Jumat, Oktober 16, 2009

Mengundang Miyabi, Merindu Robert T Kiyosaki


ROBERT T Kiyosaki sukses menjual jutaan copy buku tentang investasi, seperti Miyabi sukses menjual seks!


Lebih dari sekedar buku, karya berjudul Rich Dad Poor Dad adalah saham terbesar yang menggelembungkan pundi-pundi kekayaan penulisnya. Terjual lebih dari 28 juta eksemplar dan beranak pinak dalam berbagai edisi ---dengan senantiasa bersandar pada Rich Dad Poor Dad. Senasib dengan siapapun di kolong langit ini, fenomena Kiyosaki memancing rasa penasaran manusia.


Sebuah pengakuan, dari Jhon T Read, praktisi Real Estate, menyebut beberapa dusta dalam buku Rich Dad Poor Dad. Menurutnya, Kiyosaki i tidak sekaya seperti pengakuan dalam buku perdananya itu. Justru, ledakan penjualan buku laku itulah yang menggelembungkan pundi-pundi uangnya. Omong-omong, hingga hari ini tak pernah jelas siapa sesungguhnya Ayah Kaya itu?


Pada 19 Mei 2006 televisi ABC menggelar Program bertajuk 20/20 Segment. Dalam acara ini, dipilih 3 orang pebisnis yang sudah dilatih Kiyosaki. Masing-masing dari mereka diberi modal US$ 1.000. Lantas diminta untuk menggunakan uang itu sesuai rumus dalam buku Rich Dad Poor Dad ---atau karya turunannya. Hasilnya: tak ada yang sukses. Seorang peserta kemudian mengaku: ajaran inti Kiyosaki hanya memberi kesempatan kita untuk "melek finansial", tanpa contoh konkrit bagaimana melipatgandakan uang.


Rakus Itu Bagus!

Lagipula fatwa-fatwa dalam buku Ayah Kaya Ayah Miskin itu membuat kaum agamawan "murka". Dalam kaidah bahasa, istilah dengan tanda petik barusan bermakna lebih kuat tinimbang sekedar marah.


Berani benar Kiyosaki memutarbalikkan sabda Yesus, meski hanya dengan tambahan satu kata saja. "Uang adalah akar segala kejahatan", menjadi: "Kekurangan Uang adalah Akar Segala Kejahatan." Seolah tak ada para santo, rahib, atau siapapun pengikut Yesus yang berani meninggalkan Kerajaan Dunia (dengan pelbagai kenikmatan, kekayaan) untuk menjemput Kerajaan Allah (dengan hidup asketis, juhud dalam bahasa Sufi, menjauhi materi duniawi). Atau, barangkali, Kiyosaki tak sempat membaca kisah Bunda Theresa, yang sanggup meninggalkan kenyamanan hidup di negerinya untuk menggarami kehidupan, menebar cinta kasih kepada kaum papa di Karala, India? Ah, masih banyak contoh lain tentang orang kaya yang berani miskin, baik dalam tradisi Kristen, Islam, Budha, Hindu, atau versi sosialis-komunis sekalipun!!!


Pikiran radikal mengundang serangan (atau pembelaan) radikal pula. Di ujung lain, ada nasehat dari Gordon Gekko ---ini tokoh fiktif dalam film Wall Street, dibintangi Michael Douglas, di era 80-an. Sebagai tokoh bengis dalam film tentang para broker di lantai bursa New York, Gordon Gekko berucap sinis: rakus itu bagus!


Lalu kalaupun teori Kiyosaki salah, jangan khawatir. Pemenang Hadiah Nobel Tahun 2002, Joseph Stiglitz, menggumam jengkel. Bahwa "gagasan buruk dalam ilmu ekonomi selalu bertahan lama..." Buktinya ramalan Nabi Komunisme, Karl Marx, bahwa kapitalisme akan runtuh malah yang terjadi sebaliknya, komunisme-lah yang ambruk. Tapi buku Marx masih dibaca dan dicetak ulang hingga kini. Jangan-jangan, buku Kiyosaki akan bernasib sama ----untuk itu, ia selalu beruntung. Nah, kini terserah pilihan anda...



Miyabi
Saya sengaja tak mau menyebut nama produser, atau pengundang Miyabi ke Indonesia, dalam artikel ini. Cukup menyebutnya dengan istilah orang. Bukan karena takut. Melainkan muak, terhadap siapa saja yang berencana memetik popularitas dengan cara-cara kacangan. Merusak modal sosial rakyat, menistakan Trust, saling kepercayaan terhadap sesama ummat ---Kristen, Islam, Budha, Hindu, atau Konghucu sekalipun.


Duh, bukan sok fanatik! Tetapi ini saja: dengan menyebut nama orangnya, justru memenuhi keinginan si orang tersebut, yang ingin namanya melambung.


Paling banter, bantal argumentasi "si orang itu" pasti tak jauh dari dalil kebebasan berekspresi. Mari lacak, dalam khasanah perfilm-an, film bagus justru tak melulu mengeset ikon pornografi. Tengoklah Iran, negeri yang barangkali ortodok dalam menerapkan kebebasan. Berapa film berkualitas dari negeri ini mampu menyabet tropi bergengsi, sekelas Piala Cannes, atau dari ajang level internasional lainnya. Bagaimana dengan kita, yang bahkan menayang perempuan berbikini di televisi persis di jam belajar anak-anak?


Masih tentang si orang itu. Ia pastilah penganut filsafat Helensitik berusia ribuan tahun lalu (300-an tahun Sebelum Masehi). Memandang kecerdasan perempuan pada kecantikannya, dan melihat kecantikan laki-laki pada kecerdasannya. Semata-mata memperlakukan perempuan sebagai komoditas, dan Miyabi adalah ikon dari komoditas laku di internet berawalan kata seks.


Kejengkelan masih panjang. Jauh dari sifat kontroversi yang sudah-sudah ---dan negeri ini gudang segala ajang perseteruan pendapat. Tak ada pelajaran atau hikmah atau pencerahan apapun dari Mengundang Miyabi.

Seorang artis perempuan dengan konyol berucap: Miyabi kan turis asing yang harus diterima... Susah memang, bila kita tak bisa membedakan makna simbol, makna ikon, dan makna pesan tersembunyi. Miyabi bukanlah turis biasa yang bisa kita sambut dengan senyum ramah. Nama itu bahkan telah menjadi identitas spesifik di dunia maya. Tepatnya menjadi brand awarness. Jutaan orang di Indonesia, menurut sejumlah versi, pernah meng-klik nama ini di mesin pencari Google ---dengan tujuan yang sudah kita mahfum, pemuasan fantasi laki-laki.


Artinya: ada pelecehan simbolik dalam mengundang Miyabi. Simbol melawan simbol. Identitas versus identits. Makna menabrak makna.


Itupun bila kita sepakat bahwa masyarkat Indonesia masih lekat dengan simbol ketimuran, sopan santun, dan kesucian seksualitas. Dalam urusan ini, mestinya ada kerelaan dari multipihak, untuk menjaga tenggang rasa. Negeri ini lelah dengan berbagai konflik. Untuk apa ditambahi dengan sesuatu yang tidak perlu. Tak ada urgensi apapun, dan tak ada sebulir kerugian apapun bila Miyabi tak datang.


Karpet merah panjang membentang andaikata anak-anak bangsa ini mengundang orang-orang yang mewakili simbol kreativitas, inovasi, penggagas, penemu, yang memuaskan nalar serta meletupkan spirit kemanusiaan.


Misalnya Robert T Kiyosaki. Meski tak semua pendapatnya sahih, tapi ia mengusung ide baru. Semisal pandangannya yang membabat habis asumsi pendidikan bermazhab kuno (sekolah untuk jadi pegawai, untuk jadi suruhan orang lain). Atau siapa saja. Harap maklum, kita baru bisa mengundang orang-orang besar (seperti Bill Gates, Muhammad Yunus, mungkin nanti Barack Obama). Tapi itu pun sudah bagus. Asal jangan Mengundang Miyabi....

Selasa, Oktober 13, 2009

Resensi Buku: Politik Infrastruktur


ALAM mengamuk, negeri ini nyaris remuk. Di sana-sini, spasi ruang Indonesia seperrti bopeng. Sisi terjelas akibat natural dissaster (gangguan alam) itu adalah infrastruktur yang luluh lantak. Meninggalkan beban besar untuk semua pihak. Seperti yang sudah-sudah, proses mitigasi (penanggulangan paska bencana) adalah melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi terhadap fasilitas publik yang berbentuk fisik (infrastruktur jalan, telekomunikasi, kesehatan, pendidikan, dan lain sebagainya).

Namun bukan berarti segalanya tamat. Justru kerusakan infrastruktur adalah pelajaran berharga. Dunia mencatat dengan detil, ketika Amerika Serikat, Eropa, dan paruh lain di berbagai belahan dunia hancur akibat perang, justru “proyek” pembangunan infrastruktur mejadi penyelamat. Melalui The Marshall Plan (dengan titik berat pembangunan infrastruktur), negara-negara yang limbung akibat peperangan dahsyat itu mampu bangkit.

Di era terdekat, ada contoh bagus dari Thailand. Negeri Gajah Putih itu nyaris terhempas gara-gara krisis moneter di 97-98 ---sebagaimana juga negara Asia Tenggara lainnya, termasuk Indonesia. Namun beruntung, para pemimpin politik di negeri jiran itu memilih langkah cerdas: menghela pembangunan infrastruktur sebagai penyelamatan krisis. Mereka berhasil ---terbalik dengan Indonesia, yang justru di saat itu takluk terhadap formula IMF, dan menyisakan sedikit anggaran untuk pembangunan infrastruktur.

Pelajaran kelam juga bisa dipetik dari China. Betapa paska revolusi merah dan keganasan rezim Mao, negara tirai bambu ini terjebak dalam ekonomi yang tertutup, terkomando, dengan hasil menyedihkan. Beruntung, pengganti Mao, yaitu Deng Xiaoping, melakukan terobosan bagus, menggenjot pembangunan infrastruktur di negerinya. Ia bahkan belajar ke pelosok bumi, termasuk meminta nasehat kepada Lee Kwan Yew (Perdana Menteri Singapura saat itu). Hasilnya jelas, China kini menjadi kekuatan baru perekonomian global.

Bilakah Indonesia, dengan segenap potensi yang meruah, dan juga pengalaman pahit akibat gempa-tsunami-banjir itu bangkit? Seraya memetik pengalaman negara lain, yaitu mendorong (dengan kekuatan penuh) pembangunan infrastrukturnya? Ringkasnya: mengucurkan APBN dalam proporsi besar untuk proyek infrastruktur, memangkas rantai birokrasi yang terlalu panjang, memetakan tata ruang yang tepat, mengundang sebayak-banyaknya investasi asing, dan merangkul partisipasi publik di dalamnya. Buku ini dengan terperinci mengulas poin-poin yang baru saja disebutkan.

Tawaran Tinggi
Padat kata, buku ini mengusung misi tegas ---hampir tanpa kompromi. Meneriakkan dengan lantang, agar segenap kekuatan bangsa tersadar dari khayal panjang. Di halaman belakang, BAB IX, Rekomendasi, menyatakan bahwa perjuangan infrastruktur adalah perjuangan untuk menggolkan alokasi APBN sebesar minimal 15% dari APBN ---sedikit di bawah anggaran pendidikan. Dasar asumsinya: pembangunan infrastruktur menjadi urat nadi dan menggerakan laju pertumbuhan ekonomi. Meminta dengan argumentasi panjang, agar kepemimpinan Indonesia, anggota parlemen, media massa, LSM, dan komponen civil society lainnya berada dalam arus yang sama, memperjuangkan anggaran besar untuk program infrastruktur nasional.

Di bagian lain, BAB VIII, Paradigma Infrastrutur Indonesia, membedah tuntas asumsi-asumsi teoritik, baik dari perspetif ekonomi, politik, otonomi daerah, financial, fiskal, dan termasuk juga struktur birokrasi, yang mengharuskan lahirnya “perspektif baru” atas fenomena infrastruktur Indonesia. Termasuk mengurai berbagai tantangan dan hambatan yang menjadi realitas menjengkelkan di negeri ini ---seperti korupsi, ketidakcakapan manajemen, kekurangan sumber daya manusia, dan otonomi yang kebablasan. Hal-hal itu, menurut buku ini, menjadi penghambat dominan atas suksesnya pembangunan infrastruktur di nusantara ini.

Secara keseluruhan, buku ini terdiri dari sembilan bab. Masing-masingnya: BAB I Pendahuluan; BAB II Infrastruktur dan Pertumbuhan Ekonomi; BAB III Politik Infrastruktur; BAB IV Gambaran Besar Infrastruktur Indonesia; BAB V Kinerja Komisi V DPR RI, BAB VI Anggaran Infrastruktur; BAB VII , BAB VIII Politik Infrastruktur; BAB IX Rekomendasi. Kesemua pembagian bab tersebut terikat dalam benang merah yang sama: asumsi, teori, dan argumentasi tentang pentingnya pembangunan infrastruktur menjadi panglima di negeri ini.

Sisi Lain
Buku ini adalah dokumen yang representatif. Selain bersumber pada laporan-laporan pemerintah yang membidangi isu infrastruktur, kutipan dari media massa, hasil pengamatan lapangan, dan perbandingan dengan negara lain, juga mencantumkan dialektika dan proses politik di parlemen, yaitu di Komisi V DPR RI (membidangi infrastruktur ke-PU-an, dan transportasi).

Ternyata ada masalah krusial di parlemen, menyangkut tugas mereka di bidang legislasi (pembuatan undang-undang), anggaran, dan pengawasan terhadap program kerja pemerintah. Di Komisi V, sebagaimana terurai dalam buku ini, isu infrastruktur adalah isu seksi. Mengingat besarnya alokasi dana yang dibutuhkan. Tak heran, banyak anekdot dialamatkan ke Komisi V ini, seperti sebutan sebagai “komisi basah”.

Namun, satu hal yang kurang diketahui publik, bahwa kerapkali usulan dari Komisi V mentok ---mendapat respon lamban dari pemerintah, atau bahkan terabaikan sama sekali. Tak sedikit anggota Komisi V mengeluh, bahwa aspirasi dari konstituen mereka di daerah tidak terealisasi, karena tidak mendapat tindak lanjut dari pemerintah. Sisi lain, juga mengurai masalah “pertarungan” dalam meloloskan anggaran. Kepentingan pemerintah, vested interest dari partai politik, dan maneuver dari Anggota Komisi V, sering mewarnai pembahasan di bidang anggaran infrastruktur.

Catatan akhir, buku ini (semoga) menjadi tradisi baru di DPR RI. Sebelumnya, laporan kerja DPR RI, termasuk yang bersumber dari setipa komisi, terpatok sebagai dokumen kedinasan semata. Kering dari paparan argumentasi, miskin analisis, dan ditulis dengan bahasa kering. Beda dengan buku ini, yang diperkaya dengan segala macam dokumen ---bersumber dari dalam maupun luar DPR RI. Lagipula, tidak berwajah tunggal, melainkan mencantumkan analisis dan kritik terhadap kinerja dewan. Sayangnya, terlalu banyak pengulangan tematik ---agaknya memperlihatkan semangat menggebu--- tentang pentingnya Infrastruktur menjadi panglima pembangunan ekonomi Indonesia. Juga di sana-sini berhamburan tabel atau data statistik yang mengganggu, dalam ukuran merampas seluruh halaman. Padahal, itu bisa disiasati dengan deskripsi secara paragrafis.

Panglima Ekonomi Terkini, Perjuangan Infrastruktur

ALAM mengamuk, negeri ini nyaris remuk. Di sana-sini, spasi ruang Indonesia seperrti bopeng. Sisi terjelas akibat natural dissaster (gangguan alam) itu adalah infrastruktur yang luluh lantak. Meninggalkan beban besar untuk semua pihak. Seperti yang sudah-sudah, proses mitigasi (penanggulangan paska bencana) adalah melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi terhadap fasilitas publik yang berbentuk fisik (infrastruktur jalan, telekomunikasi, kesehatan, pendidikan, dan lain sebagainya).

Namun bukan berarti segalanya tamat. Justru kerusakan infrastruktur adalah pelajaran berharga. Dunia mencatat dengan detil, ketika Amerika Serikat, Eropa, dan paruh lain di berbagai belahan dunia hancur akibat perang, justru “proyek” pembangunan infrastruktur mejadi penyelamat. Melalui The Marshall Plan (dengan titik berat pembangunan infrastruktur), negara-negara yang limbung akibat peperangan dahsyat itu mampu bangkit.

Di era terdekat, ada contoh bagus dari Thailand. Negeri Gajah Putih itu nyaris terhempas gara-gara krisis moneter di 97-98 ---sebagaimana juga negara Asia Tenggara lainnya, termasuk Indonesia. Namun beruntung, para pemimpin politik di negeri jiran itu memilih langkah cerdas: menghela pembangunan infrastruktur sebagai penyelamatan krisis. Mereka berhasil ---terbalik dengan Indonesia, yang justru di saat itu takluk terhadap formula IMF, dan menyisakan sedikit anggaran untuk pembangunan infrastruktur.

Pelajaran kelam juga bisa dipetik dari China. Betapa paska revolusi merah dan keganasan rezim Mao, negara tirai bambu ini terjebak dalam ekonomi yang tertutup, terkomando, dengan hasil menyedihkan. Beruntung, pengganti Mao, yaitu Deng Xiaoping, melakukan terobosan bagus, menggenjot pembangunan infrastruktur di negerinya. Ia bahkan belajar ke pelosok bumi, termasuk meminta nasehat kepada Lee Kwan Yew (Perdana Menteri Singapura saat itu). Hasilnya jelas, China kini menjadi kekuatan baru perekonomian global.

Bilakah Indonesia, dengan segenap potensi yang meruah, dan juga pengalaman pahit akibat gempa-tsunami-banjir itu bangkit? Seraya memetik pengalaman negara lain, yaitu mendorong (dengan kekuatan penuh) pembangunan infrastrukturnya? Ringkasnya: mengucurkan APBN dalam proporsi besar untuk proyek infrastruktur, memangkas rantai birokrasi yang terlalu panjang, memetakan tata ruang yang tepat, mengundang sebayak-banyaknya investasi asing, dan merangkul partisipasi publik di dalamnya. Buku ini dengan terperinci mengulas poin-poin yang baru saja disebutkan.

Tawaran Tinggi
Padat kata, buku ini mengusung misi tegas ---hampir tanpa kompromi. Meneriakkan dengan lantang, agar segenap kekuatan bangsa tersadar dari khayal panjang. Di halaman belakang, BAB IX, Rekomendasi, menyatakan bahwa perjuangan infrastruktur adalah perjuangan untuk menggolkan alokasi APBN sebesar minimal 15% dari APBN ---sedikit di bawah anggaran pendidikan. Dasar asumsinya: pembangunan infrastruktur menjadi urat nadi dan menggerakan laju pertumbuhan ekonomi. Meminta dengan argumentasi panjang, agar kepemimpinan Indonesia, anggota parlemen, media massa, LSM, dan komponen civil society lainnya berada dalam arus yang sama, memperjuangkan anggaran besar untuk program infrastruktur nasional.

Di bagian lain, BAB VIII, Paradigma Infrastrutur Indonesia, membedah tuntas asumsi-asumsi teoritik, baik dari perspetif ekonomi, politik, otonomi daerah, financial, fiskal, dan termasuk juga struktur birokrasi, yang mengharuskan lahirnya “perspektif baru” atas fenomena infrastruktur Indonesia. Termasuk mengurai berbagai tantangan dan hambatan yang menjadi realitas menjengkelkan di negeri ini ---seperti korupsi, ketidakcakapan manajemen, kekurangan sumber daya manusia, dan otonomi yang kebablasan. Hal-hal itu, menurut buku ini, menjadi penghambat dominan atas suksesnya pembangunan infrastruktur di nusantara ini.

Secara keseluruhan, buku ini terdiri dari sembilan bab. Masing-masingnya: BAB I Pendahuluan; BAB II Infrastruktur dan Pertumbuhan Ekonomi; BAB III Politik Infrastruktur; BAB IV Gambaran Besar Infrastruktur Indonesia; BAB V Kinerja Komisi V DPR RI, BAB VI Anggaran Infrastruktur; BAB VII , BAB VIII Politik Infrastruktur; BAB IX Rekomendasi. Kesemua pembagian bab tersebut terikat dalam benang merah yang sama: asumsi, teori, dan argumentasi tentang pentingnya pembangunan infrastruktur menjadi panglima di negeri ini.

Sisi Lain
Buku ini adalah dokumen yang representatif. Selain bersumber pada laporan-laporan pemerintah yang membidangi isu infrastruktur, kutipan dari media massa, hasil pengamatan lapangan, dan perbandingan dengan negara lain, juga mencantumkan dialektika dan proses politik di parlemen, yaitu di Komisi V DPR RI (membidangi infrastruktur ke-PU-an, dan transportasi).

Ternyata ada masalah krusial di parlemen, menyangkut tugas mereka di bidang legislasi (pembuatan undang-undang), anggaran, dan pengawasan terhadap program kerja pemerintah. Di Komisi V, sebagaimana terurai dalam buku ini, isu infrastruktur adalah isu seksi. Mengingat besarnya alokasi dana yang dibutuhkan. Tak heran, banyak anekdot dialamatkan ke Komisi V ini, seperti sebutan sebagai “komisi basah”.

Namun, satu hal yang kurang diketahui publik, bahwa kerapkali usulan dari Komisi V mentok ---mendapat respon lamban dari pemerintah, atau bahkan terabaikan sama sekali. Tak sedikit anggota Komisi V mengeluh, bahwa aspirasi dari konstituen mereka di daerah tidak terealisasi, karena tidak mendapat tindak lanjut dari pemerintah. Sisi lain, juga mengurai masalah “pertarungan” dalam meloloskan anggaran. Kepentingan pemerintah, vested interest dari partai politik, dan maneuver dari Anggota Komisi V, sering mewarnai pembahasan di bidang anggaran infrastruktur.

Catatan akhir, buku ini (semoga) menjadi tradisi baru di DPR RI. Sebelumnya, laporan kerja DPR RI, termasuk yang bersumber dari setipa komisi, terpatok sebagai dokumen kedinasan semata. Kering dari paparan argumentasi, miskin analisis, dan ditulis dengan bahasa kering. Beda dengan buku ini, yang diperkaya dengan segala macam dokumen ---bersumber dari dalam maupun luar DPR RI. Lagipula, tidak berwajah tunggal, melainkan mencantumkan analisis dan kritik terhadap kinerja dewan. Sayangnya, terlalu banyak pengulangan tematik ---agaknya memperlihatkan semangat menggebu--- tentang pentingnya Infrastruktur menjadi panglima pembangunan ekonomi Indonesia. Juga di sana-sini berhamburan tabel atau data statistik yang mengganggu, dalam ukuran merampas seluruh halaman. Padahal, itu bisa disiasati dengan deskripsi secara paragrafis.

Panglima Ekonomi Terkini, Perjuangan Infrastruktur

ALAM mengamuk, negeri ini nyaris remuk. Di sana-sini, spasi ruang Indonesia seperrti bopeng. Sisi terjelas akibat natural dissaster (gangguan alam) itu adalah infrastruktur yang luluh lantak. Meninggalkan beban besar untuk semua pihak. Seperti yang sudah-sudah, proses mitigasi (penanggulangan paska bencana) adalah melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi terhadap fasilitas publik yang berbentuk fisik (infrastruktur jalan, telekomunikasi, kesehatan, pendidikan, dan lain sebagainya).

Namun bukan berarti segalanya tamat. Justru kerusakan infrastruktur adalah pelajaran berharga. Dunia mencatat dengan detil, ketika Amerika Serikat, Eropa, dan paruh lain di berbagai belahan dunia hancur akibat perang, justru “proyek” pembangunan infrastruktur mejadi penyelamat. Melalui The Marshall Plan (dengan titik berat pembangunan infrastruktur), negara-negara yang limbung akibat peperangan dahsyat itu mampu bangkit.

Di era terdekat, ada contoh bagus dari Thailand. Negeri Gajah Putih itu nyaris terhempas gara-gara krisis moneter di 97-98 ---sebagaimana juga negara Asia Tenggara lainnya, termasuk Indonesia. Namun beruntung, para pemimpin politik di negeri jiran itu memilih langkah cerdas: menghela pembangunan infrastruktur sebagai penyelamatan krisis. Mereka berhasil ---terbalik dengan Indonesia, yang justru di saat itu takluk terhadap formula IMF, dan menyisakan sedikit anggaran untuk pembangunan infrastruktur.

Pelajaran kelam juga bisa dipetik dari China. Betapa paska revolusi merah dan keganasan rezim Mao, negara tirai bambu ini terjebak dalam ekonomi yang tertutup, terkomando, dengan hasil menyedihkan. Beruntung, pengganti Mao, yaitu Deng Xiaoping, melakukan terobosan bagus, menggenjot pembangunan infrastruktur di negerinya. Ia bahkan belajar ke pelosok bumi, termasuk meminta nasehat kepada Lee Kwan Yew (Perdana Menteri Singapura saat itu). Hasilnya jelas, China kini menjadi kekuatan baru perekonomian global.

Bilakah Indonesia, dengan segenap potensi yang meruah, dan juga pengalaman pahit akibat gempa-tsunami-banjir itu bangkit? Seraya memetik pengalaman negara lain, yaitu mendorong (dengan kekuatan penuh) pembangunan infrastrukturnya? Ringkasnya: mengucurkan APBN dalam proporsi besar untuk proyek infrastruktur, memangkas rantai birokrasi yang terlalu panjang, memetakan tata ruang yang tepat, mengundang sebayak-banyaknya investasi asing, dan merangkul partisipasi publik di dalamnya. Buku ini dengan terperinci mengulas poin-poin yang baru saja disebutkan.

Tawaran Tinggi
Padat kata, buku ini mengusung misi tegas ---hampir tanpa kompromi. Meneriakkan dengan lantang, agar segenap kekuatan bangsa tersadar dari khayal panjang. Di halaman belakang, BAB IX, Rekomendasi, menyatakan bahwa perjuangan infrastruktur adalah perjuangan untuk menggolkan alokasi APBN sebesar minimal 15% dari APBN ---sedikit di bawah anggaran pendidikan. Dasar asumsinya: pembangunan infrastruktur menjadi urat nadi dan menggerakan laju pertumbuhan ekonomi. Meminta dengan argumentasi panjang, agar kepemimpinan Indonesia, anggota parlemen, media massa, LSM, dan komponen civil society lainnya berada dalam arus yang sama, memperjuangkan anggaran besar untuk program infrastruktur nasional.

Di bagian lain, BAB VIII, Paradigma Infrastrutur Indonesia, membedah tuntas asumsi-asumsi teoritik, baik dari perspetif ekonomi, politik, otonomi daerah, financial, fiskal, dan termasuk juga struktur birokrasi, yang mengharuskan lahirnya “perspektif baru” atas fenomena infrastruktur Indonesia. Termasuk mengurai berbagai tantangan dan hambatan yang menjadi realitas menjengkelkan di negeri ini ---seperti korupsi, ketidakcakapan manajemen, kekurangan sumber daya manusia, dan otonomi yang kebablasan. Hal-hal itu, menurut buku ini, menjadi penghambat dominan atas suksesnya pembangunan infrastruktur di nusantara ini.

Secara keseluruhan, buku ini terdiri dari sembilan bab. Masing-masingnya: BAB I Pendahuluan; BAB II Infrastruktur dan Pertumbuhan Ekonomi; BAB III Politik Infrastruktur; BAB IV Gambaran Besar Infrastruktur Indonesia; BAB V Kinerja Komisi V DPR RI, BAB VI Anggaran Infrastruktur; BAB VII , BAB VIII Politik Infrastruktur; BAB IX Rekomendasi. Kesemua pembagian bab tersebut terikat dalam benang merah yang sama: asumsi, teori, dan argumentasi tentang pentingnya pembangunan infrastruktur menjadi panglima di negeri ini.

Sisi Lain
Buku ini adalah dokumen yang representatif. Selain bersumber pada laporan-laporan pemerintah yang membidangi isu infrastruktur, kutipan dari media massa, hasil pengamatan lapangan, dan perbandingan dengan negara lain, juga mencantumkan dialektika dan proses politik di parlemen, yaitu di Komisi V DPR RI (membidangi infrastruktur ke-PU-an, dan transportasi).

Ternyata ada masalah krusial di parlemen, menyangkut tugas mereka di bidang legislasi (pembuatan undang-undang), anggaran, dan pengawasan terhadap program kerja pemerintah. Di Komisi V, sebagaimana terurai dalam buku ini, isu infrastruktur adalah isu seksi. Mengingat besarnya alokasi dana yang dibutuhkan. Tak heran, banyak anekdot dialamatkan ke Komisi V ini, seperti sebutan sebagai “komisi basah”.

Namun, satu hal yang kurang diketahui publik, bahwa kerapkali usulan dari Komisi V mentok ---mendapat respon lamban dari pemerintah, atau bahkan terabaikan sama sekali. Tak sedikit anggota Komisi V mengeluh, bahwa aspirasi dari konstituen mereka di daerah tidak terealisasi, karena tidak mendapat tindak lanjut dari pemerintah. Sisi lain, juga mengurai masalah “pertarungan” dalam meloloskan anggaran. Kepentingan pemerintah, vested interest dari partai politik, dan maneuver dari Anggota Komisi V, sering mewarnai pembahasan di bidang anggaran infrastruktur.

Catatan akhir, buku ini (semoga) menjadi tradisi baru di DPR RI. Sebelumnya, laporan kerja DPR RI, termasuk yang bersumber dari setipa komisi, terpatok sebagai dokumen kedinasan semata. Kering dari paparan argumentasi, miskin analisis, dan ditulis dengan bahasa kering. Beda dengan buku ini, yang diperkaya dengan segala macam dokumen ---bersumber dari dalam maupun luar DPR RI. Lagipula, tidak berwajah tunggal, melainkan mencantumkan analisis dan kritik terhadap kinerja dewan. Sayangnya, terlalu banyak pengulangan tematik ---agaknya memperlihatkan semangat menggebu--- tentang pentingnya Infrastruktur menjadi panglima pembangunan ekonomi Indonesia. Juga di sana-sini berhamburan tabel atau data statistik yang mengganggu, dalam ukuran merampas seluruh halaman. Padahal, itu bisa disiasati dengan deskripsi secara paragrafis.

Senin, Oktober 05, 2009

Krakatau, Ketika Dunia Meledak!


"PERADABAN manusia," tulis Will Durant, "ada atau tidak ada tergantung dari restu geologis." Tentu saja. Manusia bisa lenyap meski telah membangun benteng kota seteguh Kota Add versi Kaum Tsamud, di zaman Nabi Sholeh (ketika permukaan bumi terbalik ---setidaknya begitu versi Kitab Suci).

Dan fenomena geologis yang kacau adalah rentetan bencana tanpa banding.

Kejahatan yang bersumber atau karena kelalaian manusia, belum sanggup mengubur peradaban. Diukur dari skala pengaruh, kecepatan, jumlah korban binasa, dan terutama dampak jangka panjang yang menyertai.

Korban kudeta berdarah sekalipun, terutama di era negara bangsa moderen kini, agak kurang dahsyat dibanding, misalnya, guncangan gempa dan amukan badai. Peristiwa Tsunami 2004, di Bumi Nanggroe Aceh Darussalam misalnya, yang menewaskan ratusan ribu orang, adalah ratusan kali lipat lebih besar dibanding jumlah yang tewas dalam Pesawat Adam Air yang hilang.

Butuh puluhan kecelakaan tol, atau kebakaran se-kecamatan di kawasan padat, untuk melampaui jumlah tewas yang terjadi di Padang hari ini. Angka lima ratus orang meninggal tidaklah sedikit. Meski, lelucon sinis mengatakan: koraban tewas 10 orang adalah berita, 100 orang adalah tragedi, dan 1000 orang adalah statistik!

Anda bisa mendebat. Bagaimana dengan ancaman nuklir, yang kini bisa ribuan kali lebih membinasakan dibanding peritiwa Hirosima dan Nagasaki? Tenang, itu bukan ancaman sebenarnya, kata Arnold Toynbee, dalam kata pengantar untuk buku Jerit Perdamaian, tentang penderitaan korban perang di Jepang. Mengapa? Karena kalau terjadi perang nuklir, tak akan ada pemenang yang sesungguhnya. Semua akan binasa. Tak akan ada rezim konyol yang mengawali perang untuk kemusnahan negerinya sendiri.

Ingatan mungkin akan melayat ke tindakan brutal Hitler, pembantaian Yahudi ---horor Holocaust. Atau data-data kontroversial akibat kebrutalan perang saudara di Indonesia paska G30S, atau "the killing field-nya" Polpot, revolusi budaya Mao Tsetung, dan serangkaian aksi penjagal dan konflik rasial di muka bumi ini. Baiklah, barangkali ribuan manusia binasa. Tetapi itu terjadi dalam proses yang memakan waktu. Beda dengan amukan alam, sekali ledakan, blarrr!


Krakatau
Dunia meledak, di Agustus 1883. Letupan lahar menyemburat ke ujung langit, sampai-sampai nelayan di pasifik mengira di seberang sana ada api neraka. Lelehan magma meluber. Uap panas, hujan debu, belerang, dioksida, fosfor, dan belerang, membumbung hingga empat bulan, membentuk suatu catastrophe (seperti tutupan atap di atmosfer). Letusan Krakatau bahkan secara fisik terasa hingga ke Australia, Manila, dan pulau-pulau kecil di Afrika. Korban tewas saat itu mencapai 36 ribu (ingat, populasi Batavia waktu itu cuma ratusan ribu orang). Konon, bukti-bukti vulkanologis yang tersedia menyebut ledakan itu adalah kelima terbesar sepanjang sejarah. Empat yang lainnya...terjadi di zaman Purba.

Bukan peristiwa itu yang menarik ---setidaknya bagi kita, bangsa pelupa.

Buku Simon Winchester, diterbitkan Serambi, Tahun 2006, ini mengabarkan potensi yang mengancam. Hari ini, Gunung Rakata, yang muncul-membesar-mengancam dari reruntuhan "ibunya" yaitu Gunung Krakatau, kini telah berusia matang. Tak bisa dipastikan si anak baru ini berperilaku sopan ---tak seperti pendahulunya yang memuntahkan bebatuan panas dan menimbulkan Tsunami setinggi belasan meter di Selat Sunda. Dengan keliahan bertutur disertai dokumentasi klasik, penulis buku ini membuat telaah sejarah. Menurutnya, gugusan gunung di ujung barat Pulau Jawa itu telah belasan kali berulah. Sebelum "kiamat" di 1883 itu, Krakatau (atau apapun namanya) pernah pula meledak di Tahun 1600-an. Artinya? Hitungan matematika dasar akan menyebut: terjadi siklus 200 tahunan, untuk mengulang letupan Krakatau. Kini, nyaris 1,5 abad lebih setelah ledakan Krakatau di 1883 itu.

Bagaimana prediksi pakar?

Marco Fulle (51) ilmuwan, astronomer, dan pakar gunung api, dari Italia, mencoba mengingatkan bahayanya letusan Krakatau.

“Ledakan seperti 1883 bakal terjadi lagi. Krakatau akan menjadi sangat berbahaya jika tingginya sudah setara dengan ketinggian 1883, atau dua kali dari tinggi sekarang,” katanya. Meskipun begitu, tidak ada jaminan ledakan tidak terjadi dalam waktu dekat.

Bahkan ada nujuman yang lebih mendebarkan. Ramalan Drosnin, Gilbert, atau nubuat Bangsa Maya, tentang ancaman 2012 barangkali lebih cepat dibanding siklus dua abad versi Krakatau. Meskipun temanya tetap sama: kekacauan alam semesta ini.

Pikiran waras kita akan buru-buru berdoa, atas nama agama atau Tuhan apa saja, agar seperti ramalan sejenis lainnya, hitung-hitungan berbau klenik itupun (kembali) melenceng. Sepusing apapun, hiduplah terus. Utang masih bisa dibayar. Lantaran anda tak bisa menyewa pengacara jika badai taufan menghumbalang di kampung halaman.


Petikan Hikmah
Seperti solidaritas dunia terhadap Ranah Minang saat ini, seperti perdamaian Helsinki paska Tsunami Aceh, bencana-bencana besar senantiasa menyembulkan hikmah. Luberan lahar meneburkan lapisan humus yang menyuburkan tanah pertanian, seperti yang terjadi setelah Galunggung (di Jawa Barat) meletus. Dulu, ledakan Krakatau juga melahirkan dampak sampingan yang sama-sama luar biasa.

Buku ini menyulam dengan halus, fakta-fakta filologi (naskah kuno), gulungan catatan klasik, koleksi pamflet, laporan telegraf dari Kumpeni Belanda, sampai studi vulkanologi dan rekaman sejarah yang sangat ilmiah. Menghadirkan fakta-fakta menarik seputar bencana Krakatau.

Beberapa diantaranya kontroversial. Seperti pembuktian bahwa era globalisasi yang disebut bak mantra oleh manusia penggila internet kini, bermula dari Krakatau. Saat itu adalah era Victorian, di kala koran-koran Eropa punya kontributor di negeri terjauh ---termasuk di Kota Batavia. Guncangan Krakatau adalah peristiwa dalam sejarah yang informasinya tersebar cepat, karena kiriman berita via telegraf (yang belum lama diciptakan).

Dampak Krakatau juga berdimensi politik, mungkin sama dengan penandatanganan damai antara GAM dan Pemerintah RI. Bedanya, yang di Aceh adalah gencatan senjata, sementara di Tatar Sunda malah angkat senjata. Menurut buku ini, lima tahun setelah letupan Krakatau, terjadi Geger Cilegon, perlawanan kaum tani dan Kyai di Banten terhadap kolonialisme Belanda. Lahar Krakatau menggelegak dalam pemberontakan itu, karena keyakinan bahwa alam marah atas tingkah-polah penjajah.

Petikan menarik dari dampak Krakatau, adalah lahirnya kekayaan vegetasi (biodiversity) baru di ujung barat Pulau Jawa itu. Setelah luluh lantak, dan menyisakan abu vulkanik, batu panas, pohon yang merangas, serta semak berarang, justru muncul kehidupan baru di pulau itu. Kehidupan laba-laba, tumbuhan dan burung, lalu lama-lama berubah menjadi hutan belantara. Tak akan pernah habis pikir kita tentang bagaimana binatang dan tumbuhan itu sampai pulau itu. Bagaimana mereka bisa melintasi lautan meninggalkan induknya di seberang sana.


Catatan:
Simon Winchester, penulis buku ini, adalah kelahiran Skotlandia yang menyelesaikan studinya di Jurusan Geologi Universitas Oxford, Inggris. Penulis berjuluk The Madman Professor ini telah banyak menulis petualangannya di berbagai penjuru dunia untuk National Geographic, Conde Nats Traveler, dan Smithsonian, juga telah menyelesaikan 18 buku.

Jumat, Oktober 02, 2009

Syekh Nawawi, Intelektual Banten Yang Kesepian


EMHA Ainun Nadjib pernah berseloroh, nama-nama perguruan tinggi negeri di Indonesia jarang yang menggunakan nama tokoh intelektual atau para pemikir besar. Kebanyakan justru memakai nama penguasa atau para penakluk di masa silam. Apakah ini gambaran kekurang-hormatan kita terhadap kecendekiawanan?


Jika diurut kacang, kemunculan kampus dengan para tokoh intelegensia Indonesia, baru belakangan hadir. Itupun terjadi pada kampus-kampus kelas mediocre, bahkan salah satu diantaranya menjadi sarang tawuran mahasiswa. Kita sebut saja, misalnya, Universitas Bung Karno. Lalu yang lain, Universitas Bung Hata. Sementara perguruan tinggi berkelas, memakai nama “pahlawan perang”. Semisal Universitas Gadjah Mada dan Universitas Sultan Hasanuddin. (Tetapi, selalu ada perkecualian, Universitas Sam Ratulangi, Manado, yang memakai nama seorang Doktor Matematika pertama dari Indonesia, yaitu DR. GSSJ Ratulangi).


Sindiran Cak Nun (Emha Ainun Nadjib), langsung menohok kesadaran. Memang benar, penghargaan terhadap para pemikir, intelektual, dan tokoh-tokoh yang berjasa dalam melakukan pencerahan berfikir di negeri ini terasa sepi. Agaknya, sikap ini pula yang menjangkiti masyarakat di Provinsi Banten.


Untirta
Kampus adalah ikon pertumbuhan intelektualisme. Di Provinsi Banten, Perguruan Tinggi yang ada adalah Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Nama tokoh ini, adalah ahli siasat dan strategi perang dalam sejarah Kesultanan Banten. Ia berkali-kali merepotkan Armada Portugis, dan untuk jasanya itu orang Banten layak bangga. Tapi dalam urusan intelektulisme, Sultan Ageng kalah kelas dari pendahulunya, yaitu Sultan (atau Maulana) Muhammad, anak dari Sultan Yusuf, cucu dari Sultan Hassanudin, dan buyut dari Fatahillah (Sunan Gunung Djati).

Catatan menyebutkan, di masa Maulana Muhammad, kesultanan Banten menjadi pusat pendidikan ke-Islam-an. Para santri dari pelosok nusantara berdatangan, bahkan dari luar, seperti dari Malaysia, Fillipina, Gujarat, dan tentu saja Arab. Sang Maulana bahkan menulis banyak kitab, yang menjadi referensi di Pondok Pesantren Kasunyatan saat itu. Idealnya, mercusuar intelektualisme Banten adalah Maulana Muhammad, bukan Sultan Ageng Tirtayasa.

Tapi lebih menyedihkan lagi, tak ada satupun nama lembaga pendidikan elit di Banten yang menggunakan nama sekaliber Syekh Nawawi Al Bantani. Tidak pula untuk nama Gedung Perpustakaan, Laboratorium, Pesantren besar, Museum, atau sekedar Jalan Protokol di Provinsi Banten. Nama “Mahaguru Ulama se-Hijaz” ini tak mendapat tempat dalam ranah “intelektualitas” publik Banten.

Sang Mahaguru
Warisan Intelektual Syekh Nawawi adalah sumur tanpa dasar. Ratusan kitab telah ditulis, puluhan diantaranya menjadi referensi utama dalam mazhab Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Belasan bukunya menjadi bacaan wajib pondok-pondok pesantren di Jawa, Sumatera, Sulawesi, Borneo, Mayalsia, Filipina, dan bahkan Thailand ---pun hingga saat ini. Sungguh tak berlebihan, kalau kemudian gelar sebagai Tokoh Kitab Kuning tersemat kepadanya.


Meski tak semua karya tulisnya terlacak, namun sejarah tak pernah meragukan kefasihan Sang Mahaguru kelahiran Tanara, Serang, Banten ini. Tak sedikit informasi menyebutkan, kitab-kitab Syekh Nawawi masih dicetak ulang di Universitas Al Azhar Kairo, Mesir, hingga saat ini. Ada satu cerita, bahkan sembari menunggang unta sekalipun, Syekh Nawawi terus menulis buku, yang berjudul syarah kitab
Syarah Bidayatul Hidayah (penjelasan dari Kitab yang ditulis Al Ghazali). Kapan Banten melahirkan putera cemerlang seperti ini lagi?


Teladan (ter)Hebat
Syekh Nawawi juga memperlihatkan diri sebagai cendekiawan dengan etos paripurna. Ia bukan hanya cerdas dan rajin menelurkan kitab. Namanya harum bukan semata karena mampu menjadi Imam di Masjidil Haram, Mekah. Atau karena sikap anti kolonial dan perlawanannya terhadap Belanda. Sebagai intelektual, sikap dan perilakunya juga menggetarkan. Hidup bersahaja, berpakaian apa adanya, tutur kata lembut, dan adab kesopanan yang tulus, adalah tetesan teladan yang membanggakan kita semua.

Simak pengakuan seorang Orientalis Belanda, yang berhasil menyusup ke Mekah, yaitu Snouck Hugronje. Menurutnya, Syekh Nawawi adalah tokoh yang sangat rendah hati dan tidak pernah memperhatikan penampilan. Suatu saat ia pernah bertanya: “Wahai Syekh, mengapa anda tidak menjadi pengajar di Masjidil Haram?” Dijawab oleh Syekh: “saya tak pantas di situ, karena pakaian saya tidak sesuai dengan kemuliaan seorang professor di sana.”


Banten Kini
Nyaris sempurna tokoh kita ini. Tetapi apa yang terjadi dengan sanak keturunannya saat ini? Banten adalah simbol kebodohan berpolitik, dan ketertindasan ekonomi. Penguasa Banten di zaman internet ini bukan berlatar akademik, professional, atau pemikir brilian. Melainkan bersumber dari keangkeran Pendekar, Jago Silat, atau kebrutalan fisik.

Dalam beberapa kali peristiwa penting di Republik ini, masyarakat Banten dipakai sebagai boneka mainan para penguasa. Di Era Malari 1974, gerombolan perusuh adalah orang-orang Banten yang disewa tentara (seperti tercantum dalam Dokumen Ramadi). Di masa awal Reformasi, lagi-lagi terulang, para pendekar Banten ditipu untuk melawan mahasiswa, diperalat sebagai PAM Swakarsa, juga oleh tentara.

Di hari-hari terakhir pun, Banten dipermalukan oleh jaringan terorisme yang tumbuh subur. Tak ada jiwa Syekh Nawawi secuil pun!!!

Lebih gila, sikap penghormatan terhadap Syekh Nawawi adalah bertolak-belakang dengan intelektualitas sang Mahaguru. Minggu-minggu ini, persis di pertengahan Bulan Syawal, ribuan penziarah berbondong-bondong ke Tanara, melakukan Haul Syekh Nawawi. Tetapi, bukan untuk belajar kitab. Tidak untuk mempelajari karya-karya Sang Syekh. Melainkan untuk terjerembab dalam “tradisi” berbau khurafat-takhayul-mistis! Mereka ingin mendapatkan berkah…

Pantas saja, ketenaran Syekh Nawawi di benak masyarakat awam Banten adalah memori sesat dan keliru. Mereka mengira Sang Syekh adalah tokoh mistis, yang bisa pergi ke Mekah dalam kecepatan secepat petir. Atau mampu menggoyang Mekkah dengan cara menggelengkan kepala saja. Ketololan luar biasa!!!