Kamis, Agustus 13, 2009

Tentang Booming Intelektual (Muda) Muslim


Kerinduan terhadap sajian dakwah ala Nurcholis Madjid, untuk mengisi pengantar berbuka atau jelang sahur di Bulan Ramadhan ---via televise--- kembali hadir..
Sebagaimana terjadi di tiga atau empat tahun berselang.
Artikel ini adalah mengenang salah satu serpihan pemikiran beliau.


SELAGI menjadi aktivis HMI, buku-buku (Almarhum) Nurcholis Madjid adalah magnet dan kafein sekaligus. Seperti magnet karena mengundang selera baca, disebut cafein lantaran kalau belum baca maka susah tidur semalaman!

Meski mencerna dengan terbata-bata ---musababnya banyak peristilahan dan konsep Cak Nur yang sukar dimengerti--- terus dan baca terus. Terkadang oleh sebab gengsi. Di lain sisi, juga jadi “modal” bergaul dengan senior yang fasih (sic! jangan-jangan mereka juga semata retorika). Tapi ada juga beberapa pesan beliau yang terngiang-ngiang bahkan hingga artikel ini diketik.

Dalam salah satu tulisannya, ia memperkirakan bahwa akan terjadi ledakan intelektual muda muslim. Tanpa berniat menyederhanakan, istilah intelektual di sini adalah orang-orang Islam Indonesia yang well educated. Katanya, akan banyak yang menjadi Doktor di berbagai disiplin ilmu. Kata “akan terjadi” itu mestinya sudah terwujud saat ini. Hitungannya: prediksi itu ditulis belasan tahun lalu, dan ia memperkerikirakan fenomena booming intelektual Muslim hanya butuh waktu satu setengah dekade saja. Agaknya memang benar. Hari ini saja, bila mengangkat kasus kawan-kawan HMI Cabang Manado, sudah banyak yang bergerak ke arah nubuat dari Sang Lokomotif Pemikiran Islam itu.

Polanya seolah mengikuti rumusan Cak Nur. Mereka muslim ---tentu saja, alumni HMI, masa sih Konghucu! Masih muda, itupun bila sepakat dengan definisi pemuda ala UMNO Malaysia, yaitu kisaran usia di bawah 50-an tahun. Tersebar di berbagai bidang ilmu. Kawan-kawan alumni HMI Manado, misalnya, ada yang mengambil program doktoral untuk studi Ilmu Komunikasi Antar Budaya (Basri Amien), Ekonomi Pembangunan (Amier Archam), Planologi (Beby Sintia), dan... Komunikasi Politik (yang terakhir ini baru mimpi, sebab S 2 saja belum, saya sendiri...he..he..he..).

Intelektual Gembel
Tentang bertambah banyaknya orang Islam Indonesia bergelar doktor, mengingatkan saya pada beberapa karya, masing-masing dari sebuah novel, satu buku dari seorang orientalis, dan sebuah proceeding dari hasil Seminar oleh salah satu lembaga donor dari Jerman (Frederich Nauman Stiftung). Pertautan ide booming Sarjana S 3 beragama Islam itu, membawa kabar yang (ternyata) agak mengkhawatirkan.

Novel Ketika Cinta Bertasbih, karya Habiburahman El Shirazy, menceritakan bahwa di Mesir adalah hal lumrah ketika menemukan supir Taksi bergelar doktor. Inipun bukan doktor abal-abal produk kampus antah berantah ---sebagaimana meruyak di Indonesia, biasanya ditambahi embel-embel honoris causa. Melainkan doktor sungguhan, malah lulusan dari kampus bergengsi sekaliber Al Azhar Kairo. Sayangnya si pengarang tak sempat mendetail rinci, akar musabab fenomena itu. Ia semata bertutur bahwa jumlah penduduk terdidik keluaran perguruan tinggi di Mesir sudah sangat banyak!

Dalam nada yang mirip tetapi bernuansa akademik, adalah telaah panjang dari Howard M Federspiel, dalam buku Labirin Ideologi Muslim (diterbitkan Serambi, Jakarta, 2004). Buku itu menulis kerumitan menciptakan stabilitas di negara-negara muslim Timur Tengah, salah satu faktornya adalah lapisan kelas menengah terdidik tetapi kurang mendapat akses ke dunia kerja ---lowongan PNS sudah penuh. Mereka adalah sarjana dari ilmu-ilmu humaniora dan agama. Oleh penulis buku, gejala ini disebut dengan lumpentintelectual (intelektual gembel). Menjadi warga yang kritis, berani, dan menjadi kekuatan signifikan dalam melakukan perlawanan politik. Tetapi kurang produktif dari aspek lain (semisal industri, ekonomi, dan teknologi).

Terdengar pahit, tetapi masuk akal. Mari buat perbandingan, rasio warga negara bergelar doktor dengan komposisi penduduk umum, ratting tertinggi diduduki Israel, ada 1 doktor per 1.000 penduduk. Tapi negara bentukan Deklarasi Belfour oleh zionis ini melesat dalam sains dan digdaya dari sisi ekonomi, karena para intelektualnya merata, cukup banyak berdisiplin eksakta, hingga menguasai perkembangan teknologi.



Religious Young Turks
Sebelum masuk ke buku ketiga, ada baiknya menyisipkan petuah dari mantan Presiden Habibie. Menurutnya, di Indonesia paling tidak saat ini dibutuhkan 25 ribu doktor dari disiplin ilmu eksakta (istilah ini untuk memudahkan kategori, karena belum tentu ilmu fisika, kimia, adalah eksak, ada juga celah kenisbiannya). Sudahkan kebutuhan ini tercapai? Jangan-jangan terlampau banyak doktor sastra....

Berlanjut ke buku Islam dan Barat, Demokrasi Dalam Masyarakat Islam, diterbitkan Yayasan Paramadina dan Frederich Nauman Stiftung, bertahun 2002. Literatur ini kian meneguhkan asumsi berbagai kalangan. Bahwa maraknya gerakan islam radikal secara intelektual disponsori alumni-alumni terdidik dari Mesir, Turki atau Timur Tengah lainnya. Mereka senyatanya orang-orang cerdas, dan memiliki idealisme yang diasah di kampus. Karya pustaka ini menyebut secara khas pengalaman PAS di Malaysia (partai oposisi, tetapi menang Pemilu di Kelantan dan Trengganu). Para ideolog dari PAS disebut dengan Religious Young Turks ---anak-anak muda religius yang menginginkan perubahan. Sebagaimana di Indonesia, mereka mengobarkan ide-ide tentang negara Islam dan mengkafirkan pemerintahan demokratis saat ini. Jika dilakukan secara patut, tak masalah. Beda jika akar-akar radikalisme ini mewujud dalam bentuk teror.

Anugerah
Kita harus berani menghitung. Ledakan tenaga bergelar doktor adalah anugerah, tetapi juga menyimpan potensi menjadi musibah.

Sebagai negeri yang giat melakukan perbaikan, sekaligus mengejar ketinggalan, tak mungkin jasa intelektual disia-siakan. Namun jelas harus dengan komposisi yang cocok. Setiap ilmu pasti punya medan aktualitas berbeda-beda. Pantas bila khawatir, kalau didikan berlatar humaniora terlampau besar sementara dari displin teknik-kimia-fisika justru kekurangan. Karena kita juga butuh sokongan engineer untuk mengembangkan teknologi, rekayasa genetika, farmasi, kedokteran, militer, sampai kedirgantaraan. Rugi kalau selalu harus mengimpor konsultan dari luar negeri.

Mudah-mudahan, booming intelektual Islam Indonesia menjadi akar tunjang bagi kemajuan tanah air. Dan bukan menyiram benih-benih radikalisme, terorisme….

Selasa, Agustus 11, 2009

Curahan Hatiku, Indah....


Aku punya kawan sesama Staf Ahli, namanya Indah, dari Fraksi PBR. Dia pernah meminta aku menceritakan mengapa aku berhenti. Inilah ---setelah sekian lama sengaja aku tunda--- cerita aku yang sebenarnya.

Sekitaran dua bulan lalu, aku sempat berjanji mengirim e-mail, menceritakan perihal “selesainya” ikatan kerja, antara aku dengan Bos. Jauh di dalam hati, ini agak berat kuceritakan. Lantaran di situ tersimpan rupa-rupa perasaan. Marah ---karena semua berakhir seperti ini, tapi juga kadang besyukur (karena aku bisa lepas dari beban yang tak ringan). Belum lagi bila harus bertutur tentang kesedihan, kecewa, merasa terhina, dan banyak yang lainnya.

Tapi ternyata aku tidak setegar besi baja. Emosi yang menggelegak dalam kalbu rupanya butuh ”penyaluran”, tentu dengan cara-cara yang patut. Beberapa detik paska bersalaman dengan bos yang menandai berhentinya hubungan kerja, pikiran langsung terfokus pada satu arah: tak boleh ada dendam! Harus selesai baik-baik, dan hadapi dengan ksatria. Pontang-panting kuselamatkan keyakinan ini. Bila muncul pikiran-pikiran buruk, segera kuenyahkan. Begitupun tatkala kesedihan melanda atas nasib buruk yang terjadi, buru-buru aku lawan dengan doa dan mohon ampunan Allah.

Maka begitu aku kepikiran untuk menuliskan kepada kamu, Indah, adalah dalam rangka membuang segala unek-unek. Aku yakin, cara ini sungguh perlu. Tinimbang berkoar-koar ke banyak orang dan membuka aib sendiri, lebih baik aku mencurahkan isi hati pada seseorang yang kupercaya. Lagipula, ini yang penting, aku anggap kamu ”anonim”. Artinya, kamu tidak punya kepentingan untuk prihatin, iba, atau apapun. Termasuk tak ada faedah pula bila Indah merembeskan ”kegundahan” diriku kepada siapapun. Justru aku berani bercerita kepada kamu lantaran satu hal: perkawanan kita selintas saja, selama periode kerja saja, dan orang-orang di sekitar kitapun masing-masing saling tak mengenal. Jadi aman lah....


Perlu Saluran
Ibarat saluran air got, terlalu lama menggenang akan hitam kotor, beda kalau tersalur dengan baik. Inilah nawaitu surat ini kepadamu. Biarlah rasa benci, jengkel, marah, kecewa, kesumat, kubuang jauh-jauh. Asal tidak merugikan siapapun juga. Termasuk kamupun, bila memang tak merasa perlu membaca ini, boleh di delete saja.

Tak Adil
Aku mulai dari ujung yang terjauh. Ketika sekitar 2,5 tahun lalu bekerja dengan dia. Saat itu belum ada status Staf Ahli Anggota, baru Asisten Pribadi. Aku ambil itu, karena ada perjanjian lisan, bahwa dari dia akan memberi 2 juta rupiah per bulan, dan tambahan lainnya secara tetap (padahal saat itu gaji Asisten Pribadi yang lain adalah 2,8). Ternyata tidak, per bulan aku hanya dapat Rp. 2 juta rupiah. Terkadang dan sesekali saja dia memberi tambahan ---itupun kalau aku membuat pekerjaan tambahan untuk kepentingannya.

Berlanjut. Di saat rekrutmen Staf Ahli, aku tak menikmati sebagai mana kawan-kawan lain. Aku hanya mendapat Rp. 5 juta per bulan (padahal kawan-kawan lain dapat 6,9 dan terakhir dapat Rp. 7,2). Saat jadi Asisten Pribadi aku tak terima penuh, begitupun waktu menjadi Staf Ahli.

Alasan dia sungguh hebat, katanya buat cadangan agenda bolak-balik kampanye di Dapil, kalau tak terpakai, bisa dikembalikan. Ini tak terbukti. (Lagipula, aneh, kampanye itu kan untuk kepentingan dia, masa harus menggunakan uang yang mestinya menjadi hak aku).

Kenapa aku terima?
Kawan-kawan lumayan banyak, di DPR atau DPD, di Partai, atau di LSM sekalipun. Kuncinya, agar bisa terus berinteraksi dengan mereka, adalah stay di Jakarta. Jadi berapapun gaji aku di ”si bos”, yang penting bisa survive. Uang tambahan kukebut dari siapa saja. Membuatkan buku. Menuliskan artikel. Bikin makalah orang. Mengerjakan tugas kuliah. Sampai membuatkan TASKAP (sejenis karya tulis untuk Mahasiswa Lemhanas) dan Tesis pun aku sanggupi. Nah, itulah yang membuat aku bertahan.

Lalu, begitu perbaikan penghasilan, jadi Rp. 5 juta sebulan, ini sungguh meringankan. Tak lagi pusing dengan dapur keluarga. Meskipun penghasilan itu tak seberapa dibanding kawan-kawan yang lain, bahkan mereka bekerja cukup santai. Tidak seperti aku, yang ke mana-mana harus menemani si bos. Termasuk bolak-balik ke Jawa Timur.

Ini yang sungguh berat. Aku sudah kenal karakter dan kelicikan dia. Begitu agenda kampanye tiba, dia meminta aku konsentrasi di Jawa Timur. Aku dengan berani menyanggupi, dengan permohonan agar gaji aku yang 5 juta langsung ditransfer ke isteri. Dia setuju.

Benar-benar nekat. Aku berprinsip biarlah jatuh bangun di tempat orang, yang penting anak dan isteri selamat. Malu sesungguhnya kalau harus diceritakan. Seorang pengatur kampanye, penanggung jawab dan pemikir, tak punya uang lebih, sekedar untuk merokok saja. Pulsa meminta, makan meminta. Kawan-kawan di daerah juga sering heran, kok aku yang bertugas sebagai orang utama malah miskin banget. Bodo amat....

Pernah Berjanji

Sekali lagi, ada perkara yang membuat aku bertahan. Dia memang tempramental, kalau marah, segala hal dilontarkan. Satu yang terngiang-ngiang dan membuat aku tertantang. Dia mengakui aku pintar, cerdas, konsepnya bagus, dan terpakai. Tetapi, kata dia, hanya untuk di DPR, belum tentu cocok untuk di lapangan (maksudnya untuk kemenangan dia di Daerah Pemilihan). Lantaran emosi, aku membuat sumpah dihadapannya. (Dia pikir aku bloon, tak tahu pertarungan politik, dan tak bisa beroperasi dalam memenangkan Pemilu).

Pak, aku bilang, saya akan buktikan. Bapak akan menang di Pemilu, dengan suara terbanyak dari calon legislatif lain.

Saat itu bahkan aku menjadi sumber ”kejengkelan” tim lain, yang menjadi penjilat untuk bos. Kawan-kawan dengan enteng mengumbar janji, bahwa suara si bos bakal mencapai 200 ribu atau 300 ribu suara. Sementara aku bertahan, kataku hanya 60-70 ribu suara saja! Sampai 3 hari menjelang pemilihan umum, di saat evaluasi besar seluruh tim, aku dipersalahkan dan dihujat. Katanya tak loyal. Meski malu, jengkel, sedih, aku tetap bertahan denan angka ini. Dan, Allah Maha Kuasa. Perkiraanku ternyata meleset... tapi hanya sedikit. Data akhir KPU menyebutkan, perolehan suara si Bos adalah 72 ribu suara (2 ribu lebih dari selisih yang aku prediksikan). Dan teramat jauh dari ”bualan” para penjilat di Tim Sukses kami, yang meramal angka 200 ribu-300 ribu suara!

Sebenarnya bukan cuma aku yang berjanji. Tapi juga dia. Demi Allah, dia pernah menjanjikan Balckberry, Umroh, dan uang puluhan juta. Meskipun aku tak percaya (dan benar, tak sepeserpun dia buktikan janjinya itu), aku diam saja. Dia mengatakan akan membelikan ini dan itu, meberi uang segini dan segitu. Berjuang dululah, Endi, nanti buat kamu saya kasih. Begitulah yang diucapkan. Dan, anehnya, dia secara bangga mengungkapkan janji itu kepada banyak orang. Baik di acara informal, maupun yang lebih formal. Tak heran, ketika dinyatakan menang, aku matikan saja HP, lantaran tak sedikit yang minta ditraktir ini dan itu.

Paska Pemilu
Di blog aku, www.endibiaro.blogspot.com sering aku meringis dan menjeritkan kekesalan karena pekerjaan yang melelahkan ---disertai hujatan dan hinaan. Saat itu, rasanya, ingin segera berakhir. Dan seperjalanan waktu, semua itu tiba. Aku balik lagi ke Senayan dengan membawa kemenangan.

Selesaikah? Tidak. Bekerja siang dan malam mendampingi bos terus berlanjut. Kebetulan, Anggota Komisi V termasuk bos aku, harus segera menyelesaikan RUU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Sebenarnya ini adalah pesta pora bagi anggota dewan. Tak sedikit kucuran uang, dalam bentuk sogokan, amplop, salam tempel dan sejenisnya. Begitupun Staf Ahli. Mereka juga kebagian. Aku pun, sesungguhnya, dapat bagian juga. Tapi semua diambil olehnya. Termasuk Laptop yang sebenarnya dibelikan untuk aku.

Pengabdian aku bukan hanya menguap ke udara, tapi berbalas racun. Uang tak dikasih, hadiah tak ada, bahkan yang menjadi hak akupun diambil. Aku tak kuat.

Berhenti
Puncaknya adalah awal Juni. Karena kelelahan, duit hampir habis, aku segera mengambil Slip Gaji di kantor, untuk ditandatangani bos ---dan mencairkannya ke kas Sekjen.

Aku mencari bos ke mana-mana. Tak bertemu. HP-nya tak aktif. Atas pertolongan pembantu di rumah bos, aku datang ke hotel, tempat bos berada. Begitu bertemu dan menyodorkan slip gaji, ia terkesan marah. Segera ia teken kertas yang aku sodorkan. Sembari menyerahkan kembali ke aku, dia berkata pedas. Lu itu Endi, kalau soal duit aja ngejar-ngejar gua....

Deg... Degup jantung seperti tertabrak kereta listrik.

Kejam betul perkataannya. Aku yang siang malam, pontang-panting menyukseskan pencalegannya di Pemilu, lantas membantunya menjadi ”orang terhormat” dalam pembahasan Undang Undang LLAJ, malah diberi gerutu tak berdasar. Ia sukses meraup uang banyak dalam agenda itu. Dan aku bahkan tak sanggup bayar ongkos taksi.

Bukankah aku tak meminta uang dari kantongnya sendiri, melainkan gaji dari Sekretariat Jenderal DPR RI, dan ia hanya membubuhkan paraf?

Sebagai lelaki, kutahan agar tak terlihat bermuka sedih. Aku pulang. Dengan tekad berkobar. Ini sudah keterlaluan. Dia tak melihat aku sebagai manusia yang bekerja. Esoknya, sengaja aku membuat berbagai kesalahan. Dan benar. Dia meminta aku berhenti. Kuterima dengan ikhlas. Biarlah semuanya berlalu. Seraya tak ada lagi beban, emosi, benci, dan dendam yang menyertai. Aku memohon pada Allah, agar aku diampuni atas segala kesalahan, termasuk juga kepada bos (karena aku juga sering bersalah). Begitupun kepadanya, hatiku terbuka. Tak ingin menyimpan bara kecewa. Begitulah, Indah....

Khawatirkah Dengan Ramadhan Kita?


SEDARI mula Nabi mengingatkan bahwa diantara orang-orang yang berpuasa banyak diantaranya yang tak mendapatkan apa-apa, kecuali lapar dan haus.

Kecuali anak-anak yang sedang belajar menghayati salah satu praktek amaliah ke-Islam-an di Bulan Puasa ini, mereka itu sudah cukup nilai kebaikannya dengan tidak makan dan minum seharian. Bagian penting yang memupuk kemampuan ber-Ramadhan kelak di kemudian hari.

Mesti ada garis tegas sebagai pembeda kualitas puasa anak-anak dan kita. Maka merugilah bila shaum semata-mata berhenti sebagai ritual menahan masuknya makanan dan minuman ke dalam tubuh, tak beranjak dari fase childhood itu.

Malahan kata “menahan” itupun lebih pantas diganti dengan kata “menunda”.

Alangkah gampangnya bila begitu. Menunda waktu makan siang untuk kemudian melahap habis sajian di atas meja makan di malam hari. Mengalihkan waktu coffee break di café-café nyaman yang biasanya berlangsung pas jam istirahat kantor ke jam 19.30 lebih sedikit ---karena butuh waktu berpuluh menit untuk berbuka, saking kuatnya pemenuhan dahaga lapar seharian. Barangkali tubuh pun mendadak enggan mengikuti panggilan muazin di Masjid sebelah rumah.

Bahwa tak ada yang meragukan kita semua, di tingkat tertentu amaliah Ramadhan sebenarnya menghimpun rupa-rupa kebajikan. Pantas saja dalam firmanNYA, Allah menjamin bahwa (tidak seperti ibadah yang lain), puasa benar-benar untuk Allah. Puasa hambaKu itu untuk Aku, kata Allah. Hanya kata wallahu’alam yang pantas disebut, jika membayangkan ukuran balasan seperti apa yang akan dianugerahkan, karena garansinya langsung dari Sang Khalik.

Kalau begitu ada pengharapan yang boleh kita kejar. Sebagaimana Imam Al Ghazali meggolongkan tipologi orang-orang yang berpuasa ke dalam tingkatan Khawasul-Khawas, Khawas, dan Awam, itu berarti kualitas berpuasa sungguh unlimited. Tinggal mengukur sampai di mana kemampuan diri, sekaligus bagian mana yang layak kita ikhtiarkan. Agar tidak jatuh pada pilihan mudharat, tak mendapat apapun dari Bulan Suci ini.


Posisi Awam
Namun bila pancaindera diaktifkan seawas mungkin, agaknya tak berlebihan bila disepakati akan seperti apa kualitas kebanyakan kita dalam berpuasa. Berada dalam kategori orang-orang awam sekalipun mungkin sudah cukup bagus. Mendapatkan pahala sesuai dengan landasan syariah yang menetapkan larangan dan anjuran tertentu selama puasa. Artinya, sebagai ummat kebanyakan, di situlah posisi kita.

Lagipula, bagaimana batin dan kalbu yang tersaput banyak dosa dapat mengetahui rahasia ketinggian-keutamaan puasanya para Khawasul Khawas itu?

Telinga kita masih mengakrabi bisikan-bisikan was-was dan syak, lisan bertutur di arena ghibah atau ucapan-ucapan tak berguna (sembari sadar atau tidak membiarkan semuanya masuk dan mempengaruhi hati). Dua butir mata masih mudah jatuh pada objek-objek yang “mengasyikan”, padahal menurut nasehat para Sufi dari memandanglah kemudian lahir angan-angan (impian-impian, khayal, dan lagi-lagi melupakanNYA). Entah aktivitas seperti apa lagi yang tetap dilakukan selama kita berpuasa, oleh tangan, kaki, dan organ-organ tubuh kita yang lain. Pintu kita tutup dari kudapan dan air yang segar, tapi panca indera yang lain tak berhenti dengan aneka keasyikan lahiriah.


Pantas Khawatir
Sekitar empat belas jam terhitung dari ujung sahur (Imsyak) hingga ke waktu berbuka, bukanlah periode yang mudah untuk lolos dari kepungan hasrat materliastis-hedonistik, pun di saat kita berpuasa. Bersabar dari dahaga dan perut keroncongan mungkin kita mampu. Belum tentu untuk perkara lain, mengingat kitapun tetap bersama pikiran, nafsu, dan emosionalitas dalam diri. Semua itu tak bisa ditanggalkan seraya diletakkan di tempat lain selama ibadah Ramadhan. Ke manapun kita melangkah, hal-hal itupun terus ikut serta.

Termasuk di dalam Mall, ketika pikiran tak tahan membayangkan kenikmatan segala rupa benda. Begitupun nafsu, yang menggelegak untuk membeli apapun yang tengah gencar diiklankan media massa. Sementara emosionalitas kitapun seringkali mudah terhentak oleh berbagai peristiwa menjengkelkan di sekitaran. (Ban kempes saja membuat kita bersungut-sungut, padahal orang lain kantongnya yang kempes).

Pertanyaan berikutnya yang pantas diajukan adalah seberapa mampu olah batin-rasa-nurani kita bila menangkap keprihatinan hidup di sekeliling. Misalnya ribuan pengemis (musiman) yang berbondong menyerbu Jakarta di saat-saat menjelang lebaran? Terhadap mereka yang papa, tebas oleh kekerasan Ibukota?

Atau justru menikmati Ramadhan dalam sisi ritus yang semarak, gebyar, demonstratif karena kerjasama saling menguntungkan antara industri fashion-food-fun? Seperti yang beredar di televisi, mulai dari Quiz Ramadhan yang menggelikan karena disela polah komedian yang sama sekali tak mengandung hikmah! Atau tawaran baju-baju terbaru dari distro-outlet-hingga supermall di perkotaan.... Dan segala kesemarakan lainnya yang hanya memperlihatkan wajah konsumtif.

Sekali lagi, alangkah mudah berpuasa bila semata kita menjadi penikmat ”gaya hidup” khas Bulan Ramadhan. Tinggal menonton channel TV yang berlomba-lomba menayang program khusus. Mendengar lantunan mengasyikan album-album ”religus” via MP3. Cuma jalan-jalan ke Supermarket seraya menghabiskan waktu untuk berbuka di pojokan Pujasera. Berkeliling-keliling di toko buku dan buka-buka situs favorit di Internet. Atau tenggelam dalam urusan kerja-bisnis dengan nawaitu non Illahi ---tetapi kompensasi uang. Di saat jelang lebaran tambah heboh lagi, berburu koleksi busana terbaru! Pantaslah kalau kita (agak) khawatir.

Senin, Agustus 10, 2009

Noordin M Top dan Sense of Intelegence Kita


Orang-orang yang lupa terhadap peristiwa masa lalu, akan dikutuk untuk mengalami hal yang sama di kemudian hari (George Santayana).

KEMAMPUAN
telik-sandi, sandhiyudha, intelejen, benar-benar diuji keampuhannya dalam menggulung orang-orang sejenis Noordina M Top, Mubarok, dan konco-konconya. Kegagalan akan berarti kehancuran. Sebab hanya butuh 100 gram saja adonan posfor, belerang, posfor dan sejenis detonator, dari tangan kotor para teroris, mampu meluluhlantakkan sebuah bangunan, mengubur siapa dan apa pun yang ada di dalamnya. Bila mau jujur, merebaknya gerak para teroris terutama tidak datang dari kelihaian operasi dan kecerdikan mereka, melainkan juga lantaran kelemahan kita. Kelemahan dalam aktivitas yang punya sebutan gagah: operasi intelejen.

Dan jangan canggung menuding jari telunjuk ke satu arah: misalnya mencibir kemampuan polisi ---sebagai pranata pemegang otoritas keamanan domestik, sekaligus menguasai monopoli kekerasan senjata plus intelejen terlembaga. Agar di saat bersamaan ada empat jemari lain yang mengarah tepat ke muka kita. Artinya, polisi tak sendirian. Banyak pihak bersalah, patut introspeksi diri, dan paling pantas yang pertama-tama di interogasi adalah kita sendiri, warga negara (biasa) di Indonesia.

Mengapa?
Daratan Indonesia memang tak kurang luas dari rentang spasial dari Inggris ke Perancis sekaligus. Ribuan pulau sambung menyambung (75 ribu pulau), dengan populasi yang begitu besar dan heterogen. Sebuah komposisi demografik yang sulit terjangkau oleh deteksi intelejen secanggih apapun. Mau tak mau, strategi keamanan kita membutuhkan konsep totalitas, pertahanan semesta. Rakyat dan warga negara adalah mata rantai penting yang harus terlibat.

Senyatanya, praksis intelejen memang meletakkan fungsi rakyat dalam batas yang jelas: sebagai narasumber informasi (sources). Benar, ada otoritas lain yang lebih sahih berperan, mulai dari organisasi, operator, infrastruktur, sampai monopoli atas perangkat intelejen (sebutlan, misalnya, BIN, atau unit ”mata-mata” lainnya yang dimiliki oleh TNI, POLRI, atau bahkan badan imigrasi).

Tetapi angka 200-an juta penduduk bukan jumlah main-main, lebih-lebih dengan sebaran yang maha luas. Tak bakal terlayani oleh state aparatus (aparat negara) yang jumlahnya jomplang. Teoritis, jumlah keseluruhan TNI/ POLRI hanya sekian digit saja dari angka di awal paragraf itu. Fakta ini mestinya menggiring pada kesimpulan mudah: negara ini butuh partisipasi publik, dalam urusan intelejen!

Namun jangan buru-buru membayangkan lahirnya rezim paranoid yang meletakan operasi intelejen sebagai pekerjaan utama. Kita tak menginginkan institusi semodel STASSI (Jerman era Hitler), MOSSAD (Israel) di negeri ini ---di mana setiap orang adalah mata-mata bagi individu lain). Melainkan, justru, menumbuhkan sense of intellegency warga negara. Mendidik kita semua untuk sadar, waspada, sekurangnya terhadap lingkungan sekitar. Minimal menggerakkan partisipasi publik untuk terlibat dalam sistem deteksi dini (early detections) dan peringatan dini (early warning). Menciptakan ruang gerak yang sempit bagi beredarnya manusia-manusia peneror, bisa dilakukan bila rumusan itu dilakukan.

Tetapi Tidak

Dari siaran televisi, banyak adegan yang mempertontonkan bahwa masyarakat kita memang lugu dalam hal kewaspadaan keamanan (security sense). Di Dusun Beji, Desa Kedu, Temanggung, tempat pengepungan teroris, muncul ragam pengakuan warga, yang sama sekali tidak mengetahui aktivitas seorang bernama Mudhori, pemilik rumah yang diserbu Densus 88. Padahal, tiga tahun lalu, anak lelaki Mudhori yang bernama Tatak diciduk polisi, karena keterkaitan dengan organisasi teroris. Bisa dibayangkan, di lokasi pedesaan yang guyub, akrab, interaksi intens, dan terbuka silaturahmi, aktivitas terorisme tidak terendus. Ada apa dengan penduduk kita?

Betapapun canggih bergerak di bawah tanah (klandestein), teroris itu butuh mobilitas, logistik, dan fasilitas penunjang gerak (minimal kendaraan, perangkat telekomunikasi). Tak mungkin mereka berdiam seperti pertapa. Sudah pasti, mestinya, ada sejumlah informasi yang terlihat atau terpantau. Bahkan sekalipun di perkotaan ---yang penduduknya cuek dengan keadaan sekeliling— mestinya sesuatu yang ”ganjil” dari satu dua penghuni harus terlacak.

Patut kita bongkar wacana bahwa gerak teroris seperti hantu! Ini kebohongan paling tak berdasar. Mereka bertindak berdasarkan suatu pola, dalam organisasi, butuh kontak, memakai fasilitas yang terlihat mata telanjang (entah kendaraan, entah HP, atau laptop sekalipun). Lagipula, sejumlah bukti telah menjelaskan, mereka beredar tidak di pulau-pulau luar yang jauh dari akses ke Jakarta. Lokasinya tak jauh dari Jawa Tengah, Jawa Barat dan Banten. Karena sasaran mereka juga adalah Jakarta, jantung kehidupan republik ini. Andai saja publik memiliki sense of intellegence yang memadai, teror tak akan mudah meledak.


Rekomendasi
Mulai dari titik paling dasar, bahwa setiap kepala di republik ini terdokumentasi dalam arsip pemerintah, sekecil apapun itu. Entah dalam Kartu Keluarga, Kartu Tanda Penduduk, atau Surat Izin Mengemudi. Inilah sumber informasi primer. Praksis intelejen juga terbantu oleh data-data ”administratif sipil” ini. Pendidikan sadar intelejen harus meyakinkan aparat pemerintah di level paling ujung (misalnya aparat desa dan kelurahan) untuk hati-hati dan tidak memalsukan dokumen ini.

Putaran berikut adalah warga biasa yang tidak berurusan dengan arsipasi. Tetapi punya kontak sosial dan bergumul dengan hidup sehari-hari. Lewat tayangan media, mereka mungkin tahu ciri-ciri, pola, karakter dan tindak-tanduk para peserta aksi teror. Informasi inilah yang harus disosialisasikan kepada semua warga. Pekerjaan ini bukan perkara mustahil, sebab organisasi non negara sekalipun telah mentradisi di masyarakat kita, mulai dari organisasi keagamaan, sosial, kepemudaan, sekolah, atau bahkan arisan ibu-ibu. Belum lagi bila didukung oleh negara, dengan perangkat yang tersedia, sampai ke tingkat desa/kelurahan, RW, hingga RT.

Inilah yang abai dilakukan. Penyebarluasan informasi tentang perburuan terorisme berhenti sebagai urusan kepolisian, menyebar pamflet, menjanjikan hadiah besar bagi informasi tentang orang-orang yang diburu. Terkesan sporadis dan temporal. Dengan objek tunggal bernama orang-orang tertentu, lengkap dengan sketsa wajah teroris.

Kita butuh jauh lebih banyak. Kampanye publik tentang metode, pola, karakter, dan bahkan kalau perlu jaringan terorisme, harus benar-benar gencar dilakukan. Dan tidak memakai ritme lagu dangdut, kencang di saat tertentu dan kendur di saat yang lain. Diseminasi, penyadaran tentang bahaya terorisme termasuk ikhtiar penanggulangannnya, adalah sama perlunya dengan pendidikan sosial lainnya. Karena kita tak ingin kejadian seperti ini terulang terus di lain waktu.

Catatan akhir. Menyedihkan bila adegan teror di televisi itu nyaris menjelma sebagai showbiz, seperti liputan ekslusif dari beberapa stasiun televisi. Orang melihatnya sebagai tontonan yang tidak berbahaya. Kemudian lupa setelah ada peristiwa lain yang lebih dramatis! Kelak, jika bangsa ini lupa terhadap bahaya terorisme, kita akan mengalami nasehat dari Santayana: orang yang melupakan peristiwa masa lalu, akan dikutuk mengalami hal yang sama....

Rabu, Agustus 05, 2009

Kebanggaan Terhadap Kawan-Kawan Lama


Saat ini saya dengan sebenar-benarnya membanggakan kawan-kawan lama (di jaringan Facebook).Tolong kobarkan rasa percaya diri saya. Barangkali tidak dengan cara merepotkan. Cukup dengan menjaga perkawanan dan tali silaturahmi. Guna membuktikan bahwa saya agak layak dikawani.


Suara muadzin baru lepas mengumandangkan panggilan Ashar. Seorang sanak ---sebetulnya kerabat dekat--- datang bersilaturahmi. Ia memang sudah lama dirindukan.

Dulu, saat bujangan dan mengenal kenakalan khas anak muda kampung, saya begitu akrab dengannya. Boleh dibilang, di masa itu dia adalah suhu. Di mana penghormatan peer group (perkawanan anak-anak sebaya) ternisbat kepadanya. Tak perlu repot menjelaskan: anak muda kagum dengan seseorang karena seseorang itu lebih nekat, lebih berani, lebih kurang ajar dari yang lain. Begitulah sepenggal tipe tamu sore hari itu.

Biasa-biasa saja pertemuan itu. Justru terpetik pengakuan menganggetkan ketika kami akan berpisah. Sebulir air matanya tampak melebur di ujung mata.
“Kenapa?” tanyaku.

Jawabannya sederhana: gue sedih En, kamu kok sampai harus memandikan anakmu sendiri. Pakein bedak, pakeinbaju...

Saya tak bisa berpikir cepat. Mengapa dia harus bersedih, padahal saya suka dengan “pekerjaan” itu. Kalau di rumah, dua orang bocah lelaki adalah kawan karib. Mereka diajak bermain. Bersepeda, jalan-jalan di pematang sawah. Main layangan ---terkadang mengejar layangan putus. Kalau sudah cuaaaapek ambil kertas dan pinsil, menggambar objek apa saja yang mereka ributkan. Si Sulung minta: Papah, gambarin mobil balap, ya? Si Bungsu, karena belum lancar ngomong, cuek saja! Kemampuannya baru sebatas merobek kertas atau melempar crayon punya kakak.

Saya melakoni dengan lumayan gembira, paling kurang itu bisa mengalihkan dari pikiran berat yang kadang menggelayut.

Tapi sekali lagi, tamu di awal sore itu kok malah nelangsa melihat saya dan anak-anak....

Berikutnya menderas pengakuan panjang. Menurutnya, yang membuat ia prihatin adalah kondisi saya. Baginya tak patut, saya yang (pernah) bekerja di Jakarta, Staf Ahli DPR, suka muncul di koran, hobi internetan, sering terbang ke sana-sini, terlihat payah seperti sekarang ini.

Oh, jadi yang ia lihat adalah kondisi saya ---dan mungkin juga keluarga. Kalau soal itu, bisa jadi ia bersedih. Harap diingat, cerita ini ada di kampung. Tak banyak yang bekerja (pakai sepatu disemir, sempat menyemprotkan parfum) di Jakarta, dan di DPR lagi. Bayangannya adalah saya harus terlihat “kota”. Bukan mandiin anak....

Secara keseluruhan kondisi saya memang (agak) menyedihkan. Maaf, ini bukan perkara buka aib seraya melanggar wibawa serta privasi diri. Melainkan menguak makna persepsi. Si kawan punya perspesi lain (maka ia menangis), sementara saya malah nyantai saja.

Persepsi juga bisa melampaui fakta. Faktanya saya tak bekerja. Bisa dilihat dari urusan dapur yang membuat was-was. Faktanya saya tak punya prestasi apa-apa. Faktanya hidup apa adanya. Jauh dari lelucon ini: apa adanya mobil, apa adanya rumah megah, apa adanya deposito. Faktanya pula, kuliah seperti mobil angkot sampai di terminal ---tak bisa lebih jauh lagi, harus segera parkir. Tapi toh, alam kesadaran saya berani melawan, tak boleh kalah! Masih ada kesempatan.

Sebenarnya Bersedih
Sebenarnya sih, saya bersedih. Cuma tidak permanen, sesekali saja. Lagipula rasa itu bukan karena melihat ke dalam rumah. Justru ketika kepala mendongak ke luar.
Adalah kemunculan kawan-kawan yang berserakan di aneka profesi, di berbagai tempat, dalam rupa-rupa bidang kehidupan. Perasaan itu bukan sebentuk dengki (hasud), terperangkap amarah agar pencapaian dan prestasi kawan-kawan hilang.

Mungkin lengkapnya adalah bersedih sekaligus bangga. Buktinya batin sekali dua berbisik: Endi, kamu harus bisa seperti itu.

Pilihan saya memang terbatas dalam soal ini. Cukup dengan mengikuti nasehat Nabi: bergaul dengan pandai besi terkena panas, bergaul dengan penjual parfum terpercik wangi. Saya ingin menjaga silaturahmi dengan kawan-kawan (di jaringan Facebook), adalah dalam rangka itu. Siapa tahu menguatkan tekad dan menemukan inspirasi dari anda semua.

Untuk Menyebut
Dua kata, bersedih dan bangga, rupanya harus dilengkapi dengan istilah ini: bersyukur.

Betapa bersyukur punya masa lalu yang menghasilkan “jalur” perkawanan dengan orang-orang yang (menurut ukuran saya) hebat. Bukankah kalau saya tidak di Manado, saya tak kenal anda semua, dan tak mudah mengontak anda menjadi karib?

Saya bayangkan Dokter Taufieq Passiak, penulis buku laku, dan orang sezaman beliau yang kini di Amerika (Ka Coen Pontoh). Mengingat Rodli Kaelani, Ketua Umum PB PMII, mengenang mereka yang kuliah di luar negeri (seperti rekan Iqbal Makmur). Juga pegiat LSM yang wara-wiri ke negeri sono (seperti Irman Meilandi atau Lita Mamonto). Beberapa dari kolega malah merangkap jadi dosen di kota “A” sekaligus mahasiswa paska sarjana di kampus lain (Beby Banteng dan Amier Arham). Tak terhitung kolega yang mengabdi sebagai birokrat, atau profesional di BUMN (seperti Ka Mustafa As’ad).

Sedih, bangga, bersyukur itu berlanjut untuk sejumlah nama lain.

Ada yang sudah menjadi diplomat di Timor Leste (Blessy Sipir), praktisi PR di Newmont (Pretty Mamonto), anggota DPRD Provinsi (Sofyan Al Hadar), merintis karir di KPU (Anto Martham, Rusli Djalil dan Veryanto Madjowa), jadi orang bank (Ka Dian dan Linda Tilamuhu), wartawan (buaaanyak, Lestari Sinaga di Trans TV, misalnya). Kayaknya tak ada yang “menganggur” seperti saya.

Biar tidak menjadi artikel kosong, izinkan saya mengajukan semacam pengharapan: bolehkah saya tetap bersitatap muka dengan anda, at least in cybernetic network, especially with facebook? Siapa tahu berfaedah….

Kebebasan Pribadi Versus Kebebasan Televisi


Kahlil Gibran: Jika kau menceritakan rahasia kepada burung, maka burung berkicau kepada pohon, pohon mengabarkan pada angin, dan angin menghembuskannya ke seluruh dunia. Tapi hari ini orang dengan sengaja mempertontonkan aib isteri, suami, dan anak, kepada jutaan pemirsa reality show di televisi. Puisi Gibran yang harus kita cabut, atau memang rasa malu kita yang sudah tercerabut?

Klaim kebebasan individual dan menghilangnya batas-batas pembendung informasi, tak lagi cukup menjelaskan betapa merasuknya tradisi tontonan vulgar di televisi kita.
Sejumlah realitiy show ---kemungkinan akan segera booming, dibuntuti oleh program-program sejenis di stasiun televisi yang belum menayangkan--- meyakinkan kita bahwa benteng terakhir kehormatan individual akan segera bongkar. Tergilas atas nama komersialisas tontonan. Gagasan mulia yang mendasari filosofi kebebasan, bahwa hakikat kebebasan berada dalam batas kepentingan orang lain dan kebebasan yang bertanggungjawab, lepas sudah.

Hari ini bisa saja kita membuat kredo baru: batas kebebasan hanyalah urusan mau atau tidak mau, dan laku atau tidak laku. Melulu perkara komoditas ekonomi. Bila anda mau rahasia pribadi dijual dan disantap orang di mana-mana (sambil santai di rumah, ditemani pacar atau anak isteri), maka itu sah-sah saja. Hukum kebebasan televisi membuktikan hal itu.

Kita sedang berbicara acara sejenis Curhat, yang dibawakan Anjasmara, di salah satu stasiun televisi swasta. Program ini membawa arus baru, bahwa tontonan tak lagi terpatok pada kreasi gagasan, lelucon sumir, pesona kecantikan, kemegahan dekor, atau kehangatan sebuah isu. Tidak.

Sumber isu di program ini bisa benar-benar klasik dan kuno: perceraian, perselingkuhan, atawa cinta segitiga. Tak ada pula kemegahan panggung dengan kehadiran bintang seksi yang kinclong. Nihil komedi dan canda segar. Melulu yang menjadi sumber pikat adalah “keberanian” mengumbar rasa malu. Inilah kekuatan jualannya: menelanjangi diri persis untuk setiap televisi di rumah-rumah penduduk.


Terus Menggali
Sebelumnya kita mengenal formulasi tontonan yang hati-hati, bertahap, dan mengandalkan daya pikat ---entah fisik, kecerdasan, atau ketololan sekalipun. Tapi hukum kompetisi memaksa aturan berubah. Kecantikan diganti kecantikan, rasanya biasa-biasa saja, tanpa nilai gugah plus miskin daya kejut. Kecerdasan juga tak berarti apa-apa ketika retorika selesai di panggung debat talkshow. Begitupun lawakan, yang saking banyaknya hadir (dengan frekuensi tinggi), membua kita kesulitan tertawa.

Langkah terobosan ---bila sepakat menggunakan kata itu--- terus bergulir. Pekerja kreatif di belakang studio TV atau Production House, mungkin telah lama melipat rumusan etika dan norma kepatutan di dalam koper mereka di rumah. Tantangannya hanya satu: desain program yang layak jual. Urusan mencari bantal argumentasi ketika produknya dibombardir kemarahan publik, adalah bagian belakangan. Toh, tak sulit mencari pengacara yang bisa membela.

Sulit untuk menyalahkan kultur media seperti ini. Celah terbuka untuk memahami apa yang sedang terjadi adalah membersihkan cermin kemanusiaan kita yang telah lama tersaput debu.

Teori ekonomi mengenal hukum Gossen (bir di gelas pertama tak terasa apa-apa, baru tercicip nikmat setelah menenggak gelas berikutnya). Dari anak kecil juga ada pelajaran sempurna: tak pernah puas dengan satu mainan, butuh lebih banyak, lebih variatif. Penikmatan atas suguhan terhadap mengumbar kesenangan sepenuh-penuhnya (full pleasure) inilah yang digali, terus digali produsen acara “media pandang dengar” itu.

Tersumbatnya Saluran
Wajah lain yang termanifestasikan dalam Program Curhat dan sejenisnya, justru bersumber dari kegagalan kita sebagai masyarakat penonton sekaligus sebagai insan politik di negara demokrasi, dalam menyelesaikan masalah individual, melalui prosedur rasional, adil dan konsultatif.

Mestinya, sesama insan (sekaligus sebagai penonton dan sebagai warga negara), tumbuh kepercayaan terhadap solidaritas, kebersamaan, dan melembagakan penyelesaian masalah melalui institusi-institusi publik. Transaksi kerjasama yang terjadi, dalam memecahkan masalah, berlangsung dalam ruang-ruang pembelajaran, saling menguatkan, serta dalam posisi sejajar.

Orang kemudian lari terhadap acara televisi. Baik yang punya masalah secara sungguh-sungguh, maupun menjadikan tontonan sebagai pengisi waktu.

Jauh sebelum ini, kita mengenal institusi-institusi yang terikat norma, dalam menyalurkan kegelisahan publik, baik dalam masalah privat (seperti perceraian, perselingkuhan, atau cinta segitiga, yang banyak ditayang di acara sejenis itu). Ada lembaga agama, institusi keluarga, psikolog, ataupun solidaritas perkawanan. Hari ini, nampaknya semua metode itu menjadi pilihan untuk ditinggalkan. Mereka lari, menyerahkan kepada lembaga media. Barangkali untuk pelampiasan, atau sekalian mencari uang bayaran.

Efek Demonstratif
Memang tersedia bantahan, bahwa di negara yang perangkat sosialnya kuat, mampu membereskan persoalan publik dan privat, toh, acara sejenis tetap laku. Alasan ini paralel belaka dengan jenis-jenis suguhan lain. Tetapi kita lupa, bahwa tradisi penonton di barat (sebagai kiblat televisi) telah tumbuh sejak lama. Pemirsa di sana bukan sejenis gerombolan yang kagetan. Kritisme dan kemampuan “saring media” telah mengakar. Mereka juga punya budaya tanding, atau setidaknya aktivitas lain agar tidak digiring oleh efek tontonan yang memabukkan.

Lain dengan kita. Berbagai riset belakangan ini menemukan bahwa struktur dan tipologi penonton kita benar-benar tumpul daya kritisnya. Menonton benar-benar untuk menonton. Lebih-lebih, puluhan juta dari penikmat televisi itu tak punya wacana tanding, tak ada budaya sibuk, dan berleha-leha dengan tontonan.

Kondisi ini menyimpan lebih besar potensi untuk menguntungkan etos komersialisasi media, tinimbang berpotensi melakukan pencerahan. Susah memang, jika ada perlawanan dari komunitas yang kritis terhadap suguhan televisi, akan mudah dipatahkan dengan (cukup) satu dokumen, bernama: ratting. Kebenaran dalam program televisi, pada akhirnya, memang ditentukan oleh seberapa banyak program itu ditonton! Lalu kita hanya bergumam tidak tahu, kapan fenomena ini berubah.

Selasa, Agustus 04, 2009

Merah Putih di Silicon Valley














Pidato kenegaraan Presiden SBY, tak menyebut secuil pun nota APBN untuk pengembangan perangkat teknologi informasi....



CANDI Borobudur sudah lama tidak masuk dalam tujuh keajaiban dunia. Kemegahan masa lalu itu rupanya tak lagi memenuhi standar “keajaiban” dalam perspektif warga dunia hari ini. Lalu rakyat di jazirah nusantara pun kian sulit menemukan mahakarya yang membuat kepala tegak. Dibanggakan karena memang patut, di benak milyaran kepala lain di mayapada.

Dunia bergerak membangun kebanggaan-kebanggan baru. Dengan bangunan “menunjang” langit seperti El Burj di Dubai ---atau malah Menara Kembar Petronas di Malaysia. Itupun bila sebuah mahakarya adalah sesuatu yang berbentuk wujud fisik, lengkap dengan formulasi “ter” (terbesar, termoderen, tertinggi, dan...silahkan tambah daftar sendiri). Okelah bila di situ kita tertinggal, mungkin serentetan pledoi (pembelaan) bisa berlahiran. Asal tidak dengan ungakapan klise berbungkus “keimanan”: salah satu tanda kiamat adalah ketika orang-orang berlomba membangun gedung-gedung tinggi!!!

Duhai dunia juga berderak sibuk dengan perancangan-perancangan non fisik, tetapi memuaskan potensi kemanusiaan kita yang paling mahal (yaitu akal budi). Agaknya naluri purba untuk semata membuat benda wadag (fisik) bukan ukuran tunggal dalam kemajuan. Sungguh-sungguh lepas dari kebudayaan mitos-pagan-feodal, ketika penghuni bumi ini menemukan keasyikan dalam ranah maya, komputer, internet, cyber, jaringan telekomunikasi nirkabel. Begitulah makna kecanggihan dan keajaiban yang sedang kita tunggu (karena bangsa lain yang mengerjakan).

Seperti itulah yang berkembang di Bangalore India, Shenzen China, Puterajaya Malaysia, Silicon Valley Amerika. Ribuan insinyur terlibat. Didukung kebijakan para politisi cerdas, pemegang kendali militer, ekonom, futurolog, pebisnis kaya, berperan saling menguatkan. Bekerja untuk kejayaan negeri masing-masing.

Entah seperti apakah mereka merumuskan (atau justru sudah menyelesaikan) perkara kemiskinan, korupsi, utang luar negeri, dan ancaman separatisme. Menanggapinya sebagai masa lalu, atau menyerahkan kepada negara-negara bangkrut atau setengah bangkrut yang berada di dunia ketiga. Seolah-olah hukum perubahan nasib tak terjadi untuk dua kutub perbedaan antar negara. Bangsa-bangsa maju terus melaju, sementara negara-negara terbelakang terus berkubang dalam kemiskinan.


Ketika kiblat kemajuan teknologi informasi tak lagi beralamat tunggal: bukan hanya ke Amerika, melainkan juga ke Asia (diwakili oleh China, India, Malaysia, dan Singapura), kita seperti tak kebagian apa-apa. Proliferasi (penyebaran) benih-benih kemajuan, yang berserak di kelas menengah, para pekerja profesional, dikampus, di lembaga riset dan penelitian, sebagaimana terjadi di tiga negara Asia tersebut, nyaris tak bisa kita ikuti. Berputar-putar terus sebagai konsumen.


Keajaiban Kita
Mungkin segera kita menjadi penikmat, atas suatu inovasi dan produk-produk menggetarkan olahan para profesional di pusat-pusat teknologi informasi dunia. Syukur-syukur bila berjuang dalam pemanfaatan positif. Karena sebagai user sekalipun, banyak dari kita lebih sering menggunakan perangkat teknologi canggih untuk kemudharatan.

Seperti anak-anak sekolah yang berselancar di internet untuk menemukan foto telanjang Miyabi, Tiffany Taylor, atau Asia Carrera. Seperti teroris yang memanfaatkan kecanggihan cybernatic untuk mengirim pesan-pesan mematikan dan meledakkan hotel. Seperti para hacker yang mengganggu jairingan data milik pihak lain.

Sebagai komunitas bangsa, tak punya kebanggaan atas lomba kemajuan teknologi informasi juga berbentuk fatal. Seolah negeri ini tak punya bakat untuk melahirkan manusia-manusia cerdas. Dan negara tak pernah punya program jelas. Ujungnya adalah membenamkan kita pada kompleks inferioritas, tak punya wibawa, harkat, dan harga diri.

Padahal sebagai satuan orang per orang, tak sedikit tenaga-tenaga Indonesia yang berbuat lebih dahsyat (jauh mengungguli pesaing-pesaingnya di negara lain). Tapi mereka tidak berbuah di negeri sendiri, karena ditarik-tarik oleh budaya korup, feodal, serakah, oleh sesama saudaranya. Jauh lebih aman bagi mereka mencurah kemampuan di negara lain. Praktek brain drain, pembajakan para profesional, dan kaburnya orang-orang hebat ke luar negeri akhirnya lumrah belaka.

Harus Bangga
Sudah selesai jauh-jauh hari, bahwa apapun “hujan batu” di negeri ini siap kita tadah. Nasionalisme yang susah payah dikokohkan, tak boleh roboh hanya karena kita belum siap bertarung di perang cyber.

Tetapi masalahnya adalah hingga hari ini tak pernah ada isu besar, kegelisahan keras, dan suara-suara menuntut, agar segera kita masuk arena kompetisi. Sepertinya semua itu tak penting, bukan prioritas.

Orang lebih hiruk pikuk dengan angka DPT (bahkan menentukan prosentasenya saja butuh debat sengit). Publik tergiring opininya pada isu terorisme atau naiknya harga beras. Di pihak lain, jutaan orang pasif dan menunggu gaji tetap per bulan dari uang negara, sama sekali tak bisa diajak memikirkan potensi kedigdayaan republik.

Tak ada yang menolak bahwa urusan kemiskinan, pengangguran, kerusakan lingkungan, bencana, dan terorisme adalah penting. Tetapi bukan berarti perkara-perkara itu menjerumuskan dan membuat kita jumud. Seraya menenggelamkan kemampuan pihak lain yang tak berurusan dengan itu, katakanlah mereka warga Indonesia alumni Harvard, MIT, Sorborne, dan kampus-kampus berbasis teknologi kelas dunia.

Harus ada pihak yang melanjutkan “percobaan” Habibie, ketika IPTN berhasil membuat Pesawat CN 135 yang bisa terbang tanpa kabel, Fly by wire. Sejatinya kita butuh komunitas, individu, atau apa saja yang bisa “mengerek rasa bangga dan percaya diri”. Mungkin juga kepada para olahragawan, pemenang olimpiade fisika dan matematika, atau bahkan pecatur sekelas Grand Master.

Lalu keberhasilan atau eksperimen yang pasti dianggap gempita (sensasional, kolosal, bemodal besar) itupun pasti melahirkan kontroversi ---sama persis dengan Habibie dulu. Dianggap belum waktunya, pemborosan! Bahkan ada budayawan yang mengatakan bahwa bangsa ini lebih cocok melahirkan sebanyak mungkin sastrawan.

Catatan Akhir
Segera mungkin temukan rasa bangga dengan makna yang penuh, bukan manipulatif. Sejatinya itu lahir dari olah kekuatan akal budi masyarakat. Waktu masih tersedia, dan perjalanan belum berakhir. Meski tertinggal, kita tak perlu pasrah di belakang. Hari inipun banyak bukti bahwa manusia-manusia Indonesia tak sedikit berotak brilian. Sementara sebagian besar kita sebaiknya berposisi jelas: mendukung, memberikan kesempatan yang fair.

Sudah puluhan tahun kita warga negara kebanyakan, memberi mandat kepada manusia-manusia politisi pembual, pelanggar HAM, para pejabat korup, untuk mengibarkan Merah Putih di persada dunia. Tapi bukannya berkibar, merah putih malah menjadi penanda untuk segala yang menyedihkan. Negeri ini bukan hanya miskin, tapi juga jatuh martabat oleh utang, oleh teroris, oleh koruptor. Saatnya Merah Putih berkibar di Silicon Valley, yang terletak di sebuah daerah di Indonesia.

Senin, Agustus 03, 2009

Tentang si Sulung dan Bungsu....















Ada Iman terselamatkan ketika melihat anak-anakku. Mereka lucu-lucu. Putih, bersih, rambut hitam legam dan (Subhanallah) lurus. Secara fisik, mereka jauh dari postur aku, papahnya. Tetangga sering nyeletuk, kok, anakknya Bang Endi kayak Cina sih? Ini dialamatkan untuk si Bungsu, Ikhsan Yassien Fatihah.

Lain dengan Sulung, Alief Fadzjar Rachman. Banyak orang salah mengira, disangkanya dia perempuan. Padahal cowok tulen ---terutama dalam perilaku. Sekilas dia memang seperti anak cewek, putih, rambutnya lurus tergerai dan hitam pula, mata bagus, dan mukanya itu halus banget!

Benar. Tak berlebihan. Ini terutama bila orang ---bahkan aku sendiri--- melihat aku. Saking dalamnya ejekan, aku sudah hapal, kalau teman-teman bilang isteriku milih aku karena matanya sedang kelilipan.

Nah, begitu melihat mamahnya, urusan selesai. Oh, pantes. Mamahnya kan putih, kulitnya alus lagi. Syukur deh, kalau begitu.

Tetapi dengan mereka berdua, Alief dan Ikhsan, aku bisa bersenang-senang seharian. Mengajak mereka menggambar ---kebetulan aku hobi, dan termasuk lihai membuat gambar. Jalan-jalan ke sekeliling kampung (benar-benar kampung, ada kerbau, sawah, anak-anak bermain layangan, burung berteberangan, kuburan tua), bercerita, dan membuatkan mainan tradisional. Otak kreatif aku segera lahir dengan cerdas, bila bersama mereka berdua. Kubuatkan berbagai mainan. Bapaknya adalah anak kampung, hapal betul memanfaatkan bambu, sobekan kertas, lem, gunting, sandal bekas, jadi mobil-mobilan, helikopter, apa saja....



Nama Anak

Dari seorang Kyai di Probolinggo Jawa Timur, aku dapat pelajaran penting. Anak-anak, yang penting diajari dasar-dasar tauhid yang sederhana. Mulailah dari nama. Bilang sama anakmu, Nak, (jika hari sedang hujan) yang bikin hujan siapa? Emang siapa, Pah?...(kita jawab) Allah.

Aku memang bertekad, anak-anakku harus Islami dalam segala hal. Mulai dari nama. Aku ingat persis, ketika akan menikah, aku rajin tahajud. Minta petunjuk Allah, bahwa pernikahan ini adalah wasilah untuk menghindari keburukan-keburukan. Juga agar pilihan aku tidak salah.

Betapa hati tak was-was. Aku saat itu benar-benar payah. Keluarga isteri juga tidak berpunya. Singkatnya, hanya keyakinan pada Allah yang membuat aku berani mengambil keputusan.

Tentang nama anak-anak. Formulanya jelas: dari Al Quran. Menggunakan sejumlah nama surat dari Al Quran. Dan, kalau bisa, aku hapal surat-surat tersebut, bisa mendawamkannya, tanpa melihat mushaf.

Nama Alief Fadzjar Rachman, terdiri dari dua nama surat, masing-masing Ar Rahman dan Al Fajar. Sementara huruf alief digunakan sebagai awal dari kalimat pembuka Al Quran di kurang lebih 18 ayat. Banyak tafsir yang menyebutkan rahasia penggunaan huruf alief di awal surah. Bukan di sini tempat pengungkapannya.

Dulu, sebelum menikah, aku hapal kedua surat itu. Kini, yang tersisa hanya surat Al Fadzjar. Sementara surat Ar Rahman paling hapal 10-an ayat. Tapi agaknya tak akan teralu sulit, karena surat itu sering aku baca juga.

Ikhsan Yassien Fatihah lain lagi. Sempat menimbulkan keributan dengan banyak pihak, dan anehnya aku berdiri sendirian melawan kubu yang tak mendukung. Tapi justru keyakinan aku kian berkobar.

Pak Ustadz menyarankan agar aku mengalah, kompromi agar salah satu suku kata dari tiga kata itu dibuang.

Orang tua geleng-geleng kepala.

Isteriku, ketakutan, mendengar omongan tetangga bahwa nama itu terlalu berat, akan membuat si anak sakit-sakitan dan nakal luar biasa.

Oh, ya. Sebetulnya aku mengalah juga. Awalnya, aku ingin nama Ikhlas Yassien Fatihah (klop, semuanya nama surat di Al Quran). Atas saran seorang kawan, kata Ikhlas diganti saja dengan Ikhsan, toh, sama Islaminya. Oke aja....

Ketakutan isteriku terbukti, bila pikiran kita memang setuju. Betul, anakku yang bungsu sering sakit. Benar, si "Cina montok" (Ikhsan memang gemuk, putih, dan matanya sipit) itu juga buaduuung... Tapi bukan berarti karena namanya terlalu berat ---seperti takhayul orang-orang tua kita dulu. Biasa saja. Itu cobaan dari Allah.


Sering Berjamaan

Paling aku rindui adalah ketika memandikan mereka sore hari. Lelah kejar-kejaran, karena melawan tak mau buka baju, atau masih keasyikan main sepeda. Mamahnya tak sanggup, cuma bisa teriak: Papaaaaah.... anak-anak tuh, mandiin!

Lalu mendandani mereka. Memakainak baju koko lengkap (alhamdulillah, isteri yang pintar menghabiskan duit suami di toko baju, inget juga dengan pakaian sholat itu), mengenakan kopiah. Siap... Langsung berangkat ke Mushola terdekat. Berjamaah. Termasuk (kadang-kadang) si Ikhsan yang masih kecil juga diajak ikutan. Dia sungguh berbeda dengan kakaknya. Ketika orang-orang shalat, dia cuma duduk, diam, dan tak mengganggu. Kalau si Alief kadang-kadang mengganggu juga.

Selama ini, Kakanya sering aku ajak ke Masjid untuk sholat Jumat. Kalau si bungsu, baru dua kali. Kasihan, karena biasanya siang terik. Meski bawa motor, dia sering kelelahan dan tertidur....

Ya Allah, aku tahu firmanMU, anak, isteri kadang menjadi cobaan. Kuatkan dan jadikan selalu mereka penguat Imanku.

Rabbana, hoblana, minadjwadjien qurrota ayunin wadjalna lil muttaqiena imaman....Amien....