Jumat, Juli 31, 2009

Dia, Grand Master Kehidupan




Membunuh Raja dan Menteri hanya sah di atas papan catur....


Seperti Karvop atau Utut Adianto, kehidupan kita memeras otak atur strategi agar menang. Bisa unggul dalam pertarungan atawa kompetisi maha ketat, di medan apapun (ekonomi, bisnis, sosial, bahkan persaingan dengan "pacar"-nya pacar). Langkah-langkah terukur agar pas dan tidak "termakan" tipuan lawan, juga jadi kebutuhan. Tak boleh terlalu sering mengalah, juga harus pandai-pandai menahan agresivitas. Seperti Karpov dan Utut Adianto (keduanya adalah Grand Master Catur, cuma beda kelas, yang satu mendunia dan sekaligus menjadi legenda, sisanya yang lain adalah pecatur handal tanah air).

Sering kita mendengar langkah bidak menteri ---dalam siasat di atas papan catur. Juga ungkapan skak mat! sebagai isyarat ancaman "pembunuhan". Di permukaan lapangan catur, semua kemungkinan bisa terjadi. Seorang prajurit rendahan sekelas pion, mampu menaklukan menteri dan menumbangkan raja. Seekor kuda, menggulingkan mahapatih, atau banteng yang mendongkel singgasana penguasa. Banyak varian pemikiran yang bersumber dari catur. Penuh siasat, muslihat, umpan, dan penaklukkan. Tak aneh, salah satu ungkapan yang laris di panggung kekuasaan adalah ini: percaturan politik.

Siasat Allah
Jalaludin Rakhmat, dalam buku Meraih Cinta Illahi, Perenungan Sufistik, menulis bahwa Allah juga punya siasat dalam mengatur hidup kita. Mohon izin, siasat di sini tidak bermakna keculasan karena ingin menang dan mempecundangi. Allah tak perlu seperti itu, lagipula kita ini bukan lawan sepadan dia. Melainkan siasat agar hambaNYA selamat, mampu menangkap hikmah. Seraya mampu bersabar atas apapun yang menimpa dirinya.

Coba saja. Terkadang mata letih menyaksikan betapa orang-orang culas jahat selalu menang dalam rupa-rupa bidang, mereka kaya, makmur, rezeki berlimpah, isteri cantik, anak sehat, rumah megah, kendaraan super mahal. Sementara orang-orang baik bergumul dalam keperihan nasib. Ini adalah siasat Allah. Dia menyegerakan "nikmat dunia" (yang tiada sebanding dengan nikmat dunia akherat dari Allah untuk orang-orang yang ia pilih) kepada orang-orang ingkar. Dalam bahasa Al Quran, hal itu disebut Istidroj.

Mengutip Zainnudin M.Z., konsep Istidroj seperti mengulur dan meninabobokan. Kalau orang tua marah, kerap bilang begini: ya, sudah pergi sana, tapi awas, jangan menyesal kalau terjadi apa-apa! (kejengkelan ini meruap mana kala si anak memaksa pergi untuk menonton film di malam minggu, si anak sudah dilarang, tapi ngeyel maksa). Pembiaran si orang tua ini, sesungguhnya mengandung ancaman.

Terlalu abstrak barangkali. Siasat Allah menyebar dalam pelik liku kehidupan kita. Dari urusan fisik, materi, perkawanan, kerja, hingga bagaimana kita terjebak kemacetan yang menjengkelkan. Biasanya, apa-apa yang kita ingin, meski sepele, justru beroleh yang sebaliknya. Berangkat pagi agar terbebas macet, malahan terjebak antrean panjang di gerbang tol. Batin bersungut-sungut. Padahal, mungkin itupun siasat Allah, kalau jalanan lancar, terus anda ngebut, malah celaka. Intinya, yang tidak menyenangkan adalah mendidik kita untuk bersabar.

Barangkali dalam konteks tulisan ini, Allah juga sedang bermain catur. Terkadang Dia memberi umpan. Terkadang memberi warning, namun semua langkah-langkahNYA yang diberikan untuk kita sukar ditebak.

Dalam urusan rezeki, pikiran kalang kabut mengurai arah yang benar. Ke luar modal sudah, bekerja keras hingga letih, waktu terlewati berminggu-minggu, tapi keuntungan gagal diraih. Lantas pransangka buruk mengacu pada Allah (mengapa doa kami tak didengar?). Perkara jodoh, utang piutang, bahkan silaturahmi dengan keluarga, juga sering tidak lurus, ada langkah benar, ada jalan yang keliru. Mirip bermain catur. Strategi dan siasat tak selalu jitu.

Tapi yakinlah dengan kekuasaan Allah.

Allah Grand Master kehidupan... Tujuan dia baik, menciptakan tak sia-sia, semua serba sempurna. Hanya persepsi kita yang belum mampu menyingkap. Paling-paling, kita berseru di ujung kejadian: oh, begitu ya maksudnya. (Inipun jika sadar, bersabar, dan menunggu di ujung keberhasilan, sebab tak sedikit yang patah arang).

Pesan pendeknya: tak selalu langkah dan desain hidup yang kita rancang serta telah dikerjakan akan berujung pada target yang telah dipatok. Kemungkinan ada melenceng juga. Teruslah bermain, sediakan sebanyak mungkin langkah. Siapkan siasat. Bulatkan tujuan: hanya menggapai Ridha Allah. Semoga aku bisa seperti itu. Bimbing aku ya Allah. Amien....

Selasa, Juli 28, 2009

Wasilah, Mendekatkan Diri Pada Allah....




Ya Allah, ternyata seribu tak cukup banyak. Untukku, kau sediakan rupa-rupa cara dan fasilitas, tetapi tak sanggup kumanfaatkan. Wasilah (jalan) menuju CintaMU tak Cuma satu. Kupilih yang aku suka dan aku sanggup.



Jalan terdekat serasa terjauh jika digelayuti perasaan malas. Jarak yang sebenarnya sependek tarikan nafas malah tak sanggup dilalui bila benak terkungkung ketakutan, kepengecutan, dan tak punya semangat melangkah. Malahan bisa jadi kita tak kemana-mana, termangu di tempat, padahal begitu banyak jalur penyedia arah yang terhampar di depan mata.


Benarlah memang, pikiran adalah alat yang pertama-tama menentukan, arah mana dan trayek mana yang akan kita lalui dalam menempuh langkah kehidupan. Para penyeru motivasi (motivator), bahkan menyebut istilah mindmap (peta berpikir), sebagai piranti yang harus terlebih dahulu diperbaiki, guna menyongsong segala tantangan yang menghadang kemajuan manusia.



Bereskan dulu peta jalan di dalam pikiran, langkah berikutnya baru menjadi urusan fisik dan panca indera kita. Jangan dibalik. Sebab bila anda mengayun kaki semata, maka kejadiannya akan seperti orang mengigau, berjalan tak tahu arah.


Urusan menata pola pikir inipun tak segera rampung begitu tahu arah mana yang hendak ditempuh. Sebab masih berjejer perkara lain. Semisal mengukuhkan niat untuk tidak pernah mundur, seterjal apapun rintangan yang merintangi langkah. Juga teramat penting menyiapkan ---sebenarnya meyakinkan diri--- sejumlah strategi. Kalau-kalau dalam upaya menempuh perjalanan, terjadi banyak pilihan-pilihan.


Tak boleh berkacamata kuda, hanya mengandalkan opsi tunggal, untuk berjalan lurus lempang seperti penggaris kayu. Hidup ini sungguh penuh liku. Berkilir, berkelok, meskipun mungkin sasarannya adalah satu lubang saja ---ingat batang bor yang meliuk-liuk, tetapi toh menghunjam hanya di satu titik.



Wasilah

Allah ternyata memiliki skenario yang selalu padan dengan mesin otak kita. Karena tahu manusia beragam dalam kemampuan, berbeda dalam daya tahan, dan tak selalu suka terhadap pilihan seragam, disediakanlah olehNYA, berbagai cara guna mendekat kepada RidhoNYA.

Para nabi dipersilahkan melalui jalur maha berat, bercadas penuh onak duri. Kaum aulia diuji untuk menempuh jalan berkelok gelap dan bising. Begitu juga untuk sufi, kyai, atau bahkan ustadz. Mereka tentu memperoleh lahan yang padat rintangan.


Sementara kita, mungkin, mendapatkan lintasan yang biasa-biasa saja. Boleh jadi sangat nyaman untuk ditempuh. Tetapi persoalannya: itupun tak pernah sanggup kita lewati. Peluang yang Allah sediakan kita abaikan. Tantangan sederhana yang Allah turunkan, kita anggap azab mahapedih ---bahkan memarahi Allah atas bencana kecil itu. Lebih sering ego dan hawa nafsu membisikan pesan celaka kepada kita. Untuk surut dari melangkah, atau berdiam dan mengundurkan diri dari ”undangan” Allah. Kita tak memilih untuk melakukan perjalanan sederhana menuju CintaNYA.


Wasilah adalah jalan menuju Allah. Segala sesuatu yang secara syariat dibenarkan, termaktub dalam sabda nabi, dan menjadi tausyiah para alim ulama, adalah ribuan butir hikmah yang bisa kita jadikan sebagai jalan menuju Allah. Wasilah Allah, sejatinya, adalah segala bentuk kebaikan yang bisa kita lakukan. Tak mesti yang berat-berat dan melelahkan. Bahkan bisa dalam bentuk teramat nyaman dengan sedikit resiko.



Memilih Sederhana

Saya memilih untuk sadar. Bahwa sejauh syariat mengajarkan ---dan bukan bid’ah atau mengada-ada--- bahwa sesuatu bernilai ibadah kepada Allah, meskipun tergolong sederhana, adalah pilihan utama saya.


Dalam banyak kasus, wasilah menuju Allah itu juga adalah berlaku untuk semua Ummat Islam. Terutama hal-hal yang tergolong wajib, seperti mengerjakan Shalat. Namun inipun bukan berbentuk tunggal dengan standar bulat baku ---sekaligus beku. Senantiasa ada gradasi, ada ruang-ruang penyesuaian, dan terselip aneka keringanan.

Bila Shalat Nabi dan para sahabat bisa berjam-jam, tepekur dalam bacaan-bacaan dan dzikir panjang, saya mungkin melaluinya dengan bacaan pendek dan dzikir ringan.


Kaidah inipun berlaku sama untuk amalan-amalan sunnah. Katakanlah itu adalah shadaqah. Tak sedikit kisah, entah masa lalu atau kini, menggambarkan tentang perilaku dermawan (filantropi) luar biasa. Serta kemampuan manusia untuk menolong orang lain sampai mengabaikan hak-hak dirinya sendiri, yang kerap dipraktekan penganut tarekat sufi (praktek asketisme). Nah, karena itu belum sanggup kutempuh, maka ada pilihan bersahaja. Cukup dengan merutinkan shadaqah, meskipun seribu perak, yang penting ikhlas.



Menguntungkan

Sekali lagi, Allah maha tahu tabiat kita. Dalam berbuat baik, manusia seperti saya, selalu bersandar pada kalkulasi ekonomi ---minimal ingin merasa untung, kalau tidak konkret seperti uang, ya, harus dapat pujian manis dari manusia lain. Lagi-lagi, inilah standar kelemahan kita. Tetapi its human, sangat manusiawi. Patokannya adalah satu: jangan dijadikan tujuan, melainkan respon atau konsekuensi semata. Jangan dijadikan target pengejaran. Sebab tujuan utamanya tetap harus kepada Allah SWT.


Di sini kasih sayang Allah bermain. Dia tak hendak menutup peluang kita menikmati jalan yang kita tempuh itu. Misalnya dalam bekerja ---sebagai satu bentuk ibadah mulia—kita mencicipi banyak keuntungan. Bila ikhlas, pekerjaan kita bernilai ibadah, juga mendapat balasan konkret. Seperti mendapat gaji atau bonus. Pun dengan “hadiah” tambahan, seperti pujian dari isteri, dan kebahagiaan dengan sesama (misalnya kawan yang kita traktir). Allah tahu, selain bisa berfikir abstrak, manusia juga butuh balasan yang sifatnya konkret dan segera.



Teramat Banyak

Diri ini butuh pelecut dan cambuk yang dihentakkan ke tubuh berkali-kali. Bukan apa-apa, kelalaian dan kemalasan terlalu erat mengikat, makanya butuh disadarkan.


Saat ini, misalnya, di saat menganggur dan tak punya pekerjaan tetap untuk menafkahi anak isteri, benak saya dikerangkeng pikiran-pikiran buruk. Seolah terkunci pintu kebahagiaan. Padahal tak selalu begitu.


Allah juga memberikan banyak opsi, agar saya bisa bahagia. Demikian juga untuk ”berbahagia” dalam beribadah kepadanya. Langsung saja: saya menjadi lebih akrab dengan anak isteri. Bertetangga lebih baik. Sholat berjamaah bisa mudah dan rutin. Tahajud juga tak takut ngantuk. Beramal dengan modal tenaga juga bisa dilakukan ---misalnya bersih-bersih mushola. Membaca buku lebih banyak dan bisa berlama-lama. Dan masih banyak lagi. Inilah wasilah menuju Ridho Allah.


Ya Allah, teguhkan diriku dalam keyakinan pada pertolonganMU. Amien....

Sabtu, Juli 25, 2009

Bahkan Sampah Masih Berguna

Diam-diam, sensitivitas ego menguat untuk mengatakan: aku telah membuang-buang waktu hampir 20-an tahun....

Bagaikan truk reyot menggelontorkan sampah di TPA Bantar gebang. Rutin, saban hari. Gundukan potongan besi bekas, berbaur dengan tripleks hancur dan robekan kertas, tergolong sampah bersih. Coba kalau kotoran rumah tangga, sisa makanan di restoran, atau rupa-rupa buangan basah lainnya. Dirubung lalat menjijikan dengan bau menyesakkan nafas!

Tapi Jakarta akan pontang panting ruwet blingsatan jika kendaraan-kendaraan jelek itu berhenti beroperasi, barang satu minggu. Pasti sumpah serapah warga kota berhamburan. Jadi begitulah setiap alat punya fungsi. Termasuk kendaraan pengangkut sampah itu. Kalau di runtut-runut, sampah-nya sekalipun bisa menjadi multi guna. Coba saja tanya pada ratusan atau mungkin ribuan manusia yang hidup dan menggantungkan nafkah di Bantar Gebang? Secara politik sekalipun, nyatanya lapangan sampah bisa menjadi simbol khusus. Inilah mungkin yang ingin diangkat oleh Tim Sukses pasangan Megawati Prabowo dalam Deklarasi Pilpers lalu.

Dalam diri kita ada fungsi-fungsi seperti alat pembuang sampah. Satu hari saja, tak perlu lama, tiba-tiba alat pencernaan dan saluran pembuangan dalam tubuh tak berfungsi, pasti mulas tak terperi. Barusan hanya menjangkau makna paling fisik dari salah satu organ tubuh yang mengeluarkan sampah. Sebab ada juga organ lain yang ---sadar atau tidak--- kerap mengeluarkan "perkara" sekelas sampah.

Lisan kita sering mengeluarkan ucapan kotor. Pikiran juga begitu, kalut dengan gagasan sekelas kotoran. Gawatnya, ternyata ada mekanisme mengeluarkan dan menerima. Tak jarang telinga kita juga menyerap suara-suara "menjijikan". Para medis, pemerhati anak, pakar gizi, malah tak kurang-kurang rajin mengingatkan bahwa asupan makanan yang kita konsumsi, seringkali berkualitas buruk (hanya pantas untuk dibuang, tidak untuk ditelan).

Perilaku Sampah
Agak jarang memang kita mengukur teliti berapa kubik perilaku sampah kita hasilkan per hari. Tak perlu menelisik sampai ke langkah detil, misalnya tangan yang menuding, lidah yang menipu, pikiran hasud, dan kelakuan jelek lainnya. Cukup dengan hitungan-hitungan sepele. Dengan memelihara kemalasan, itu juga lelaku tak bersih! Bukankah begitu banyak urusan yang jauh lebih berharga daripada sekedar berpeluk lutut?

Lebih celaka lagi adalah kebiasaan kita mengolah sesuatu yang berguna menjadi sampah tak berharga. Seperti telah menjadi hak yang sama untuk semua orang di kolong langit, masalah waktu. Ini berharga betul. Tapi kita adalah pemain yang paling super bagus menendang waktu jauh ke ujung langit. Sebenarnya tudingan ini paling pantas tertuju pada dirik sendiri. Dan memang, ya.

Dua Puluh Tahun
Benar-benar di luar perkiraan akal sehat. Aku, manusia terdidik. Mengecap perguruan tinggi, bisa baca tulis, pernah mengaji di pesantren, tahu praktek sholat dan membaca Al Qur'an, sempat mengenal orang-orang baik, ternyata menyia-nyiakan waktu begitu lama. Sangat keterlaluan. Tidak produktif. Miskin ---hampa--- prestasi. Tak bisa berdiri tegak, karena leher tertekuk malu.

Hanya Allah yang mengetahui, untuk apa semua ini berlangsung. Tak ingin berpanjang angan, seraya genit kutip ayat-ayat motivasi kanan kiri, yang hanya bisa disimpul dalam kalimat "masih ada kesempatan". Sudahlah. Urusan itu mungkin benar, mungkin pula keliru. Meski begitu, denyut hati selalu kutabuh: Ya Allah, aku ikhlas atas seluruhnya, jika itu membawa diriku sujud tersuruk di ke-AgunganMU..... Amien.

Kamis, Juli 23, 2009

Bulan Syaban, Jelang Ramadhan....

Perkara-perkara sepele adalah jerat nan mengasyikan. Mungkin di mata kita remeh-temeh, tetapi bila sudah mendarah daging, pelan tapi pasti mewujud sebagai kebutuhan. Jangan sepelekan pernak-pernik kecil dalam aktivitas kita. Positif atau negatif, mesti berada dalam kesadaran diri, agar tahu persis untung dan buntung-nya.

Kawan-kawan di kampung, ada yang hobi mati dengan berjudi. Memang kecil-kecilan. Bertaruh uang recehan. Tetapi bukan perkara duitnya, melainkan dampak. Menguras waktu ---sering begadang hingga pagi. Mengganggu tetangga, lantaran banyak yang tak suka perilaku maksiat itu di lakukan di lingkungan (terutama para Ustadz), sampai tidak produktifnya hidup lantaran hobi berjudi.

Ada beratur aktivitas yang sering kita bungkus dengan ujaran ringan: iseng doang! Nah, ini dia. Iseng sebagai penyela kesibukan mungkin bisa dimaklumi. Tapi kalau iseng yang harus selalu dipenuhi, maka perkara itu sudah masuk wilayah "kebutuhan". Lama-lama menjadi tabiat, mewujud sebagai trade mark kita. Lebih celaka kalau kemudian melambangkan ikon dan identitas kita. Syukur-syukur kalau bagus. Jika jelek dan hina, tentu membuat diri kita terpuruk.

Saya sering dengar orang-orang sukses (terutama para pedagang dan pengusaha), yang merintis bisnis dari keisengan dan hobi. Begitu juga para kolektor dan penggiat komunitas hobi. Beragam profesi juga mungkin bermula dari keisengan. Tapi agak kurang akrab di telinga kita jika tangga kesuksesan di berbagai bidang semata berpijak pada keisengan. Mungkin tahapan berikutnya adalah ketekunan, dedikasi, disiplin, dan profesionalitas.

Ini juga paralel dengan keisengan yang tidak produktif bahkan menghinakan manusia. Ya, seperti judi tadi. Atau iseng mencicipi narkoba. Iseng mengutil barang di Toserba (kleptomania). Iseng curhat dan berakhir pada perselingkuhan. Iseng menelepon kantor pemerintah dan mengancam meledakan bom (berurusan dengan pasukan Gegana Polda), atau masih banyak lagi.

Kesadaran untuk menimbang dan membuat perhitungan detail atas "siasat" membunuh waktu luang itu, hari ini hadir dalam diriku. Tak lain adalah merancang hal-hal mengasyikan, tidak ribet, tak menguras kantong, tapi produktif ---jauh dari maksiat. Rencananya, praktek keisengan positif itu kulaksanakan secara tekun di Ramadhan nanti. Insya Allah, bulan puasa depan saya akan rajin mengisengi buku-buku di perpustakaan umum, atau buku-buku punya teman (yang di rumah juga pasti dibogkar-bongkar lagi).

Konsisten Baca
Aku pernah (dan sering) terjangit nafsu membaca gila-gilaan. Waktu kuliah, pernah sampai membuat kawan-kawan kebingungan, selama dua hari satu malam nggak tidur, baca terus. Kalau tak salah, waktu itu lagi sakit hati sama kawan aktivis (paling pintar di Fakultas Ekonomi), katanya analisis aku tentan ekonomi kerakyatan ngawur! Sontak aku pinjam buku-buku dia.

Tapi juga terdapat masa, ketika membaca adalah sesuatu yang memuakkan. Berhenti total membaca, kecuali baca koran, dalam kurun dua tahunan. Ini juga disebabkan pihak luar. Aku merasa benci dengan perilaku beberapa orang pintar yang aku idolakan. Tetapi ternyata akhlak mereka berbalik punggung dengan ide-ide dan tulisan mereka di buku-buku yang dicetak. Mereka adalah tokoh-tokoh intelektual level nasional. Aku marah. Semarah-marahnya.

Dari membaca pula, aku pernah melambung dan membuat satu dua prestasi. Di sisi yang sebaliknya, kegiatan memelototi buku itu juga yang sering membuat aku celaka. Menjadi orang yang obsesif, agresif, tak mau kompromi, kurang toleran, anggap remeh hal-hal teknis, dan akhirnya aku terjerembab dalam siklus ketertinggalan (jauh di belakang orang lain).

Memang, kalau diukur-ukur, selama ini hobi membaca itu lebih banyak merugikan aku. Belum menguntungkan, dari sisi materi, karir, prestasi atau apapun.

Namun belakangan menyembul sensasi ringan. Biarlah "adat baca pustaka" itu kupeluk baik-baik. Siapa tahu Allah punya skenario bagus di kemudian hari. Sedikitnya, dari kegiatan membaca, aku mencintai segala yang bernuansa Islam. Mulai dari Quran, Hadis, Tausyiah ulama, dan banyak lagi. Intensitas membaca Al Quran juga lebih tinggi. Dan lahir itikad kuat untuk berjuang memperbaiki ibadah, sebagaimana nasehat para alim ulama yang sering aku baca (di buku, koran, internet). Jadi, mau untung mau rugi, deklarasi hari ini adalah singkat: terus membaca....

Gratis Biaya
Banyak faktor pula yang memudahkan. Betapa gampang mencari bacaan bagus. Entah di perpustakaan, di Google Book, punya teman, atau di mana saja. Selalu saja ketemu buku bermutu. Ini menguntungkan dari sisi ekonomi. Terutama betapa keuangan aku hari ini tumbang dan tebas tak berdaya. Barangkali karena minat aku yang luas, jadi tak terpatok pada tema buku tertentu. Terima kasih, ya Allah, engkau memberikan aku hobi yang murah dan mudah.

Bulan Ramadhan depan, sudah tersusun segepok rencana. Inginnya membuat listing buku-buku gratisan yang akan dibaca sebagai pengisi waktu. Insya Allah, semuanya akan bernuansa Islam ---agar menyegarkan kehausan batin dan nurani.

Dengan sendirinya tak perlu ke toko buku. Ke sana paling cuma meneteskan air liur dan menipiskan tulang dada ---lantaran sering diusap!

Nah, betapapun, persiapan harus aku desak sekarang. Semua buku-buku yang kuminati (kecuali novel, karena cukup satu kali baca, selesai), harus diskiming terlebih dahulu. Biar nanti tinggal melakukan pengulangan terhadap tema-tema yang bagus. Langkah berikut, aku akan menghapal beberapa surat al Quran, hingga mendorong aku membaca tafsirnya. Juga yang tak kalah penting adalah menjaga konsistensi, agar nafsu membaca tak menguap tergiring angin.

Ya Allah, jadikan Ramadhan-ku sebagai jalan menuju ampunanMU. Amien....

Rabu, Juli 22, 2009

Film Yang Mengganggu Tahajud-ku Tadi Malam

Rosihan Anwar tak bisa mengetik dengan menggunakan komputer. Bukan ia bodoh, ini masalah bioritme ---yang melahirkan kebiasaan dalam proses kreatif. Saya dengar pula, Dawam Rahardjo (ekonom) dan Taufieq Abdullah (sejarawan), punya tradisi yang sama. Jadi, mereka itu kalau membuat artikel tulisan, selalu menggunakan mesin ketik. Tak, tok, tak, tok!!!

Bioritme mengikat rasa, jiwa, dan raga. Percayalah, dalam melalukan aktivitas yang rutin, selalu hadir hal-hal fisik yang menyertai. Dan itu sulit tergantikan oleh apapun. Pun begitu dengan "upaya" aku untuk menciptakan bioritme dalam tahajud ---maksudnya pembiasaan.

Meski masih centang perenang, jauh dari rutin dan berkualitas, itikad membiasakan sholat malam selalu aku kobarkan. Lebih-lebih disaat kondisi terpuruk seperti sekarang ini.
Mencatat di Buku Kuno
Ternyata seringkali setelah melakukan Qiyamul Lail, aku menggoreskan catatan kecil di sebuah buku diary. Uniknya, buku itu kuperoleh di WALHI (Wahana Lingkungan Hidup), di sekitar Tahun 2000-an lampau. Terbuat dari kertas daur ulang. Berwarna seperti daun kering. Dan tebalnya minta ampun, per lembar bisa 3 kali lebih tebal dari permukaan kertas HVS. Kalau ditulis dengan pena, terdengar bunyi sret, sret....

Nah, inilah yang mengasyikan. Rasanya hati berbuncah gembira. Bukan hanya telah mampu memunajatkan doa di keheningan malam. Tetapi mencatat momen-momen yang terjadi pas di malam itu. Ada catatan ketika malam takbiran. Malam tahun baru. Malam ketika diterima kerja. Dan lain-lain lagi ----dengan banyak kisah dan variasi. Namun yang dominan seperti karma yang terus kutelan: perkara kegagalan dan kegetiran hidup.

Sedikit dari catatan perjalanan diri itu juga disertai dengan kutipan Al Quran atau Hadis, yang tampakya juga sepadan dengan kondisi yang aku alami ketika menggoretkan pena di lembar kertas. Misalnya, ketika sedang sedih, mengutip ayat-ayat yang memotivasi diri. Aku sangat mencintai buku itu. Mudah-mudahan tak akan hilang dan tak pernah rusak. Biarlah menjadi dokumen tertulis atas perjalanan kisah pribadi.

Sholat Berkualitas
Tentu saja rekaman "pembiasaan" sholat tengah malam itu tak semuanya berkualitas. Kadang terasa menyejukkan. Di saat lain terkesan banal (tidak ada rasa sama sekali). Ini, misalnya kualami tadi malam.

Kebetulan tadi malam, karena tuntutan pekerjaan, aku harus menginap di rumah teman. Seusai mengerjakan tugas, aku iseng-iseng membaca buku ke-Islam-an. Karena lelah, malah tertidur. Tak lama bangun. Sialnya, justru saat itu kawan mengajak nonton DVD. Duh, iman ini ternyata lemah. Adegan-adegan di film menggoda nian, dengan menghadirkan tiga orang perempuan cantik dan seksi. Astaga, begitu usai, jam ternyata menunjukkan pukul 03.30. Bergegas mengambil wudhlu. Lantas segera sholat. Hasilnya.... itulah kemaksiatan. Setan selalu membisikan adegan-adegan di film. Sholat tahajudku menjadi jauh dari khusyu. Sedih... Mudah-mudahan Allah memaklumi kelemahan iman ini.

Selasa, Juli 21, 2009

Tafsir Al Misbah, Melegakan... Melegakan...

Tak mungkin kegelapan total terjadi dalam diri kita, sekiranya akal dan kalbu mau meraba-raba wilayah yang menyediakan cahaya. Boleh jadi hari ini saya dan anda berada dalam kejengkelan luar biasa. Marah, geram... atas sesuatu yang menerpa diri sendiri ---atau terhadap pihak lain. Saya yakin, jutaan kepala di tanah air marah luar biasa atas perilaku dzholim, meledakkan bom di Hotel JW Marriot, Jakarta, beberapa hari lalu. Dalam bahasa logoteraphy, kepedihan itu tersimbolisasikan dalam kegelapan. Tetapi bukan berarti harus total, bukan?

Kecuali memang hati sudah mati. Tak ada nur (cahaya) yang bisa menyinari. Gulita atau tersaput pekat oleh hawa nafsu, amarah, gerutu.... Mudah-mudahan, telikungan beban hidup tidak menggiring pada sikap atau penyikapan seperti itu.

Saya berbicara terhadap diri sendiri. Di balik gundah didera kecemasan atas ketidakpastian nasib ----setelah berhenti bekerja, menyembul percikan-percikan cahaya. Sungguh membantu untuk menyelamatkan keruwetan pikiran dan qalbu yang galau. Alhamdulillah, ada saja seulur tali penyelamat, agar saya tidak terkubang dalam liang lahat kematian hati dan semangat! Kondisi boleh payah, tapi tak boleh kalah. Lagipula, sejatinya ini adalah ujian semata dari Allah.


Mainan Anak
Dulu, atau tepatnya beberapa waktu lalu, aku acuh tak acuh terhadap mainan anak-anakku. Cukup membawa mereka ke toko mainan, Mal, atau di mana saja, yang mereka mau. Setelah membeli, selesai. Tak pusing. Mau rusak atau apa. Kini berbalik. Rasanya asyik masuk ke gudang. Berbagai peralatan rupanya lengkap ---koleksi mertua, mantan montir. Juga sangat banyak barang-barang bekas, besi tua, baut, kaleng, pipa plastik, lem, kertas. Pokoknya macam-macam. Tak nyana asyik juga. Selama nganggur, hampir tiap hari aku menemani anak-anak bermain. Menciptakan mainan kreatif buat mereka. Kebetulan, sewaktu kecil, aku memang kreatif menciptakan berbagai mainan sederhana, untuk kupakai sendiri.
Membaca Buku
Ini juga hobi lama, tapi terus berlanjut. Hanya sempat terhenti, ketika aku pernah merasakan kebencian luar biasa terhadap buku, yang berlangsung sekitar lima tahunan. Ini juga tak susah-susah amat, lantaran semuanya tersedia. Aku masih menyisakan banyak koleksi buku. Begitupun punya Bang Yayat. Terus, ke perpustakaan daerah juga tak terlalu jauh. Ringan melenggang hobi ini kubangkitkan lagi.

Tafsir Al Misbah
Kemudian, aku bersua dengan yang sangat kuidam-idamkan. Membaca buku-buku Tafsir Al Quran, yang serius, tajam, otoritatif, dari ulama yang mumpuni. Dari sekian banyak bacaan yang aku konsumsi, kebanyakan memang didominasi buku-buku keIslaman. Terutama yang berkaitan dengan Al Quran. Sengaja dilakukan, agar membangkitkan motivasi aku untuk memperkuat ibadah ---serta membersihkan jiwa dari keguncangan yang mendera tak henti-henti.

Tafsir Al Misbah sungguh banyak di petik dari berbagai literatur. Lantaran penulisnya memang tak diragukan dedikasi dan kredibilitasnya dalam mengupas tema-tema Al Quran. Jika jalan-jalan ke toko buku, koleksi tafsir ini juga kerap kulirik. Tapi tak mungkin kumiliki, karena kalau dijual per-set, harganya jutaan.

Tapi ini memang di luar dugaan. Adalah rumah kawan yang sering aku kunjungi ----terutama untuk membaca koleksi bukunya, baca di tempat, tidak dibawa pulang ke rumah. Hampir semua koleksinya sudah aku baca. Rasanya bosan juga. Tapi, entah kenapa, ada koleksi dia yang rupanya di simpan di tempat khusus, tak pernah aku jangkau. Saat iseng mencari buku, ketemulah buku itu. Jadi, senang tak kepalang. Kini, untuk surat-surat tertentu yang aku sukai, sudah kubaca tafsirnya. Terima kasih kawan. Terima kasih, ya Allah.

Rabu, Juli 15, 2009

Chicken Soup For Dreamer

Dear …

I write this because I could not say it directly to you… remember when you asked me to read your blog and fiding my name there ?
I have read it and I cry …it’s so beautiful especially your pray … I want to thank you for all the feelings, the love, the words and everything that you’ve dedicated in writing that article for me …

I am not as good as you depicted, nor that kind, I have flaws… but I am so relieved and thanking God, that in this planet earth, someone is falling for me soo deep …
Did I ever mentioned to you that …some years ago I have written you a letter, about how I adores you, about how is my feelings for you…but I could never gave those letter to you, am so afraid and ashamed, never got the courage to give it to you, to have you read it.
See? I am also a coward. We could never change the history, but I just want to tell you that the feelings will remained here. You will always have a place in my heart that no one could ever replaced.
Thank you so much…
I love you too …

~p~
15jul09

Minggu, Juli 12, 2009

Resensi Buku Ibnul Qayyim Yang Menggugah....

Buku dari Ibnu Qayim Al Jauziyah, tentang fadhillah berdzikir, merampas perhatianku. Di sebuah tempat di Leces, Probolinggo, saat musim kampanye, risalah itu kutemukan di tempat bacaan umum ---milik seorang kawan. Isinya lumayan bagus, dan banyak hal-hal baru kutemukan. Sekitar seratusan dalil tertuang, mengenai seluk-beluk (dan manfaat) berdzikir.

Dari sekian banyak itu, satu yang selalu kuingat-ingat hingga saat ini. Bukan apa-apa, keterangan yang diberikan tergolong luar biasa. Belum pernah aku dengar, baca, atau temukan di tempat lain. Sayangnya, aku lupa, apakah tulisan Ibnu Qayim itu bersumber dari hadis, atsar, atau kisah sufistik.

Pesan yang disampaikan sesungguhnya bertema umum: keteguhan dan kesabaran ---tanpa pamrih. Teladan yang dijadikan anutan adalah Baginda Nabi Muhammad SAW. Orang pasti sepakat: beliau tak ada banding dalam perkara kesabaran. Jutaan ummat patut berpaling, seraya memetik hikmah atas pelajaran yang telah disampaikan nabi. Terutama di saat-saat penuh goncangan dan tantangan seperti sekarang ini.

Saya tak berpanjang debat tentang suri tauladan Nabi, itu adalah urusan yang sudah diterima sepenuhnya (taken for granted). Melainkan membincang berbagai predikat yang tersemat kepada beliau, yang disampaikan oleh para ulama ---dari dulu hingga kini.

Ada satu kekhawatiran menyembul: jangan-jangan ada sejumlah cerita yang dikemas bombas, hiperbolik, dan akhirnya kehilangan nilai kebenaran. Barangkali tak ada niatan apapun dari si pengarang, ketika menulis riwayat yang “berlebihan” tentang Nabi. Maklumlah, kecintaan luar biasa terhadap Sang Nabi adalah sebentuk kemuliaan juga. Jutaan Ummat mungkin berada dalam posisi ini.

Namun, sekali lagi, harus ada unsur kebenaran di dalamnya. Kalaupun terjadi penambahan kisah dan pengangungan yang sifatnya pujian, maka harus memberikan keterangan penjelas, bahwa ini adalah kreativitas dari si penulis, atau si periwayat. Agar kita bisa mahfum, dan mampu membedakan mana yang bernuansa argumentasi, dan mana yang mengarah pada puisi. Pencampuradukan hanya akan membuat pikiran limbung. Sekaligus juga menambah beban ummat. Lantaran tak sedikit upaya rekayasa atas hadis, atsar, fatwa, ijma, dan berbagai dalil dalam ajaran Islam.

Pengemis Yahudi

Pokok soal yang ingin saya angkat: tentang pengemis Yahudi yang buruk rupa sekaligus bejat akhlak. Si pengemis, dalam tausiyah yang dipetik oleh Ibnu Qoyim, setiap hari tanpa lelah memaki-maki nabi. Omongannya teramat kasar, menyakitkan, pedas dan panas. Tak sedikit sahabat marah, ingin menghabisi riwayat si pengemis. Lebih-lebih, obyek hinaan utama si pengemis adalah seorang mulia yang teramat dihormati.

Bagaimana reaksi Nabi?

Di sinilah, rasionalitas dan emosionalitas kita terlihat kerdil. Kebanyakan kita, tatkala menghadapi cercaan dan hinaan ---terlebih oleh orang yang derajatnya di bawah kita---- pasti murka luar biasa. Bukan hanya membalas, tapi pasti membuat reaksi yang sekuat-kuatnya. Bara dendam kesumat, kemarahan, dan kebengisan, adalah sesuatu yang biasa terjadi sebagai respon atas hinaan terhadap diri kita ----yang dilakukan tiap hari.

Nabi, justru sebaliknya. Ia tanpa pamrih dan rutin malah menyambangi si pengemis Yahudi, setiap hari. Sembari mendatangi, beliau tak pernah lupa memberi makanan, langsung diantar sendiri, ---dan ini luar biasanya---- menyuapi si Yahudi sialan itu.

Saya tergetar dengan cerita ini. Lantaran ada keterangan lanjutan. Bahwa, dalam rutinitasnya menyuapi pengemis buruk tabiat itu, nabi tak pernah mengatakan bahwa ia adalah orang yang selalu dimaki-dihujat-dihinakan.

Tak pernah ada upaya baginda untuk membujuk, mencoba meredakan kebiasaan memaki nabi dari mulut kurang ajar sang pengemis. Sebagai manusia agung, mudah saja ia melakukan itu. Tetapi tidak....

Tiap hari, hingga beliau wafat, tak sepotong kalimatpun terlontar dari mulut Nabi Muhammad ----yang menjelaskan siapa dirinya, atau menegur agar si pengemis menghentikan aksinya.

Ini adalah sebentuk kesabaran yang tiada tertandingi. Manusia mulia, penuh kekuatan, dihormati, dicintai, membiarkan manusia buruk derajat memaki-makinya setiap hari. Bukan semata membiarkan, malah memberi makan sambil menyuapi, juga saban waktu! Tak ada upaya memaksa, membalas, membujuk, atas perbuatan tercela dari manusia celaka! Pantas saja, bila ukurannya adalah logika dan emosionalitas kita, semua itu tergolong mustahil!

Cerita Israiliyat

Saking dramatisnya cerita ini, saya seringkali terguncang. Jujur, iman seperti limbung, penasaran oleh kebenaran kisah itu. Entah kenapa, dulu, ketika membaca, saya tak memperhatikan detil dari isi buku itu. Apakah kisah pengemis itu hanya petikan kisah sufistik ----yang memang terkadang imajiner--- cerita dari tanah arab belaka, atsar, atau tausiyah dari siapa. Tak jelas pula, saat itu, apakah bersumber dari Hadis. Jikapun dari hadis, golongannya di mana: sahih, mutawatir, hasan, dhoif, atau maudhlu....

Sekarang malah penasaran. Ditambahi oleh kondisi pribadi saya yang memang kurang normal. Digempur hinaan. Dirundung kesedihan. Terbelit masalah ekonomi. Pekerjaan yang serba tak pasti. Penghasilan (atau rezeki) yang seperti dipermainkan orang. Plus, miskin penghargaan dari orang yang telah dibantu. Pokoknya prihatin.

Tetapi dibanding kisah di atas, seperti sepilin kapas di atas langit berawan. Tak ada apa-apanya.

Saya rindu dan bertekad akan bertanya kanan kiri. Meriset dari buku dan literatur, searching di internet, tentang versi sebenarnya dari kisah Nabi dan Pengemis Yahudi. Saya rindu, mudah-mudahan itu tergolong hadis, kalau perlu hadis sahih. Bukan untuk mengurangi kecintaan dan takzim terhadap Rosul. Tetapi untuk menambah mempertebal keyakinan saya. Seraya menjadi pengingat, bahwa dikala dirundung susah, riwayat itu menjadi cermin penginat. Jangan sampai, kisah itu justru kontroversial dan berbau cerita Israiliyat ----dibuat untuk membingungkan ummat.


Bersabar

Muaranya adalah bersabar. Meneguhkan sikap ikhlas, ridho, menerima ketentuan Allah adalah sumber penopang dan ketegaran kita. Bila tidak, diri ini akan gampang limbung. Kerasnya hidup dan kesulitan yang mendera, butuh cantelan pengaman, agar kita tak jatuh dalam sikap-sikap keliru.

Saya juga berjanji. Sebisa dan sedapat mungkin memperbaiki kualitas kesabaran. Mendorong ke arah yang lebih baik, agar segala sesuatu yang menjadi ketentuan Illahi, bisa diterima secara ikhlas dan ridhlo. Kalau sesekali muncul gerutu, kecewa dan sedih, biarkanlah lahir sebagai respon manusiawi ----sebagai bukti rendahnya derajat diri. Tetapi tak akan menjadi pilihan permanen, diendapkan menjadi bara kemarahan.

Senin, Juli 06, 2009

Ruang Kosong Untuk Bisikan Was-was

Mudah-mudahan pertanda bagus untuk perbaikan iman Kini, jika lalai dalam sholat dan terlepas dari mushaf Al Quran, muncul gejala psikomatik yang mengganggu. Lahiriah, terlilit dalam denyut di kulit kening, agak pusing dan mendesir-desir. Jika berkaca, wajah terlihat kusam kurang darah. Jangan cerita dengan suasana batin: galau dan gersang! Mau tak mau, aku harus tetap selalu bersujud. Bertahan di lindungan Allah....

Tadi malam adalah puncak pertarungan, antara itikad untuk berserah total pada pusaran taqdir Illahi, atau marah-melawan dan bersikap kalap. Bersikap kalap maksudnya menghentikan segala kepasrahan diri, seraya berjuang sendirian, mau hitam atau putih, sebodo amat! Tapi nyali tak berkembang, layu oleh ketakutan. Tetapi sialnya, pilihan tak jatuh kepada penyerahan diri. Aku malah melewatkan waktu berharga, disergap kejengkelan dan kepusingan.

Sumber petaka sulit diurai. Diri ini memang berdosa, tapi mengapa harus dihukum dengan tak imbang? Lenyap jadi abu apa yang telah dilakukan bersusah payah.... Mengalamatkan biang kisruh kepada Bos, juga hanya bikin pening kepala. Bukankah memang hak dia untuk menggunting nasib orang sesuka hati? Tanpa berniat menggampangkan urusan, aku kembalikan semua pada Allah. Mudharat atau manfaat ---yang hingga hari ini belum terlihat, kalau mudharat mah tiap saat terasa----, semuanya datang dari Dia juga.

Efek lanjutannya adalah kehilangan sumber nafkah. Pembiayaan untuk anak isteri menjadi tak jelas. Justru yang kelihatan jelas banget adalah beban utang.... Ya Allah beri aku jalan ke luar. Tak tahu harus ke mana kaki melangkah. Aku hanya terhunyung dalam Doa dan kelelahan.

Namun jauh yang lebih kutakutkan adalah amuk diri karena tak tahan derita. Memang tak akan mengumbar kesumat dalam aktivitas fisik, tetapi batin, pikiran menjadi jelek. Penuh syak wasangka kepada Allah, memendam bara amarah, kesumat, dendam, dan dengki. Merasa Allah mempermainkan nasib. Pikiran-pikiran ini yang aku takutkan akan datang menyergap. Ya, Allah, sayangi hambaMU ini. Lindungi aku dari keburukan yang bersumber dari diriku sendiri.