Jumat, Oktober 19, 2012

Selalu Rindu...

Selembar rambutmu bisa menyayat ulu hatiku. Rasa ingin bertemu menggerojok tanpa ampun. Tak kenal siang, tak hirau malam ---bayangmu melintas-lintas dalam benak. Mau susah, mau senang, sama saja ---selalu ingat kamu. Kadang aku tak tahu lagi, kondisi seperti apa yang membuat aku lepas dari segala detil perkara yang ada dalam dirimu. Tapi tentu saja, aku tidak memposisikan dirimu sebagai Tuhan.

Duniaku seperti dibangun oleh cinta yang terjerembab menjadi (sekedar) cita-cita.

Makin keras ingin lepas, kian kokoh rasa getir dalam hati. Padahal aku memiliki segunung alasan untuk membuang segala memori tentang kamu. Alasan bahwa aku teramat sayang dengan anak-anakku, sayang dengan isteriku, dan banyak lagi. Keluargaku, adalah pusat pencurahan energi dan segala ikhtiar yang terus kulakukan. Dan untuk semua itu aku merasa bahagia. Anak-anakku nyaris menjadi permata yang menyelamatkan. Isteri aku juga selalu mampu mendatangkan kebaikan.

Namun sepertinya dirimu telah terpancang dalam fondasi dasar kehidupanku, apapun yang ada di atasnya hanyalah pelengkap, sebab segalanya ada dalam dirimu. Hidupku roboh, bila fondasi cintaku terhadapmu merapuh.

Yang bisa aku lakukan kini adalah kompromi.

Semacam kemampuan untuk menggabungkan antara "fakta yang sebenar-benar nyata" (kebahagiaan dalam menjalani hidup normal bersama keluarga) dengan "fakta yang seolah-olah nyata" (yaitu menikmati cinta imajiner denganmu).

Aku kira ini bukan sejenis kejahatan. Tak ada ajaran Islam yang aku yakini dengan sungguh-sungguh, untuk merawat sejumlah cinta dengan cara baik-baik. Toh aku tak sanggup melakukan keburukan yang mengganggu orang-orang yang aku cintai. Cintaku adalah cita-citaku. Tercapai atau tidak, hanya Allah yang tahu. Dan aku tak pernah menyesal...

Pukulan Telak, Memalukan...

Sebuah keputusan yang aku sadar betul keliru. Sekaligus mengundangn rasa malu. Akan tetapi harus... dengan pertimbangan bela keluarga. Jika saja bukan faktor Orang Tua, Kakak, dan Adik, sumpah mati aku tak sudi. Jika ingat hal ini, perih.

Dan ternyata, aku tak memetik apapun dari semua itu, kecuali pukulan bertubi-tubi. Menjadi bahan pergunjingan kawan-kawan. Ditertawakan orang. Bulan-bulanan di media (massa) lokal Tangerang. Dan riwayat politik akupun tercoreng.

Sebelumnya, meski aku selalu kalah dalam politik, tetapi (mungkin) masih ada apresiasi yang bisa diberikan pihak lain. Setidaknya adalah konsistensi, dan pro terhadap perubahan-perubahan (juga sangat anti despotisme, yang merusak demokrasi). Tetapi mulai hari ini jelas, bahwa aku pun melakukan keburukan fatal sebagai aktivis politik. Loncat pagar, pindah partai dengan tiba-tiba (tanpa argumentasi intelektual apapun, kecuali bahwa demi membela keluarga). Dan akupun "merebut" kekuasaan dengan cara-cara politicking.

Lebih konyol lagi, secara tiba-tiba pula aku disingkirkan.

Dengan demikian, secara pribadi, aku hancur berkali-kali. Merasa melakukan sesuatu yang sangat tidak aku sukai ---tetapi terpaksa dilakukan. Lalu menjadi bahan cibiran. Dan kini dipermalukan.

Rasanya begitu kuat himpitan beban. Meski aneh juga, begitu mendengar aku disingkirkan dari gelanggang, selisir bisikan damai menyembul: bahwa sebaiknya pasrah saja. Tak bisa kita menghadang pusaran nasib. Jika Allah menghendaki, maka apapun bisa terjadi, termasuk tusukan yang membuat nyeri diri sendiri.

Harapan yang tersisa adalah Allah memberi kekuatan...