Rabu, September 08, 2010

Diriku, Ujian Kesabaranku, dan Kesedihanku

Semestinya diri ini tepekur dalam keharuan, di ujung Ramadhan ini (1431 H/ 2010 M). Allah memberikan selaksa tanda-tanda Kasih dan Sayangnya. Ketika diawal Ramadhan ini terbelit masalah yang merentakkan tulang punggung, menghinakan wibawa diri, dan menyiramkan sejuta kecemasan, hamba susah payah bertahan. Merawat rasa sabar, meneguhkan keyakinan, seraya mencob menyesap rasa syukur atas apapun yang Engkau berikan. Lalu, sesuatu terjadi, Engkau memberikan aku pertolongan ---sebagaimana yang aku harapkan.

Tapi penyakit kebodohan itu selalu terulang. Memang sempat bersyukur, tetapi sedikit. Penghambaan atas KekuasaanMU pun memang aku lakoni, tapi setengah hati. Tidak mampu jiwa dan raga ini mengoptimalkan ibadah, bahkan mengendor dalam pengabdian. Aku yang di saat kritis bisa bershodakoh banyak, bertahajud banyak, berdzikir banyak, justru lemah ketika Allah memberikan pertolongan yang membuat diri ini lapang.

Namun, ya Rabb, Engkau Maha Tahu, bahwa akal dan jiwa aku sudah tak ingin lagi berkompromi dengan prasangka buruk dan kemarahan (atau mencaci nasib atas apa yang terjadi). Aku mungkin kalah dalam menghalau rasa malas beribadah kepadaMU, tetapi selalu aku lawan. Di saat sholat tertinggal, mengaji Al Quran terabaikan, toh, aku kembali datang bersimpuh. Memohon taubat dan ampunanMU.

Pelan-pelan ya Allah keyakinan datang menyergap sukma. Bahwa tiga kali Ramadhan Engkau menguji aku dengan kekurangan (dari aspek ekonomi), tetapi tigak kali pula Engkau selamatkan aku (dengan memberi rezeki yang mencukupi). Itu saja sudah cukup, Ya Allah. Cukup karena aku takut tak sanggup lagi bila harus mengalami peristiwa yang sama. Cukup karena ternyata daya tahan dan kemampuan aku bertahan teramat lemah. Aku ingin sekali Engkau angkat. Ya Allah, berilah aku kelonggaran-kelonggaran dalam merengkuh rezekiMU.

Hari ini adalah menjelang takbir kemenangan. Alhamdulillah, dengan kapasitas dan kemampuan yang aku miliki, puasa bisa berjalan penuh ---itu artinya ini adalah tahun ketiga aku bisa berpuasa Ramadhan secara penuh. Aku ingin mencucurkan air mata bahagia.

Minggu, September 05, 2010

Ahmadinejad, Presiden Iran yang Mengguncang!



Beberapa pekan sebelum menang dalam pemilihan Presiden Iran, di Tahun 2005, Mahmoud Ahmadinejad adalah seorang “pesakitan politik”. Anak gurun dari tukang pandai besi ini nyaris tak memiliki apapun untuk terpilih menjadi orang nomor satu —di negeri bekas reruntuhan peradaban Persia itu.

Bahkan penulis buku Ahmadinejad, Kisah Rahasia Sang Pemimpin Radikal, yaitu Kasra Naji, menyebut Ahmadinejad adalah calon presiden yang lusuh.

Berikut penuturannya: Ahmadinejad, jelas, menjadi Calon Presiden paling lusuh. Iklan politiknya tertayang di media hanya karena “keberuntungan” (bahwa ada peraturan setiap kandidat memperoleh hak yang sama berpromosi di stasiun televisi). Itupun berisi rekaman video dengan kualitas gambar buruk, berisi pesan yang teramat klise bagi rakyat Iran —tentang penghargaan terhadap para pahlawan perang Iran versus Irak (halaman 66).

Melihat promosi seperti itu, publik Iran hanya punya satu pikiran: bahwa Ahmadinejad adalah calon presiden pertama yang harus mundur. Mereka menilai mantan Walikota Teheran ini tak layak.

Tanggapan “mengentengkan” ini wajar belaka. Ahmadinejad bukan politisi kaliber sebagaimana para calon presiden yang lain (misalnya Ali Akbar Rafshanjani). Jangan tanya soal modal uang dan kapital, publik mengenal Ahmadinejad adalah sosok yang bersahaja, bahkan tak terdapat sofa di ruang tamu rumahnya. Mobil pribadinya pun hanya sebuah Peugot tua. Lalu bagaimana dukungan politik dari pihak lain?

Hampir semua media massa meyakini satu hal, bahwa beberapa hari lagi datang berita penting: Ahmadinejad mengundurkan diri dari pertarungan kursi Presiden Iran. Tak ada satupun media massa yang mendukung tokoh Islam Radikal ini. Pun, yang menyedihkan, sekutu terdekat, kawan-kawannya seperjuangan, juga beberapa politisi parlemen, sama-sama menjauh dari dirinya. Keyakinan bahwa Ahmadinejad akan habis, kian diperkuat dengan beberapa kali survey, yang menunjuk popularitas Ahmadinejad berada di nomor 2 (dihitung dari belakang, dari 8 kandidat, artinya, ia hanya menempati posisi ke enam).

Lalu dunia menatap dengan gembira, terutama Eropa dan Amerika Serikat. Mereka optimis, bahwa kelompok Islam Radikal di Iran sudah habis, salah satu tokohnya yaitu Ahmadinejad tak akan terpilih menjadi presiden.

Tetapi di 17 Juni 2005 itu seolah-olah mimpi buruk datang. Ahmadinejad menang dalam pertarungan, menempati posisi kedua di bawah Ali Akbar Rafsanjani, dan itu artinya berhak bertarung di putaran kedua. Persis sejarah mencatat, diputaran kedua dirinya lah yang unggul, menyalip posisi mantan Presiden Ali Akbar Rafsanjani. Dunia terperangah. Seorang duta besar Inggris lalu mengirim faximile yang berbunyi: “ini adalah hasil dari perkembangan yang tak terduga”.

Awal Kontroversi

Kontroversi Presiden baru Iran ini dimulai terlalu dini. Tepat disaat penghitungan suara, lawan-lawan yang kalah menghujat terjadi kecurangan sistematis. Kemenangan di luar dugaan ini adalah hasil rekayasa. Mereka menuding Pasukan Pengawal Revolusi, Pemimpin Agung Ayatulloh Khamenei, dan tokoh bangsa yaitu Ali Movahedi telah mengotori pemilihan umum demi kemenangan Ahmadinejad.

Berikutnya, karena gagal menghadang laju kemenangan, lawan politik melansir isu keterlibatan Ahmadinejad dalam tragedi penyanderaan berdarah di Kedutaan Besar AS, di Tahun 1979, yang berlangsung selama 444 hari, di era Presiden Richard Nixon. Pihak yang kalah, memfitnah bahwa Ahmadinejad adalah pelaku yang berlumuran darah, dan sangat kotor. Serangan ini begitu gencar, menghumbalang di dalam dan luar negeri. Berbagai saksi mata dari Inggris, Amerika Serikat, dan mereka yang disandera di saat itu mengaku bahwa Ahmadinejad adalah “pelaku penyanderaan”. Tetapi serangan ini pun sirna. Segera setelah keluar pernyataan resmi dari CIA, bahwa Ahmadinejad tak terlibat!

Dunia Marah

“Mencoba meramalkan apa yang terjadi di Iran adalah main tebak-tebakan”, demikian ujar seorang diplomat Inggris, demi melihat kemenangan Ahmadinejad. Bila Inggris terlihat hati-hati, Amerika Serikat lain lagi. Negara adidaya ini terlihat berang. Mereka melihat masa depan demokrasi di Iran telah habis, bersama dengan kekalahan telak kubur moderat dan Islam modernis.

Para pemimpin dunia melihat dengan beragam cara. Begitu banyak julukan tersemat kepada Ahmadinejad, seiring dengan beragam kontroversi yang dimunculkannya. “Presiden berjiwa labil”, “pemimpin arogan dan bodoh”, dan “menjijikan”, adalah beberapa tudingan yang dialamatkan ke Presiden Iran ini. Sebuah pertemuan, ketika Ahmadinejad melakukan lawatan ke Amerika Serikat, berlangsung di Columbia University, sambutan sang rektor menyebutnya sebagai loose cannon, yaitu orang ceroboh yang selalu mengejutkan! (Halaman 143)

The Loose Cannon

Mengapa julukan arogan, keras kepala, bodoh, dan ceroboh begitu gencar? Atau bahkan The Loose Cannon, alias ceroboh dan megejutkan.

Dunia tak terlalu pening bila kebencian Ahmadinejad terhadap Israel hanya sebatas retorika. Tak terhitung gaya Anti Israel (tetapi kemudian berkompromi) yang hinggap di kalangan pemimpin Arab. Tetapi hanya Akhmadinejad yang menikam ke ulu hati Ummat Yahuid, dengan menyebut Holocaust (pembantaian di kamp-kamp konsentrasi rezim Nazi) adalah mitos dan bohong!

Ahmadinejad bahkan memetik kemarahan komunitas Yahudi yang Anti Zionis —dan anehnya, mereka sudah ribuan tahun menetap di Iran, ketika mengadakan Konferensi Holocaust di Iran. Dengan mengundang para tokoh rasis dunia, mulai dari pemimpin Xu Xluk Klan di Amerika Serikat, pengagum Nazi, dan lain-lain. Presiden Iran ini juga memercikan bensin di tengah upaya perdamaian Timur Tengah, dengan menyebut bahwa “Israel harus dihapus dari peta dunia.”

Banyak lagi. Seorang fanatik Imam Mahdi ini bahkan nyaris disebut mengidap delusi, penghayal yang tidak lagi rasional. Berkali-kali kalangan moderat Iran disakiti dengan tingkah polah Ahmadinejad. Paling menonjol terkait dengan ancaman dunia internasional terhadap Iran, bila negeri itu tetap ngotot mengolah industri nuklir. Sang presiden menjawab serampangan, bahwa “pengayaan nuklir iran adalah kereta tanpa rem dan tak perlu perseneling, meluncur tanpa boleh berhenti”. Sontak pernyataan mengejutkan ini membuat dunia marah, dan tekanan terhadap Iran kian dahsyat.

Presiden Iran inipun dinilai berkali-kali membuat perbuatan memalukan, seperti mengirim Surat Pribadi kepada Angela Markel, George W Bush, dan pemimpin dunia lain (sesuatu yang tak pernah dilakukan oleh pemimpin Iran lain). Juga tentang seruannya agar Program Keluarga Berencana dihapuskan di Iran, dengan tujuan memperbanyak orang Islam di Iran.

Catatan Akhir


Buku ini terperinci mengulik sosok Ahmadinejad. Mulai dari benih-benih pendidikan Islam garis keras, keterlibatan semasa mahasiswa, pengalaman menjadi walikota, hingga sahabat-sahabat dekan Sang Presiden. Di beberapa bagian, terlihat kritik pedas dan kontra opini terhadap Ahmadinejad. Namun, sebagaimana laporan jurnalistik, buku ini cukup imbang memberikan penilaian. Meski bertabur serangan terhadap Ahmadinejad, terkait perilaku presiden yang “konyol” ini, tetapi pengakuan terhadap prinsip hidup sederhana diulas juga.

Tak pelak, dibalik berbagai kelemahan dan dosa politik Ahmadinejad, buku ini memperlihatkan bahwa Sang Presiden tegar dalam membela kaum papa. Ia juga menjalin hubungan baik dengan para pemimpin sosialis, dan mencoba membangun poros anti Amerika Serikat. Sebuah poster, menunjukkan adanya koalisi bertajuk keadilan, yang menggambarkan Ahmadinejad, Evo Morales, Hugo Chavez, Fidel Castro dan Daniel Ortega. Setidaknya, dunia memang selalu punya orang-orang yang tak menjadi penjilat Amerika Serikat.

Jumat, September 03, 2010

Kisah Mudik yang "Gagal"



Mudik adalah drama kolosal tetapi dengan skenario serba gagal. Tanyakan saja pada para pengendara motor yang “berhujan-berangin-berpanas-panas” di Jalur Pantura.

“Mas, kenapa nekat mudik pakai motor?”

“Karena saya gagal… gagal memiliki mobil.” (Tentu saja, karena belum sanggup mengkredit Mobil Honda CRV, maka pulang kampung cukup pakai Motor Honda CB).

Mudik juga memperlihatkan para pemegang otoritas di negeri ini yang gagal mendedahkan serangkaian peringatan. Maka kasihanilah kampanye gencar Pemerintah dan Kepolisian RI yang tak kenal lelah mengingatkan publik untuk mudik tanpa membawa kendaraan roda dua. Himbauan ini nyaris menjadi iklan rokok, yang berbunyi: Peringatan, pemerintah merugikan kesehatan… (eh, salah… Peringatan: merokok merugikan kesehatan). Adakah perokok yang mengikuti anjuran ini?

Kasus-kasus barusan terkategori kegagalan yang bisa kita maafkan. Sebab tak kalah banyak cerita “mudik gagal” yang bisa ditorehkan kata “menyedihkan”.

Mari petik rangkaian sampel berikut. Berapa banyak Jamaah Al Mudik-iyah yang bahkan gagal melindungi keselamatan jiwa keluarga? Perlaya di medan berat jalur Jakarta, Cirebon, Semarang, hingga ke Surabaya. Bukankah para pemudik itu juga kerap gagal melindungi harta atau properti bawaannya?

Bagaimana kita membayangkan orang-orang yang meski tiba selamat, tetapi tiba bersimpuh di hadapan orang tua dengan derai-derai air mata? (bukan karena sungkem takzim, tapi uang dan oleh-oleh hilang di jalan).

Baiklah kita mahfum saja —dengan serangkaian rona kegagalan dalam ritual mudik. Kemacetan nan menggurita, kriminalitas menggila, lonjakan biaya, kondisi jalan yang porak poranda, dan semua itu seolah membuktikan bahwa negeri ini “seperti tak diurus oleh siapa-siapa”. Ini serius. Pemerintah dan DPR RI menjelang mudik juga gagal menjadi pengabdi publik yang baik.

Tiga kali saya punya bukti, ketika menjadi Staf Ahli DPR RI di Komisi V (Bidang Perhubungan, dan urusan langganan para politisi Senayan jelang lebaran adalah “menjual” isu mudik lebaran). Saya cukup menyetor draf bahan pertanyaan ke anggota dewan edisi tahun lalu, karena toh hal yang akan “ditanyakan” Anggota Dewan ke pemerintah itu-itu juga, tak berubah! Dan jangan salahkan pemerintah kalau kemudian juga memberikan jawaban yang sama dengan edisi pertanyaan mudik tahun lalu.

Kalau pun ada yang berbeda, tak lain jenis “setoran” THR-nya. Pemerintah dan DPR juga sama-sama mahluk penghobi mudik. Tetapi dulu titipan THR pakai parcel. Kini, karena takut kena pasal gratifikasi (korupsi lewat pemberian hadiah barang-barang mahal), cukup melalui cek saja. Omong-omong, betapa banyak pihak yang “gagal” dalam tradisi mudik, termasuk para pegiat anti korupsi? Misalnya saja… KPK dan ICW yang tak pernah terdengar sukses menggarap korupsi politik dengan modus THR untuk mudik.

Sudahlah, ini memang Indonesia yang sesungguhnya. Sebuah posisi di jazirah nusantara yang selalu sanggup bertahan dengan aneka kegagalan (termasuk gagal perang dengan Malaysia, meski jutaan rakyat sudah gatel). Hebatnya, hal-hal itu selalu bisa dinikmati berulang kali.

Tetapi yang mengherankan adalah bahkan temuan dan rekayasa teknologi komunikasi sekalipun menjadi “sesuatu” yang gagal dalam mengendalikan arus mudik. Klaim kecanggihan, seakan rontok. Teknologi (tele)komunikasi dan informasi, sama sekali belum mampu menahan libido mudik dari para penghuni kota-kota besar. Meski bisa kirim sms, nelpon, atau bahkan upload video via internet, toh tak cukup. Para pemudik harus tiba dengan fisik —bukan cuma suara dan tampang doang!

Meski begitu, cerita mudik sama sekali bukan horor. Siapapun boleh ikut dalam tradisi mudik, termasuk mereka-mereka yang puasanya gagal total. Karena yang paling menakutkan, jujur saja, kalau Anda menjadi salah satu pihak yang gagal mudik. Sedihnya…

Rabu, September 01, 2010

Membaca Ulang Sejarah Dunia Islam



“Masalahnya adalah polaritas,” tutur Robert Langdong, pakar simbologi dalam novel terbaru karya Dan Brown, yang berjudul The Lost Symbol.” Seorang Malaikat Penolong yang menyelamatkan nyawa anda di medan perang adalah Iblis Jahanam di mata musuh anda.” Posisi atau locus di mana anda berada, akan menentukan cara pandang. Kurang lebih!

Akan tetapi tak selesai di situ. Polaritas, persepsi, world of view (cara pandang), tak melulu soal posisi dan letak di mana kita berada. Karana di sana ada intervensi informasi. Pengepungan arus berita, pencitraan, mitos, legenda, atau bahkan agitasi dan propaganda. Sesuatu yang bernama fakta, bukanlah lagi kejadian sebenarnya, jika sudah masuk dalam wilayah opini. Dunia kita, sesungguhnya, telah berbaur dengan teknologi rekayasa opini publik ----di manapun posisi dan keberadaan anda. Sejarah adalah bagian dari rekayasa opini itu.

Contoh menarik adalah “permainan persepsi” dari Noam Chomsky, yang menyebut istilah newspeak di media barat. Ketika berbicara kata Islam, maka yang menyembul adalah serentetan kata-kata ini: radikal, fundamentalis, teroris, Taliban, Hamas, feodal, menyiksa perempuan, anti moderenisasi, tertutup, bahkan setan dan iblis! Permainan intelektual itulah yang mengesankan Islam berada dalam “hanya” sub bab tambahan dalam buku-buku sejarah dunia.

Lalu bagaimana dengan Islam dalam konteks sejarah dunia? Apakah lepas dari konteks rekayasa dan penceritaan yang merugikan? Buku ini mendedahkan jawaban cantik, lengkap dan memuaskan.

Menurut Tamim Ansyari, penulis buku ini yang berjudul Dari Puncak Baghdad, sejarah dunia jelas bukanlah daftar kronologis dari segala hal yang pernah terjadi. Ia adalah rangkaian peristiwa-peristiwa yang paling berpengaruh, dipilih dan disusun untuk mengungkap garis lengkungan cerita (halaman 15). Lengkungan cerita itulah yang sering dikosongkan, apabila berbicara tentang Sejarah Islam dalam panggung dunia.

Islam sebagai fakta geografis yang secara fisik lebih besar dari gabungan Eropa dan Amerika, hadir di sepanjang abad. Kokoh dari abad awal, tengah, hingga moderen kini. Sejarah kelahiran modernitas, industri perdagangan (juga pelayaran), menguasai Selat Gibraltar, Bosporus, hingga Selat Malaka, juga bersumber dari Islam. Pun dengan berkecambahnya ilmu pengetahuan. Dalam buku ini, di halaman 344, bahkan menyebut para cendekiawan muslim telah mencapai ke ambang semua penemuan ilmiah yang dating di kemudian hari, yang melahirkan ilmuan-ilmuan Eropa seperti Newton, Francis Bacon, Descrates, Copernicus, atau Galileo. Bukan sekedar mendahului, tetapi meletakkan dasar-dasar ilmiah bagi temuan sains moderen. Tetapi, dalam sejarah dunia, peran penting ini diseleksi oleh Barat ---untuk dihilangkan!

Gegabah bila menuding faktor tunggal atas “hilangnya” situs Islam sejarah dunia. Persoalannya terlampau kompleks. Telisikan detil akan berjumpa dengan beberapa fakta, bahwa Islam mundur bukan oleh pukulan tunggal dunia Eropa, tetapi ---tentu saja--- penggerogotan di internal Islam sendiri.

Misalnya jika mengangkat kemerosotan khazanah intelektual Islam. Arus zaman waktu itu justru membalik skenario peradaban. Perintis inovasi ilmiah dan teknologi barat (Newton dan nama-nama besar lain) justru lahir parallel dengan gerakan reformasi keagamaan di Eropa, via gerakan Martin Luther dengan spirit protestanisme.

Di dunia muslim lain lagi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dan para punggawa intelektual Islam justru hadir persis di antara kebangkrutan imperium Islam, baik secara sosial dan (terlebih lagi) politik. Apa boleh buat, akhirnya mereka selesai sebagai perintis sains, yang menyelamatkan gagasan-gagasan agung dari filsuf Yunani, dari Socrates, Plato, Aristoteles, dan lain-lainnya ---untuk diserap oleh tradisi ilmiah Eropa.

Secara keseluruhan buku ini padat dengan pertanyaan-pertanyaan kaum muslim. Tak hanya isu ketertinggalan ilmu dan pengetahuan, tetapi juga dekadensi moral, dan kemunduran sistem politik. Misalnya tentang isu “kebangkrutan” khalifah, yang berlangsung begitu cepat. Juga tentang kebangkitan ulang negara-negara Islam di seluruh pelosok bumi (yang nyaris tidak ada lagi ikatan dengan sistem ke-khalifahan). Paparan mendetail, akhirnya menemukan persepsi baru, bahwa inferioritas dunia Islam sesungguhnya bukan datang dari barat.

Begini. Dunia Islam yang digdaya dikepung oleh berbagai gempuran, yang menjadi bagian tak terelakan dari kemajuan dunia non Islam, baik di barat maupun timur, oleh Eropa atau “pasukan barbar” Mongolia. Tiga tiang besar ke-khalifahan, yang masih bercokol di Turki Usmani, Fathimiyah (Persia), dan Moghul (Asia Kecil, India), rontok karena dunia bergerak cepat, oleh perdagangan, merkantilisme, pelayaran, kolonialisasi, dan tiga kekaisaran Islam itu terlalu besar untuk beradaptasi. Adalah mengagetkan bahwa, tiga tiang itu bukan tumbang oleh perang besar, baik dari Eropa atau wilayah lain, karena secara militer dunia muslim saat itu masih bisa melawan. Perdagangan, yang membawa perebutan uang dan emas, jauh lebih mampu membuat tiga kekaisaran Islam itu perlaya perlahan-lahan.

Konsekuensinya menjadi begitu besar dan panjang. Beberapa epik kemenangan ikonik, dari Perang Badar oleh Nabi dan para sahabat, Penaklukan Selat Gibraltar oleh Tarikh Bin Jiyad, Perang Salib oleh Sholahudin Al Ayubi, dan keagungan tentara Islam nyaris tak berbekas oleh “merkantilisme bin kolonialisme” ini. Dunia Islam lalu bertanya dengan cemas, mengapa Islam jatuh?

Perintisan untuk bangkit memang berkibar di mana-mana. Tetapi kemudian dengan spirit yang sudah teramat bias, dengan beragam versi dan gagasan. Kebanyakan negara Islam bangkit dengan ideologi nasionalisme, yang menurut buku ini sangat berbeda dengan barat. Di barat, temuan nasionalisme yang dirumuskan misalnya oleh Ernest Renan, adalah fakta-fakta yang ditemukan ---karena kesamaan bahasa, kesamaan teritori, dan kesamaan dalam perang atau perdagangan.

Di dunia Islam lain lagi, nasionalisme adalah “fakta yang dibayangkan harus ada” (halaman . Inilah jawaban penting untuk menolak klaim pengusung revitalisasi (menghidupkan kembali) sistem khalifah di Dunia Islam.

Olehnya gerakan menghidupkan kembali “api Islam” menjadi begitu berwarna. Para tokoh pengusung pun sering kali lahir dengan gagasan yang saling bertentangan. Tetapi satu hal jelas, Dunia Islam bagaimanapun tak pernah benar-benar takluk oleh siapapun. Inilah saripati dari Buku berjudul Dari Puncak Baghdad ini.

Info Detil Buku:
Judul : Dari Puncak Bagdad , Sejarah Dunia Versi Islam
Penulis : Tamim Ansary, Sejarawan Muslim Dunia
Penerbit : Zaman, Jakarta
Tahun Terbit : 2010
Tebal : 589 halaman