Kamis, Desember 31, 2009

Para Penulis Buku Yang Mengubur Riwayatku


DULU sekali, saya pernah punya bayangan naif, bahwa para penulis tenar adalah orang-orang bijak bestari, jujur nan menyejukkan.

Terutama di zaman ketika menulis dengan kritis, dengan berani, dengan gagah, adalah pilihan menakutkan. Lantaran akan segera berhadapan dengan rezim bengis (yang lantak persis di huru-hara Mei 1998).

Lalu nasib menggiring ke Jakarta. Berkenalan, bersentuhan langsung, berdiskusi, dan menyimak tingkah polah para selebritis di bidang kepenulisan. Terbukalah semua.

Ada penulis yang rajin menggembar-gemborkan toleransi dan tenggang rasa antar sesama ummat beragama. Namun justru ketika si penulis menghadiri buka puasa bersama di Bulan Ramadhan, tanpa tedeng aling-aling merokok di antara hadirin yang sedang menunggu beduk buka puasa bersama.

Juga penulis lain yang galak menyuarakan hak-hak azasi manusia, tetapi tangannya kegatelan, sering menjawil tubuh perempuan seksi, pun di depan umum. Hingga ada yang menceritakan bahwa manusia penulis itu pernah digaplok pramugari karena jemarinya yang jahil...

Masih ada contoh lanjutan.

Misalnya penulis muda yang teori-teorinya menggugah perlawanan para demonstran, tetapi terhadap bawahan dan kawan-kawan di sekelilingnya sangat pelit dan tegaan. Saya sering sesak dada membayangkan orang-orang seperti ini justru tambah melenggang mulus di panggung politik.

Belum selesai, terutama tentang yang berikut: para tokoh pergerakan yang urat lehernya kuat berteriak pro rakyat miskin, tapi tongkrongannya sekelas penggede berpenghasilan puluhan juta per bulan. Berbalik punggung antara retorika dengan fakta. Teriak anti Amerika, anti asing, tetapi dari Handphone, Jam Tangan sampai kemeja dan mobil, dari luar semua. Ampun....

Tetapi dari semua itu yang sempat mencuat adalah penulis budaya yang teramat sangat humanis (maksudnya dalam tulisannya doang) tetapi memperlakukan bawahan seperti babu. Menyuruh staf-nya menjadi tukang pijit. Padahal si staf itu adalah pegawai negara dengan pangkat satu strip saja di bawah si penulis jumawa itu.


Beberapa Tahun
Sedikit banyak, hal-hal itulah yang memukul mundur riwayat persentuhan saya dengan dunia buku dan tulis menulis. Agak sukar mencari padanan kata yang sopan namun jelas dalam menggambarkan suasana hati saat itu, mungkin cukup dengan kata muak!

Lebih dari enam tahun hilang selera. Menulis malas, membaca juga tergantung selera. Pendulum berubah arah. Lari ke buku-buku agama, ke-Islam-an, novel, atau semua literatur yang dulu ketika masih kuliah aku sebut bukan buku. Oh, ya, waktu kuliah, buku-buku kelas novel, agama, sastra, biografi, psikologi populer, aku sebut bukan buku....

Lantas pelan-pelan, minat itu bangkit lagi. Terutama karena faktor desakan kebutuhan kerja. Kebetulan, profesi menuntut harus agak banyak membaca dan agak sering menulis. Jarum jam berputar arah kembali, memincut minat lama terhadap buku-buku tipe serius. Seperti tema politik, media, lingkungan, dan sejenisnya. Sesekali juga kembali menulis artikel opini atau resensi ke beberapa media.


Bangkit Lagi
Namun yang benar-benar melentingkan adalah justru dari buku-buku populer yang dulu aku pandang malas-malasan. Tak lain adalah buku-buku motivasi dan psikologi populer. Aneh, kok, bisa ya mereka para penulis itu membangkitkan semangat orang. Tidak menyerang, tidak menghina, tidak menjatuhkan, dan tidak saling melecehkan. Ternyata bukan hanya dari penulis hebat kaliber dunia, yang sukses dalam karir ilmiah maupun karir profesional (serta rezekinya bejibun). Tapi juga ada penulis buku motivasi yang dulunya adalah pecandu narkotika, dan malah mantan seorang pembantu rumah tangga di Hongkong sana. Ck..ck..ck...

Sontak batin tertantang. Okelah, berarti semua orang bisa, dan tak perlu berbohong serta menjatuhkan pihak lain. Menulislah dengan dorongan kata hati... Alhamdulillah, selera baca kembali menguat.

Nah, di dalam perjalanan, ternyata ada lagi contoh memalukan, memilukan, yaitu penulis yang menyerang orang lain dengan fisik. Luar biasa. Apa yang diperlihatkan adalah menambah daftar PARA PENULIS BUKU YANG MENJENGKELKAN...

Selasa, November 17, 2009

(Bila) Yahudi (Memang) Cerdas, Tirulah...


TUHAN punya kecerdasan menciptakan segala sesuatu dengan banyak makna. Sengaja saya tulis begitu. Kalau langsung menyebut kalimat: selalu ada hikmah dalam penciptaan, nyaris seperti menanak nasi kemarin sore, terlampau basi.

Mari sepakati, kesediaan melihat dengan perspektif dari sisi berbeda, tinggalah soal mau atau tidak mau. Misalnya dengan melihat sisi baik dari etos perjuangan orang-orang Yahudi. Maaf saja, jika membaca sejarah tokoh-tokoh gerakan zionisme, mulai dari sang ideolog Theodore Hezrl, propagandis Golda Meir, politisi praktis sekelas Ben Gurion, selalu saja emosi membuncah. Lebih-lebih dari buku bacaan yang ditulis dengan bahasa anti Yahudi tanpa kompromi. Sulit rasanya menemukan "sisi baik" dari the founding fathers-nya Israel itu.

Sekali lagi, perspektif dari pojok berbeda. Misalnya dengan memunculkan kalimat tanya: mengapa segelintir orang itu bisa berhasil meyakinkan Bangsa Yahudi di segala penjuru dunia untuk memperjuangkan Erezt Ysrael, pun dengan cara aneksasi berdarah-darah? Padahal, tentu saja, tak semua anak turunan Bani Israel itu mendukung gerakan zionisme. Atau lebih tepat, tak semua setuju cita-cita merebut kembali Tanah Kanaan yang dijanjikan itu dilakukan dengan cara-cara kekerasan. Salah satu tokoh yang masuk kelompok ini adalah Sang Genius Albert Einstein.

Ada komentar pendek dari buku La Tahzan, tulisan Aidh Al Qorni ---dan buku ini, entah mengapa, tadi malam saya baca lagi, untuk kesekian kali. Katanya, Ummat Muslim yang punya itikad baik sering kali kalah karena tak punya tekad yang kuat. Berbeda dengan orang-orang Yahudi, punya daya juang luar biasa. Golda Meir hanya tidur 3 jam saja, ia bekerja keras menghadiri berbagai rapat, konferensi, pertemuan, di berbagai tempat. Begitu juga dengan tokoh-tokoh Yahudi yang lain. Sementara, Ummat Islam, lebih banyak tidur.

Sesungguhnya bukan hanya tidur, tapi juga tidak jujur.

Kita, Ummat Islam, tak pernah beranjak dari rumus mentah: protes kanan kiri, bakar-bakaran, adu urat leher, dan mengulang-ulang jargon lama: Anti Semit, Anti Yahudi, Loby Yahudi, dan semacamnya. Lantas lalai untuk belajar dengan sungguh-sungguh, atas faktor-faktor pendukung yang menyebabkan Yahudi menjadi penguasa dunia. Stereotype kita tak bergeser ke titik produktif, selalu negatif.


Buka Mata
Saat ini ada peluang membuka mata. Berikut kutipan Resensi Buku Baru, dari Wasis Widodo, dari buku yang berjudul Jerome Become A Genius, Ufuk Press, Oktober 2009. Nah, mari kita baca sama-sama. Bila tertarik, apalagi, kalau bukan segera ke toko buku...


Judul : Jerome Become A Genius
Penulis : Eran Katz
Penerbit : Ufuk Publishing House
Tebal : 442 Halaman
Terbit : Oktober 2009


Stereotipe yang mengatakan bahwa orang Yahudi memiliki otak cerdas begitu lekat sampai sekarang. Baik yang berkonotasi negatif dengan mengasosiasikan mereka sebagai orang yang licik, penipu, dan menakutkan. Maupun yang berkonotasi positif, dalam arti mereka memiliki otak yang brilian.

Hal itu diperkuat dengan sejumlah bukti dari beberapa tokoh Yahudi yang dikenal memiliki kecerdasan luar biasa. Sebut saja, Albert Einstein penemu atom, sutradara kondang Steven Spielberg, pakar keuangan macam George Soros, Alan Greenspan, sampai penemu Facebook Mark Zuckerberg.

Itu belum seberapa, malah beberapa tokoh Yahudi namanya malah sudah menjadi merek terkenal di dunia dan digandrungi banyak orang. Mulai dari bisnis parfum sampai otomotif, antara lain Estee-Lauder (parfum), Ralph Lauren (pakaian), Levi Strauss (celana jeans), dan Adam Citroen (merek mobil).

Memang banyak juga tokoh di luar yahudi yang cerdas, baik dari agama Islam, Kristen, Budha, maupun Hindu. Seperti Ibnu Sina, Isaac Newton, Copernicus, Leonardo da Vinci, dan Mahatma Gandhi. Lalu, mengapa stereotip orang yahudi itu memiliki otak cerdas begitu melekat? Itu karena populasi mereka di dunia begitu kecil, namun memiliki pengaruhi besar di dunia.

Pada tahun 2000, populasi Yahudi di dunia hanya berjumlah 13 juta orang atau hanya 0,25% dari enam miliar penduduk dunia. Sebagai ilustrasi saja, dari sekitar 270 tokoh penerima hadiah Nobel yang diberikan sejak 1901, 102 orang adalah tokoh Yahudi.

Apa pun itu, fakta kecil ini cukup mengejutkan. Bukan untuk memuji, apalagi mengagungkan, namun kenyataan ini menarik untuk diungkap. Bagaimana orang Yahudi bisa dikonotasikan sebagai bangsa yang cerdas.

Rahasia kecerdasan otak orang Yahudi dikupas dalam buku Jerome Becomes A Genius, Mengungkap Rahasia Kecerdasan Orang Yahudi karya Eran Katz. Buku setebal 442 halaman yang diterbitkan Ufuk Publishing House membedah secara detail, mulai dari sejarah, kebiasaan-kebiasaan positif, dan mengembangkan menggunakan otak, sehingga membuat orang Yahudi menjadi cerdas.

Misalnya saja, orang Yahudi percaya bahwa Nabi Musa menuliskan Taurat itu dari ‘api berwarna hitam di atas api berwarna putih’. Mereka pun selalu menuliskan apa pun selalu menggunakan sesuatu berwarna hitam di atas sesuatu yang berwarna putih. Selain warna hitam dan putih tidak mudah pudar, juga memberikan efek ketenangan sehingga lebih mudah dibaca dan diingat.

Mereka pun memiliki prinsip dalam kondisi susah dan miskin, anak-anak mereka harus tetap belajar dan sekolah. Bahkan mereka memilih lebih baik tidak makan daripada tidak membaca buku dan sekolah. Jadi tak usah heran bila di pedesaan miskin (Ghetto) di Israel, setiap anak selalu memiliki, minimal sebuah buku bacaan.

Guru-guru yang mengajarkan pelajaran kepada anak-anak akan menerima imbalan yang luar biasa. Bahkan bila guru itu tak mau menerima bayaran, mereka akan mendapat penghormatan melebihi hormatnya seorang anak kepada orangtua.

Bangsa Yahudi menyadari bahasa Ibrani bukan bahasa yang komunikatif dan tak seindah bahasa Arab, makanya mereka mengembangkan teknik khusus menguasai berbagai bahasa asing.

Karena itu, dalam satu bulan seorang Yahudi bisa menguasai sebuah bahasa asing secara sederhana. Hal itu membuat banyak orang Yahudi bisa cepat berbaur di berbagai belahan dunia, mulai dari Eropa, Amerika Serikat, sampai ke Amerika Latin dan sejumlah negara Arab.

Buku ini cukup unik dan menarik. Dituliskan dengan bahasa bertutur yang diangkat dari pengalaman penulis dengan dua rekannya Itmar Forman, seorang profesor dan Jerome, seorang pelajar yang pintar, membuat kita mengerti mengapa sampai ada mitos Yahudi itu cerdas.

Jumat, Oktober 16, 2009

Mengundang Miyabi, Merindu Robert T Kiyosaki


ROBERT T Kiyosaki sukses menjual jutaan copy buku tentang investasi, seperti Miyabi sukses menjual seks!


Lebih dari sekedar buku, karya berjudul Rich Dad Poor Dad adalah saham terbesar yang menggelembungkan pundi-pundi kekayaan penulisnya. Terjual lebih dari 28 juta eksemplar dan beranak pinak dalam berbagai edisi ---dengan senantiasa bersandar pada Rich Dad Poor Dad. Senasib dengan siapapun di kolong langit ini, fenomena Kiyosaki memancing rasa penasaran manusia.


Sebuah pengakuan, dari Jhon T Read, praktisi Real Estate, menyebut beberapa dusta dalam buku Rich Dad Poor Dad. Menurutnya, Kiyosaki i tidak sekaya seperti pengakuan dalam buku perdananya itu. Justru, ledakan penjualan buku laku itulah yang menggelembungkan pundi-pundi uangnya. Omong-omong, hingga hari ini tak pernah jelas siapa sesungguhnya Ayah Kaya itu?


Pada 19 Mei 2006 televisi ABC menggelar Program bertajuk 20/20 Segment. Dalam acara ini, dipilih 3 orang pebisnis yang sudah dilatih Kiyosaki. Masing-masing dari mereka diberi modal US$ 1.000. Lantas diminta untuk menggunakan uang itu sesuai rumus dalam buku Rich Dad Poor Dad ---atau karya turunannya. Hasilnya: tak ada yang sukses. Seorang peserta kemudian mengaku: ajaran inti Kiyosaki hanya memberi kesempatan kita untuk "melek finansial", tanpa contoh konkrit bagaimana melipatgandakan uang.


Rakus Itu Bagus!

Lagipula fatwa-fatwa dalam buku Ayah Kaya Ayah Miskin itu membuat kaum agamawan "murka". Dalam kaidah bahasa, istilah dengan tanda petik barusan bermakna lebih kuat tinimbang sekedar marah.


Berani benar Kiyosaki memutarbalikkan sabda Yesus, meski hanya dengan tambahan satu kata saja. "Uang adalah akar segala kejahatan", menjadi: "Kekurangan Uang adalah Akar Segala Kejahatan." Seolah tak ada para santo, rahib, atau siapapun pengikut Yesus yang berani meninggalkan Kerajaan Dunia (dengan pelbagai kenikmatan, kekayaan) untuk menjemput Kerajaan Allah (dengan hidup asketis, juhud dalam bahasa Sufi, menjauhi materi duniawi). Atau, barangkali, Kiyosaki tak sempat membaca kisah Bunda Theresa, yang sanggup meninggalkan kenyamanan hidup di negerinya untuk menggarami kehidupan, menebar cinta kasih kepada kaum papa di Karala, India? Ah, masih banyak contoh lain tentang orang kaya yang berani miskin, baik dalam tradisi Kristen, Islam, Budha, Hindu, atau versi sosialis-komunis sekalipun!!!


Pikiran radikal mengundang serangan (atau pembelaan) radikal pula. Di ujung lain, ada nasehat dari Gordon Gekko ---ini tokoh fiktif dalam film Wall Street, dibintangi Michael Douglas, di era 80-an. Sebagai tokoh bengis dalam film tentang para broker di lantai bursa New York, Gordon Gekko berucap sinis: rakus itu bagus!


Lalu kalaupun teori Kiyosaki salah, jangan khawatir. Pemenang Hadiah Nobel Tahun 2002, Joseph Stiglitz, menggumam jengkel. Bahwa "gagasan buruk dalam ilmu ekonomi selalu bertahan lama..." Buktinya ramalan Nabi Komunisme, Karl Marx, bahwa kapitalisme akan runtuh malah yang terjadi sebaliknya, komunisme-lah yang ambruk. Tapi buku Marx masih dibaca dan dicetak ulang hingga kini. Jangan-jangan, buku Kiyosaki akan bernasib sama ----untuk itu, ia selalu beruntung. Nah, kini terserah pilihan anda...



Miyabi
Saya sengaja tak mau menyebut nama produser, atau pengundang Miyabi ke Indonesia, dalam artikel ini. Cukup menyebutnya dengan istilah orang. Bukan karena takut. Melainkan muak, terhadap siapa saja yang berencana memetik popularitas dengan cara-cara kacangan. Merusak modal sosial rakyat, menistakan Trust, saling kepercayaan terhadap sesama ummat ---Kristen, Islam, Budha, Hindu, atau Konghucu sekalipun.


Duh, bukan sok fanatik! Tetapi ini saja: dengan menyebut nama orangnya, justru memenuhi keinginan si orang tersebut, yang ingin namanya melambung.


Paling banter, bantal argumentasi "si orang itu" pasti tak jauh dari dalil kebebasan berekspresi. Mari lacak, dalam khasanah perfilm-an, film bagus justru tak melulu mengeset ikon pornografi. Tengoklah Iran, negeri yang barangkali ortodok dalam menerapkan kebebasan. Berapa film berkualitas dari negeri ini mampu menyabet tropi bergengsi, sekelas Piala Cannes, atau dari ajang level internasional lainnya. Bagaimana dengan kita, yang bahkan menayang perempuan berbikini di televisi persis di jam belajar anak-anak?


Masih tentang si orang itu. Ia pastilah penganut filsafat Helensitik berusia ribuan tahun lalu (300-an tahun Sebelum Masehi). Memandang kecerdasan perempuan pada kecantikannya, dan melihat kecantikan laki-laki pada kecerdasannya. Semata-mata memperlakukan perempuan sebagai komoditas, dan Miyabi adalah ikon dari komoditas laku di internet berawalan kata seks.


Kejengkelan masih panjang. Jauh dari sifat kontroversi yang sudah-sudah ---dan negeri ini gudang segala ajang perseteruan pendapat. Tak ada pelajaran atau hikmah atau pencerahan apapun dari Mengundang Miyabi.

Seorang artis perempuan dengan konyol berucap: Miyabi kan turis asing yang harus diterima... Susah memang, bila kita tak bisa membedakan makna simbol, makna ikon, dan makna pesan tersembunyi. Miyabi bukanlah turis biasa yang bisa kita sambut dengan senyum ramah. Nama itu bahkan telah menjadi identitas spesifik di dunia maya. Tepatnya menjadi brand awarness. Jutaan orang di Indonesia, menurut sejumlah versi, pernah meng-klik nama ini di mesin pencari Google ---dengan tujuan yang sudah kita mahfum, pemuasan fantasi laki-laki.


Artinya: ada pelecehan simbolik dalam mengundang Miyabi. Simbol melawan simbol. Identitas versus identits. Makna menabrak makna.


Itupun bila kita sepakat bahwa masyarkat Indonesia masih lekat dengan simbol ketimuran, sopan santun, dan kesucian seksualitas. Dalam urusan ini, mestinya ada kerelaan dari multipihak, untuk menjaga tenggang rasa. Negeri ini lelah dengan berbagai konflik. Untuk apa ditambahi dengan sesuatu yang tidak perlu. Tak ada urgensi apapun, dan tak ada sebulir kerugian apapun bila Miyabi tak datang.


Karpet merah panjang membentang andaikata anak-anak bangsa ini mengundang orang-orang yang mewakili simbol kreativitas, inovasi, penggagas, penemu, yang memuaskan nalar serta meletupkan spirit kemanusiaan.


Misalnya Robert T Kiyosaki. Meski tak semua pendapatnya sahih, tapi ia mengusung ide baru. Semisal pandangannya yang membabat habis asumsi pendidikan bermazhab kuno (sekolah untuk jadi pegawai, untuk jadi suruhan orang lain). Atau siapa saja. Harap maklum, kita baru bisa mengundang orang-orang besar (seperti Bill Gates, Muhammad Yunus, mungkin nanti Barack Obama). Tapi itu pun sudah bagus. Asal jangan Mengundang Miyabi....

Selasa, Oktober 13, 2009

Resensi Buku: Politik Infrastruktur


ALAM mengamuk, negeri ini nyaris remuk. Di sana-sini, spasi ruang Indonesia seperrti bopeng. Sisi terjelas akibat natural dissaster (gangguan alam) itu adalah infrastruktur yang luluh lantak. Meninggalkan beban besar untuk semua pihak. Seperti yang sudah-sudah, proses mitigasi (penanggulangan paska bencana) adalah melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi terhadap fasilitas publik yang berbentuk fisik (infrastruktur jalan, telekomunikasi, kesehatan, pendidikan, dan lain sebagainya).

Namun bukan berarti segalanya tamat. Justru kerusakan infrastruktur adalah pelajaran berharga. Dunia mencatat dengan detil, ketika Amerika Serikat, Eropa, dan paruh lain di berbagai belahan dunia hancur akibat perang, justru “proyek” pembangunan infrastruktur mejadi penyelamat. Melalui The Marshall Plan (dengan titik berat pembangunan infrastruktur), negara-negara yang limbung akibat peperangan dahsyat itu mampu bangkit.

Di era terdekat, ada contoh bagus dari Thailand. Negeri Gajah Putih itu nyaris terhempas gara-gara krisis moneter di 97-98 ---sebagaimana juga negara Asia Tenggara lainnya, termasuk Indonesia. Namun beruntung, para pemimpin politik di negeri jiran itu memilih langkah cerdas: menghela pembangunan infrastruktur sebagai penyelamatan krisis. Mereka berhasil ---terbalik dengan Indonesia, yang justru di saat itu takluk terhadap formula IMF, dan menyisakan sedikit anggaran untuk pembangunan infrastruktur.

Pelajaran kelam juga bisa dipetik dari China. Betapa paska revolusi merah dan keganasan rezim Mao, negara tirai bambu ini terjebak dalam ekonomi yang tertutup, terkomando, dengan hasil menyedihkan. Beruntung, pengganti Mao, yaitu Deng Xiaoping, melakukan terobosan bagus, menggenjot pembangunan infrastruktur di negerinya. Ia bahkan belajar ke pelosok bumi, termasuk meminta nasehat kepada Lee Kwan Yew (Perdana Menteri Singapura saat itu). Hasilnya jelas, China kini menjadi kekuatan baru perekonomian global.

Bilakah Indonesia, dengan segenap potensi yang meruah, dan juga pengalaman pahit akibat gempa-tsunami-banjir itu bangkit? Seraya memetik pengalaman negara lain, yaitu mendorong (dengan kekuatan penuh) pembangunan infrastrukturnya? Ringkasnya: mengucurkan APBN dalam proporsi besar untuk proyek infrastruktur, memangkas rantai birokrasi yang terlalu panjang, memetakan tata ruang yang tepat, mengundang sebayak-banyaknya investasi asing, dan merangkul partisipasi publik di dalamnya. Buku ini dengan terperinci mengulas poin-poin yang baru saja disebutkan.

Tawaran Tinggi
Padat kata, buku ini mengusung misi tegas ---hampir tanpa kompromi. Meneriakkan dengan lantang, agar segenap kekuatan bangsa tersadar dari khayal panjang. Di halaman belakang, BAB IX, Rekomendasi, menyatakan bahwa perjuangan infrastruktur adalah perjuangan untuk menggolkan alokasi APBN sebesar minimal 15% dari APBN ---sedikit di bawah anggaran pendidikan. Dasar asumsinya: pembangunan infrastruktur menjadi urat nadi dan menggerakan laju pertumbuhan ekonomi. Meminta dengan argumentasi panjang, agar kepemimpinan Indonesia, anggota parlemen, media massa, LSM, dan komponen civil society lainnya berada dalam arus yang sama, memperjuangkan anggaran besar untuk program infrastruktur nasional.

Di bagian lain, BAB VIII, Paradigma Infrastrutur Indonesia, membedah tuntas asumsi-asumsi teoritik, baik dari perspetif ekonomi, politik, otonomi daerah, financial, fiskal, dan termasuk juga struktur birokrasi, yang mengharuskan lahirnya “perspektif baru” atas fenomena infrastruktur Indonesia. Termasuk mengurai berbagai tantangan dan hambatan yang menjadi realitas menjengkelkan di negeri ini ---seperti korupsi, ketidakcakapan manajemen, kekurangan sumber daya manusia, dan otonomi yang kebablasan. Hal-hal itu, menurut buku ini, menjadi penghambat dominan atas suksesnya pembangunan infrastruktur di nusantara ini.

Secara keseluruhan, buku ini terdiri dari sembilan bab. Masing-masingnya: BAB I Pendahuluan; BAB II Infrastruktur dan Pertumbuhan Ekonomi; BAB III Politik Infrastruktur; BAB IV Gambaran Besar Infrastruktur Indonesia; BAB V Kinerja Komisi V DPR RI, BAB VI Anggaran Infrastruktur; BAB VII , BAB VIII Politik Infrastruktur; BAB IX Rekomendasi. Kesemua pembagian bab tersebut terikat dalam benang merah yang sama: asumsi, teori, dan argumentasi tentang pentingnya pembangunan infrastruktur menjadi panglima di negeri ini.

Sisi Lain
Buku ini adalah dokumen yang representatif. Selain bersumber pada laporan-laporan pemerintah yang membidangi isu infrastruktur, kutipan dari media massa, hasil pengamatan lapangan, dan perbandingan dengan negara lain, juga mencantumkan dialektika dan proses politik di parlemen, yaitu di Komisi V DPR RI (membidangi infrastruktur ke-PU-an, dan transportasi).

Ternyata ada masalah krusial di parlemen, menyangkut tugas mereka di bidang legislasi (pembuatan undang-undang), anggaran, dan pengawasan terhadap program kerja pemerintah. Di Komisi V, sebagaimana terurai dalam buku ini, isu infrastruktur adalah isu seksi. Mengingat besarnya alokasi dana yang dibutuhkan. Tak heran, banyak anekdot dialamatkan ke Komisi V ini, seperti sebutan sebagai “komisi basah”.

Namun, satu hal yang kurang diketahui publik, bahwa kerapkali usulan dari Komisi V mentok ---mendapat respon lamban dari pemerintah, atau bahkan terabaikan sama sekali. Tak sedikit anggota Komisi V mengeluh, bahwa aspirasi dari konstituen mereka di daerah tidak terealisasi, karena tidak mendapat tindak lanjut dari pemerintah. Sisi lain, juga mengurai masalah “pertarungan” dalam meloloskan anggaran. Kepentingan pemerintah, vested interest dari partai politik, dan maneuver dari Anggota Komisi V, sering mewarnai pembahasan di bidang anggaran infrastruktur.

Catatan akhir, buku ini (semoga) menjadi tradisi baru di DPR RI. Sebelumnya, laporan kerja DPR RI, termasuk yang bersumber dari setipa komisi, terpatok sebagai dokumen kedinasan semata. Kering dari paparan argumentasi, miskin analisis, dan ditulis dengan bahasa kering. Beda dengan buku ini, yang diperkaya dengan segala macam dokumen ---bersumber dari dalam maupun luar DPR RI. Lagipula, tidak berwajah tunggal, melainkan mencantumkan analisis dan kritik terhadap kinerja dewan. Sayangnya, terlalu banyak pengulangan tematik ---agaknya memperlihatkan semangat menggebu--- tentang pentingnya Infrastruktur menjadi panglima pembangunan ekonomi Indonesia. Juga di sana-sini berhamburan tabel atau data statistik yang mengganggu, dalam ukuran merampas seluruh halaman. Padahal, itu bisa disiasati dengan deskripsi secara paragrafis.

Panglima Ekonomi Terkini, Perjuangan Infrastruktur

ALAM mengamuk, negeri ini nyaris remuk. Di sana-sini, spasi ruang Indonesia seperrti bopeng. Sisi terjelas akibat natural dissaster (gangguan alam) itu adalah infrastruktur yang luluh lantak. Meninggalkan beban besar untuk semua pihak. Seperti yang sudah-sudah, proses mitigasi (penanggulangan paska bencana) adalah melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi terhadap fasilitas publik yang berbentuk fisik (infrastruktur jalan, telekomunikasi, kesehatan, pendidikan, dan lain sebagainya).

Namun bukan berarti segalanya tamat. Justru kerusakan infrastruktur adalah pelajaran berharga. Dunia mencatat dengan detil, ketika Amerika Serikat, Eropa, dan paruh lain di berbagai belahan dunia hancur akibat perang, justru “proyek” pembangunan infrastruktur mejadi penyelamat. Melalui The Marshall Plan (dengan titik berat pembangunan infrastruktur), negara-negara yang limbung akibat peperangan dahsyat itu mampu bangkit.

Di era terdekat, ada contoh bagus dari Thailand. Negeri Gajah Putih itu nyaris terhempas gara-gara krisis moneter di 97-98 ---sebagaimana juga negara Asia Tenggara lainnya, termasuk Indonesia. Namun beruntung, para pemimpin politik di negeri jiran itu memilih langkah cerdas: menghela pembangunan infrastruktur sebagai penyelamatan krisis. Mereka berhasil ---terbalik dengan Indonesia, yang justru di saat itu takluk terhadap formula IMF, dan menyisakan sedikit anggaran untuk pembangunan infrastruktur.

Pelajaran kelam juga bisa dipetik dari China. Betapa paska revolusi merah dan keganasan rezim Mao, negara tirai bambu ini terjebak dalam ekonomi yang tertutup, terkomando, dengan hasil menyedihkan. Beruntung, pengganti Mao, yaitu Deng Xiaoping, melakukan terobosan bagus, menggenjot pembangunan infrastruktur di negerinya. Ia bahkan belajar ke pelosok bumi, termasuk meminta nasehat kepada Lee Kwan Yew (Perdana Menteri Singapura saat itu). Hasilnya jelas, China kini menjadi kekuatan baru perekonomian global.

Bilakah Indonesia, dengan segenap potensi yang meruah, dan juga pengalaman pahit akibat gempa-tsunami-banjir itu bangkit? Seraya memetik pengalaman negara lain, yaitu mendorong (dengan kekuatan penuh) pembangunan infrastrukturnya? Ringkasnya: mengucurkan APBN dalam proporsi besar untuk proyek infrastruktur, memangkas rantai birokrasi yang terlalu panjang, memetakan tata ruang yang tepat, mengundang sebayak-banyaknya investasi asing, dan merangkul partisipasi publik di dalamnya. Buku ini dengan terperinci mengulas poin-poin yang baru saja disebutkan.

Tawaran Tinggi
Padat kata, buku ini mengusung misi tegas ---hampir tanpa kompromi. Meneriakkan dengan lantang, agar segenap kekuatan bangsa tersadar dari khayal panjang. Di halaman belakang, BAB IX, Rekomendasi, menyatakan bahwa perjuangan infrastruktur adalah perjuangan untuk menggolkan alokasi APBN sebesar minimal 15% dari APBN ---sedikit di bawah anggaran pendidikan. Dasar asumsinya: pembangunan infrastruktur menjadi urat nadi dan menggerakan laju pertumbuhan ekonomi. Meminta dengan argumentasi panjang, agar kepemimpinan Indonesia, anggota parlemen, media massa, LSM, dan komponen civil society lainnya berada dalam arus yang sama, memperjuangkan anggaran besar untuk program infrastruktur nasional.

Di bagian lain, BAB VIII, Paradigma Infrastrutur Indonesia, membedah tuntas asumsi-asumsi teoritik, baik dari perspetif ekonomi, politik, otonomi daerah, financial, fiskal, dan termasuk juga struktur birokrasi, yang mengharuskan lahirnya “perspektif baru” atas fenomena infrastruktur Indonesia. Termasuk mengurai berbagai tantangan dan hambatan yang menjadi realitas menjengkelkan di negeri ini ---seperti korupsi, ketidakcakapan manajemen, kekurangan sumber daya manusia, dan otonomi yang kebablasan. Hal-hal itu, menurut buku ini, menjadi penghambat dominan atas suksesnya pembangunan infrastruktur di nusantara ini.

Secara keseluruhan, buku ini terdiri dari sembilan bab. Masing-masingnya: BAB I Pendahuluan; BAB II Infrastruktur dan Pertumbuhan Ekonomi; BAB III Politik Infrastruktur; BAB IV Gambaran Besar Infrastruktur Indonesia; BAB V Kinerja Komisi V DPR RI, BAB VI Anggaran Infrastruktur; BAB VII , BAB VIII Politik Infrastruktur; BAB IX Rekomendasi. Kesemua pembagian bab tersebut terikat dalam benang merah yang sama: asumsi, teori, dan argumentasi tentang pentingnya pembangunan infrastruktur menjadi panglima di negeri ini.

Sisi Lain
Buku ini adalah dokumen yang representatif. Selain bersumber pada laporan-laporan pemerintah yang membidangi isu infrastruktur, kutipan dari media massa, hasil pengamatan lapangan, dan perbandingan dengan negara lain, juga mencantumkan dialektika dan proses politik di parlemen, yaitu di Komisi V DPR RI (membidangi infrastruktur ke-PU-an, dan transportasi).

Ternyata ada masalah krusial di parlemen, menyangkut tugas mereka di bidang legislasi (pembuatan undang-undang), anggaran, dan pengawasan terhadap program kerja pemerintah. Di Komisi V, sebagaimana terurai dalam buku ini, isu infrastruktur adalah isu seksi. Mengingat besarnya alokasi dana yang dibutuhkan. Tak heran, banyak anekdot dialamatkan ke Komisi V ini, seperti sebutan sebagai “komisi basah”.

Namun, satu hal yang kurang diketahui publik, bahwa kerapkali usulan dari Komisi V mentok ---mendapat respon lamban dari pemerintah, atau bahkan terabaikan sama sekali. Tak sedikit anggota Komisi V mengeluh, bahwa aspirasi dari konstituen mereka di daerah tidak terealisasi, karena tidak mendapat tindak lanjut dari pemerintah. Sisi lain, juga mengurai masalah “pertarungan” dalam meloloskan anggaran. Kepentingan pemerintah, vested interest dari partai politik, dan maneuver dari Anggota Komisi V, sering mewarnai pembahasan di bidang anggaran infrastruktur.

Catatan akhir, buku ini (semoga) menjadi tradisi baru di DPR RI. Sebelumnya, laporan kerja DPR RI, termasuk yang bersumber dari setipa komisi, terpatok sebagai dokumen kedinasan semata. Kering dari paparan argumentasi, miskin analisis, dan ditulis dengan bahasa kering. Beda dengan buku ini, yang diperkaya dengan segala macam dokumen ---bersumber dari dalam maupun luar DPR RI. Lagipula, tidak berwajah tunggal, melainkan mencantumkan analisis dan kritik terhadap kinerja dewan. Sayangnya, terlalu banyak pengulangan tematik ---agaknya memperlihatkan semangat menggebu--- tentang pentingnya Infrastruktur menjadi panglima pembangunan ekonomi Indonesia. Juga di sana-sini berhamburan tabel atau data statistik yang mengganggu, dalam ukuran merampas seluruh halaman. Padahal, itu bisa disiasati dengan deskripsi secara paragrafis.

Panglima Ekonomi Terkini, Perjuangan Infrastruktur

ALAM mengamuk, negeri ini nyaris remuk. Di sana-sini, spasi ruang Indonesia seperrti bopeng. Sisi terjelas akibat natural dissaster (gangguan alam) itu adalah infrastruktur yang luluh lantak. Meninggalkan beban besar untuk semua pihak. Seperti yang sudah-sudah, proses mitigasi (penanggulangan paska bencana) adalah melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi terhadap fasilitas publik yang berbentuk fisik (infrastruktur jalan, telekomunikasi, kesehatan, pendidikan, dan lain sebagainya).

Namun bukan berarti segalanya tamat. Justru kerusakan infrastruktur adalah pelajaran berharga. Dunia mencatat dengan detil, ketika Amerika Serikat, Eropa, dan paruh lain di berbagai belahan dunia hancur akibat perang, justru “proyek” pembangunan infrastruktur mejadi penyelamat. Melalui The Marshall Plan (dengan titik berat pembangunan infrastruktur), negara-negara yang limbung akibat peperangan dahsyat itu mampu bangkit.

Di era terdekat, ada contoh bagus dari Thailand. Negeri Gajah Putih itu nyaris terhempas gara-gara krisis moneter di 97-98 ---sebagaimana juga negara Asia Tenggara lainnya, termasuk Indonesia. Namun beruntung, para pemimpin politik di negeri jiran itu memilih langkah cerdas: menghela pembangunan infrastruktur sebagai penyelamatan krisis. Mereka berhasil ---terbalik dengan Indonesia, yang justru di saat itu takluk terhadap formula IMF, dan menyisakan sedikit anggaran untuk pembangunan infrastruktur.

Pelajaran kelam juga bisa dipetik dari China. Betapa paska revolusi merah dan keganasan rezim Mao, negara tirai bambu ini terjebak dalam ekonomi yang tertutup, terkomando, dengan hasil menyedihkan. Beruntung, pengganti Mao, yaitu Deng Xiaoping, melakukan terobosan bagus, menggenjot pembangunan infrastruktur di negerinya. Ia bahkan belajar ke pelosok bumi, termasuk meminta nasehat kepada Lee Kwan Yew (Perdana Menteri Singapura saat itu). Hasilnya jelas, China kini menjadi kekuatan baru perekonomian global.

Bilakah Indonesia, dengan segenap potensi yang meruah, dan juga pengalaman pahit akibat gempa-tsunami-banjir itu bangkit? Seraya memetik pengalaman negara lain, yaitu mendorong (dengan kekuatan penuh) pembangunan infrastrukturnya? Ringkasnya: mengucurkan APBN dalam proporsi besar untuk proyek infrastruktur, memangkas rantai birokrasi yang terlalu panjang, memetakan tata ruang yang tepat, mengundang sebayak-banyaknya investasi asing, dan merangkul partisipasi publik di dalamnya. Buku ini dengan terperinci mengulas poin-poin yang baru saja disebutkan.

Tawaran Tinggi
Padat kata, buku ini mengusung misi tegas ---hampir tanpa kompromi. Meneriakkan dengan lantang, agar segenap kekuatan bangsa tersadar dari khayal panjang. Di halaman belakang, BAB IX, Rekomendasi, menyatakan bahwa perjuangan infrastruktur adalah perjuangan untuk menggolkan alokasi APBN sebesar minimal 15% dari APBN ---sedikit di bawah anggaran pendidikan. Dasar asumsinya: pembangunan infrastruktur menjadi urat nadi dan menggerakan laju pertumbuhan ekonomi. Meminta dengan argumentasi panjang, agar kepemimpinan Indonesia, anggota parlemen, media massa, LSM, dan komponen civil society lainnya berada dalam arus yang sama, memperjuangkan anggaran besar untuk program infrastruktur nasional.

Di bagian lain, BAB VIII, Paradigma Infrastrutur Indonesia, membedah tuntas asumsi-asumsi teoritik, baik dari perspetif ekonomi, politik, otonomi daerah, financial, fiskal, dan termasuk juga struktur birokrasi, yang mengharuskan lahirnya “perspektif baru” atas fenomena infrastruktur Indonesia. Termasuk mengurai berbagai tantangan dan hambatan yang menjadi realitas menjengkelkan di negeri ini ---seperti korupsi, ketidakcakapan manajemen, kekurangan sumber daya manusia, dan otonomi yang kebablasan. Hal-hal itu, menurut buku ini, menjadi penghambat dominan atas suksesnya pembangunan infrastruktur di nusantara ini.

Secara keseluruhan, buku ini terdiri dari sembilan bab. Masing-masingnya: BAB I Pendahuluan; BAB II Infrastruktur dan Pertumbuhan Ekonomi; BAB III Politik Infrastruktur; BAB IV Gambaran Besar Infrastruktur Indonesia; BAB V Kinerja Komisi V DPR RI, BAB VI Anggaran Infrastruktur; BAB VII , BAB VIII Politik Infrastruktur; BAB IX Rekomendasi. Kesemua pembagian bab tersebut terikat dalam benang merah yang sama: asumsi, teori, dan argumentasi tentang pentingnya pembangunan infrastruktur menjadi panglima di negeri ini.

Sisi Lain
Buku ini adalah dokumen yang representatif. Selain bersumber pada laporan-laporan pemerintah yang membidangi isu infrastruktur, kutipan dari media massa, hasil pengamatan lapangan, dan perbandingan dengan negara lain, juga mencantumkan dialektika dan proses politik di parlemen, yaitu di Komisi V DPR RI (membidangi infrastruktur ke-PU-an, dan transportasi).

Ternyata ada masalah krusial di parlemen, menyangkut tugas mereka di bidang legislasi (pembuatan undang-undang), anggaran, dan pengawasan terhadap program kerja pemerintah. Di Komisi V, sebagaimana terurai dalam buku ini, isu infrastruktur adalah isu seksi. Mengingat besarnya alokasi dana yang dibutuhkan. Tak heran, banyak anekdot dialamatkan ke Komisi V ini, seperti sebutan sebagai “komisi basah”.

Namun, satu hal yang kurang diketahui publik, bahwa kerapkali usulan dari Komisi V mentok ---mendapat respon lamban dari pemerintah, atau bahkan terabaikan sama sekali. Tak sedikit anggota Komisi V mengeluh, bahwa aspirasi dari konstituen mereka di daerah tidak terealisasi, karena tidak mendapat tindak lanjut dari pemerintah. Sisi lain, juga mengurai masalah “pertarungan” dalam meloloskan anggaran. Kepentingan pemerintah, vested interest dari partai politik, dan maneuver dari Anggota Komisi V, sering mewarnai pembahasan di bidang anggaran infrastruktur.

Catatan akhir, buku ini (semoga) menjadi tradisi baru di DPR RI. Sebelumnya, laporan kerja DPR RI, termasuk yang bersumber dari setipa komisi, terpatok sebagai dokumen kedinasan semata. Kering dari paparan argumentasi, miskin analisis, dan ditulis dengan bahasa kering. Beda dengan buku ini, yang diperkaya dengan segala macam dokumen ---bersumber dari dalam maupun luar DPR RI. Lagipula, tidak berwajah tunggal, melainkan mencantumkan analisis dan kritik terhadap kinerja dewan. Sayangnya, terlalu banyak pengulangan tematik ---agaknya memperlihatkan semangat menggebu--- tentang pentingnya Infrastruktur menjadi panglima pembangunan ekonomi Indonesia. Juga di sana-sini berhamburan tabel atau data statistik yang mengganggu, dalam ukuran merampas seluruh halaman. Padahal, itu bisa disiasati dengan deskripsi secara paragrafis.

Senin, Oktober 05, 2009

Krakatau, Ketika Dunia Meledak!


"PERADABAN manusia," tulis Will Durant, "ada atau tidak ada tergantung dari restu geologis." Tentu saja. Manusia bisa lenyap meski telah membangun benteng kota seteguh Kota Add versi Kaum Tsamud, di zaman Nabi Sholeh (ketika permukaan bumi terbalik ---setidaknya begitu versi Kitab Suci).

Dan fenomena geologis yang kacau adalah rentetan bencana tanpa banding.

Kejahatan yang bersumber atau karena kelalaian manusia, belum sanggup mengubur peradaban. Diukur dari skala pengaruh, kecepatan, jumlah korban binasa, dan terutama dampak jangka panjang yang menyertai.

Korban kudeta berdarah sekalipun, terutama di era negara bangsa moderen kini, agak kurang dahsyat dibanding, misalnya, guncangan gempa dan amukan badai. Peristiwa Tsunami 2004, di Bumi Nanggroe Aceh Darussalam misalnya, yang menewaskan ratusan ribu orang, adalah ratusan kali lipat lebih besar dibanding jumlah yang tewas dalam Pesawat Adam Air yang hilang.

Butuh puluhan kecelakaan tol, atau kebakaran se-kecamatan di kawasan padat, untuk melampaui jumlah tewas yang terjadi di Padang hari ini. Angka lima ratus orang meninggal tidaklah sedikit. Meski, lelucon sinis mengatakan: koraban tewas 10 orang adalah berita, 100 orang adalah tragedi, dan 1000 orang adalah statistik!

Anda bisa mendebat. Bagaimana dengan ancaman nuklir, yang kini bisa ribuan kali lebih membinasakan dibanding peritiwa Hirosima dan Nagasaki? Tenang, itu bukan ancaman sebenarnya, kata Arnold Toynbee, dalam kata pengantar untuk buku Jerit Perdamaian, tentang penderitaan korban perang di Jepang. Mengapa? Karena kalau terjadi perang nuklir, tak akan ada pemenang yang sesungguhnya. Semua akan binasa. Tak akan ada rezim konyol yang mengawali perang untuk kemusnahan negerinya sendiri.

Ingatan mungkin akan melayat ke tindakan brutal Hitler, pembantaian Yahudi ---horor Holocaust. Atau data-data kontroversial akibat kebrutalan perang saudara di Indonesia paska G30S, atau "the killing field-nya" Polpot, revolusi budaya Mao Tsetung, dan serangkaian aksi penjagal dan konflik rasial di muka bumi ini. Baiklah, barangkali ribuan manusia binasa. Tetapi itu terjadi dalam proses yang memakan waktu. Beda dengan amukan alam, sekali ledakan, blarrr!


Krakatau
Dunia meledak, di Agustus 1883. Letupan lahar menyemburat ke ujung langit, sampai-sampai nelayan di pasifik mengira di seberang sana ada api neraka. Lelehan magma meluber. Uap panas, hujan debu, belerang, dioksida, fosfor, dan belerang, membumbung hingga empat bulan, membentuk suatu catastrophe (seperti tutupan atap di atmosfer). Letusan Krakatau bahkan secara fisik terasa hingga ke Australia, Manila, dan pulau-pulau kecil di Afrika. Korban tewas saat itu mencapai 36 ribu (ingat, populasi Batavia waktu itu cuma ratusan ribu orang). Konon, bukti-bukti vulkanologis yang tersedia menyebut ledakan itu adalah kelima terbesar sepanjang sejarah. Empat yang lainnya...terjadi di zaman Purba.

Bukan peristiwa itu yang menarik ---setidaknya bagi kita, bangsa pelupa.

Buku Simon Winchester, diterbitkan Serambi, Tahun 2006, ini mengabarkan potensi yang mengancam. Hari ini, Gunung Rakata, yang muncul-membesar-mengancam dari reruntuhan "ibunya" yaitu Gunung Krakatau, kini telah berusia matang. Tak bisa dipastikan si anak baru ini berperilaku sopan ---tak seperti pendahulunya yang memuntahkan bebatuan panas dan menimbulkan Tsunami setinggi belasan meter di Selat Sunda. Dengan keliahan bertutur disertai dokumentasi klasik, penulis buku ini membuat telaah sejarah. Menurutnya, gugusan gunung di ujung barat Pulau Jawa itu telah belasan kali berulah. Sebelum "kiamat" di 1883 itu, Krakatau (atau apapun namanya) pernah pula meledak di Tahun 1600-an. Artinya? Hitungan matematika dasar akan menyebut: terjadi siklus 200 tahunan, untuk mengulang letupan Krakatau. Kini, nyaris 1,5 abad lebih setelah ledakan Krakatau di 1883 itu.

Bagaimana prediksi pakar?

Marco Fulle (51) ilmuwan, astronomer, dan pakar gunung api, dari Italia, mencoba mengingatkan bahayanya letusan Krakatau.

“Ledakan seperti 1883 bakal terjadi lagi. Krakatau akan menjadi sangat berbahaya jika tingginya sudah setara dengan ketinggian 1883, atau dua kali dari tinggi sekarang,” katanya. Meskipun begitu, tidak ada jaminan ledakan tidak terjadi dalam waktu dekat.

Bahkan ada nujuman yang lebih mendebarkan. Ramalan Drosnin, Gilbert, atau nubuat Bangsa Maya, tentang ancaman 2012 barangkali lebih cepat dibanding siklus dua abad versi Krakatau. Meskipun temanya tetap sama: kekacauan alam semesta ini.

Pikiran waras kita akan buru-buru berdoa, atas nama agama atau Tuhan apa saja, agar seperti ramalan sejenis lainnya, hitung-hitungan berbau klenik itupun (kembali) melenceng. Sepusing apapun, hiduplah terus. Utang masih bisa dibayar. Lantaran anda tak bisa menyewa pengacara jika badai taufan menghumbalang di kampung halaman.


Petikan Hikmah
Seperti solidaritas dunia terhadap Ranah Minang saat ini, seperti perdamaian Helsinki paska Tsunami Aceh, bencana-bencana besar senantiasa menyembulkan hikmah. Luberan lahar meneburkan lapisan humus yang menyuburkan tanah pertanian, seperti yang terjadi setelah Galunggung (di Jawa Barat) meletus. Dulu, ledakan Krakatau juga melahirkan dampak sampingan yang sama-sama luar biasa.

Buku ini menyulam dengan halus, fakta-fakta filologi (naskah kuno), gulungan catatan klasik, koleksi pamflet, laporan telegraf dari Kumpeni Belanda, sampai studi vulkanologi dan rekaman sejarah yang sangat ilmiah. Menghadirkan fakta-fakta menarik seputar bencana Krakatau.

Beberapa diantaranya kontroversial. Seperti pembuktian bahwa era globalisasi yang disebut bak mantra oleh manusia penggila internet kini, bermula dari Krakatau. Saat itu adalah era Victorian, di kala koran-koran Eropa punya kontributor di negeri terjauh ---termasuk di Kota Batavia. Guncangan Krakatau adalah peristiwa dalam sejarah yang informasinya tersebar cepat, karena kiriman berita via telegraf (yang belum lama diciptakan).

Dampak Krakatau juga berdimensi politik, mungkin sama dengan penandatanganan damai antara GAM dan Pemerintah RI. Bedanya, yang di Aceh adalah gencatan senjata, sementara di Tatar Sunda malah angkat senjata. Menurut buku ini, lima tahun setelah letupan Krakatau, terjadi Geger Cilegon, perlawanan kaum tani dan Kyai di Banten terhadap kolonialisme Belanda. Lahar Krakatau menggelegak dalam pemberontakan itu, karena keyakinan bahwa alam marah atas tingkah-polah penjajah.

Petikan menarik dari dampak Krakatau, adalah lahirnya kekayaan vegetasi (biodiversity) baru di ujung barat Pulau Jawa itu. Setelah luluh lantak, dan menyisakan abu vulkanik, batu panas, pohon yang merangas, serta semak berarang, justru muncul kehidupan baru di pulau itu. Kehidupan laba-laba, tumbuhan dan burung, lalu lama-lama berubah menjadi hutan belantara. Tak akan pernah habis pikir kita tentang bagaimana binatang dan tumbuhan itu sampai pulau itu. Bagaimana mereka bisa melintasi lautan meninggalkan induknya di seberang sana.


Catatan:
Simon Winchester, penulis buku ini, adalah kelahiran Skotlandia yang menyelesaikan studinya di Jurusan Geologi Universitas Oxford, Inggris. Penulis berjuluk The Madman Professor ini telah banyak menulis petualangannya di berbagai penjuru dunia untuk National Geographic, Conde Nats Traveler, dan Smithsonian, juga telah menyelesaikan 18 buku.

Jumat, Oktober 02, 2009

Syekh Nawawi, Intelektual Banten Yang Kesepian


EMHA Ainun Nadjib pernah berseloroh, nama-nama perguruan tinggi negeri di Indonesia jarang yang menggunakan nama tokoh intelektual atau para pemikir besar. Kebanyakan justru memakai nama penguasa atau para penakluk di masa silam. Apakah ini gambaran kekurang-hormatan kita terhadap kecendekiawanan?


Jika diurut kacang, kemunculan kampus dengan para tokoh intelegensia Indonesia, baru belakangan hadir. Itupun terjadi pada kampus-kampus kelas mediocre, bahkan salah satu diantaranya menjadi sarang tawuran mahasiswa. Kita sebut saja, misalnya, Universitas Bung Karno. Lalu yang lain, Universitas Bung Hata. Sementara perguruan tinggi berkelas, memakai nama “pahlawan perang”. Semisal Universitas Gadjah Mada dan Universitas Sultan Hasanuddin. (Tetapi, selalu ada perkecualian, Universitas Sam Ratulangi, Manado, yang memakai nama seorang Doktor Matematika pertama dari Indonesia, yaitu DR. GSSJ Ratulangi).


Sindiran Cak Nun (Emha Ainun Nadjib), langsung menohok kesadaran. Memang benar, penghargaan terhadap para pemikir, intelektual, dan tokoh-tokoh yang berjasa dalam melakukan pencerahan berfikir di negeri ini terasa sepi. Agaknya, sikap ini pula yang menjangkiti masyarakat di Provinsi Banten.


Untirta
Kampus adalah ikon pertumbuhan intelektualisme. Di Provinsi Banten, Perguruan Tinggi yang ada adalah Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Nama tokoh ini, adalah ahli siasat dan strategi perang dalam sejarah Kesultanan Banten. Ia berkali-kali merepotkan Armada Portugis, dan untuk jasanya itu orang Banten layak bangga. Tapi dalam urusan intelektulisme, Sultan Ageng kalah kelas dari pendahulunya, yaitu Sultan (atau Maulana) Muhammad, anak dari Sultan Yusuf, cucu dari Sultan Hassanudin, dan buyut dari Fatahillah (Sunan Gunung Djati).

Catatan menyebutkan, di masa Maulana Muhammad, kesultanan Banten menjadi pusat pendidikan ke-Islam-an. Para santri dari pelosok nusantara berdatangan, bahkan dari luar, seperti dari Malaysia, Fillipina, Gujarat, dan tentu saja Arab. Sang Maulana bahkan menulis banyak kitab, yang menjadi referensi di Pondok Pesantren Kasunyatan saat itu. Idealnya, mercusuar intelektualisme Banten adalah Maulana Muhammad, bukan Sultan Ageng Tirtayasa.

Tapi lebih menyedihkan lagi, tak ada satupun nama lembaga pendidikan elit di Banten yang menggunakan nama sekaliber Syekh Nawawi Al Bantani. Tidak pula untuk nama Gedung Perpustakaan, Laboratorium, Pesantren besar, Museum, atau sekedar Jalan Protokol di Provinsi Banten. Nama “Mahaguru Ulama se-Hijaz” ini tak mendapat tempat dalam ranah “intelektualitas” publik Banten.

Sang Mahaguru
Warisan Intelektual Syekh Nawawi adalah sumur tanpa dasar. Ratusan kitab telah ditulis, puluhan diantaranya menjadi referensi utama dalam mazhab Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Belasan bukunya menjadi bacaan wajib pondok-pondok pesantren di Jawa, Sumatera, Sulawesi, Borneo, Mayalsia, Filipina, dan bahkan Thailand ---pun hingga saat ini. Sungguh tak berlebihan, kalau kemudian gelar sebagai Tokoh Kitab Kuning tersemat kepadanya.


Meski tak semua karya tulisnya terlacak, namun sejarah tak pernah meragukan kefasihan Sang Mahaguru kelahiran Tanara, Serang, Banten ini. Tak sedikit informasi menyebutkan, kitab-kitab Syekh Nawawi masih dicetak ulang di Universitas Al Azhar Kairo, Mesir, hingga saat ini. Ada satu cerita, bahkan sembari menunggang unta sekalipun, Syekh Nawawi terus menulis buku, yang berjudul syarah kitab
Syarah Bidayatul Hidayah (penjelasan dari Kitab yang ditulis Al Ghazali). Kapan Banten melahirkan putera cemerlang seperti ini lagi?


Teladan (ter)Hebat
Syekh Nawawi juga memperlihatkan diri sebagai cendekiawan dengan etos paripurna. Ia bukan hanya cerdas dan rajin menelurkan kitab. Namanya harum bukan semata karena mampu menjadi Imam di Masjidil Haram, Mekah. Atau karena sikap anti kolonial dan perlawanannya terhadap Belanda. Sebagai intelektual, sikap dan perilakunya juga menggetarkan. Hidup bersahaja, berpakaian apa adanya, tutur kata lembut, dan adab kesopanan yang tulus, adalah tetesan teladan yang membanggakan kita semua.

Simak pengakuan seorang Orientalis Belanda, yang berhasil menyusup ke Mekah, yaitu Snouck Hugronje. Menurutnya, Syekh Nawawi adalah tokoh yang sangat rendah hati dan tidak pernah memperhatikan penampilan. Suatu saat ia pernah bertanya: “Wahai Syekh, mengapa anda tidak menjadi pengajar di Masjidil Haram?” Dijawab oleh Syekh: “saya tak pantas di situ, karena pakaian saya tidak sesuai dengan kemuliaan seorang professor di sana.”


Banten Kini
Nyaris sempurna tokoh kita ini. Tetapi apa yang terjadi dengan sanak keturunannya saat ini? Banten adalah simbol kebodohan berpolitik, dan ketertindasan ekonomi. Penguasa Banten di zaman internet ini bukan berlatar akademik, professional, atau pemikir brilian. Melainkan bersumber dari keangkeran Pendekar, Jago Silat, atau kebrutalan fisik.

Dalam beberapa kali peristiwa penting di Republik ini, masyarakat Banten dipakai sebagai boneka mainan para penguasa. Di Era Malari 1974, gerombolan perusuh adalah orang-orang Banten yang disewa tentara (seperti tercantum dalam Dokumen Ramadi). Di masa awal Reformasi, lagi-lagi terulang, para pendekar Banten ditipu untuk melawan mahasiswa, diperalat sebagai PAM Swakarsa, juga oleh tentara.

Di hari-hari terakhir pun, Banten dipermalukan oleh jaringan terorisme yang tumbuh subur. Tak ada jiwa Syekh Nawawi secuil pun!!!

Lebih gila, sikap penghormatan terhadap Syekh Nawawi adalah bertolak-belakang dengan intelektualitas sang Mahaguru. Minggu-minggu ini, persis di pertengahan Bulan Syawal, ribuan penziarah berbondong-bondong ke Tanara, melakukan Haul Syekh Nawawi. Tetapi, bukan untuk belajar kitab. Tidak untuk mempelajari karya-karya Sang Syekh. Melainkan untuk terjerembab dalam “tradisi” berbau khurafat-takhayul-mistis! Mereka ingin mendapatkan berkah…

Pantas saja, ketenaran Syekh Nawawi di benak masyarakat awam Banten adalah memori sesat dan keliru. Mereka mengira Sang Syekh adalah tokoh mistis, yang bisa pergi ke Mekah dalam kecepatan secepat petir. Atau mampu menggoyang Mekkah dengan cara menggelengkan kepala saja. Ketololan luar biasa!!!

Jumat, September 25, 2009

Edisi Baru Buku 100 Tokoh Paling Berpengaruh


BERMILYAR manusia sempat mencicipi hidup di jagat dunia. Namun sedikit saja yang menancapkan pengaruh secarah kokoh ---menjadi ingatan sejarah sepanjang waktu. Orang-orang yang melegenda itu, berbaur dalam aneka jenis. Dari tokoh bijak bestari, Nabi, hingga penguasa despotik yang bengis sekalipun. Wajar belaka, bila memori kita kemudian menyimpan file berikut: dari Yesus, Muhammad, Budha, Lao Tze, hingga hingga Hitler, Polpot, Stalin, atau bahkan Mao.


Dan tradisi perbukuan punya cara untuk itu. Merekam sepak terjang manusia-manusia pilih tanding, dalam jutaan lembar teks pustaka. Praktek inilah yang melahirkan berbagai artefak sejarah, dalam biografi, hegiografi, ensiklopedi tokoh, dan semacamnya. Lebih spesifik lagi, adalah buku-buku yang menyimpan nama-nama para tokoh. Seperti dalam Whos Who, Apa dan Siapa, serta yang paling kontroversial ini: 100 Tokoh Paling Berpengaruh dalam Sejarah....


Berpenanda tahun 1978, buku 100 Tokoh ini terbit. Seorang bernama Michael H. Hart, lahir 28 April 1923, pernah bekerja di NASA, adalah guru besar astronomi dan fisika di Maryland, Amerika Serikat. Hart mendapat sorotan dunia berkat buku yang ditulisnya itu. Entah sudah berapa edisi dan berapa bahasa yang menerbitkan kembali buku ini. Jelas, kalau sekedar ingin populer, Michael Hart telah melampaui itu. Alumni NASA itu bahkan memetik kontroversi ---bahkan hingga saat ini. Dan itu ia jawab dengan edisi revisi buku ini.


Mengapa ia menulis ulang? Seraya membuang beberapa nama yang sebelumnya masuk daftar 100, disertai penjelasan detail.


“Satu alasan untuk membuat revisi,” kata Hart, “adalah bahwa sejarah tidak berhenti di tahun 1978, ketika edisi pertama buku ini ditulis. Sebaliknya, banyak peristiwa baru terjadi sejak itu—beberapa di antaranya tidak terantisipasi—dan tokoh-tokoh sejarah baru bermunculan. Walaupun pengetahuan saya tentang masa lalu memang sempurna pada dua belas tahun lampau, buku ini tetap membutuhkan revisi karena dunia telah berubah sejak itu.”



Nabi Muhammad
Ummat Islam mungkin tak memusingkan perguliran kontroversi. Tetapi bukan berarti subyektivitas buta, jika kemudian buku ini nyaris menjadi fardu kifayah, tersimpan baik di rak perpustakaan (di rumah atau komunitas mereka). Buku ini toh memakai tata krama sahih dalam penulisan, standar yang jelas. Ada tujuh kriteria, mengapa sebuah nama masuk dalam 100 daftar.


Menurut Hart sendiri, aturan pertama yang dia gunakan adalah orang yang masuk dalam daftar merupakan tokoh yang benar-benar ada. Aturan kedua, Hart tidak hanya memilih tokoh yang paling terkenal atau prestisius dalam sejarah. “Ketenaran, atau bakat, atau kemuliaan karakter tidaklah sama dengan pengaruh,” tulis Hart. Aturan ketiga, Hart tidak membatasi daftar orang yang masuk dalam bukunya hanya pada orang-orang yang memengaruhi kondisi umat manusia saat ini. Pengaruh pada generasi terdahulu juga dipertimbangkan dalam posisi sejajar.


Aturan keempat, dalam menetapkan di mana tepatnya seseorang berada, Hart amat menekankan arti penting dari kontribusinya terhadap sebuah gerakan sejarah. Secara umum, perkembangan sejarah besar tidak pernah bergantung pada tindakan satu orang saja. Karena buku ini menyangkut pengaruh individu dan pribadi, Hart berusaha membagi pujian sebuah perkembangan pada beberapa orang yang berpartisipasi di dalamnya. Dengan begitu, perorangan tidak diperingkatkan bersejajaran dengan arti penting dari peristiwa atau gerakan yang terkait dengannya.


Aturan kelima, setiap orang yang dimasukkan dalam buku ini dipilih berbasiskan pengaruh aktualnya, bukan sebagai perwakilan sebuah gerakan penting. Aturan keenam, setiap orang yang masuk dalam daftar di buku ini—menurut pemahaman Hart—merupakan tokoh-tokoh yang amat monumental dalam sejarah. Aturan ketujuh, buku ini didasarkan pada apa yang sungguh terjadi di masa lalu, bukan apa yang seharusnya terjadi, atau apa yang mungkin terjadi jika masyarakat manusia lebih memgutamakan kesetraan. Demikian “ketujuh” aturan yang dicoba disarikan dari buku karya Hart.


Khusus Nabi Muhammad, penempatannya dalam peringkat pertama karena pengaruh langsung yang dilakoni sang Nabi sendiri. Menurut Hart, berbeda dengan Isa, Budha, atau tokoh agama lainnya, Muhammad adalah pemimpin politik (duniawi) sekaligus ukhrawi (akherat, keagamaan). Tulis Hart: dialah Nabi Muhammad satu-satunya manusia dalam sejarah yang berhasil meraih sukses-sukses luar biasa baik ditilik dari ukuran agama maupun ruang lingkup duniawi.


Last But Not Least

Pesan gampangan untuk buku ini barangkali adalah klasik: memperkaya khasanah tentang ketokohan manusia-manusia besar. Tetapi, bila sepakat, ada juga tafsir lain, terutama dari lahirnya Edisi Revisi baru ini. Bahwa sejarah tak pernah berhenti. Tokoh legendaris bisa lahir dan berakhir. Keterkenalan dan kehebatan, juga tak semata-mata bersumber dari kebaikan, tapi juga kedholiman. Pilihan ada di tangan, berkiblat ke mana?

Buku Tentang Tokoh Pendiri (Mobil dan Motor) Honda


SETIAP menyimak pemberitaan mudik, hati saya selalu giris. Terutama untuk angka kecelakaan transportasi yang grafiknya tak pernah turun. Sepertinya fenomena ini melawan hajat sejarah. Bahwa dulu, ketika moda transportasi diciptakan, entah motor, mobil, atau kereta api, tujuannya adalah untuk kenyamanan manusia. Tetapi dalam kasus mudik, semua seolah terbongkar.


Lebih gila lagi adalah kecelakaan (yang disebabkan) oleh kendaraan bermotor roda dua. Artikel pendek ini mengulas tentang cita seorang penemu mesin motor-mobil bermerek honda. Barangkali menambahi perspektif anda tentang "penyakit" mudik.



Soichiro Honda
Soichiro Honda akan menangis bila saja saat ini ia masih hidup, seraya melihat Jakarta, Semarang, Surabaya, atau kota-kota besar lainnya di Indonesia. Karya inovatifnya di bidang otomotif (mobil dan motor) ----yang dikemudian hari berlabel Honda, hari ini (telah) memakan begitu banyak korban. Tak terkecuali para pemudik di Indonesia.

Perintis awal pabrikan otomotif Honda itu mungkin akan bergumam, bahwa hasil perjuangannya sama senasib dengan Alfred Nobel, seorang penemu dinamit. Kita tahu persis, atas rasa sesal mendalam, Alfred Nobel menyumbangkan seluruh hartanya untuk ikhtiar perdamaian dunia, melalui piagam bergengsi bernama Hadiah Nobel. Barangkali, inilah yang disebut dengan kompensasi.

Mengapa Soichiro Honda pantas menangis? Di Indonesia, ledakan populasi kendaraan bermotor gila-gilaan. Menggelembungkan asap polutan di atmosfir dan itu berarti memperlebar lubang ozon. Menguras sumber daya energi. Biang kemacetan, dan lebih miris lagi menelan ribuan korban di jalanan.

Data terbaru menyebutkan, 373 nyawa meradang di jalur mudik, dengan jumlah kecelakaan mencapai 1.027 kasus. Modus umum yang muncul adalah kecelakaan karena kendaraan bermotor (roda dua atau roda empat, enam, dst). Dari berbagai riset, seringkali menyebutkan biang keladi kecelakaan adalah kendaraan (ber)motor roda dua. Agak mudah diterima, bahwa standar keamanan dan perilaku pengemudi roda dua adalah menyedihkan ----terutama anak-anak muda yang ugal-ugalan.


Alasan lain, konon Soichiro Honda ketika merancang sepeda motor tak lain guna tujuan sangat mulia. Ia melihat bahwa bis umum, kapal laut, pesawat terbang, dan kereta api punya kelemahan mendasar: tidak mampu melayani jalur-jalur khusus berjarak pendek. Tidak lincah berkelak-kelok di jalan perkampungan. Sifatnya melayani jalur umum. Beda dengan motor yang memiliki kelincahan untuk melayani rute pendek, berkelok, dan masuk ke kampung-kampung.


Tapi, sekali lagi, di Indonesia temuannya itu telah berubah menjadi petaka. Kendaraan bermotor roda dua, di Jakarta, malah jadi wahana kebut-kebutan, tunggangan liar anak-anak a-b-g, dan sarana kriminalitas. Belum lagi bila menyebut tumpukan motor yang menyesakkan jalanan Ibu Kota.



Gagal Sekolah

Tapi beruntung sejarah (ataupun biografi) tak melulu menyimpan tragedi. Di sana juga ada yang disebut dengan prestasi dan inspirasi. Sama belaka dengan sosok yang kita perbinangkan ini.


Kisah sukses Soichiro Honda mirip-mirip dengan legenda lain di kolong langit ini, terutama mereka-mereka dengan karya luar biasa besar dan berpengaruh (diantaranya menjadi kaya raya). Dalam biografinya, Soichiro Honda adalah orang yang gagal sekolah. Nilai pelajarannya selalu jelek, dan ia drop out, lantaran lebih asyik mengulik mesin daripada termangu bersandar di bangku kelas. Cerita seperti ini, juga terjadi pada Bill Gates, yang keluar dari perguruan tinggi bergengsi bernama Harvard University. Sekolah (ataupun kampus) memang bukan jaminan.


Succes Story mereka bertumpu pada minat dan kecintaan luar biasa pada obyek yang mereka tekuni. Kerja keras, konsisten membangun mimpi. Itulah kata kunci para pembesar di berbagai bidang. Kita tak akan kehabisan contoh untuk tipologi manusia terpilih seperti ini. Dalam banyak hal, celotehan Ivan Illich bahwa Sekolah itu candu menemukan titik kebenaran. Tak sedikit orang sekolah karena kecanduan dengan gelar, titel atau priveledge yang didapatkan. Tidak untuk berkarya dengan sungguh-sungguh.



Selain tragedi, prestasi, dan inspirasi, sejarah dan kisah orang-orang besar juga potensial melahirkan kontradiksi. Inipun, lagi-lagi, terjadi pada temuan Soichiro Honda. Dalam kasus tokoh penemu yang kita bahas ini, kontradiksi justru berawal dari idealismenya sendiri, menciptakan kendaraan serba cepat dan serba nyaman itu, kini seolah menguap bersama kepadatan lalu lintas, kemacetan, polusi, penghamburan energi, dan penonjolan gaya hidup tanpa henti. Anda sepakat?

Selasa, September 15, 2009

Toomy Soeharto, Isu, dan Buku Shandy Harun yang Ketakutan


MARIO PUZO, dalam novel Orang-Orang Sisilia (dan difilmkan dengan judul The Godfather oleh sutradara kawak Francis Ford Coppola, dibintangi Marlon Brando dan Al Capone), membuat ilustrasi menarik tentang ajaran saling percaya dalam keluarga mafioso, di Sisilia, Italia.


Begini. Don Carleone, meminta anak kesayangannya Michael Carleone, memanjat tembok. Begitu sampai atas, The Don menyuruh anaknya loncat. Sembari bertitah: Saya akan menangkap kamu di bawah sini, dan kamu tidak akan jatuh tersungkur. Si anak menurut. Langsung melompat. Apa yang terjadi? Ternyata The Don membiarkan anaknya jatuh terjerembab ke mencium tanah.


"Mengapa?" Tanya si anak protes.

Dengan dingin Don Carleone menjawab (lebih tepat memperingatkan)."Mulai hari ini kamu harus ingat, jangan percaya kepada perintah dan janji siapapun, ---kecuali terhadap keluargamu sendiri."


Dibalik kehidupan para mafioso yang bengis (sanggup meletupkan peluru ke dada lawan sembari menyesap wine), ternyata punya prinsip agung: kepercayaan terhadap klan, keluarga sendiri, dan mereka para Don itu teramat sangat mencintai keluarganya.


Pak Harto bukanlah The Don. Tradisi Jawa bahkan tak mengenal Mafioso (di Italia), Triad (di Hongkong), Yakuza (di Jepang), Cartel Narkotik (di Kolumbia), atau kehidupan ala Gangster sekalipun. Tetapi dalam satu dua hal, agaknya mirip-mirip. Tak banyak pihak yang bisa ia percayai. Dingin ---the smiling general---, enigmatik, misterius, dan mampu melumpuhkan lawan-lawan politiknya. Setidaknya, begitulah tuturan dari O.G. Roeder, penulis Biografi Soeharti, The Smiling General. Satu lagi tambahan: ia teramat sangat mencintai anaknya....


Dari sekian kontroversi terhadap Soeharto, baik yang ilmiah, provokasi, atau bahkan fitnah sekalipun, agaknya akan sepakat dalam satu hal: faktor kejatuhan Pak Harto didorong oleh sikap "berlebihan" dari para puteri dan ----terutama--- putera-puteranya. Tokoh-tokoh duniapun bilang begitu, termasuk Mahatir Muhammad dan Lee Kuan Yew. Salah seorang mantan diplomati Inggris yang berkantor di Jakarta (1998-2001), dengan liris menyatakan: Indonesia tanpa Soeharto tak akan seperti sekarang ini. Menyedihkan. Keserakahan anak-anaknyalah yang menghancurkannya.



The Golden Boys

Akankah Tommy comback dan mampu membangun kembali kejayaan "Kartel Politik Ekonomi Cendana"? Melalui pintu Ketua Umum Partai Golkar? Pasti tak mudah. Negeri ini meski tersaruk-saruk dalam pusaran konflik, toh, belum jatuh sebagai negeri mafia seperti Columbia ----di mana jaringan pengedar narkotika bisa menentukan hitam putihnya negeri di Benua Amerika itu.


Tak akan mudah bagi mantan Napi di Nusakambangan itu menutupi berbagai kasus hitam yang mengiringi perjalanannya. Jika didata, artikel ini akan menjemukan. Cukup kasus-kasus terbilang gajah. Diantaranya: kesemrawutan tata kelola cengkeh via BPPC, monopoli mobil nasional Timor, ruislag PT Goro dan Bulog, hingga keterlibatanya dalam pembunuhan Jaksa Agung Nasruddien ---yang membuatnya harus tinggal di Nusakambangan.


Lebih menarik mengulas isu-isu bawah tanah tentang putera bungsu kesayangan Pak Harto itu. Saya pernah membaca pengakuan mantan pengawal pirbadi Pak Harto (sayang, judul buku dan pengaranya tak terlacak, tak ada di Google).


Tommy pasti paling disayang. Sewaktu Tommy bujangan, kegiatan Pak Harto jika malam minggu justru adalah memantau ke mana dan dengan siapa anak emasnya itu pergi. Seraya memerintahkan anak buahnya itu untuk membuntuti Tommy. Bahkan ---kata buku itu--- orang-orang Pak Harto menyebar ke Pub, Bar, atau bahkan Klub Malam di mana Tommy berada. Asal tahu saja, terhadap anak-anaknya yang lain, Pak Harto tak begitu-begitu aman. Wajar, jika Tommy disebut sebagai The Golden Boy.


Buku Shandy Harun

Kata-kata apa yang harus kita ungkapkan, seandainya 25% saja dari isu-isu panas tentang Tommy Soeharto mengandung kebenaran. Mulailah dari publikasi koran The Age Australia, dan juga salah satu Tabloid di Belanda, tentang keterlibatan Don Yuan Cendana ini dalam Kartel Medellin, jaringan pengedar narkotika internasional. Begitu juga tentang kisah-kisah plamboyannya, hingga ia dijuluki Playboy (memang masih bisa dikategorikan isu, tetapi banyak pengakuan dan publikasi faktual yang telah terungkap, misalnya kedekatan dengan beberapa perempuan cantik, serta pesta-pesta kalangan jetset).


Sebenarnya ada peluang pengungkapan. Beberapa tahun lalu, mantan orang dekat Tommy, Shandy Harun (kakak Donna Harun, dan anak dari Harun Al Rasyid), menulis buku biografinya sendiri. Tetapi, sayang ia tak bercerita banyak tentang Tommy. Kepada media massa, Shandy mengaku bahwa jauh-jauh hari ia telah melakukan perjanjian dengan Tommy. "Jika saya suatu hari menulis buku," kisah Shandy, "saya tak boleh menceritakan hal-hal buruk tentang Mas Tommy." Tapi dari sini kita bisa menelurkan spekulasi nakal: berarti memang keburukan-keburukan Tommy parah... hingga tak boleh dipublish ke publik....


Akhirnya, negeri ini memang belum seperti Amerika atau negara-negara barat lainnya. Di mana orang-orang dekat dari manusia-manusia jahat (biasanya para tokoh) mampu menulis dengan berani. Perihal perilaku buruk para tokoh publik. Buku tentang para tokoh di negeri ini belum jauh bergerak dari Kitab Mazmur ---ucapan penuh puji-pujian. Hingga itu, gossip tak pernah selesai. Dan masyarkat pun tak belajar apa-apa dari situ. Begitulah....

Senin, September 14, 2009

Para Penulis Buku Yang Aneh


JANGAN kira Aidh Al Qorni, penulis La Tahzan, kaya raya. Meski karyanya dibaca jutaan orang, diterjemahkan dalam puluhan bahasa, ternyata pendapatannya dari penerbitan edisi pertama saja. Ia, kalah gesit oleh kapitalis buku. Hingga tak menerima royalty dari buku-bukunya yang dijual di berbagai negara (terutama) Islam.

Tetapi “tragedi penulis besar” itu bukan kasus pertama. Barangkali mirip dengan para seniman, entah pematung, pelukis, atau para penemu teknologi modern sekalipun. Ada anekdot, para seniman yang kaya raya itu adalah (justru) jandanya ---maklum, ketika si seniman wafat, karyanya menjadi legenda, harganya melangit, dan yang mencicipi berkah adalah isterinya yang masih hidup.

Dunia memang unik. Dibalik riwayat nasib sengsara para penulis besar, ada juga yang dengan sengaja tak ingin namanya terkenal, meski karyanya dibaca jutaan orang dari masa ke masa. Salah satu yang patut disebut adalah Imam Syafii. Ini adalah Ulama Besar dikalangan sunni, segala litetarur fiqh (syariah) yang dialamatkan ke namanya, konon adalah sesuatu yang tak dia minta. Sang Imam malah berkata: “Seandainya bisa, aku ingin namaku tidak tercantum di sampul buku-buku yang aku tulis.”

Sulit dipercaya hari ini lahir sikap kesalehan radikal seperti itu. Tidak untuk periode salaf (awal-awal perjuangan Islam, di 2,3 abad Hijriah).

Tradisi keulamaan dalam sejarah Islam awal memang mengenal prinsip-prinsip kesalehan luar biasa. Ini bergulir dalam praktek-prakek sufistik, seperti zuhud (asketism), wara (kehati-hatian), ro’ja (berprasangka baik), dan banyak lainnya. Mereka mempraktekkan pula kaidah untuk membersihkan kalbu dari unsur-unsur ujub-riya-takabur (aroganisme), dan sum’ah (ingin terkenal). Sang Imam, dalam perihal buku tanpa namanya itu, agaknya sedang mempratekkan prinsip terakhir.

Suatu posisi yang diametral dengan fenomena kepenulisan zaman modern ini. Orang menulis karena ingin terkenal. Kemudian, bila bukunya laku, tentu mengharap royalty. Sesuatu yang sangat manusiawi. Dan barangkali dalam kondisi tertentu memang sangat dibutuhkan. Terutama bila kita membahasakannya sebagai bentuk apresiasi terhadap karya yang telah dilahirkan.


Orang-Orang Aneh
Tapi zaman selalu melahirkan gharaba (orang-orang aneh, yang menentang arus zaman). Bahkan kata Ali Syariati, menyebut perkara ini sebagai kewajiban. Lihat saja, bila dalam masyarakat ada orang-orang yang aneh, kritis, berani melawan wacana umum, maka biasanya dia yang paling mampu menggerakan perubahan.

Teori sosiologi juga mengenal konsep creative minority. Bung Karno, Bung Hata, Sjahrir, Tan Malaka, adalah creative minority pada masanya. Mereka adalah sedikit tokoh yang berpikir berbeda dibanding benak masyarakat Hindia Belanda tempo doeloe. Sejarah membuktikan, merekalah yang sanggup memerdekakan bangsa ini.

Siapa penulis-penulis yang aneh, nyeleneh, nyentrik, dan melawan arus zaman saat ini?

Lupakan dulu soal “menolak” penghasilan dari keuntungan menulis buku, perkara ini agak sulit dicari saat ini. Lain perkara bila yang kita tangkap adalah spirit untuk berani melawan arus. Untuk ini, harapan bisa bertaburan.

Pertama adalah dalam aras menciptakan budaya tanding. Andrea Hirata, Dhee, Ayu Utami, segolongan kaliber yang member makna baru. Mereka penulis aneh karena memperlihatkan kekuatan budaya tanding atas trend chick-lit, buku-buku pop, dan karya fiksi yang mengeksploitasi romantisme dramatis. Bila boleh, Habiburahman El Shirazy masuk kelompok ini pula. Setidaknya ia memperkuat dengan dalil dan referensi kesilaman atas dramatisasi percintaan.

Kedua, para penulis yang melawan monopoli penerbitan besar, yang dalam ranah industri musik disebut major label. Jangan sampai dunia perbukuan didikte oleh selera pasar ---yang sejajar dengan selera kapitalis industri buku. Buku bagus tak harus dari penerbit besar dengan tipe yang itu-itu juga. Tetapi juga bisa (dan harus) dari pojok yang lain. Maka kita pun mengenal penerbit-penerbit mandiri, self publishing, dengan sumber yang meruyak. Mulai dari koleksi pribadi yang difotocopy, sampai buku yang diterbitkan dari blog. Seorang penulis terkenal di bidang motivasi, Edy Zaques, malah menyambut gejala ini. Bahkan katanya, menerbitkan buku sendiri jauh lebih menguntungkan, bebas dari potongan dan “kecurangan”.

Ketiga, penulis buku yang membuktikan demokratisasi gagasan. Kini siapapun orangnya, bisa menulis buku laku. Penyandingan gelar tak berarti banyak mendongkrak kualitas dan sukses pasar. Porsi pembubuhan title seperti ini cocok disampul belakang, sebagai afirmasi telah dibaca oleh Profesor, Doktor, atau para seleb di bidang keilmuan. Lantaran sebagai penulis, belum tentu gelar-gelar mewah itu menjadi jaminan mutu.

Seorang pembantu rumah tangga di luar negeri, yang sering secara kasar kita sebut TKW sekalipun, sanggup menulis buku bagus dan diserap pasar dengan baik. Contohnya adalah Eni Kurnia, yang menulis buku Anda Luar Biasa. Pengalaman akademik memang alat bantu saja, yang lebih penting adalah kegigihan. Olehnya, anak kecil atau remaja belia sekalipun, bila mau, bisa membuat karya pustaka.

Bukankah nikmakat bila fenomena seperti ini meledak? Pilihan makin banyak. Perang gagasan pun kian marak. Lebih penting lagi, peluang menciptak buku kian terbuka. Besok-besok, siapa tahu, andalah salah satunya (yang memberi warna pada kemajuan perbukuan kita). Semoga....

Para Penulis Buku Yang Aneh

JANGAN kira Aidh Al Qorni, penulis La Tahzan, kaya raya. Meski karyanya dibaca jutaan orang, diterjemahkan dalam puluhan bahasa, ternyata pendapatannya dari penerbitan edisi pertama saja. Ia, kalah gesit oleh kapitalis buku. Hingga tak menerima royalty dari buku-bukunya yang dijual di berbagai negara (terutama) Islam.

Tetapi “tragedi penulis besar” itu bukan kasus pertama. Barangkali mirip dengan para seniman, entah pematung, pelukis, atau para penemu teknologi modern sekalipun. Ada anekdot, para seniman yang kaya raya itu adalah (justru) jandanya ---maklum, ketika si seniman wafat, karyanya menjadi legenda, harganya melangit, dan yang mencicipi berkah adalah isterinya yang masih hidup.

Dunia memang unik. Dibalik riwayat nasib sengsara para penulis besar, ada juga yang dengan sengaja tak ingin namanya terkenal, meski karyanya dibaca jutaan orang dari masa ke masa. Salah satu yang patut disebut adalah Imam Syafii. Ini adalah Ulama Besar dikalangan sunni, segala litetarur fiqh (syariah) yang dialamatkan ke namanya, konon adalah sesuatu yang tak dia minta. Sang Imam malah berkata: “Seandainya bisa, aku ingin namaku tidak tercantum di sampul buku-buku yang aku tulis.”

Sulit dipercaya hari ini lahir sikap kesalehan radikal seperti itu. Tidak untuk periode salaf (awal-awal perjuangan Islam, di 2,3 abad Hijriah).

Tradisi keulamaan dalam sejarah Islam awal memang mengenal prinsip-prinsip kesalehan luar biasa. Ini bergulir dalam praktek-prakek sufistik, seperti zuhud (asketism), wara (kehati-hatian), ro’ja (berprasangka baik), dan banyak lainnya. Mereka mempraktekkan pula kaidah untuk membersihkan kalbu dari unsur-unsur ujub-riya-takabur (aroganisme), dan sum’ah (ingin terkenal). Sang Imam, dalam perihal buku tanpa namanya itu, agaknya sedang mempratekkan prinsip terakhir.

Suatu posisi yang diametral dengan fenomena kepenulisan zaman modern ini. Orang menulis karena ingin terkenal. Kemudian, bila bukunya laku, tentu mengharap royalty. Sesuatu yang sangat manusiawi. Dan barangkali dalam kondisi tertentu memang sangat dibutuhkan. Terutama bila kita membahasakannya sebagai bentuk apresiasi terhadap karya yang telah dilahirkan.


Orang-Orang Aneh
Tapi zaman selalu melahirkan gharaba (orang-orang aneh, yang menentang arus zaman). Bahkan kata Ali Syariati, menyebut perkara ini sebagai kewajiban. Lihat saja, bila dalam masyarakat ada orang-orang yang aneh, kritis, berani melawan wacana umum, maka biasanya dia yang paling mampu menggerakan perubahan.

Teori sosiologi juga mengenal konsep creative minority. Bung Karno, Bung Hata, Sjahrir, Tan Malaka, adalah creative minority pada masanya. Mereka adalah sedikit tokoh yang berpikir berbeda dibanding benak masyarakat Hindia Belanda tempo doeloe. Sejarah membuktikan, merekalah yang sanggup memerdekakan bangsa ini.

Siapa penulis-penulis yang aneh, nyeleneh, nyentrik, dan melawan arus zaman saat ini?

Lupakan dulu soal “menolak” penghasilan dari keuntungan menulis buku, perkara ini agak sulit dicari saat ini. Lain perkara bila yang kita tangkap adalah spirit untuk berani melawan arus. Untuk ini, harapan bisa bertaburan.

Pertama adalah dalam aras menciptakan budaya tanding. Andrea Hirata, Dhee, Ayu Utami, segolongan kaliber yang member makna baru. Mereka penulis aneh karena memperlihatkan kekuatan budaya tanding atas trend chick-lit, buku-buku pop, dan karya fiksi yang mengeksploitasi romantisme dramatis. Bila boleh, Habiburahman El Shirazy masuk kelompok ini pula. Setidaknya ia memperkuat dengan dalil dan referensi kesilaman atas dramatisasi percintaan.

Kedua, para penulis yang melawan monopoli penerbitan besar, yang dalam ranah industri musik disebut major label. Jangan sampai dunia perbukuan didikte oleh selera pasar ---yang sejajar dengan selera kapitalis industri buku. Buku bagus tak harus dari penerbit besar dengan tipe yang itu-itu juga. Tetapi juga bisa (dan harus) dari pojok yang lain. Maka kita pun mengenal penerbit-penerbit mandiri, self publishing, dengan sumber yang meruyak. Mulai dari koleksi pribadi yang difotocopy, sampai buku yang diterbitkan dari blog. Seorang penulis terkenal di bidang motivasi, Edy Zaques, malah menyambut gejala ini. Bahkan katanya, menerbitkan buku sendiri jauh lebih menguntungkan, bebas dari potongan dan “kecurangan”.

Ketiga, penulis buku yang membuktikan demokratisasi gagasan. Kini siapapun orangnya, bisa menulis buku laku. Penyandingan gelar tak berarti banyak mendongkrak kualitas dan sukses pasar. Porsi pembubuhan title seperti ini cocok disampul belakang, sebagai afirmasi telah dibaca oleh Profesor, Doktor, atau para seleb di bidang keilmuan. Lantaran sebagai penulis, belum tentu gelar-gelar mewah itu menjadi jaminan mutu.

Seorang pembantu rumah tangga di luar negeri, yang sering secara kasar kita sebut TKW sekalipun, sanggup menulis buku bagus dan diserap pasar dengan baik. Contohnya adalah Eni Kurnia, yang menulis buku Anda Luar Biasa. Pengalaman akademik memang alat bantu saja, yang lebih penting adalah kegigihan. Olehnya, anak kecil atau remaja belia sekalipun, bila mau, bisa membuat karya pustaka.

Bukankah nikmakat bila fenomena seperti ini meledak? Pilihan makin banyak. Perang gagasan pun kian marak. Lebih penting lagi, peluang menciptak buku kian terbuka. Besok-besok, siapa tahu, andalah salah satunya (yang memberi warna pada kemajuan perbukuan kita). Semoga....

Sabtu, September 12, 2009

Buku Diary, Mengikat Kejutan Hidup



Tinta yang paling pudar sekalipun masih lebih jelas daripada sekedar ingatan (Pepatah Arab). Menulislah... meski sekedar dalam lembaran kertas di buku Diary.


Andreas Harfefa bahkan berani mengklaim: menulis bisa membuat seseorang cantik. Bagi perempuan, andai ini benar, tentu membahagiakan. Bagaimana dengan lelaki. Nanti, makin produktif seorang pria, makin kemayu parasnya (celaka!). Tidak juga. Bukankah cantik bisa bermakna luas, termasuk untuk akronim berikut, Cantik = Cowok Anti Kekerasan….


Hari-hari ini mungkin jauh lebih mendesak, agar tradisi menulis makin dikebut. Berbagai fasilitas tersedia ---dan menuntut untuk menuang gagasan ke dalam bentuk teks. Teknologi memang mengambil alih tradisi kita, dari Diary ke Blog, dari surat pos ke email. Berkirim telegraf bahkan mungkin sudah punah di kalangan mahasiswa kos, karena cukup SMS dan tarik duit dari ATM. Dulu, kalau mahasiswa menunggu berita wesel dari orang tua, maka yang lebih dulu datang adalah selembar telegraf. Wahana bertiwikrama atau alihrupa. Tetapi gagasan yang dituliskan tetap harus berjalan. Maka menulislah.


Mengapa Diary?
Dunia mengenal Diary yang meledak. Seorang anak yang tinggal semasa rezim fasis Hitler, Anne Frank, menggugah dunia dengan catatan-catatannya. Ia menulis, “Kertas memiliki kesabaran yang lebih ketimbang manusia.” Sungguh, belum tentu ada manusia yang mau terus menerus menyimak keluh kesah, ratapan, atau malah sumpah serapah.

Tapi lembaran-lembaran Diary sanggup.


Sewaktu konflik di negara-negara Balkan meletus, ada seorang gadis bernama Zlata Ifipovich, ia korban perang yang meratap. Tulisnya: “Perang bukanlah lelucon, orang-orang membunuh, membakar, dan menghancurkan rumah-rumah. Sebuah tangis yang diikat dengan kata, bermakna begitu kuat.


Tapi Diary tak sekedar menampung cucuran kesedihan. Tapi ilmu juga.
Para ilmuan punya cara sendiri mengabadikan inovasi atau selaksa gagasan mereka. Konon, hingga hari ini terus berlangsung perburuan sengit terhadap “sisa-sisa” catatan pribadi dari Galileo Galilei, ilmuan jenius dari Italia. Lembaran-lembaran catatan itu diyakini menyimpan potensi sains yang tak ternilai.


Tak sedikit para punggawa ilmu yang mengakrabi aktivitas menulis Diary ---atau kalau istilah ini terlalu ngepop, bisa diganti dengan Catatan Harian. Salah satu contoh adalah apa yang dilakukan oleh Carl Gustav Jung, Psikolog yang menjadi mitra paling kritis terhadap Sigmund Freud. Rangkaian catatannya ini kemudian dibukukan sebagai Biografi atas dirinya sendiri, Biografi Jung.


Malahan seorang ahli biologi Bruce Frederick Cummings lebih terkenal berkat diarynya daripada profesinya. Sedari kecil ia sudah melakukan pengamatan terhadap hewan semut dan kadal di sekitarnya. Semua pengamatan dituliskannya secara detail di dalam buku Diarynya.


Diary bisa juga menjadi sarana untuk meletupkan pesan-pesan pemberontakan. Ini bisa kita longok terhadap orang-orang hebat di Indonesia yang (sayangnya) mati muda. Mereka adalah Shoe Hok Gie dan Ahmad Wahib. Dua buku, Catatan Seorang Demonstran dari Shoe Hok Gie, dan Catatan Harian Ahmad Wahib bahkan pernah menjadi literature wajib para aktivis. Pikiran-pikiran mereka sungguh berani ---melampaui zamannya. Karya adik Arief Budiman (Shoe Hok Gie) malah sempat difilmkan beberapa waktu lalu, dengan judul Gie.


Marshanda Diary
Menulis tentu saja berbeda dengan berteriak, memaki dan meliuk-liukkan tubuh seperti orang depresi. Segala gerak, teriak, dan aktivitas harus tercoding dalam teks. Proses ini yang sama sekali tidak instan, butuh kesabaran. Di sini justru kekuatannya. Ada tahap refleksi, artikulasi, dan penyaringan. Jika saja itu adalah pilihan Marshanda, maka ia tak perlu menguar-uar aib sendiri dalam situs Youtube. Kita memang tak tahu, apakah Marshanda punya Diary…

Jumat, September 11, 2009

Tak Lagi Benci Buku Buku Psikologi


Bertahun-tahun merasakan bernafas dengan kebencian. Terutama terhadap buku-buku Psikologi Populer, dengan judul aneh-aneh, ilustrasi semarak, dan kutipan-kutipan berbahasa melangit.

Kejengkelan kian klop, manakala buku genre How To itu sering mengekor buku-buku lain yang sejenis (dan sukses di pasar). Karena yang laku adalah The Secret-nya Rhonda Bryne, maka penulis lain gegabah mencantumkan istilah serupa di depan judul bukunya sendiri. Mereka para epigon di ranah intelektualitas.

Satu dua, ada juga yang mengundang minat baca, tapi itupun harus sesuai kategori buku bagus yang telah terjangkar di benak belasan tahun. Syaratnya: buku tebal, penulis luar negeri, dan banyak catatan kaki ----sebagai karakter buku ilmiah. Tapi belakangan ideologi itu merapuh (tak benar-benar hilang, tapi nyaris tanpa bekas).

Padahal khasanah pustaka yang memberikan motivasi dan melentingan daya juang itu tak salah-salah amat. Selain “berhasil” memprovokasi pembacanya, juga menjadi agen yang mempopulerkan istilah-istilah keren dalam ranah psikologi. Di ujung teratas, menggiring publik untuk sesering mungkin memakai kata positif thinking. Lalu diikuti oleh lema yang lain, seperti mind set, mind map, mental block, spirituality, the secret of…., dan lain-lain.

Ketidaksukaan itu mungkin berlatar agak rumit. Dulu, waktu kuliah dan berkenalan dengan buku, saya jatuh pada tangan senior yang sombong-sombong. Mereka akan memandang hina buku-buku yang tidak berbau ilmiah. Koleksi para senior di kampus dan di organisasi kemahasiswaan itu melulu pada referensi tentang politik, filsafat, ekonomi, dan sastra ----tapi sastra kritis, biasanya beraliran kiri. Daftar tambahan di rak buku para senior itu paling jauh adalah buku-buku “terlarang” di era orde baru. Dari merekalah saya bersentuhan dengan Madilog Tan Malaka, Tetralogi Buru Pramoedya Ananta Toer, dan Bayang-Bayang PKI terbitan Majalah Tempo.

Dengan hakul yakin saya ikut selera mereka. Dan memang konteks politik saat itu agaknya harus begitu. Setiap buku harus menghadirkan energi perlawanan dan sumber inspirasi dalam menggugat rezim Orde Baru. Seingat saya, jarang ada tradisi seperti sekarang, di mana buku-buku genre pop, dan psikologi praktis (berlabel panduan sukses atau jadi kaya raya), mendominasi pasaran perbukuan. Singkatnya, saat itu belum ada Robert T Kiyosaki yang berkibar dengan Rich Dad, Poor Dad, atau sejenisnya. Paling-paling, ya, tak jauh dari Dale Carnegie, Daniel Goleman, atau Steven R. Covey.

Sialnya nafas kebencian itu terlalu dalam ---pantas saja Al Quran mengingatkan agar kita berperilaku adil, bahkan terhadap musuh-musuhmu, atau jangan terlalu membenci, bisa jadi itu adalah yang baik buatmu! Tak luruh ketika beberapa kali bersikutat dengan buku-buku begituan. Ketika tergeragap takjub dengan Chicken Soup for People, misalnya, saya tak segera tersadar bahwa buku-buku populer itu juga penting.

Namun belakangan ini harus menyerah ----tetapi dengan senang hati, disertai seulas senyum. Anda Luar biasa! Itulah buku sederhana yang ditulis oleh seorang perempuan eks TKW di Hongkong, yang tak pernah kuliah, tetapi bisa menulis buku best seller. Atau pernah membaca sebuah ulasan di internet, tentang penulis buku dan motivator handal yang ternyata pernah berkubang sebagai pecandu narkoba. Fakta ini membuat terhenyak, di luar bayangan yang terhunjam dalam memori sejak lama. Bahwa penulis buku hebat adalah berlatar kuliah bermutu dari kampus ternama, dan juga orang “baik-baik”.

Lebih membuat bertekuk lutut, adalah buku-buku fiksi (tak selalu novel, tapi inspiratif) yang saya candui belakangan ini. Buku-buku tersebut menggugah bukan karena berjudul dahsyat, atau mengutip komentar para tokoh dengan iming-iming norak, dan tidak juga menawarkan janji melambung. Datar saja, tapi padat, kaya, dan lebih penting berlatar sejarah (baik sejarah pribadi, komunitas, atau bahkan perjalanan sebuah bangsa).

Pertama saya se The Swordless Samurai. Mengisahkan tentang pria buruk rupa, pendek, anak petani miskin, dipanggil orang lain dengan sebutan hina: monyet! tapi sanggup menjadi wakil kaisar…. Pria kumal itu bernama Hideyoshi.

Berikutnya City of Joy, karangan Dominique Lapiere, tentang sikap hidup orang-orang nestapa. Buku ini jatuh di tangan penerjemah yang pas, pejuang kaum miskin kota di Jakarta, yaitu Wardah Hafidz. Buku menutur perjuangan ---lebih tepatnya pergulatan hidup--- orang-orang miskin papa di Calcuta, Anand Nagar atau Negeri Bahagia. Di sana bertabur “lilin semangat” bahwa hidup yang getir tak berarti harus terus menerus diratapi dengan tangis. Kemiskinan dengan martabat… Kata pepatah India, persetan dengan kesengsaraan asalkan kita bersama-sama menanggungnya.


Terakhir, buku Footnote, Hidup Tanpa Batas, oleh Lena Maria, tentang otobiografi seorang gadis cacat fisik (tak punya tangan, dan kaki panjang sebelah), tetapi mampu membuat serentetan prestasi gemilang. Ia menang dalam olahraga renang di olympiade, pandai main piano, hobi melukis, dan melakukan konser di puluhan Negara di dunia…

Kamis, September 10, 2009

Hikayat Seekor Lalat dan Buku Agung


Bahkan seekor lalat mampu berperan dalam kelahiran sebuah literatur klasik yang terkenal hingga detik ini, baik di kalangan Muslim atau mereka-mereka yang tertarik dengan sejarah Islam.

Syahdan, ketika Imam Al Ghazali menulis kitab Ihya Ulumudin, sempat tersela oleh hinggapnya seekor nyamuk di ujung penanya. Harap ingat, pena Jadul (zaman doeloe) bukan Du Pont atau Pilot seperti yang kita kenal sekarang. Mungkin lebih mendekati ini: sebatang bulu angsa yang diisi dengan tinta. Nah, si lalat pengganggu itu hanya sekedar melakoni instink hewaninya, menganggap isi pena sebagai darah...

Sang Imam membiarkan mahluk kecil itu. Padahal jika mau, sekali kibas umur si lalat langsung tumpas. Di sini faktor keimanan yang bermain: bahwa sesama mahluk Allah tak boleh saling bunuh. Oleh karena pilihan bijak ini, menurut beberapa atsar Ulama, Imam Al Ghazali naik derajat. Allah meninggikan statusnya di antara kaum Muslim. Lalu kita mengenal dengan bangga, sebuah Kitab Ihya Ulumudin, yang disebut-sebut sebagai magnum opus (karua luar biasa) dalam khasana literatur ke-Islam-an.

Mudah-mudahan petikan kisah ini cukup pantas guna mengawali serentetan cerita menarik di balik lahirnya buku-buku besar. Dengan terlebih dahulu memuat pesan pentingnya, bahwa karya-karya yang berpengaruh sepanjang zaman itu tidak selalu lahir sendiri. Melainkan ada berbagai sumbangsih (besar atau kecil) dari orang-orang di sekeliling. Bahkan juga peran dari mahluk lain.

Sebuah buku memang tidak dari langit. Kehadirannya juga tak bisa dipesan cepat sebagaimana meminta Bang Agus membuat martabak telur. Ada proses yang berjalin berkelindan, interaksi dan pergumulan dari waktu ke waktu. Perkara ini tercermin, misalnya, dari buku Das Capital-nya Karl Marx atau The Origin of Species-nya Charles Darwin. Dua pemikir hebat ini mendapat bantuan penting dari kawan-kawannya, baik teman dekat atau kolega dari jauh.

Namanya Frederich Engels, dan dia yang memberi support materi terhadap Karl Marx, selama nama yang terakhir ini sibuk meriset di perpustakaan. Beberapa kalangan malah curiga, kalau-kalau buku Das Capital tak lain adalah pesanan Engels. Berlanjut ke tokoh lain, Charles Darwin, perumus teori Evolusi. Mari lihat penggunaan kata "perumus" di kalimat barusan. Sengaja memang tidak ditulis dengan kata "penemu". Lantaran sejatinya Darwin berhasil merumuskan teori evolusi, dia bukan satu-satunya orang yang menemukan teori yang membuat marah penganut agama fanatik, di Islam, Kristen, atau Yahudi sekalipun. Artikel ini tak berpanjang debat tentang kerumitan Das Capital atau Charles Darwin. Semata mengingatkan ada pihak lain yang berperan. Charles Darwin, ketika menyusun teorinya, mendapat sumbangan materi ilmiah hasil temuan lapangan di Molucas (Maluku), dari seorang periset bernama Wallacea.

Debat memang bisa dibuka tentang "seorang jenius dengan buku hebat" dan sumbangsih orang-orang di sekelilingnya. Sebelumnya, mari telusur informasi berikut.

Saya pernah membaca di buku-buku motivasi. Ketika Nathaniel Harthow menulis The Scarlett Letters, nyaris frustasi, ada isteri yang memberi dukungan menggebu, agar novel itu dituntaskan. Begitu pula, kata sahibul hikayat, tentang lahirnya novel Gone With The Wind. Omong-omong, bukankah Andrea Hirata tak berniat menerbitkan bukunya (tetralogi Laskar Pelangi), melainkan kawannya sendiri yang mengirim naskah dahsyat itu ke "pabrik" buku? Dari panorama yang sewarna, J.K. Rowling pun bisa digolongkan dalam kasus yang mirip. Saya hanya membayangkan, seandainya penjaga Cafe itu seorang yang garang dan mengusir Rowling karena kebiasaan duduk berlama lama hanya dengan pesanan murah: setengah cangkir kopi. Kala itu, ia belum kaya raya, masih miskin dan hanya mampu pesan kopi setengah gelas. Paling jelas, ada kemungkinan spekulatif di sini, bahwa ide Harry Potter berkembang biak dalam lamunan Rowling di (salah satunya) Cafe itu. Meskipun ide kuat Harry Potter terumuskan dalam perjalanan di sebuah gerbong kereta api.

Barangkali lebih tepat membuat posisi cocok, di mana dan sejauh mana peran orang-orang di sekitar penulis-penulis hebat. Agar kita ingat dengan persis, bahwa talenta dan kegeniusan tak berarti apa-apa bila "tak ada atmosfir dan pertolongan yang tepat".

Ini dikuatkan oleh dalil sebuah buku baru, yang diterbitkan Gramedia tahun ini, berjudul The Outlier, karangan Malcolm Gladwell.Dengan berani Gladwell membuat klaim: bahwa para jenius sekalipun membutuhkan kesempatan untuk besar dan bantuan yang disebut sebagai "kecerdasan praktis". Frasa kecerdasan praktis mengacu pada kemampuan membaca situasi dan mendapatkan apa yang diinginkan. Dan hal ini hadir dari orang-orang di lingkungan tempat si jenius tinggal.

Mari berkhayal, dengan sedikit contoh soal pilihan ganda. Pertanyaannya adalah: Bila Kaka Kaladze (bintang Real Madrid yang tampan) atau Maria Sharavova (petenis cantik) lahir dan besar di Jakarta, akan jadi apakah ia? Jawaban yang tersedia:
a. Menjadi atlet dan olahragawan besar
b. Menjadi bintang sinetron dan bintang iklan
c. Menjadi foto model
d. Menjadi pembawa acara acara konyol di televisi...

Tolong jawab dengan jujur. Bukankah gampang saja kita memilih butir b, c, dan d untuk jawabannya?

Kalau poin a yang anda abaikan, berarti kita sepakat. Bakat besar, talenta luar biasa dan sesuatu yang bernama kejeniusan, hanya salah satu faktor di luar faktor-faktor lain.

Rumusan pendeknya adalah gampang. Lingkungan yang cocok, orang-orang yang memberi semangat, kehadiran materi yang dibutuhkan, menjadi unsur penting dan penentu dari lahirnya karya-karya agung. Karl Marx bahkan mengatakan pikiran seseorang ditentukan oleh benda-benda material di sekitarnya. Jangan harap, mungkin bisa dibilang begitu, lahir Michael Jackson di lingkungan yang kecanduan musik keroncong atau dangdut.

Olehnya, saya wanti-wanti. Mungkin kebanyakan kita tidak jenius, biasa-biasa saja. Tetapi bukan berarti kesempatan kita hilang sama sekali. Posisi sebagai penolong, pembantu, pemberi kontribusi pada lahirnya buku (atau karya apapun) bukanlah sesuatu yang hina. Bahkan bisa jadi (ter)amat penting. Siapa tahu, kita menjadi penolong untuk teman, keluarga, kenalan, anak, isteri, atau atasan kita, dalam merumuskan sebuah buku yang bagus. Semoga....