihat seperti menepis isu melawan SBY, setelah ke luar sebagai pemenang Kongres, Anas mengatakan bahwa Partai Demokrat harus melakukan pelembagaan figur SBY. Bahwa karakter SBY, yang santun, cerdas, berwibawa, berpengaruh luas, harus diinstitusionalisasi oleh kader-kader demokrat. Agar menjadi tauladan, menjalar sebagai karakter bersama, di seluruh kalangan kader Demokrat. Bagi politisi kelahiran Jawa, ide ini tentu bukan perkara aneh, sepadan dengan karakter-demografis mereka. Bagaimana dengan orang demokrat dari Maluku, Ambon, Papua, atau malah Aceh?



Tak ada ikhtiar pemikiran yang berbau perlawanan khas "kaoem moeda" dalam dua tesis pemikiran Anas, baik dalam buku Revolusi Sunyi, maupun Institusionalisasi SBY. Wajar belaka jika kita melakukan kritik keras. Karena Anas hanya akan menjadi duplikasi atau setidaknya SBY kecil, dan itu sesuatu yang berbalik punggung dengan elan vital politk anak muda.



Gerontokrasi
Alih-alih meruntuhkan gerontokrasi (kepemimpinan kaum tua), kepemimpinan Anas justru menjadi jangkar bagi patronase politik. Membuyarkan ledakan kegembiraan publik yang melihat bahwa Demokrat ternyata berpotensi menjadi moderen, lepas dari dinasti politik klan tertentu. Semoga saja, statement Institusionalisasi SBY itu berkadar rendah, cukup sebagai ungkapan psikologis seorang Anas belaka.


Sesungguhnya kerinduan generasi muda adalah Jeunisme politik (di mana anak-anak muda tampil dengan karakter sejatinya). Berani bergejolak, kalau perlu dengan letupan kemarahan. Asalkan berbasis argumentasi dan referensi yang jelas, misalnya terhadap penyakit korup dan menguatnya Oligarki serta Dinasti Politik di mana-mana (dan itu terlihat jelas dalam agenda Pilkada, yang dikuasi anak, isteri, dan keponakan).



Dengan agak klise, penialain terhadap Anas memang harus adil. Pun untuk tidak membela dengan gelap mata. Sosoknya berkibar karena memang kecerdasan artikulatif, tetapi jauh dari revolusioner. Agak sedikit kita mendengar gagasannya yang melawan "kesadaran umum", ia kompromistis. Nah, bagaimana dengan aksioma Ali Syariati, bahwa pemimpin perubahan selalu berada di tangan para pemikir yang berani berbeda? Atau temuan Arnold Toynbee, bahwa perubahan ada di tangan creative minority yang melawan pemikiran umum? Permisi... Anas adalah sosok yang lurus-lurus saja.

Rabu, Mei 12, 2010

Sedikit Memahami Jenderal Susno Duadji


Tidak mudah menjadi Jenderal, dengan medali emas tersemat di atas dada. Lebih tidak mudah lagi menjadi Jenderal seperti dulu-dulu. Setegar tebing karang. Tersuruk dalam medan gerilya, tertatih dalam serangka reyot. Kalaupun mudah, itu hanya ada dalam skenario sinematografi.

Dan hanya Naga Bonar yang mengandalkan selera hati, mengangkat anak buah menjadi Jenderal atau Kopral. “Bujang! Sudah kubilang, kau jangan ikut perang, matilah kau...”

Dulu merinding membaca Biografi Jenderal T.B Simatupang (Saya Adalah Orang Yang Berutang), L.B. Moerdani (Profil Prajurit Negarawan), atau Jenderal M. Yusuf. Tak berperasaan kiranya, jika batin tak menangis menyimak sisa hidup Jenderal Nasution, peletak dasar perang gerilya, yang bukunya The Strategy of Guerrila Warfare menjadi fenomena dunia. Dalam lembaran akhir hidup beliau, bahkan kesulitan memperoleh air bersih, seraya terpaksa membuat sumur bor di halaman belakang rumah.

Bila butuh uswatun hasanah, teladan yang baik dari Jenderal Polisi, maka Nama Besar Jenderal Hoegeng Imam Santoso tak kalah menakjubkan. Mengutip Iwan Fals, ia bernisan bangga berkafan doa. Jenderal yang terkenal bersih, anti Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Ini catatan yang perlu: beliau tidak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, tapi nun jauh di sana, di Desa Tenjo, Bogor (dari Jakarta bisa diakses melalui Kereta Api murah, Jakarta Rangkas Bitung, meski harus bercampur dengan keranjang sayur atau terkadang kambing jualan). Siapa bilang polisi jujur hanya ada pada Polisi Tidur dan Patung Polisi? Maaf...

Secepat waktu berbalik. Nasib para petinggi militer atau kepolisian sekemilau lencana dan setinggi pangkat yang mereka sandang.

Nyaris tak ada korporasi besar yang tidak mencantumkan nama-nama (eks) perwira tinggi di jajaran komisaris. Untuk apa? Jelas sudah. Ketika Carreforur dan Grup Lippo saling sikut di gerai ritel masing-masing, mencuat nama Hendropriyono, mendampingi Chairul Tandjung. Entah gosip atau fakta, di 2002, beredar isu bahwa Brimob punya saham untuk jasa pengamanan ekstra perusahaan-perusahaan pertambangan besar. Ketika dunia bisnis merasa unsecure, mereka butuh “bodyguard”. Sungguh sebuah perkawanan yang saling menguntungkan (coalition in convenience).


No Pain, Full Gain
Bisnis, politik, prestise, dan segalanya yang mengganti nasionalisme, daya juang prajurit, solidaritas kebangsaan, dan apa-apa yang disebut sebagai sapta marga, tidaklah membuat kita berteriak. Lebih-lebih bila pemerolehan itu memang via fit and propper test dan bukan karena fee and property cash. Seseorang yang mengecap proses perjuangan keras, wajar belaka memetik hadiah. Tetapi justru kita reaktif manakala nilai-nilai adiluhung para prajurit-tamtama-perwira tanggal justru di medan publik.

Jabatan penting dan strategis bukan moncer hanya karena nama. Melainkan karena misi yang diembannya, entah itu di organisasi militer, organisasi politik, atau bahkan institusi bisnis negara sekalipun. Olehnya galib belaka bila para person yang duduk adalah manusia pilih tanding. Bukan hanya karena titipan partai, hasil kongsi para taipan, atau karena beruntung berdarah keluarga tertentu. Ini yang membuat kita meradang. Dan sekalipun bertumbangan korban, tetap saja membuat terperangah. Karena pikiran sehat akan segera lari pada kesimpulan: bahwa tidak ada seleksi fair dalam kompetisi jabatan penting di negeri ini.


Kita kemudian kehilangan exemplary person, suri tauladan yang biasanya bersumber dari orang-orang yang ditempa secara keras dalam disiplin ketat. Tak banyak orang yang bisa lolos ---misalnya di Akabri atau Akpol. Lebih sedikit lagi orang yang secara sistematis ditempa untuk memiliki mental kuat dan fisik perkasa. Lalu kemudian, bila para bintang itu terlihat berkompetisi dengan penuh intrik, apa bedanya dengan pemungut receh di terminal bis kota?


Kontestasi Kuasa
Fenomena Susno persis masuk di pusaran kontestasi kuasa saat ini. Politik hari ini adalah turbulensi dan ketidaknyamanan. Sama sekali tak ada jabatan yang settled, orang bisa terpental atau melesat di jam satu pagi (persis ketika lelap dalam lengah). Barangkali juga sama persis dengan ungkapan Kwik Kian Gie, bahwa bisnis lebih berjalan lancar di saat tengah malam, manakala peraturan pemerintah dan para menteri ekonomi tidak sedang bekerja. Aktualnya: the hidden process jauh lebih menentukan tinimbang the normal process.


Penyingkiran kasar terhadap kaidah meritokrasi. Seleksi berbasis prestasi, karya, pengabdian, integritas, kalah oleh garis perkongsian, like or dislike, atau isu serampangan. Belum lagi bila kita membaca data internal Polri, tentang betapa tak mudah mengatur rotasi kepemimpinan, mengalokasikan para pejabat tinggi, dan meng-karya-kan di tempat terhormat, atas 43 Jenderal Nganggur di Kepolisian. Fakta itu sebat membuat ribet. Proses-proses tersembunyi menjadi faktor penentu. Kita tidak sedang berbicara bahwa Susno bersih. Namun, paling tidak, ia menjadi "peniup seruling" yang penting. Atas berbagai ketidakberesan di institusi tempatnya mengabdi. Meskipun, misalnya, benar ia meradang karena kebutuhan jenjang karier, bukankah itu justru membuktikan bahwa ada mekanisme yang tidak fair, olehnya harus dibuka lebar?


Catatan Akhir
Dunia mengenal beberapa legenda, tentang intrik para petinggi, entah jenderal atau presiden sekalipun. Tetapi juga dunia mengajarkan betapa perlunya toleransi dan kesabaran dalam menggapai kuasa. Indonesia hari ini seperti lupa perihal penting itu. Perang bintang dalam Pilpres menjadi alat pembenar bahwa pertarungan habis-habisan adalah demokratis ---padahal sesungguhnya mereka terlalu cinta diri sendiri, urung untuk mengalah kepada the other.

Tengoklah Jenderal Dwighit Eisenhower, Jenderal Trumann, dua jenderal penting di AS, ketika negeri itu nyaris lebur oleh perang dunia kedua. Keduanya tidak saling sikut, tidak sama-sama maju di saat yang bersamaan untuk menjadi Presiden Penyelamat Amerika. Saling mempersilahkan. Saling mendukung. Selesailah negeri itu dari kiamat resesi dunia. Di kita tidak. Kompetisi orang per orang, dengan serangkaian gerbongnya, justru menggila manakala negeri ini butuh kerjasama.

Catatan akhir: jabatan, uang, gelimang kehidupan, sesuatu yang wajar belaka dalam kehidupan para jenderal. Tetapi yang kita minta, mereka juga menyisakan etos seoerang prajurit, nilai juang, integritas, seraya memperlihatkan prestasi. Tidak dengan cara-cara The Man on The Street. Susno Duadji, Susno Diudji, Susno Dijeruji...

Senin, Mei 10, 2010

Sri Mulyani: Between Brain Drain and Brain Gain


Mesin Google menerjemahkan brain drain sebagai hijrahnya para sarjana ke luar negeri. Tentu kalau mau diperinci dalam contoh kasus, sarjana yang nganggur di negerinya sendiri lalu hijrah ke negara orang untuk menjadi calo jemaah haji tak masuk kategori Om Google ini. Sebaliknya juga tak layak masuk hitungan, bila misalnya para Doktor dari Al Azhar pindah ke Asia Tenggara semata untuk memperbanyak “calon pengantin” bom bunuh diri.

Pindahnya Mbak Ani, siapa tahu menggerojok buhul kesadaran kita tentang sesuatu yang tak bisa disepelekan. Majalah Times, edisi September 2004, dan mengutip pernyataan pemerintah waktu itu, menyebut sekitar 85.000 warga Indonesia terdidik-terampil untuk bekerja di luar negeri. Pasti ada rupa-rupa alasan melatarinya.

Salah satunya menjadi lelucon segar. Pernah, seorang ahli biologi yang jika bekerja di luar mendapat fasilitas serba moderen, di Serpong sana justru mengganti botol kaca laboratoriumnya dengan botol aqua plastik. Atau ahli manajemen organisasi lulusan luar yang bekerja sebagai bawahan bupati yang tak tahu membedakan mana urusan kantor dan mana arisan keluarga. Jika begitu, mana tahan?

Sepakati saja, bahwa yang terjadi adalah hukum ekonomi. Alias perkara supply and demand saja, siap butuh siapa direngkuh. Tetapi juga bukan berarti harus masa bodoh. Negeri ini harus diurus benar-benar benar oleh orang yang benar. Jika yang tersisa adalah sisa, maka sepetak nusantara ini akan selalu ada di halaman belakang peta dunia.

Tetapi kasus pemanggilan mantan Direktur LPEM UI oleh Bank Dunia ini tak bisa dilihat melulu ekonomistik. Apalagi jika meletakkannya hanya dalam tatapan nasionalisme. Mari kita ke luar dari kebisingan dua kategori itu. Ibu Sri tidak sedang mengejar karir, atau berikhtiar menebalkan pundi-pundi pribadi. Saya khawatir, apa yang dilakukannya malah seperti olok-olok untuk para penyerang. Meskipun bila benar begitu, malah bagus. Agar mereka tahu diri.

Yang pasti, seperti para seniornya di bidang ekonomi, beliau selalu cool. Kalem terhadap berbagai hujatan. Beberapa hari lalu, ketika dicecar wartawan atas aksi Walk Out PDIP dan Hanura, Ibu Sri menjawab pendek: Alhamdulillah...

Selingan saja, meloncat ke yang dulu-dulu. Sri Mulyani pernah diolok-olok oleh sejawatnya (dalam profesi, maksudnya) sebagai Sarjana Text Book Thinking. Tak ragu saya sebut saja nama orangnya: Doktor Rizal Ramli. Padahal, media tak pernah bosan mengutip Direktur Econit itu, yang tak kalah text book-thinking-nya, pun di area non ekonomi dan keuangan. Bukankah terminologi sumire campaign, atau political moratorium , adalah keluar dari lisannya juga? Membingungkan juga bila kemudian para ekonomi dan analis keuangan tidak text book thinking. Sebab yang memakai parameter dari kitab primbon, hanya cocok untuk Gendeng Pamungkas atau Mama Laurent.

Sri Mulyani juga adalah sosok yang seperti bantal sansak di Sasana Tinju. Bisa dipukul kanan kiri atas bawah ---lagipula para peninjunya tak bakalan sakit, empuk malah! Jangan-jangan para penyerangnya memang hanya ingin berkeringat, lalu kebetulan butuh panggung untuk beraksi. Dalam tempo dekat, begitu Menteri Keuangan itu ngantor di AS, cerita mungkin agak berbeda. Butuh sedikit kapasitas intelektual untuk merecoki Sri Mulyani. Tak seperti kemarin dan beberapa waktu lalu. Cukup dengan recehan Rp. 50.000, berdemo, memaki kasar, membakar foto, dan mengcrop foto Sri Mulyani yang bertaring. Terkadang, melihat tingkah para pengkritik di jalanan pikiran menyembul rasa ngeri: orang besar sering diganggu orang-orang pecundang dengan cara-cara dungu...

Pantas saja Syaidina Ali Bin Abi Thalib pernah berpesan agar dalam salah satu doa kita menyelipkan permohonan agar selamat dari gangguan orang-orang bodoh!

Bila kemudian perlu melihat polah para ekonomi kita, rupanya rada-rada mirip. Bodiono kalem saja dan malah bikin nasi tumpeng ketika dicecar habis-habisan. Faisal Basri juga unik, ke mana-mana selalu pakai sandal, pun ketika rekeningnya tiba-tiba melonjak ratusan juta rupiah, tanpa ia minta atau tanpa perlu pura-pura menolak. Agak jarang para ekonom yang meledak-ledak! Apakah performa mereka juga memakai hukum besi ekonomi: hemat bicara, hemat gaya?

Barangkali juga ada kelas lain, couterpart yang memang punya bobot. Mereka (mungkin juga) bermodal pada azas teoritik dan kecemasan terhadap gurita kapitalis dan virus neolib. Tetapi bagi kebanyakan orang, bukan itu yang perlu.

Terakhir, mari melihat dalam tatapan yang kurang serius. Misalnya potensi dengki para politisi.

Pertama-tama adalah media showbiz kita, entah dalam drama politik, ekonomi, atau bahkan kebudayaan sekaligus, telah padat dengan beragam jenis corak-aliran. Di politik, mau kiri radikal ala PRD dulu, boleh. Mau berkoar mengumbar moralitas ala Preman Berjubah, juga silahkan. Mau tak bersuara malah lebih bagus. Pun dalam wilayah ekonomi. Semua mendapat kesempatan. Artinya, negeri ini telah berjalan pada pusaran yang bebas. Kompetisi dengan segala kompetitorsnya.

Berhentilah dengan semangat lama. Bahwa aliran liberal-kapitalistik selalu menang. Dalam kompetisi terbuka mereka tak bisa dirubuhkan. Karena mulai dari wasit, lapangan, hingga aturan main sudah sanggup mereka beli. Dunia sudah sedemikian ruwet. Bahkan negeri paling liberal-kapitalistik pun sudah mau berkompromi, dengan memasukan variabel dan faktor-faktor yang tidak dikenal dalam era liberalisme purba. Sekali lagi, ini soal kesempatan dan kemampuan tampil. Di sinilah kita lihat: panggung sempit dengan petarung bejubel. Harus ada yang tersingkir. Tersingkir dengan cara yang fair atau malah kasar.

Kalau hanya pribadi Sri Mulyani, tak ada kekhawatiran seujung kuku sekalipun. Ia pasti laku di mana-mana. Tetapi khawatirnya ini menjadi trend. Ingat, modal intelektual, seperti diungkapkan W. Bennet, adalah salah satu pemicu kebangkitan industri. Nah, jika jejak Mbak Sri diikuti rombongan lain yang kelasnya bagus, kapan industri kita bangkit?

Sri Mulyani, brain drain bagi bangsa sendiri, brain gain bagi negeri orang. Indonesiaku...

Minggu, Mei 09, 2010

Susi Susanti, dan (mana?) Kebanggaan Kita...


Jangan bercinta dengan atlet bulutangkis. Kata syahibul humor: lelah tapi nggak klimaks. Set pertama sering salah kamar. Set kedua, sudah mulai ganti “raket”. Set ketiga, kedodoran, jarang smash! Dan berkelit dengan rally-rally panjang…

Ada juga sms norak yang dulu beredar (jauh sebelum FB-ngetren, seraya menggantikan sms lucu-lucuan). Bunyinya: “Sekamar bareng, pria wanita. Tanpa nikah. Berkeringat melenguh bersama. Memasukkan dan kemasukkan. Diteriaki atau malah disupport banyak orang. Itulah pasangan ganda campuran…”

Tapi memang bulutangkis olahraga full stamina. Sebuah riset membuat perbandingan antara frekuensi dan akselerasi antara atlet Badminton dengan Tenis Lapangan. Hasilnya mencenangkan. Pergerakan shuttle cock lebih cepat meluncur dibanding bola tennis. Memaksa para atlet lari tiada henti. Singkat kata, bulutangkis lebih berkeringat dibanding cabang olahraga lain.

Dengan kehandalan dan tingkat kesulitan seperti itu, mestinya para atlet bulutangkis jadi The Real Hero bagi seluruh anak bangsa. Tetapi agaknya ditanggapi biasa-biasa saja.

Gegap gempita kalau Tim Thomas dan Uber menang. Diarak, dihujani hadiah, “dapat mertua” mantan jenderal, atau sesekali jadi bintang iklan. Tapi apresiasi seperti itu masih dalam batas normal. Berjangka pendek, gampang pudar dalam selintas ingatan.

Padahal, idealnya, para ikon bulutangkis harus mendapat berpuluh kali lipat dari itu. Bukan untuk semata kejayaan mereka. Melainkan untuk mental building dan menumbuhkan nation character kita. Saya ingat, Majalah Gatra di edisi khusus tahun 2008 lalu, memampang The Real Indonesia Hero, sebagai tokoh-tokoh yang memberi inspirasi kepada publik. Sejumlah sosok ditampilkan. Mulai dari politisi, pebisnis, professional, bintang film, selebriti, dan… minus olahragawan.

Tahun lalu, memang ada film tentang olahragawan, kebetulan juga dari Cabang Bulutangkis, yaitu The King. Tapi nggak King banget…

Sejatinya Indonesia dijejali para Hero dan (S)hero (Lantaran para pejuang bukan hanya laki-laki, tapi juga perempuan), dalam berlapis-lapis medan kehidupan. Lantas kapan, nama para atlet, para pengerek bendera di stadium-stadion agung di luar negeri itu menjadi, misalnya, nama jalan protokol? Dibuatkan patung di Menteng dan Pondok Indah? Tak apalah dijajarkan dengan Obama Kecil atau Inul. Seorang kawan pernah memperlihatkan koleksi perangko para tokoh Indonesia. Saya melihat takjub. Foto Bung Karno, Foto Bung Hata, dan manusia Indonesia besar lainnya. Tapi juga jengkel, tak ada tokoh-tokoh legendaris di luar lingkar politik-kekuasaan. Malahan foto pariwisata, patung, tugu, ditampilkan cukup banyak.

Kalaupun dibuatkan buku, tak cukup hanya biografi. Sangat cukup pantas bila legenda per-bulutangkis-an kita tercantum dalam Pelajaran Sejarah Indonesia, tak apa pula bila berdampingan dengan BAB Peristiwa Serangan Oemoem Satu Maret yang dipalsukan, atau malah dengan Sejarah 65 yang penuh dusta! Hingga kini, masih terlihat penghargaan itu biasa-biasa saja.


Keluarga Sidek
Bapak saya dulu sangat benci dengan Keluarga Sidek dari Malaysia. Kebencian lama, sebenarnya. Izin sebentar, ini selingan. Waktu menjelang lahir, Bapak berniat memberi nama saya Thomas, jika Tim Thomas Indoensia menang vs Malaysia, di final Thomas Cup, Tahun 74, di Kualalumpur. Sial bagi Indonesia, dan juga bagi saya, kita kalah. Akhirnya, nama aku nggak Thomas. He..he..he..

Keluarga Sidek terdiri dari Misbun Sidek, Rajif Sidek, Jailani Sidek, Rashid Sidek, dan Abdurrahman Sidek.
Misbun Sidek adalah pemain tunggal yang dulu menjadi rival utama Icuk Sugiarto. Rajif dan Jailani Sidek merupakan pemain ganda. Rashid dan Abdurrahman juga menjadi pemain tunggal dan ganda.

Malaysia sangat memuja keluarga Sidek. Bukan hanya buku, rangkaian komik ringan pun dibuat dan ditulis berseri. Diedarkan ke anak-anak sekolah. Dengan uraian yang memberi semangat. Menularkan etos juang. Mencontohkan bahwa sesuatu bisa dikejar. Cerita dalam komik, misalnya, menuturkan bagaimana Ayah dan Ibu dari The Sidek Family ini membuat lapangan bulutangkis sederhana di halaman belakang rumah. Mendisiplinkan Sidek bersaudara untuk getol berlatih. Ini adalah contoh penularan mental (mental contagion), melalui cara-cara bermartabat. Di Indonesia, adakah?


Susi Susanti
Publik tercengang dalam Piala Sudirman awal 90-an. Indonesia sudah tertinggal 0-2 dari China. Giliran Susi versus... Di set pertama dia kalah. Set kedua menang. Dan set ketiga menang telak! Dengan skor 11:0 untuk Susi. Efek ini dahsyat. Di dua partai terakhir, kontingen Indonesia membabat habis lawan, dan membalikkan kedudukan menjadi 3-2. Memori akan Susi adalah tentang keuletan, tegar, sabar, senyum tipis, ramah, tak angkuh, cool. Sisanya yang lain adalah tentang kehebatannya memainkan raket untuk bola-bola net dan rally. Oh, ya, ada lagi. Ia mampu mengejar ke manapun arah bola. Seolah lapangan bulutangkis hanya selebar kamar kos buruh pabrik.

Susi juga yang mengawinkan (dengan makna yang sesungguhnya di belakang hari), antara Medali Emas Olimpiade untuk nomor tunggal puteri, dengan Alan Budikusuma (ganda putera). Kedua pebulutangkis ini jejaknya belum diikuti oleh siapapun, di kolong jagat ini.

Di atas segala-galanya, Susi juga menampilkan mantan atlet yang tidak kebablasan. Mari melongok cerita pilu mantan olahragawan. Di cabang lain, yang kebetulan kurang beken, tak sedikit atlet tua yang tumbang, maksudnya secara ekonomi. Ada mantan atlet yang jadi nelayan, jadi juru parkir, jadi keamanan Diskotik, dan jadi pengedar narkotika. Tetapi Susi tidak... Ia cukup berhasil berbisnis peralatan olahraga Bulutangkis.

Untuk semua itu, kenalkah generasi mudah terhadap Legenda Susi? Mereka tidak membaca tentangnya. Belum ada komik Susi Susanti muda. Entahlah, di kampung Susi tinggal Pak Bupati bersedia memberi nama sepotong jalan dengan nama legenda Bulutangis Puteri itu?

Lebih menyedihkan lagi, barusan cek di Google, bahwa di Jepang, pernah dibuat Perangko yang bergambar Susi Susanti. Sekali lagi, mari mengeluh, mana kebanggan kita?