Kamis, April 30, 2009

Andai Saat Itu Segera Tiba

Kapan waktu yang tegas untuk memulai tekadku? Hingga detik ini, masih terombang-ambing oleh kekalutan pikiran… Disertai tubuh enggan merunduk, mengikuti panggilan batin ---bersujud kepadaNYA. Kecamuk dalam benak tak jua mereda. Bergulung dengan kecemasan, ketakutan, dan khawatir.

Beberapa hari terakhir bahkan dicekam ketakutan luar biasa…galau.

Suasana itu menggiring pada satu sikap negative. Niat untuk tampil optimis, tawakal dan berserah diri, memudar pupus oleh perasan kecewa, marah, benci dan diri terhina. Aku mendapat perlakuan buruk tiada henti. Tuhan….


Buntu

Jika saja tak punya rasa malu, kondisi ini layak kusebut “menemui jalan buntu”. Harapan-harapan kecil dan sederhana, tergolong hak yang patut kuperoleh, sama sekali tak terwujud. Justru yang datang adalah segala kebalikannya. Sesuatu yang sebelumnya sempat kucurigai, namun kutepis jauh-jauh malahan terwujud nyata senyata-nyatanya! Beginilah yang kuterima: uang cadangan terus tersedot, jam kerja makin menggila, sikap bos tambah congkak. Aku merasa dilecehkan ke titik terendah. Waktu dengan keluarga juga tersita. Sementara perjuangan adikku makin berat, kalah oleh gilasan mesin uang.

Kini nyaris berada di tubir jurang. Tapi aku tak ingin terjatuh. Semoga Allah mengulurkan pertolongannya.


Tambah Berat

Terkadang pikiran aneh menyeruak. Menahan diri atas perlakuan dzholim, aniaya, sewenang-wenang. Tetapi ketika pandangan kusapu ke sekeliling, ternyata warna yang sama bependar-pendar. Aneh… Malahan orang-orang biadab itu, terutama dalam urusan politik, justru akrab dengan keberuntungan. Keistimewaan dan kemudahan begitu akrab menghampiri. Tak perlu kerja keras. Tanpa berpikir cerdas. Cukup dengan menginjak orang-orang lemah. Ditambahi dusta, ketololan, dan perilaku jumawa.

Lantas kebaikan dan laku moral menepi ke arah terjauh. Cukup hadir sebagai penghias, seraya tercampak segera setelah tujuan tergapai.

Begitulah. Aku yang terdesak oleh berbagai himpitan, semata bias tergugu kaku. Menyaksikan dengan nanar, bola api menyala karena gemuruh kesumat! Atas kekalahan berbagai sabda moral dan suara nurani. Hari-hariku, akhirnya, dengan kondisi seburuk ini, tambah berat (sekali).


Persepsi Orang

Bila mampu, aku lebih memilih tukar posisi ganti profesi. Supaya jauh dengan ingar binger politik. Terhindar dari persepsi keliru orang banyak, yang menganggap segala yang kusandang adalah enak. Pihak lain menuding aku beruntung, padahal buntung! Kecuali beberapa saja dari mereka yang kenal persis. Mereka tahu aku terbebani nestapa. Tapi tetap sama saja,karena tak bisa apa-apa.

Lalu karena yang tidak tahu adalah cukup banyak, tentu berharap mencicipi “keberuntungan” itu. Minta traktir, ngajak nonton, dan macam-macam lagi. Bagaimana bisa? Sedangkan nasib dan keuanganku terpuruk…. Gaji aku saja, terus-terusan dipangkas! Padahal aku telah bekerja lahir batin, siang dan malam.

Karena salah mengira, dan tidak punya informasi yang benar, mereka salah tafsir. Aku yang terus-terusan menghindar, dicap sombong, pelit, dan culas ---menang bertarung, tetapi tak ingat merayakan!

Tak mudah mengatasi problem ini. Terbuka dan terus terang, sama artinya dengan membuka aib-aib aku. Tidak, biarlah ini kupendam saja. Tetapi berdiam terus menerus, selalu berpura-pura, rasanya tak tahan juga. Ya Rahman….. Aku menanti kasih sayangMU. Tolong aku, agar waktu keberuntungan dan kepasrahanku segera tiba….

Jumat, April 24, 2009

Orang Kalah, Pandir, Sesat, atau Siapakah Aku?

Kebodohan yang membelit sekujur sukma raga tak hendak terlepas juga. Di setiap denyut waktu, sanggup menggelincirkan aku dalam lelaku pandir. Oleng oleh perbuatan tak perlu. Terkurung dalam pemikiran keliru. Tak bisakah aku selamat dari kesia-siaan tindakan? Hari ini untuk sekedar memilih dan menentukan mana tindakan yang benar saja, aku tak mampu. Keterlaluan...

Dari kemarin gagal mengurus fokus: agar sejumlah itikad baik terlaksana sebaik-baiknya. Awalnya melangkah dengan bagus. Bertemu isteri, bercanda dengan anak, memberi uang buat keluarga. Tak lupa juga menyisipkan shodaqoh untuk tetangga dan anak-anak yatim di sekitaran. Lantas dibarengi dengan tetirah di rumah. Selisir udara nyaman kuhirup.


Begitu waktu merangkak sore, aku bahkan bersiap mengajak si Alief Sholat Maghrib berjamaah di Mushola ---dengan niat melanjutkan ikut pengajian, atau menghadiri tahlilan di rumah saudara. Namun serombongan pikiran sesat menyerang dahsyat! Buyar tuntas rancangan kehendak yang telah kurawat sedari pagi hari.

Padahal bisikan kotor itu semilir saja. Tidak sederas semangat aku untuk mengerjakan kebaikan-kebaikan. Sungguh, perbuatan-perbuatan yang sia-sia memang memuluskan jalan menuju keburukan. Meski kita telah bersiap. Memupuk dengan sejumlah aktivitas berguna. Bongkar benteng pertahanan karena melewatkan sesuatu yang maha penting, tetapi kita pandang sepele.


Bisikan Maksiat
Ya, persis di ujung sore itu, ketika lembayung menampak, matahari melenyap, dengung Adzan Mghrib berkumandang. Aku malah terbuai. Lewat begitu saja tanpa penghambaan sebagai makhluk ciptaan-NYA. Rentetan aktivitas sesatpun kemudian ikut beriringan. Ba'da Isya, aku ke luar rumah. Bermain-main dengan manusia-manusia kerdil ---mohon, maaf, dalam hal tertentu memang ada kebaikan dalam diri mereka, tapi dalam konteks ini, mereka cocok aku kategorikan begitu, sama seperti aku tentunya.

Heraannya, saat aku pulang, beristirahat sejenak, mata tak terpejam hingga subuh. Tak tahan, aku ke luar lagi... menuju rumah orang tua. Aku ingin silaturahmi. Tetapi yang kudapat justru diskusi yang agak kurang sedap. Kekecewaan di keluargaku rupanya membuncah. Kecewa terhadap kinerja partai yang mengusung adik perempuanku. Dalam hati aku jenuh, lelah, capek. Tetapi aku sangat menghormati Abangku, mencintai Bapak, dan ingin melakukan yang terbaik untuk mereka semua. Jelas terdengar, bagaimanapun mereka kecewa terhadap "rendah"-nya kontribusi aku terhadap perjuangan politik Adik tercinta.

Aku terhunyung dalam galau. Tak tahu persis bagaimana mestinya. Hingga detik ini, aku hanya bisa menulis.


Tolong, Ya Allah
Semoga ada jalan. Semoga ada peluang ---sekecil apapun, yang penting bermakna. Ya Allah, jauhkanlah segala keburukan, kejahatan (setan, jin, manusia, seluruh mahlukMU), kedengkian, dari keluargaku. Berikanlah selalu kedamaian, kesehatan, keluasan rezeki terhadap keluargaku. Aku memang kalah, Ya Allah....
Aku memang pandir, Ya Allah....
Aku memang sesat, Ya Allah....
Jangan hukum aku atas segala kebodohan-kenistaan yang selalu kulakukan, berulang, Ya Rabb....
Di hatiku masih memancar selaksa pelita: Yakin Akan Maha RahmanMU....

Tolong aku, Ya Allah.

Sepetik Pelajaran From Negatif Facts!

Be a negatif... begitulah pelajaran dari salah satu buku yang pernah kubaca, ditulis seorang jelita kaya, yang sukses menjalankan beragam bisnis....

Beginilah renunganku:Bagaimanapun kesungguhan adalah pilihan terbaik untuk mengejar keinginan-keinginan. Apapun itu. Sepetik keteladanan kuraih hari-hari terakhir ini. Ketika aku mereview perjalanan berat dalam pertarungan politik di Pemilu April 2009 ini. Pembelajaran itu langsung datang dari Bos ---yang dalam beberapa hal ada karakternya yang aku respek, dan ada juga yang tidak!

Bos benar-benar petarung politik luar biasa. Berani. Energik. Mampu mengoptimalkan segenap sumber daya yang dia miliki. Sekaligus mengurangi titik-titik lemah yang menjadi penghambat dalam perjalanan politiknya. Di sisi lain, strateginya bersumber dari keyakinan yang tak kunjung pupus, bahwa dirinya mampu. Aku pikir, beberapa faktor itulah yang dominan dalam menunjang kemenangannya hari ini. Berbanding terbalik dengan aku. Cenderung terlampau hati-hati. Kurang percaya diri. Agak pelan dalam mengambil keputusan. Takut terhadap resiko. Sialnya, modalitas politik aku juga berada dalam “garis kemiskinan” yang payah....

Detik berikutnya adalah kesempatan aku untuk berhitung. Sasarannya tentu saja ke pojok yang kukehendaki: perbaikan diri total, dari segala aspek, dari urusan materi-rezeki, karier, keluarga, hingga masalah pendidikan. Tetapi yang membungkus semua keinginan itu adalah satu: semakin dekat dengan Allah.... Menghiasi diri dengan amalan-amalan sholeh. Bertaburan dengan hikmah. Memperbagus akhlak, memegang amanat. Disupport oleh sifat-sifat akhlakul karimah.

Aku ingin jati diriku adalah jati diri Islam sesungguhnya. Sebagaimana dicontohkan oleh Rosululloh: shidieq, istiqomah, fathonah, amanah, tawakal.... Batin dan kalbuku juga dijejali dengan ro’ja (harapan baik terhadadp Allah), khouf (takut terhadap murka Allah), berani, optimis, dan karakter-karakter pembangun jiwa lainnya. Padat kata: menjadi Insan Kamil, Islam Kaffah, berserah diri total kepada Allah.

Ya Rabbi.... bimbing aku untuk mampu mempraktekan utuh setiap hari, amalan-amalan sunnah yang diajarkan Nabi, silaturahmi, shodaqoh, sholat (dhuha, tahadjud, taubat), dzikir, membaca Al Quran, mencari ilmu-hikmah, melafalkan asmaul husna, dan berbakti kepada orang tua.

Senin, April 20, 2009

Tersungkur di Tahajud Getas...

Tersungkur di tahajud getas. Aku tak merasakan leleh bulir air di sudut mata. Hatiku memang jatuh dalam kepasrahan. Jiwa raga bergetar menahan isak. Tetapi tidak penuh. Sebongkah perasaan tak nyaman bergelayut. Tadi malam aku bersimpuh di keheningan malamMU, Ya Rabb. Dengan perasaan getas, kering, hambar.... Hanya pengharapan yang tetap melambung. Moga Engkau dengan Maha Rahman tak terhitung, menerima laku sembahku.


Resiko bertindak keliru di hari siang yang kita jalani memang berpengaruh terhadap aktivitas penyembahan di malam sunyi. Dalil ini kira-kira pernah kubaca entah di buku apa ---nasihat seorang sufi yang tekun sholat malam. Sedangkan yang kulakukan malam itu, hanya beberapa ratus detik saja dari saat ketika sajadah kuhamparkan. Teramat dekat. Meski tekad kubulatkan untuk melawan bisikan sesat ---bahwa percuma sholat, tak akan diterima--- tetap saja selaksa penyesalan menggelayut resah. Perlawanan tetap berkobar. Bersuci... Bahwa inilah kesempatan yang telah diberikan. Belum tentu hari esok bisa bersua.

Pola Pengulangan
Kekuatan utama yang menggerojok dalam kalbu bersandar pada satu prinsip. Pengulangan dan pengulangan. Ukuran keberhasilan amaliah malam mungkin terkesan saru, tak ada parameter ajeg yang bisa kita telusur, keculali bahwa kita merasaka kepuasan batin. Pun dengan seberapa besar nilai pahala yang Allah berikan, hanya Dia yang Maha Tahu. Jadi, malam itu ---ketika aku tersungkur di Tahadjud--- biarlah menjadi salah satu fase dalam putaran pengulangan-pengulangan. Menjadi sebentuk pembiasaan diri. Agar jiwa raga berada dalam satu bio ritme yang jelas. Mudah-mudahan menjadi kegiatan yang tidak memberatkan, bila memang aku berhasil merutinkan.

Justru di situlah permasalahannya. Berat sekali. Alih-alih menjadi pembiasaan diri, aku bahkan melewati hening malam dengan perilaku ngelantur, tak jelas ujung pangkal.

Jika percaya pada teori perubahan melalui proses, segala yang sanggup aku lakukan itu hanya berada pada tangga paling dasar, start awal! Orang lain sudah mencapai maqom terbaik, membekas dalam akhlak keseharian mereka. Sedangkan aku? Tetap bersikutat di posisi yang itu-itu juga. Ada memang selentik perbaikan. Semisal kemauan untuk membaca literatur-literatur tentang Qiyamul Lail. Meringankan laku shodaqoh, biar kecil tapi sering. Tambahan lain, menyelipkan sholat maghrib berjamaah ---bersama anakku, si Alief. Sebisa mungkin ---ini yang agak membahagiakan--- menjaga silaturahim dengan siapapun (tetangga, kawan, yang jauh ataupun dekat). Dorongan lain yang kuharap bisa menjadi energi bantu, adalah membaca Al Quran. Itulah pusaran awal menuju Tahadjud.

Jerit Bergema
Keyakinan bukan lahir dari tangan seorang pandai besi. Dengan wujud kaku, keras, tahan banting. Keyakinan bisa teramat lembek, tapi di saat lain bisa meluruhkan batu gunung. Aku ingin merawat keyakinan bahwa Allah sumber pengharapan terbaik sekuat-kuatnya. Apa-apa yang Allah perintahkan ---melalui Al Quran, Syiar Baginda Nabi, dan Tausyiah Para Ulama--- adalah piranti yang harus kumuliki. Pasti tak akan mudah mempelajari dan mempraktekan itu semua. Bermacam-macam rintangan dan godaan datang susul menyusul.

Insya Allah, dengan sejumlah sumber daya yang kumiliki jalan menuju penyerahan diri itu terbuka lebar. Mudah-mudahan aku segera masuk dalam track yang benar, on the right track. Biar segera kerinduan yang lama mengobrak-abrik batin segera tergapai. Menuju jiwa yang tenang, perilaku mulia, amaliah bermanfaat, serta rezeki barokah. Lebih baik aku tertatih-tatih di Jalan-MU, ya Allah, daripada membanting tulang di luar syariahMU. Lagipula, tak pernah kuperoleh apapun, selain kehinaan dan kedengkian, ketika bergumul dengan pengharapan palsu. Sejauh ini aku melewati alur yang keliru. Bekerja keras mencari uang, dengan jalan apapun. Tetapi uang tak dapat, energi terkuras, intelektualitas terlempar, dan kesedihan tanpa ujung. Ya Allah, jangan biarkan aku terinjak di nasib buruk... Aku tak memiliki kualitas kesempurnaan iman untuk menanggung kemalangan semacam itu. Hingga hari ini, belum kujemput hikmah atas keburukan-keburukan yang hampir dalam hidupku.

Biarkan keheningan malam menjemput jiwa ragaku, dengan hati bening, meletakkan muka di sajadah yang terhampar. Memercikkan air jernih di waktu wudlu. Mendawamkan Al Quran dalam tegak menghadap kiblat. Aku rindu. Aku rindu, menggapai kenikmatan Tahadjud. Bantu aku, Ya Allah....

Minggu, April 12, 2009

Meletup dalam Galau, Meringis Giris

Selisir perasaan giris merayap pelan di hati. Sesungguhnya ini bagian dari gumpalan gundah, juga rindu. Tiada kejelasan kapan pekerjaan akan selesai, merongrong konsentrasi aku satu dua hari ini. Malam-malam yang terlewati, tak pernah bersua dengan tidur nyaman. Di siang hari pun tersedak rindu ---ingin segera berlarian mengejar anakku yang bermain sepeda. Tapi rumah itu masih jauh.

Semuanya berpusar dalam tidak jelasnya ritme kerja. Aku seperti prajurit tolol yang di buang oleh komandan bengis di basis kekuatan musuh. Sendirian, minus persenjataan cukup. Hanya diteriaki dengan pesan-pesan kosong, sembari mendapat ancaman yang memuakkan. Semuanya hampa guna. Ketegaran hati melorot pelan. Kehilangan motivasi untuk berbagai hal. Lebih-lebih bila menghayalkan apa yang bisa orang lain peroleh, dengan beban kerja seperti aku. Giris membayangkan bahwa "pihak luar" menyangka aku mendapat setumpuk hadiah kemenangan. Padahal sama sekali nihil.

Pilihan menjadi plin-plan. Bertahan sejadi-jadinya, mau petir atau halilintar sekalipun tetap bergeming. Atau lari terbirit-birit sembari melempar serentetan sumpah serapah. Ada memang pilihan ----yang sejatinya---- bisa nyaman: menerima dengan lapang. Ya, itu pasti, membuka dada atas tekanan peristiwa. Bersabar atas kehendak Illahi. Sudahlah....

Akan tetapi punggung seperti renta digelayut malas. Terkikis rasanya selera untuk melangkah ke Masjid ---yang letaknya hanya sepelemparan batu, dari basecamp. Mata malahan menjadi pedas, hanya untuk membuka selembar dua mushaf kitab suci. Kalaupun ada amalan yang ringan saja berlangsung, melulu shodaqoh. Mudah-mudahan Allah meridhoi, seraya memberi bimbingan arah. Amien....

Kecamuk dalam benak selalu bersusul-susulan. Memikirkan adik yang nasibnya masih menggantung. Tentang isteri yang tabungannya menipis ---karena hingga detik ini, aku belum gajian, padahal kerjaku siang dan malam, tak kenal hari libur. Aku benar-benar bekerja dengan label mercedes, tatapi penghasilan gerobak sampah. Tereksploitasi oleh tiran politisi dungu ---produk demokrasi sekuler, yang diamini ratusan juta Muslim se-Nusantara. Sayangnya, ketergantungan terhadap "penghasilan tetap" itu masih terlampau tinggi. Allah belum memberi aku alternatif ----atau nurani sedemikian tumpul, dan kreativitas telah lama mandul.

Lebih dari segala-galanya adalah ini: respon para bos yang menjadi atasan. Sesungguhnya atasanku hanya satu. Tetapi karena sikap dia yang mengkerangkeng aku dengan penghinaan, maka orang lain jadi "turut" menikmati. Mirip dengan petuah Robespiere, bahwa puteri jelita sekalipun akan menjadi budak, bila diperlakukan seperti budak. Perlawanan aku adalah mempertahankan gagasan..., ya, dengan gagasan. Mereka, orang-orang fasik itu, adalah pengamen yang memukul-mukul biola ---karena tak punya kapasitas dan kemampuan. Kemampuannya sudah mentok di situ.

Mudah-mudahan pertahananku belum ke arah tubir jurang. Masih tersedia stok kesabaran dan rasa syukur. Mudah-mudahan juga Allah mengulurkan pertolongan. Tetapi jelas, sekelumit ikhtiar akan kuupayakan. Insya Allah besok pagi. Agar aku segera bisa berlari dengan anak-anakku. Berlari bermain sepeda. Berlari mengejar layangan. Juga berlari untuk merampas hak-hak yang wajib aku miliki. Untuk urusan ini, aku bersumpah tak akan pernah berkompromi. Bantu aku wahai zat yang Maha Kuasa.




Sabtu, April 11, 2009

Tersungkur di Ujung Lelah

Hatiku berserabutan dengan galau. Kecemasan bergulung-gulung, kusut masai bersama murka yang tak berujung. Perintah tak jelas diiringi muka cemberut, kesinisan dalam memberi petunjuk, dan langgam sok tahu dari seorang kawan, adalah hadiah kecut di pagi tadi.

Aku berangkat kerja dengan batin ribet. Riuh oleh perasaan ingin memberontak yang menggelegak. Tetapi, maaf saja, bukan dia referensi alamat untuk kubuang aneka kejengkelan. Sikap menyerangnya justru memerosokkan aku dalam kekalahan. Baiklah kutelan saja. Pedas... sayangnya tak bisa pupus oleh seteguk soda segar.

Tanggungjawab pekerjaanku boleh kata lepas selepas lepasnya.... Mirip kuda liar yang berjumpa dengan rumput savana. Hanya kelelahan sebagai pemagar. Berhenti di satu titik ketika segala daya dalam diri terkuras tuntas. Tetapi, ah, mengapa sekonyong ku ingat kuda liar sebagai perbandingan? Mungkin karena perasaan senasib. Aku merasa bisa melakukan ini dan itu. Tetapi, mitra kerja adalah orang-orang yang berdiri karena kedunguan dan keangkuhan. Sungguh bukan partner yang bagus untuk pekerjaan super banyak ini.

Muara dari kesemrawutan pekerjaan ini adalah aku. Pihak luar menyorot akulah sebagai think-tank, sebagai mindmaster otak intelektual dari operasi politik di Jawa Timur ini. Memang idealnya begitu. Strategi, konsep, bahkan praktek lapangan dan pemetaan masalah, bersumber dari aku. Tetapi banyak rencana aksi yang dianulir secara serampangan. Mestinya, agenda dan program kerja tersusun sistematis detail. Terukur dengan resiko, dampak, hasil, dan kemampuan anggaran. Semuanya bubrak! Roboh oleh sikap seolah-olah tahu. Padahal hanya tahu sedikit.

Kuuliangi lagi. Muara dari kesemrawutan ini adalah aku. Sebab aku yang menyusun sistem. Namun tak adil, rasanya, kalau penyebab tunggalnya adalah aku sendiri. Malah boleh dibilang, prosedur sudah siap sempurna. Tapi pelaksanaan diwarnai oleh perilaku picik. Orang banyak kemudian ---lagi-lagi---- melihat dan mengadukan masalahnya kepadaku. Aku hanya tergugu diam. Aku adalah manager tanpa otoritas. Hanya menyandang label, tetapi kewenanganku dikangkangi orang lain. Tak apalah bila hasilnya bagus. Sialnya, cuma berbuah kata-kata manis para penjilat.... Jauh fakta dari kata-kata. Ya Allah, mengapa Engkau pertemukan aku dengan orang-orang sejenis itu, yang sejak dulu adalah musuh beratku?

Tersungkur di ujung lelah. Begitulah panca daya kemanusiaanku tersuruk. Otak membal. Kecerdasan mental. Hati nurani banal.... Emosi menggumpal.... Fisik luruh oleh kepasrahan. Mungkin itu cara Allah memanggilku bersujud kepadanya. Kusambut panggilanMU, Ya Rabbi....

Baiklah.... sedaya upaya, aku akan menuntaskan amanat ini.
Baiklah.... berbekal Iman (sabar dan syukur), kujajal tantangan berat, sebagai amal ibadah.
Baiklah.... semuanya-semuanya, harus berakhir dengan kepasrahan kepada Allah. Amien....


Jumat, April 10, 2009

Tutuplah Aib-Aibku....

Semoga kawan-kawan tak melihat nasibku sesungguhnya. Statusku memang layak di"pasar"kan. Penghasilan juga ---mestinya--- tak kurang-kurang amat. Ketakutanku adalah masalah treatment dari orang yang menjadi klien politik aku di DPR RI. Si bos termasuk pelaku hard power, tanpa dibantali oleh fatsoen dan kecerdasan berpolitik. Aku kerap sulit mengambil posisi ---terpojok dalam kedunguan.

Pelan tapi pasti aku menata diri. Memulihkan kembali kepercayaan diri. Menyusun ulang skenario yang dulu pernah dikejar. Memperbaiki pecahan-pecahan potensi yang terabaikan. Memajukan tabiat yang sempat terpinggirkan.

Susunan kalimat barusan memang hanya pantas diucap person yang perjalanannya stagnan atau malah mengalami regresi. Tetapi sirkulasi kehidupan memang tak harus berjalan linear ---terantuk dalam jatuh, atau terlenting oleh sukses. Walau repotnya, agak susah menyembulkan di poros mana aku pernah "sukses". Hampir berhasil, mungkin sekali dua pernah mampir. Tetapi membukukan status berprestasi, agaknya nyaris tiada.

Perbandingan atawa sejenis banchmark, terkadang menjadi harus. Supaya kita jelas dalam berkaca ----tidak kemudian menjadi narsis atau terjebak paranoid skala akut. Paling gampang justru menimbang-nimbang perjalanan dan keberhasilan kawan-kawan (paling cocok, ya, tentu saja para kolega di Mando). Mereka, perjalanan hidupnya penuh kedahsyatan, setidaknya bila dibanderol dengan harga kapasitasku. Walau mayoritas mungkin normal dan standar saja. Tetapi jelas peraihan ekonominya tidak seterpuruk aku. Kondisiku baru pulih beberapa bulan ini saja. Dulu terbenam dalam kemiskinan nan mencekik. Moga saja terbentang kesempatan, agar kelak aku bisa menegakkan kepala di antara mereka. Ya Allah.... tutuplah aib-aibku.... Bangkitkan, lentingkan potensi-potensi kebaikan yang engkau telah anugerahkan.

Habis total mungkin tidak. Memasuki masa an early stage to emergance, mungkin iya. Begitulah locus (keberadaan) aku sekarang ini. Gawat-gawat telat....

Pengerahan sumber daya ---yang belum optimal kugelar--- adalah opsi tunggal tak tergantikan. Kucari-cari selalu energi pembangkit. Agar terus bergerak! Tidak boleh lepas dalam kepasifan. Selama ini mungkin ada energi yang kutimbun, potensi yang terpejal, maka hari ini harus keluar semua. Sebanyak-banyaknya. Dengan digelandang oleh tradisi lama yang tak sepenuhnya punah: gila membaca dan gila menulis.... Hanya lanskap-nya yang berbeda. Dulu berwarna sekuler-intelektualis, sekarang sepenuhnya berserah diri kepada Allah. Ya Rabb.... aku harus menjadi Islam kaffah, ya ayyuhalladziena amanu fisilmi kaffah (wahai orang-orang yang beiman, masuklah dalam Islam dengan menyeluruh).

Nah, bila putaran nasib menggiring aku ke pelangi kemenangan, maka aku harus berpendar dengan cahaya baru ---yang tak sepenuhnya dikenali dengan persis oleh kawan-kawan---, yaitu cahaya Islam. Apapun produktivitas yang aku lakukan, karya yang kubuat, prestasi yang kugurat, imbalan yang kuperoleh, seluruhnya ada dalam koridor ke-Islam-an. Itulah jalan ketundukan ku, Jalan Menuju Tahadjud...

Kamis, April 09, 2009

Keteladanan Berpolitik....

Fatsoen politik hampir hilang dalam pusaran Pemilu April 2009 ini... Entah di lingkungan elit, para komprador, massa militan partai, atau bahkan pencitraan di media massa. Kita kehilangan sentuhan yang menggeletarkan nurani, dari serentetan sodoran pernyataan politik para tokoh dan akademisi. Tabung memori intelektualitas kita pun kosong dari jejalan hikmah yang memberi kesan ----bahwa rasionalitas itu perlu.... Pentas politik sudah bertiwikrama menjadi showbiz, terkemas oleh industrialisasi hiburan, oleh televisi, oleh balihoo... oleh segalanya yang bisa mendompleng pesan semu.

Berlawanan total dengan kejadian sekitar 10-11 tahun lewat. Saat itu gagasan adalah pemenang. Pilihan sangat tegas, dan resiko menjadi tumpas berada di depan mata. Kita tahu si "a" palsu, kita kenal persis si "b" idealis. Gagasan, pencerdasan, dan gelombang harapan menggumpal-gumpal. Kekuatan itulah yang kemudian meluruhkan bangunan politik Jenderal Soeharto. Hari ini semuanya seperti bermain kartu remi. Seperti tidak ada kategori baik dan buruk, cerdas dan dungu, murni atau palsu ---semua kartu adalah sama, tergantung siapa yang memaikan. Kemasan adalah panglima.....

Begitulah Demokrasi
Demokrasi, seperti diakui banyak pihak, memang bukan jembatan baja yang anti roboh. Terkadang malahan teramat rentan. Bisa membawa rakyat ----yang mencoba menyebrangi jembatan demokrasi itu--- justru jatuh ke dasar jurang. Tetapi toh, lebih baik melintasi jalan demokrasi daripada bersikutat dengan angkara ---yang sama buruknya menindas.

Intinya jangan membubuhkan tanda tangan di cek kosong. Kita berhitung untung rugi. Karena memang hidup tak sepenuhnya seperti jam dinding, teratur, kaku, saklek, tinggal tunggu posisi yang diinginkan. Seperti hari ini dan besok, pendukung Partai Demokrat senang bukan kepalang. Langkah berikutnya tinggal sejangkauan tangan, mematri kursi RI satu untuk Sang Pembina, Bapak Soesilo Bambang Yoedhoyono. Pemilu kita pun, dalam ukuran minimal, berlangsung cukup demokratis. Tetapi hampa nilai-nilai kebangkitan semangat politik. Tidak ada isu perubahan. Hampa dengan penyegaran motivasi. Teramat pejal, dangkal, banal....

Terbata-bata
Aku sendiri menjadi baut atau sekrup kecil dari mesin besar politik yang menggeregak ---melindas suara alternatif, meratakan kegelisahan publik. Tersuruk suruk dalam operasi justa, menggelontorkan wacana kosong dan menangkap aspirasi palsu. Batinku tersedak, jiwaku terisak. Hanya Allah yang Maha Tahu ratapanku....

Namun rahasia kehidupan memang tidak tersaji di meja makan. Aku selalu bisa mengecap hikmah, pelajaran-pelajaran penting dari perjalanan politik yang aku libati. Faktanya senantiasa terhina, tersia, terpojokkan, dipermalukan ---di samping kerja keras siang dan malam. Begitulah lintasan "sejarah" politik aku beberapa tempo berselang. Cukup tersedia tawaran-tawaran hikmah: bahwa aku bisa bersikukuh, bertahan dalam gempuran. Bahwa aku mau bekerja keras, dari pagi hingga malam. Bahwa aku bisa mempertahankan harga diri di hadapan lingkungan. Bahwa kinerja aku diakui banyak orang. Semuanya bertelekan pada ego dan self esteem.... Toh, berlangsung tanpa rekayasa ---di sini tangan Allah yang bermain. Ia Sang Penyelamat.....

Pulang
Aku akan pulang dengan kepala tegak!
Disertai serangkaian nadzar pribadi untuk memperbaiki amal ibadah, ilmu dan hikmah, shodaqoh dan silaturahmi. Menaburi hari-hariku dengan segala kebaikan-kebaikan. Aku semakin percaya, Allah Maha Baik, dan mendorong kita berbuat baik. Isteri dan anak-anakku telah lama menanti. Hatiku malah semakin lapang. Tantangan terberat terlewati... dengan hasil yang tak sepenuhnya kuinginkan. Yang paling penting adalah pembuktian dan integritas. Kata Hadis Nabi: bekerjalah kamu dengan sebaik-baiknya, dan nanti Allah, Rosulmu, serta orang-orang mukmin akan mengetahuinya....

Barangkali setiap kawan, mitra, dan bahkan anak - isteriku, menyangka aku akan mendapat hadiah. Aku tak tahu pasti ---menuntut tidak, mengharapkan terlalu dalam juga tidak. Aku sudah mendapatkan fatsoen, lewat keperihan-keperihan. Biarkanlah Allah yang menentukan. Dia Maha Tahu kebutuhan-kebutuhanku. Tetapi batin berbisik: Ya Allah, lapangkanlah rezeki untukku... beri aku kasih sayang dan perlindunganMU. Amien....

Tarikan-Tarikan Kebaikan, Kuat... Kuat...Kuat....

Keniscayaan hati ketika kita melihat kebaikan dari pihak lain, lantas terdorong untuk ikut. Hatta meresapi dengan bernas, pesona yang memancar dari sesama ----yang dalam penilaian kita mengagumkan. Desakan agar bisa seperti mereka, siapapun itu, bergulir dalam kalbu. Setidaknya keinginan meneladani mereka, orang-orang unggul pilihan. Kejadian seperti ini, adalah sedikit saja dari pembuktian bahwa hati dan akal kita memang menyimpan potensi kebaikan.

Hari ini dua hal yang memesonakan aku. Komentar dari pengamat politik brilian di negeri ini, yaitu Anis Baswedan, tentang makna kemenangan Partai Demokrat (versi Quick Count, tapi mungkin akan seperti itu juga versi resmi KPU), sungguh-sungguh meresap. Di berargumen: dalam politik, realitas kalah penting dibanding persepsi. Jadi fakta, kenyataan, gejala di lapangan, bisa saja dikaburkan atau dikuatkan oleh rekayasa persepsi (melalui iklan, kampanye, sosialisasi, dan mungkin juga propaganda). Menurutnya, posisi edar Partai Demokrat ---sebagai pengendali kekuasaan--- sesungguhnya tidak beruntung betul. Artinya, masih banyak fakta sosial yang sengkarut. Tetapi, karena berhasil mempermainkan persepsi publik, maka The Mercys, bisa unggul. Jauh melebih pesaingnya, masing-masing PDI P dan Golkar.

Pesona berikutnya menyembul dari situs internet, www.andaluarbiasa.com. Terkaget karena alamat situs senyatanya tak jauh benar dari tempat tinggalku, yaitu di Citra Raya, Bitung, Tangerang ---tak sampai 40-an kilometer, dan lokasi itu kerap aku sambangi, karena merupakan tempat shoping dan main. Bukan hanya alamatnya yang membuat surprise. Lebih pada materi dari website pembangkit motivasi itu. Banyak artikel-artikel yang membangun kekuatan mental. Melejitkan potensi diri. Menyapa orang untuk meyakini bahwa everbody can do succes!

Padahal dulu, aku selewatan saja membaca buku-buku tentang how to, alias psikologi populer. Paling-paling melahap Dale Carnegie, Robert T Kiyoshaki, atau Danniell Colleman ---perkara pentingnya emotional inteligence. Tetapi belakangan, jadi rajin buka bacaan-bacaan tentang pembangkit jiwa itu. Baik versi populer, sekuler, atau bahkan islami sekalipun (sekelas novel-novel religius ala Habbiburahman El Shiradji).

Dari salah satu kontributor, namanya Ani.... memiliki daya sedot kuat. Kulahap artikelnya. Sebenarnya tuturannya sederhana saja, jauh dari kesan retorik atau sok ilmiah. Ia bertutur apa adanya. Tetapi ---ada kaitannya dengan persepsi--- teramat meyakinkan. Satu perkara cukup menarik. Ternyata Mbak Ani berlatar belakang TKW ---sebuah profesi yang hanya sekelas lebih baik dari budak, ini adalah persepsi publik, saking seringya para duta devisa itu dipublikasikan minor. Dia menulis dengan sepenuh hati, seperti dalam pengakuannya. Dampaknya menetes dalam hati bening ku. Lirih kalbu berbisik: dia saja bisa, mengapa?

Anis Baswedan dan Mbak Ani, menyambungkan dua mata rantai yang sama. Tradisi intelektual! Sebuah kebiasaan yang sesungguhnya bukan barang asing dalam hidupku. Tetapi terlalu lama aku terlepas dari ikatan komunitas itu, hingga mengabaikan dengan sengaja segala sesuatu yang berkait dengan intelektualitas. Petikan contoh dari orang-orang yang berpusar dalam olah pikiran, olah analisis adalah satu: aktivitas tulis menulis.

Nah, barangkali ujungnya akan serupa. Melahirkan niat dan itikad. Hari-hari terakhir ini sengaja aku memompa ambisi, agar sesuatu yang lama terpenjara di dalam jiwa raga bisa terangkat. Menulis. Menulis. Menulis. Itulah yang akan selalu aku lakukan. Dengan frekuensi tinggi, tentu saja.

Sesungguhnya aku ingin mensistematisasi kembali pilar-pilar kesuksesan yang ingin tergapai. Di aras teratas adalah nawaitu membangun akhlak (perbanyak amaliah, ibadah, shodaqoh, sholat, mengaji, silaturahmi, dan seterusnya). Pilar berikut, mendisplinkan diri dalam urusan kerja. Pilar penopang, rajin membaca (kembali). Pilar penopang, melipatgandakan kesabaran, optimisme, dan kemampuan menjaga amanah. Pilar tambahan, ingin sekolah S2, punya rumah, dan punya mobil. Ya Allah.... semangati hambamu untuk memburu kebaikan-kebaikan. Amien....

Berberapa Keinginan Dengan Kekuatan Perubahan

Terlampau mengandalkan perubahan pada kekuatan alam semata, menggantungkan pergeseran posisi dan kondisi pada perjalanan waktu, sama saja dengan mensejajarkan diri kita dengan makhluk lain. Lantaran amanah sejati ke-Manusia-an kita justru adalah sebagai pengolah alam raya, khalifatullah fil ardh. Resiko penyerahan total pada perubahan alamiah adalah pengingkaran terhadap karakter terkuat kita, potensi akal, dan pelipatgandaan potensi ketuhanan yang telah diberikan Allah kepada kita.

Barangkali perputaran jagat kehidupan segala rupa benda dan mahluk di sekeliling adalah penegas semata, untuk kita belajar dan mengabdikan diri. Tetapi kita tidak boleh sama dan menjadi (to be) dengan mahluk Allah itu (baik yang bernyawa, maupun tidak). Berseraknya mahluk, benda, material, atau apapun di hamparan mayapada ini, sekali lagi, adalah penegas keisimewaan manusia. Seraya menjadikannya sebagai alat melejitkan potensi kekhalifahan kita. Bentangkan dan edarkan akal budi, indera, serta kebeningan hati terhadap perubahan-perubahan alamiah. Untuk belajar, untuk memotivasi, untuk mempraktekan kebaikan-kebaikan. Tetapi tidak untuk sama sebangun dengan benda-benda dan mahluk-mahluk itu.

Setegas diri, saya mengambil posisi berbeda dengan sesiapapun yang asyik mengulang petuah: hiduplah seperti air, mengalir... Jika petikan kata "seperti" itu adalah bermakna sementara, maksudnya di saat tertentu kita boleh "seperti" air, mengalir begitu saja, bolehlah. Tetapi kalau permanen, pasti menolak tegas. Hidup butuh skenario, rekayasa, strategi, atau apalah lagi. Sikap going easy itu adalah anugerah, bak gelas porselen mewah yang sesekali saja kita patut-patut, agar menenangkan diri. Tetapi tidak boleh ditabalkan menjadi karakter. Sama dengan gelas porselen itu, sebaiknya disimpan di lemari kaca nan berpendar, jangan dijadikan gelas minum harian.

Buang waktu bila me-listing sekian lema kata ----yang terkesan bijak--- tetapi menjebak. Dengan mengandalkan harmoni alam sebagai pegangan hidup. Seperti ungkapan: serahkan kepada waktu. Bagai sang surya menyinari dunia, tak butuh balasan! Duhai, alangkah mustahilnya itu.

Segumpal Janji
Detik ini, kulipatgandakan tekad, tidak akan mempermanenkan sikap pasrah-nrimo-mengalir, going easey....

Potensi kebaikan dalam diri ini tersusun oleh partikel-partikel mahal. Yaitu kesabaran, syukur dan ilmu. Tak ada kebaikan yang aktual, tanpa berbasis hal-hal tersebut. Olehnya pilihan terbaik adalah menyusun skenario, agar potensi kebaikan itu tidak memusing arah.

Kalau kata Robert T Kiyoshaki, aku ingin pindah quadran. Berpindah dari posisi pasif ke aktif. Dari pesimis ke optimis. Dari diam menjadi berbuat. Dari apatis ke kritis. Dari permisif menjadi produktif. Itu adalah masuk dalam barisan normatif. Bagaimana dengan aktualisasinya:

Sudah jelas. Kembali aktif, produktif, tekun, pantang menyerah, untuk menulis-menulis-menulis. Kembali bangkitkan minat membaca-membaca-membaca.
Tetapi kali ini dengan obor yang berbeda. Dulu untuk gengsi, sok intelek. Kemarahan.
Hari ini dan Insya Allah dan seterusnya, justru untuk menjaga potensi kebaikan. Beramal sholeh, memperkuat jati diri ke-Islamanku. Amien ya Robbal Alamien.....

Rabu, April 08, 2009

Berlepas Diri, Berserah Diri....

Darah berdesir, peluh mengalir. Ketegangan membuncah beriringan dengan cemas dan lemas. Tetapi biarlah semua sebentar lagi lewat. Aku bergumul dengan harapan-harapan yang satu versi kuat, di opsi lain justru lemah. Jikalau mengikuti suara nurani, maka semuanya menjadi biasa-biasa saja.

Pemilu hari ini, 09 April 2009, tak akan berarti banyak. Tak setitik pun garis edar dan ketetapan-ketetapan Allah terhadap diriku bergeser karena faktor Pemilu. Tidak! Hanya kebetulan saja orbit nasib hari ini adalah aku menjadi pelaku, terlibat, seraya menyicip nafkah material. Lainnya tidak. Malah aku berkemul dengan uap kebohongan-kedunguan-kepicikan. Namun seperti anak ayam di dalam kurungan kulit telur, semuanya tak berarti apa-apa sebelum telur pecah. Begitulah aku. Potensi kebaikan-kebaikan aku memang tertidur. Terkurung. Tetapi tak akan mati.

Pilihannya adalah sederhana saja. Klien aku memenangkan Pemilu, terpilih menjadi Anggota DPR RI mewakili Daerah Pemilihan Jawa Timur II, Pasuruan dan Probolinggo. Kalau bisa, dan ini lebih bagus, adikku juga terpilih dan menang dalam Pemilu Legislatif, untuk kursi DPRD Tingkat II Kabupaten Tangerang. Itu saja. Kalau tidak bisa, ya tak apa-apa.

Lebih penting adalah reorientasi, penyegaran batin, mental, sikap dan amal sholeh, terhadap sesama manusia dan kepada Sang Pencipta. Betul memang kejumudan berulang-ulang hadir. Kalah oleh bisikan sesat. Terpental digiring oleh nikmat sesaat. Tetapi bagaimanapun api Islam harus terus berkobar.

Ya Allah.... Kuatkan diriku. Bentangkan sifat Maha RahmanMU untuk aku. Tabalkan rasa Syukur. Teguhkan kesabaran. Mudah dan luaskan rezekiku. Sesungguhnya Engkau tak pernah ingkar janji. Biarkanlah aku berlepas diri, berserah diri, hanya kepadaMU, ya Allah.....

Selasa, April 07, 2009

Menjadi Arang Yang Tak Terbuang..... Hatiku Harus Selalu Baik.....

Pernah suatu kali aku melihat arang lapuk, tergenang basah, diinjak disia-siakan. Alam kemudian memanggangnya tanpa ampun. Kerontang oleh sengat surya. Tetapi onggokan kayu sisa perapian itu justru mewujud kembali. Legam mengeras, siap untuk kembali berkarya. Tentu saja bermanfaat bagi anak-anak muda yang punya acara memanggang ikan, ayam, atau potongan daging kambing.

Potret keberdayaan, memang terserak di mana-mana. Sebenarnya sepadan dengan hukum energi. Tak ada energi yang habis, hanya berubah bentuk. Ukuran pemanfaatan energi sejatinya bukan terletak pada kuantitas, volume besar, atau fasilitas pembangkit yang mega-raksasa. Tidak. Energi semungil pemantik apipun, jauh lebih berguna. Tentu dalam kondisi dan kesempatan yang pas. Bukankah di saat kita ingin merokok, sepilah pentul korek lebih kita butuhkan dibanding kobaran api Gas dari kompor Rinnai?

Jadi jangan punahkan setitik apapun energi (potensi) diri. Volume energi di tubuh kita mungkin tak sekuat The Rock, yang bisa membanting dua tubuh tambun sekaligus, dalam World Wrestling, Wrestling, tayangan gulat di televisi ---dulu sangat digemari pemirsa Indonesia. Begitupun energi olah batin kita belum sesakti karomah para wali. Pun, permainan ilusi, pikiran, tak sedahsyat peragaan para mentalis sekelas Dedy Corbuzier.... Daftar kekurangan itu masih berderet-deret. Tetapi apa perlu dilisting? Kalau ujungnya malah membenamkan ke dasar lumpur semangat positif fighting kita?

Okelah. Bila konteksnya adalah koreksi evaluatif. Saya misalnya. Secara intelektual hanya satu strip lebih maju dari orang-orang buta hurup tak tamat SD. Tak ada produk berharga dari karya pemikiran saya. Begitu juga dengan "aura inner power", sebagai energi yang bisa memesonakan kharisma diri, menaklukkan rasa simpati orang. Perasaan, aura aku di bawah sedang, sangat payah. Kerap aku tak berhasil meraih simpati, baik privat maupun publik. Jangan bilang dengan energi fisik. Lari 10 meter sudah tersengal minta oksigen.

Nah, kini yang jadi harapan adalah energi dari hati. Selama ini kita menjadikan hati tidak sebagai apa-apa. Melainkan separuh ruang untuk menyimpan kejengkelan, dongkol, marah, suntuk, dan rupa-rupa syak wasangka. Kita lindungi hati dari taburan penyakit itu agar tak meledak menjadi fitnah, meruap dengan tindakan nan mencelakakakan. Dari batas norma umum, itu baik, atau malah cukup baik. Tetapi perlakuan seperti itu seperti menyimpan lilin dalam gua. Tak bisa ke luar memancar. Tak ada pula yang memanfaatkan. Bukankah mahluk hidup di gua pekat gelap tak butuh pelita? Di malam hari gulita, kelelawar bisa terbang meliuk-liuk bukan karena panduan penerangan. Melainkan karena ia bergerak oleh echosound, inderanya sangat tajam dalam mencandra getaran objek di sekelilingnya. Kelelawar melihat dengan suara....

Energi hati. Terpetak dalam lipatan-lipatan fungsi. Mengendapkan perasaan negatif (ketakutan, kecemasan, kemarahan, kebengisan). Menghidupkan harapan, asa, doa-doa, kehendak positif. Menggerakan itikad baik menjadi tindakan. Semisal hati kita hari ini ingin shodaqoh, silaturahmi, sujud, mengaji. Menebalkan keyakinan untuk bertahan, dari gempuran.

Energi hatiku tak akan habis.... Fisik, intelektual, aura, mungkin punyaku sangat drop. Tetapi hati tidak. Akan kutimbun dengan kebaikan-kebaikan. Kupupuk dengan amal-amal sholeh. Kusiram dengan hikmah-hikmah dan tausyiah. Kuperam dengan asmaMU, ya Allah.
Agar hatikku tak hancur dalam kegalauan.....
Agar hatiku tak pendar oleh racun keputusasaan....
Agar hatiku tak mati oleh iri dengki....
Agar hatiku tak perlaya oleh tipu daya....
Agar hatiku tak takut oleh Angkara-Ketakaburan-Kesombongan.....

Bantu Aku, Ya Robbi.... Melipatgandakan Energi Hati. Amien....

Mereguk Ridhlo Bapak

Rasanya bahagia dan plong... Beban berat berhari-hari, bahkan berbulan-bulan, terbuang begitu saja. Bahkan tadi malam, aku hampir menyerah. Berniat untuk memberontak, melawan dan menguar-nguarkan emosi kemarahan. Tetapi Allah Maha Rahman. Diujung berondongan masalah, diantara desakan problem, serta telepon berdering tuntutan dari sana-sini, sekonyong muncul gagasan, bahwa aku harus berbicara dengan Bapakku.

Bapakku. Terus terang aku merasa sangat sayang kepadanya. Dari dulu aku selalu ingin membahagiakan Bapak. Tetapi secara materi aku tidak mampu. Hanya sesekali. Tetapi itupun kadang. Kalaupun bisa, aku selalu menjaga silaturahmi rutin dengan dia. Mulai dari ngobrol ringan, bercerita, atau berdiskusi. Tetapi aku tahu, beban Bapak belum hilang. Tanggungan Bapak tidak mudah. Ia masih memikirkan adikku, anaknya yang bungsu. Si Bungsu ---kami semua sayang padanya--- hingga hari ini tidak punya pekerjaan. Juga belum dapat jodoh. Bapak juga masih sering merasa pening dengan kelakuan Abang ---yang meskipun sudah bisa mencari rezeki, tetapi kelakuan minus selalu melekat padanya. Main perempuan, boros. Begitulah....

Hati melonjak-lonjak gembira karena pikiran baik itu. Langsung menelopon Bapak, berbicara sebentar kepadanya. Lalu memutuskan untuk memberi uang, tidak banyak hanya Rp 2 juta. Itupun bukan buat Bapak langsung. Melainkan untuk keperluan si Bungsu. Tetapi aku sangat bahagia ---jumlah uang itu sangat tak berarti saat itu. Karena Bapak terdengar bahagia, tertawa, dan mengucapkan terima kasih. Mulai hari ini, Ya Allah, izinkan aku selalu bisa bershodaqoh ke Bapak. Tidak perlu jumlah uangnya berapa. Yang penting Bapak bisa bersuka cita.

Sejujurnya, secara materi aku cukup. Masalahnya, beban dan tanggungan luar biasa banyak. Aku harus menghidupi keluarga isteriku. Aku niatkan untuk menjadi bagian dari shodaqoh. Semoga Allah meridhoi. Tetapi hati kecil sering bersuara: bahwa harus adil, jangan sampai terlalu banyak ke keluarga isteri. Baiklah. Kesadaran itu kian menguat. Tinggal atur siasata, agar semua kebutuhan isteri tercukupi. Bisa membantu yang membutuhkan ----karena keluarga isteri tanpa penghasilan, hanya adiknya yang bekerja. Terpenting juga, biar sedikit, bisa shodaqoh untuk Bapak.

Aku juga meminta agar isteri silaturahmi, ngobrol langsung, dan minta agar Bapak mendoakan. Memang senyata-nyatanya aku perlu didoakan orang tua. Pekerjaanku sangat berat. Bermitra dengan orang-orang takabur dan sombong. Paranoid, takut kalah dalam pertarungan Pemilu. Orang-orang itu juga teramat culas. Sebenar-benarnya aku jijik dengan moralitas mereka semua. Lebih-lebih, mereka sangat mengangap enteng aku. Sering marah dengan cara yang tidak patut. Aku protes, tapi sia-sia. Lagipula, aku butuh pekerjaan itu untuk kelangsungan hidup banyak nyawa. Biarlah....Pertahananku adalah ada pada itikad. Bahwa ini semua Allah yang mengatur. Paling utama justru bagaimana caranya aku bisa bermunajat. Menghambakan diri dan menghinakan diri dalam sujud dan dzikir kepada Sang Maha Kasih.

Jika berjalan lancar, maka isteri akan menemui Bapak. Berupaya untuk memberi uang, lantas minta didoakan langsung. Ini saja gembiranya bukan kepalang. Mudah-mudahan Allah juga meridhoi. Bukankah Ridho Allah tergantung pada Ridho Orang Tua, Ridallahu wa ridho walidain....

Aku jadi siap. Karena bersandar pada permohonan Ridho Allah dan diiringi doa orang tua. Semoga saja semua yang menjadi permohonanku, permohonan adikku, permohonan Bapak, dan permohonan isteri serta keluargaku semua, bisa terlaksana. Tolong kami, ya Allah....


Minggu, April 05, 2009

Hati Adalah Kunci

Terpaksa harus selalu membuat perbandingan, antara dulu, sekarang, dan apa yang aku inginkan kelak. Rasanya, perjalanan dalam hidupku yang paling tersia, adalah justru pada 10 tahun terakhir ini (dari 1999-2009). Satu dekade itu, peristiwa tergetir selalu mampir. Lalu ada satu yang mengherankan, justru 5 tahunan sebelum itu, malahan menjadi kenangan paling manis. Kalau hitung mundur, mungkin antara 1999 ke 1994. Menjadi penulis terkenal, orator dalam demonstrasi, aktivis paling berani, pembicara paling disukai, ada dalam diriku. Namaku beredar di komunitas aktivis.

Setelah itu lenyap. Berkelindan dengan kegagalan dan keruwetan. Pertama-tama yang rasanya teramat pahit adalah menghadapi kenyataan betapa tidak berharganya aku di Jakarta. Padahal kalau bertarung soal kemampuan, kelasku tak beda jauh dengan mereka. Tersuruk-suruk mencari pekerjaan. Kesulitan memperoleh penghasilan. Jadi penganggur. Nongkrong dan kebingungan di kampung.

Mencari pelampiasan, akhirnya adalah jalan keluar yang meskipun aku tolak secara batin, tetapi lahirku melakoni (dengan intens, dan tak peduli harga diri). Jika didaftar, perilaku aku yang tak patut di kala itu, benar-benar membuat malu.... Kawan-kawanku sesama aktivis, pasti akan bertanya-tanya: kenapa dengan Endi?

Walau begitu, satu dua kebaikan masih erat melekat. Misalnya: tetap rajin membaca. Walau berubah haluan. Dulu ke buku-buku politik, saati 1999-2002, bergeser ke buku-buku agama. Lantas kerap juga mencoba praktekkan. Dengan rajin tahajud, membaca Al Quran, dzikir, dan sesekali berpuasa. Dalam keadaan paling jatuh sekalipun, aku memang berkeyakinan bahwa Islam adalah paling benar. Kemampuan intelektualitasku selalu tak beranjak dari keyakinan itu.

Lantas ada periode balik ke Manado. Yaitu dari Tahun 2002 sampai dengan awal 2004. Gelora lama bangkit. Kembali menjadi penulis. Bergiat di LSM, dan memperoleh penghasilan pasti. Terpenting adalah memasuki kembali komunitas lama: dengan kawan-kawan mahasiswa, bersama bergumul dengan aktivis Pers dan Jurnalis. Tapi kali ini dengan warna baru. Yakni hobi bermain bilyar dan nongkrong bersama. Sepetik nikmat lama, tereguk kembali saat itu.

Sebenarnya aku tak ingin bertutur kronologis. Tapi, toh, perlu.

Ada saat istimewa juga menyela. Tepat di Tahun 2004, mengalami bekerja enak, banyak uang, bergelimang fasilitas. Tentu saja juga mulai bermain perempuan. Padahal, saat itu aku sudah menikah. Barangkali itu menjadi antiklimaks. Tak lama manisnya momen itu berlangsung. Bulan-bulan berikutnya, nestapa bersusulan. Tahun 2005 total adalah vivero percoloso (kata Bung Karno, alias tahun-tahun perih). Jika mengampil padanan (kesamaan dalam konsep, bukan kualitas), adalah aumul huzn, tahun-tahun terberat dalam perjuangan Nabi Muhammad SAW.

Dalam etape penggalan perjalanan, selalu berulang proses yang mirip, yaitu kesadaran akan Allah, kerinduan untuk Sholat (diiringi dengan aktivitas sunnah yang lain), juga kehendak untuk melanjutkan tradisi intelektual.

Kini, semuanya berada dalam kerumitan. Dulu, meski pedih nestapa, aku masih punya harga diri. Tidak memiliki ketakutan berlebih. Hanya Allah yang kutakuti.... Kini, Ya Allah, ampuni aku.... Engkaulah yang Maha Rahman. Engkau tahu, setiap doaku adalah ketundukkan. Penghinaan diri dan sujud sembahku, hanya kepadaMU. Tidak untuk yang lain. Tolonglah, aku Ya Allah.

Bertarung Dengan Kegalauan


Ada tradisi kecil yang coba kurawat...menulis! Dulu, kala mahasiswa dan jadi aktivis HMI, aku salah satu penulis produktif. Tetapi, ketika aku pulang kampung, terkena stress, dan menghadapi tekanan hidup, kebiasaan itu hancur. Total aku tinggalkan. Beruntung, masih ada kepingan habbit menulis itu yang terselamatkan, yaitu menulis diary. Diary dalam makna sebenar-benarnya. Yakni menuliskan jeritan hati. Tertuang dalam buku tulis biasa yang diproduksi WALHI, dari kertas daur ulang.

Beberapa momen penting yang menyesakkan dada, terekam persis di situ. Terutama renungan-renunganku.

Rencananya, aku ingin mengeksplorasi kepingan itu. Membangunnya sebagai artikel utuh. Tidak akan menghilangkan esensiya: perihal jeritan batin. Tetapi niatnya memperkaya dengan sejumlah referensi yang bisa kupetik. Aku tetap ingin bahwa tradisi ini bertahan. Jikapun gelora cita tak kesampaian, menjadi penulis handal, maka kebiasaan menulis diary ini akan tetap berlanjut. Salah satu hal yang kuhargai dan bermakna di situ adalah: menuliskan suatu kejujuran, benar-benar suara hati. Bisikan tentang kepasrahan dan keinginannku untuk mendekat kepada Allah.

Ihwal terjadinya pertentangan antara suara hati dan tindakan nyata aku dalam hidup, barangkali selalu terjadi. Kekurangan-kekurangan dan kelemahan diri mungkin jadi penyebab utama. Meski begitu, sekurangnya ada sesuatu yang kurawat. Bahwa hati ini masih condong kepada Nur Illahi, kepada syariah Islam, rasa cinta Kepada Junjunganku, Nabi Muhammad SAW. Itu adalah komitmen yang tak bergeser se-inchi-pun.

Allah Maha Tahu dengan segala apa yang terjadi. Dia adalah pembalas yang penuh kasih sayang. Memang senyatanya aku sering merontak, protes, marah atas segala yang terjadi. Benak kelap dihinggapi syak, kebencian, serta putus asa. Tetapi sifat-sifat itu tak ingin kupasang permanen. Biarlah semata menjadi letupan-letupan kecil, dari tumpukan api unggun yang menggelegak. Suara-suara protes dari hawa nafsuku itu menjadi semacam percikan api kecil, diantara kobaran api kebenaran dalam jiwa. Ya Allah, aku tahu, ajaranMU adalah kokoh. Tidak harus serta merta aku memperoleh benteng pondasi iman yang seteguh beton. Rapuh atau kukuh, sejatinya, tak berarti banyak bagiMU. Bukan kekuatan Iman kita yang menentukan, tetapi kasih sayangMU ya Allah.... Itulah pemahamanku.

Sabtu, April 04, 2009

Adinda, Doaku dari Jauh

Pernah kuperoleh tausyiah, salah satu doa yang didengar Allah, adalah doa seorang saudara kepada saudaranya yang berjauhan tempat. Ini adalah salah satu tebaran rahmat Allah kepada kita, dalam berbagai kondisi. Selain beberapa wejangan populer yang kita kenal tentang doa-doa yang tersegera (mustadjab). Seperti doa orang tua, doa orang teraniaya, dan lain-lain.

Ba'da maghrib, aku menelepon adikku. Sepertinya ia terbebani. Urusannya memang banyak. Menanggung beban perjuangan tidak sepele. Seluruh keluarga kami telah mati-matian membantu. Tetapi keluarga kami terbatas dalam materi. Ia, dengan agak terbata, memohon bantuan aku. Apa daya, dari jauh aku hanya mengelus dada. Uang tak punya. Apapun tak punya untuk dijual. Akhirnya aku teringat petuah tentang doa saudara dari jauh. Janjiku adalah: bersegera berdoa. Seraya mengitikadkan hati meminta kepada Allah, dalam sujud tahajudku malam ini. Bantu aku, ya Allah. Agar aku bisa mendoakan adiku dan keluargaku di kampung.

Ingatan lantas menyeruak. Was-was akan kondisi keluarga. Jangan sampai mereka dipermalukan. Menanggung aib tak terkira. Berutang tanpa terbayar. Ya Allah, tolonglah... lindungi keluargaku dari segala keburukan. Jauhkan atas kejahatan setan, jin, manusia, dan semua mahlukMU. Berikanlah mereka kemudahan dalam urusan. Luaskan pintu rezeki. Jaga kesehatan mereka. Lindungi dari mara bahaya.

Untuk diriku sendiri, ya Allah, engkau maha tahu kondisiku. Terjepit diantara kesombongan dan keangkuhan. Terinjak dalam kondisi sulit. Hatiku bahkan tak bisa mendoakan perkara ini, ya Allah. Bukan aku tak ingin berdoa. Aku sangat ingin. Tetapi aku hanya ingin meminta atas diriku sendiri, tidak untuk orang-orang yang mendholimi aku. Kualitas imanku, ya Rabbi, teramat tipis. Belum sanggup melapangkan dada dari kejengkelan. Biarlah hatiku bersih dari kesumat, kedengkian. Tetapi aku tak akan menghinakan diri di hadapan mereka. Kehinaanku hanya pada sifat-sifat keagunganMU, ya Allah.

Adapun hak-hak pribadi yang mestinya aku gapai, tentu saja wajib aku ikhtiarkan. Mereka berjanji akan membayar. Tapi entahlah... hatiku hilang rasa percaya. Wahai Zat Yang Maha Perkasa, kuletakkan keinginan ini kepada kemampuanMU.

Jumat, April 03, 2009

Terbata Dalam Munajat


Diksi (pilihan kata) pertama, ketika menuliskan sesuatu, jadi gambaran samar tentang karakter. Orang-orang pesimis mungkin lebih akrab dengan peristilahan yang ngepas dengan kekalahan. Terbumbui dengan ungkapan-ungkapan kesah-keluh. Di beberapa bagian kalimatnya ----sangat mungkin--- juga berwarna kepasrahan telak. Rententan kata-kata ini adalah perwakilan nyata: aduh, ya Allah...., oh.... kok begini, kapan berakhir!

Diam-diam, aku amati kembali tulisan-tulisanku. Senyatanya bertabur dengan ungkapan sentimental orang-orang kalah. The looser millenia.... Bolehlah, barangkali, ini juga cermin terang tentang kondisi psikologisku saat ini. Dihempas kekerasan bertubi. Menghentak kejut oleh pusaran nasib. Sejatinya kegagalan-kekalahan-kepedihan menjadi sedemikian akrab. You Are What You Say.... Lantaran kata-kata adalah produk benak, mewakili persepsi kita terhadap apapun yang terjadi. Mudah-mudahan status ini tidak permanen. Aku ingin terlempar ke posisi nyaman. Perpindahan quadran, kata Robert T. Kiyoshaki.

Perpindahan quadran itulah perjalanan pilihan. Biarlah melaju pelan, namun fokus. Bertahan dengan sedaya upaya. Melalui doa, ikhtiar, tangis, munajat, dan berbuat baik (dalam ukuran syariah Islam). Dari kesekian pilihan untuk bangkit itu, aku terpesona dengan konsep munajat. Yaitu memohon dengan sungguh-sungguh. Kepada Allah, tentu saja.

Rinduku adalah bermunajat. Menangis, menghiba, memohon, menghinakan diri. Agar Allah mengampuni. Agar Allah memberi hikmah, kejelasan atas peristiwa yang kualami. Agar Allah memberi kesabaran. Agar Allah memperkaya kesadaran bersyukur. Anehya belum bisa juga. Terbentur oleh aneka gangguan. Entah dari perasaan kecewa berat. Marah. Dongkol. Merasa tersia-sia. Dan lebih sering oleh beratnya beban malas....

Bukannya tidak ada sama sekali bahan bakar untuk menegakkan munajat. Aku terdorong oleh cerita sukses sejawat-sejawat lama. Alhamdulillah.... kawan-kawan banyak yang maju. Studinya bagus, melanjutkan S2 di kampus-kampus ternama atau bahkan di luar negeri. Bekerja di bidang bergengsi. Punya karier bagus. Imbalan materi yang tinggi. Sedangkan aku: ternista dalam kedunguan-kedengkian-ketakaburan.

Pelecut lain yang kerap menggetarkan jiwa adalah ingatan akan nasib keluargaku. Anak-anakku dan isteriku. Pedih batin melihat mereka: rumah tak punya, mobil tak punya. Memang, sejujurnya, aku bersyukur dengan keadaan sekarang. Ada penghasilan pasti. Mencukupi untuk keluarga. Tapi agaknya (ini masalah hawa nafsu) masih kurang.

Lalu sisa-sisa cita-cita dan kehendak lama juga sesekali menyembul. Ingin menjadi intelektual, penulis buku laku, pembicara brilian. Atau sekalian saja menjadi politisi pasti (tidak ikut-ikutan doang). Toh, aku sudah berada dalam track yang benar. Bekerja di DPR RI. Meski kerap mendapat perlakuan menjengkelkan.

Terakhir, yang benar-benar kuat adalah membesihkan kalbu-hati-fisik-akhlak. Sungguh-sungguh aku ingin. Aku yakin Allah tak akan diam terhadap hambaNya yang sujud. Lagipula rasanya batin ini tak lagi bisa menerima faham-pemikiran apapun di luar syariahnya. Penuh dusta dan tidak kokoh. Lebih baik bersandar kepada tali Allah. Soal rezeki dan keinginan-keinginan, biarlah Allah yang mengatur. Dia maha tahu yang pantas kita peroleh (hari ini) dan ke depan nanti.

Bagaimana caranya ya Allah?
Aku tidak bisa setegar karang.....
Bolehkah menggunakan metode try and error? Efektif-kah bila dilakukan seperti itu....
Yang pasti, hingga detik ini, belum kehilangan asa untuk mencoba dan mencoba. Tolong bantu aku, Ya Allah. Permudah jalan hambaMU ini. Bantu aku dalam segala urusan. Jauhkan aku dari kekejian diri sendiri dan mahlukMU. Hindarkan aku dari segenap kedzholiman. Berkahi dan limpahi rezeki dan kasih sayangMU. Allah, ya Rahman, ya Rahiem....

Kamis, April 02, 2009

Itiqad yang Terus Kurawat

Sebiji butir benih, diantara hamparan ladang, bisa saja mati tersia. Kalah tumbuh oleh taburan benih yang lain, meski hidup di gembur tanah yang sama, mendapat siraman sepadan, dan perawatan telaten dari Pak Tani. Selalu ada yang gagal. Begitulah hidup. Tetapi pedih jika kita yang harus menjadi bagian dari ketidakberhasilan itu.

Nestapa berlipat-lipat. Manakala melihat sesama kawan yang telah go show. Mereka bertebaran dalam aneka profesi. Berkibar dalam dunianya masing-masing. Tinggal aku tertinggal. Jauh...jauh...jauh.... (se-melankolis lantunan vocal Kaka Slank). Hatiku juga belum teguh berprinsip. Apakah aku akan kian terpuruk? Malahan salah satu kawan mengingatkan dengan joke segar: hidup itu berputar, Ndi, dan sekarang kamu lagi di atas, hati-hati, yang terjadi adalah lebih buruk lagi. Jadi keadaanku sekarang, adalah yang paling baik, karena segitu itu yang bisa diperoleh. Duh, serem. Seperti apa, ya? Padahal sekarang saja aku sudah sedemikian merana.

Tak tahu lagi. Sampai kapan mampu bertahan. Bergerak dari satu keluhan ke ratapan yang lain. Memukul harga kemanusiaanku. Sepertinya tak pernah aku menikmati profesi seperti yang dialami oleh kawan-kawan. Kehidupanku terasa berat. Mengeluh juga sudah capek. Keyakinan juga nyaris tergerus hancur. Hanya anak-anakku yang menyelamatkan Iman, bahwa Allah itu Maha Rahman. Posisi ini benar-benar setegar karang: bahwa Allah menitipkan anak-anak untuk kujaga dan kurawat dengan semampu daya. Tak boleh main-main. Jauhkan putus asa.

Butiran lain yang menopang buat berdiri, adalah cantolan beberapa bacaan Buku Islam. Sedikit, sesekali, menggeletarkan qolbu. Seraya membisikan niat: Ya Rahman, aku butuh kasih sayangMU... Tolong Aku.... Bantu Aku....

Bagaimanapun aku masih diberikan nafas bertahan. Itu artinya perjalanan belum tuntas. Rezeki aku belum hadis. Sebab pernah seorang Ulama di Kampungku mengatakan, Allah tak akan mencabut nyawa seseorang, sebelum jatah rezeki untuk kita dituntaskan. Juga menyembul kesadaran, bahwa Allah masih memberi waktu untuk ber-taubatan-nasuha. Olehnya, lisanku, hatiku, marak dengan dzikir dan permohonan ampun.

Juga selaksa doa-doa dari orang-orang yang masih mau memperhatikan aku. Dari isteriku. Dari kawan-kawan. Mudah-mudahan juga, Allah masih memberi kesempatan kepada aku untuk berbuat baik. Menanam kebaikan di mana-mana. Mengurangi keburukan. Menghindari nestapa. Meskipun beberapa hari terakhir ini aku goncang oleh perilaku dzholim, yang sulit aku hindari. Aku teraniaya lahir batin. Tak bisa melawan. Duh, isteri, anak-anakku. Aku bertahan benar-benar untuk kalian semua. Aku mencintai kalian semua. Semoga Allah membimbing keluarga kita. Alief, Ikhsan, Papa mencintai kamu semua. Maafkan kalau belum bisa berbuat apa-apa. Allah selalu memperhatikan kita semua. Semoga. Amien.

Rabu, April 01, 2009

Aku Selalu Terpuruk....

Terlalu permisif terhadap dosa, ini keburukan melekat. Toleransi terhadap hal-hal yang masih kita anggap sepele, padahal bila bertumpuk akan menjadi gundukan besar. Bukankah kita jarang terantuk batu besar, keculi oleh kerikil kecil....

Tetapi sikap melenggang kangkung terhadap maksiat ringan itu juga mungkin karena desakan tertentu. Artinya, sesungguhnya hati tak benar-benar ingin melakukan. Takut kepada Allah. Merasa diri hina. Bahkan disertai dengan permohonan ampun serta istighfar kepada Allah. Namun terus saja itu terjadi. Sebentuk akutalisasi dari posisi selemah-lemahnya Iman.

Ya Allah... Engkau Maha Tahu Kondisiku. Aku sebenarnya tak ingin benar-benar melakukan dosa dan dosa lagi. Tetapi seringkali emosi di luar kendali. Kejengkelan terhadap perlakuan orang lain terhadapku. Pendzholiman terhadap hak-hak yang mestinya teraih, kadang-kadang mengusutkan kelurusan fikir. Hingga hari ini aku tak benar-benar faham: selalu membatukan tekad dalam hati untuk memberi lebih dan melayani orang lain dengan baik, tetapi imbal balik atas pekerjaanku, selalu terhinakan. Sedih, Ya Allah. Semoga Engkau memberi aku ampunan selalu. Senantiasa memberikan aku kemudahan rezeki. Meluaskan ilmu dan hikmah untukku. Tolong aku, ya Allah....