Sabtu, Januari 22, 2011

Tak Pernah Bisa Lupa Dia...





Semakin hari, justru semakin tak bisa lupa. Betapa luar biasanya rasa cinta yang bersemayam dalam diri. Tak lekang bahkan oleh perubahan-perubahan. Tak hirau oleh fakta-fakta bahwa dia semakin melambung jauh. Hanya iman saja yang membentengi aku untuk menahan diri, tahu diri, dan tidak melakukan hal-hal tak pantas.

Kembali Genting...

Sayang, belum terdengar ilmu yang mendeteksi secara pasti perubahaan suasana jiwa. Kalau cuma bolak-balik antara cemas dan penuh harap, disiplin ilmu psikologi telah lama tahu. Begitupun dengan ajaran-ajaran Islam. Tetapi jika membuat infografik yang menunjukkan turun naikknya kondisi jiwa, setahu aku belum ada.

Selasa, Januari 04, 2011

Buku adalah Pergaulanku...

Buku melipat waktu dan menggunting jarak. Demikian kata Ustadz Habiburahman El Shirazy. Patut saja mengatakan itu, bagi tokoh sekaliber penulis novel-novel Islam yang dahsyat itu. Ia berkelana ke negeri-negeri Islam, berjumpa dengan tokoh-tokoh ulama, dari zaman baheula hingga kini, terutama melalui buku yang dibaca.

Minggu, Januari 02, 2011

Aku dan Kemiskinan-Kemiskinanku...




Sudah jelas perkara kemiskinan adalah fakta-fakta serba berkekurangan. Kurang uang, kurang beras, dan itu tak jauh-jauh juga dari kurang percaya diri. Syukur-syukur bila itu semua tidak menjungkirkan anda ke titik berikut: kurang berakhlak. Meski dalam perangkap kemsikanan, biasanya soal adab perilaku serta kehormatan diri menjadi urusan paling tak dihirau.


Di kutub berlawanan, hal perihal kemiskinan juga adalah soal keberlimpahan. Orang miskin punya banyak waktu, sering terbengong-bengong tak tahu harus berbuat apa. Bertabur dengan pundi-pundi air mata dan tangis (bukankah orang kaya dan sukses jarang menangis?). Tak terhitung pula ejekan, cemooh, dan penistaan dari orang sekeliling atau dari siapa saja. Kemiskinan juga menyediakan stok meruah untuk digunakan. Misalnya stok untuk kalah, stok untuk rugi, stok untuk apes. Percayalah, semakin miskin anda, maka semakin sering keok dan menjadi pecundang.


Di lapis terperih, kemiskinan juga menjejalkan sejuta rasa malu. Sengaja atau tidak, langsung atau tak langsung (lebih sering justru secara langsung), dengan bahasa sopan atau halus (yang ini anda pasti tahu, lebih sering secara tidak sopan!), atribut "orang miskin" yang disandang, membuat kita tak berdaya untuk mencicipi hari demi hari rasa rendah diri, dan selalu malu...


Ini memang perih. Tetapi ada juga yang perih, menyesakkan dada, dan menggigit sukma kesadaran. Tak lain adalah perasaan bersalah.


Tindakan salah, bisa jadi bersumber dari kegagalan yang telah diperbuat. Ini artinya, do something wrong. Tapi, orang miskin, juga selalu bersalah karena justru tidak melakukan apa-apa, do nothing. Serba salah, bukan? Lebih-lebih bila urusannya menyangkut psikologis, mem-persepsi kesalahan sendiri.


Rasa bersalah kian berlipat-lipat manakala kemiskinan anda tak melulu menyergap diri pribadi, melainkan menular dan menyebabkan derita ke orang-orang terdekat. Misalnya terhadap anak, isteri, dan siapa saja.


Lalu apa hasil dari beban menanggung rasa malu dan bersalah? Kalau anda menolak jawaban berikut, alangkah saktinya. Marah... adalah satu-satunya resultan dari semua itu. Tetapi sial, orang miskin bahkan kesulitan untuk marah!!!


Marah pada siapa? Ini juga tidak mudah. Menyiksan dan menganiaya anak dan isteri, sebagai pihak terlemah untuk pelampiasan, adalah bukan perilaku orang yang miskin, itu adalah perbuatan setan. Maka sebaiknya, kemurkaan itu dialamatkan saja ke setan:)


Marah dengan cara bagaimana? Socrates pernah mengatakan bahwa semua orang pasti bisa merasa marah, tetapi cara dia menyalurkan kemarahan ditentukan oleh kecerdasannya. Orang miskin seperti aku, pasti kesulitan melaksanakan petuah filsafat itu. Sudah miskin, eh, untuk marah sekalipun dibatasi.


Atau mungkin beralih ke Mahatma Gandhi. Sosok ini petuahnya layak ditoleh, bukan karena pernyataan-pernyataannya bagus untuk disimak. Melainkan karena ia juga menjadi martir untuk "memilih hidup dengan jalan kemiskinan. Dialah orang yang sengaja memilih tinggal di Ashram Savignan, sebuah dusun kotor, jorok, berpenyakit, untuk jalan derma. Mahatma Gandhi pernah mengatakan: "Setiap orang berhak marah, tetapi tak wajib melaksanakannya." Luar biasa Bapak Agung dari India ini. Selain menyatakan miskin sebagai pilihan, untuk marah pun ia menganjurkannya sebagai sebuah pilihan (agar tak dilaksanakan). Ia adalah batu karang bagi ideologi Ahimsa (anti kekerasan).


Tak ada obat untuk kemiskinan. Bila dunia ini menyimpan berjuta keanehan, maka "kemiskinan" adalah salah satu diantaranya, dengan ratting tertinggi, paling mudah ditemui, sekaligus paling dibenci.


Bagaimana bisa diobati? Marilah telusur. Kemiskinan berada dalam posisi banyak perkara. Perkara ekonomi, psikologi, lingkungan, ideologi, dan sudah tentu juga politik. Ruwetnya masalah kemiskinan juga ditentukan oleh nasib, posisi, dan kegilaan orang-orang tertentu (yang sengaja memilih miskin).


Mungkin anda juga bisa mengatakan, bahwa banyak urusan hidup yang bersangkut paut dengan banyak hal, misalnya juga kesehatan. Kesehatan adalah perkara eknonomi, psikologi, lingkungan, juga kebijakan pemerintah (ini adalah soal politik). Tetapi, apakah ada agama atau ajaran yang mengagungkan orang sakit? Adakah orang yang memilih secara fisik atau psikis memilih sakit? Tidak ada bukan. Beda dengan kemiskinan, di mana agama memberi peluang untuk menghormati kemiskinan. Juga ada orang-orang tertentu yang tak keberatan untuk miskin. Bunda Therese berani menghadapi kemiskinan, tetapi ia sekaligus mengobati orang-orang sakit.


Uraian barusan memang bukan zona orang miskin, melainkan para filsof, aktivis sosial, atau mereka yang menggerakkan api revolusi dan perlawanan. Sementara, orang-orang miskin hanya tahu mereka menanggung malu, marah, merasa bersalah, dan menghadapi jalan buntu.



Contoh Kemiskinanku
Mungkin menjadi jelas bila berangkat dari cerita. Aku pernah berdoa, dengan teramat sering bahkan, agar jika Tuhan belum mengangkat aku dari posisi Urban Poor (kaum miskin kota), maka tutuplah aib-aibku ini. Tuhan, jangan Engkau perlihatkan kemiskinanku kepada banyak orang. Tetapi, doa aku yang miskin ini juga tak terwujud.

Tepat di Idul Fitri, di saat serba kurang uang, bencana meletak. Kacamata aku pecah. Otomatis, tak bisa aku ganti. Tak ada uang cadangan untuk itu. Nah, dengan terpaksa aku bersilaturahmi kanan kiri dengan rupa orang miskin yang teramat sangat (tak ada orang kaya yang bergaul dengan kacamata yang retak, bukan?). Seolah Tuhan mengutus aku untuk mengkamapnyekan kemiskinan diriku sendiri...


Kisah pedih lain: pagi-pagi menggendong anak, cukup jauh, untuk berangkat sekolah, di tengah rinyai gerimis pula (sebelumnya hujan lebat). Mengapa? Meski punggung ngilu, tulang belakang serasa rentak, itu perlu untuk membujuk anak yang merengek tak mau sekolah. Bukan karena si kecil malas, melainkan ia merajuk. Pagi itu kami tak punya uang. Ia juga tak sarapan. Aku belum punya peluang mencari alternatif. Akhirnya kubujuk ia dengan cara digendong sampai sekolah. Aneh, ia begitu girang, sepanjang perjalanan berkicau dan menyanyi. Ternyata, di tengah kondisi miskin yang menghimpit, bisa lahir keunikan...


Mudah-mudahan kemiskinan juga tak mendorong kita untuk kurang berpahala. Tetapi sering menjebak pula. Di saat ada urunan shodaqoh, kita tak mampu. Mengunjungi orang sakit, kita menjadi enggan (karena tak bisa membawa apa-apa). Bersilaturahmi juga jadi rikuh. Jangan katakan bahwa shodaqoh bukan melulu memberi materi, semua orang miskin tahu itu. Tetapi perasaan merutuk dalam hati, karena tak berbuat atau memberi sesuatu yang berfaedah, adalah siksaan tersendiri bagi orang miskin. Pengalaman aku adalah konkrit. Di saat orang lain menyumbang untuk mushola, aku belum. Hasilnya, untuk melangkah Sholat berjamaah ke Mushola jadi surut mengkerut. Sedih rasanya...


Namun derita luar biasa adalah ketika kita menjadi miskin, maka kebebasan berpikir, berbicara, dan berpendapat terkerangkeng. Sekalipun ada opsi untuk bebas berpikir, maka itu adalah melamun, berilusi, dan dekat-dekat kepada penyakit delusi.


Sementara luapan untuk berbicara, tepatnya adalah agar kata-kata kita didengar orang, seperti mampat ---persis got bersampah di musim penghujan. Mana ada orang yang mau dengar ide orang miskin? Ini juga aku rasakan. Meski aku baca ratusan buku, tahu banyak informasi, tak ada guna apa-apa. Orang lebih butuh uang daripada gagasan. Memang, sebagai orang miskin, aku belum berpengalaman dibatasi untuk berorganisasi atau berkelompok. Tetapi, yang ini pun sukar pula. Di mana ada orang berhimpun, maka di sana butuh sarana... Inilah yang tak bisa aku penuhi. Jadinya, ya tak ke mana-mana dan tidak ikut siapa-siapa.


Begitulah sepenggal kecil cerita kemiskinanku. Dan aku kaya sekali dengan kisah-kisah personal yang meremukkan kepercayaan diri. Takdir baik entah ada di mana.

Sabtu, Januari 01, 2011

Tentang Kecerdasan Membaca (Buku)




Buku-buku yang diterbitkan belakangan ini sering membuat saya geregetan. Seolah para penulis (dan penerbit) berlomba dengan satu keyakinan, bahwa buku laku adalah buku yang seru! Seru dengan judul yang bombas. Seru dengan topik yang pragmatis. Dan seru dengan desain atau cover atraktif. Bila begini terus, kapan konsumen buku di Indonesia menjadi kekuatan intelektual yang mencerdaskan banyak pihak?