Selasa, Oktober 13, 2009

Resensi Buku: Politik Infrastruktur


ALAM mengamuk, negeri ini nyaris remuk. Di sana-sini, spasi ruang Indonesia seperrti bopeng. Sisi terjelas akibat natural dissaster (gangguan alam) itu adalah infrastruktur yang luluh lantak. Meninggalkan beban besar untuk semua pihak. Seperti yang sudah-sudah, proses mitigasi (penanggulangan paska bencana) adalah melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi terhadap fasilitas publik yang berbentuk fisik (infrastruktur jalan, telekomunikasi, kesehatan, pendidikan, dan lain sebagainya).

Namun bukan berarti segalanya tamat. Justru kerusakan infrastruktur adalah pelajaran berharga. Dunia mencatat dengan detil, ketika Amerika Serikat, Eropa, dan paruh lain di berbagai belahan dunia hancur akibat perang, justru “proyek” pembangunan infrastruktur mejadi penyelamat. Melalui The Marshall Plan (dengan titik berat pembangunan infrastruktur), negara-negara yang limbung akibat peperangan dahsyat itu mampu bangkit.

Di era terdekat, ada contoh bagus dari Thailand. Negeri Gajah Putih itu nyaris terhempas gara-gara krisis moneter di 97-98 ---sebagaimana juga negara Asia Tenggara lainnya, termasuk Indonesia. Namun beruntung, para pemimpin politik di negeri jiran itu memilih langkah cerdas: menghela pembangunan infrastruktur sebagai penyelamatan krisis. Mereka berhasil ---terbalik dengan Indonesia, yang justru di saat itu takluk terhadap formula IMF, dan menyisakan sedikit anggaran untuk pembangunan infrastruktur.

Pelajaran kelam juga bisa dipetik dari China. Betapa paska revolusi merah dan keganasan rezim Mao, negara tirai bambu ini terjebak dalam ekonomi yang tertutup, terkomando, dengan hasil menyedihkan. Beruntung, pengganti Mao, yaitu Deng Xiaoping, melakukan terobosan bagus, menggenjot pembangunan infrastruktur di negerinya. Ia bahkan belajar ke pelosok bumi, termasuk meminta nasehat kepada Lee Kwan Yew (Perdana Menteri Singapura saat itu). Hasilnya jelas, China kini menjadi kekuatan baru perekonomian global.

Bilakah Indonesia, dengan segenap potensi yang meruah, dan juga pengalaman pahit akibat gempa-tsunami-banjir itu bangkit? Seraya memetik pengalaman negara lain, yaitu mendorong (dengan kekuatan penuh) pembangunan infrastrukturnya? Ringkasnya: mengucurkan APBN dalam proporsi besar untuk proyek infrastruktur, memangkas rantai birokrasi yang terlalu panjang, memetakan tata ruang yang tepat, mengundang sebayak-banyaknya investasi asing, dan merangkul partisipasi publik di dalamnya. Buku ini dengan terperinci mengulas poin-poin yang baru saja disebutkan.

Tawaran Tinggi
Padat kata, buku ini mengusung misi tegas ---hampir tanpa kompromi. Meneriakkan dengan lantang, agar segenap kekuatan bangsa tersadar dari khayal panjang. Di halaman belakang, BAB IX, Rekomendasi, menyatakan bahwa perjuangan infrastruktur adalah perjuangan untuk menggolkan alokasi APBN sebesar minimal 15% dari APBN ---sedikit di bawah anggaran pendidikan. Dasar asumsinya: pembangunan infrastruktur menjadi urat nadi dan menggerakan laju pertumbuhan ekonomi. Meminta dengan argumentasi panjang, agar kepemimpinan Indonesia, anggota parlemen, media massa, LSM, dan komponen civil society lainnya berada dalam arus yang sama, memperjuangkan anggaran besar untuk program infrastruktur nasional.

Di bagian lain, BAB VIII, Paradigma Infrastrutur Indonesia, membedah tuntas asumsi-asumsi teoritik, baik dari perspetif ekonomi, politik, otonomi daerah, financial, fiskal, dan termasuk juga struktur birokrasi, yang mengharuskan lahirnya “perspektif baru” atas fenomena infrastruktur Indonesia. Termasuk mengurai berbagai tantangan dan hambatan yang menjadi realitas menjengkelkan di negeri ini ---seperti korupsi, ketidakcakapan manajemen, kekurangan sumber daya manusia, dan otonomi yang kebablasan. Hal-hal itu, menurut buku ini, menjadi penghambat dominan atas suksesnya pembangunan infrastruktur di nusantara ini.

Secara keseluruhan, buku ini terdiri dari sembilan bab. Masing-masingnya: BAB I Pendahuluan; BAB II Infrastruktur dan Pertumbuhan Ekonomi; BAB III Politik Infrastruktur; BAB IV Gambaran Besar Infrastruktur Indonesia; BAB V Kinerja Komisi V DPR RI, BAB VI Anggaran Infrastruktur; BAB VII , BAB VIII Politik Infrastruktur; BAB IX Rekomendasi. Kesemua pembagian bab tersebut terikat dalam benang merah yang sama: asumsi, teori, dan argumentasi tentang pentingnya pembangunan infrastruktur menjadi panglima di negeri ini.

Sisi Lain
Buku ini adalah dokumen yang representatif. Selain bersumber pada laporan-laporan pemerintah yang membidangi isu infrastruktur, kutipan dari media massa, hasil pengamatan lapangan, dan perbandingan dengan negara lain, juga mencantumkan dialektika dan proses politik di parlemen, yaitu di Komisi V DPR RI (membidangi infrastruktur ke-PU-an, dan transportasi).

Ternyata ada masalah krusial di parlemen, menyangkut tugas mereka di bidang legislasi (pembuatan undang-undang), anggaran, dan pengawasan terhadap program kerja pemerintah. Di Komisi V, sebagaimana terurai dalam buku ini, isu infrastruktur adalah isu seksi. Mengingat besarnya alokasi dana yang dibutuhkan. Tak heran, banyak anekdot dialamatkan ke Komisi V ini, seperti sebutan sebagai “komisi basah”.

Namun, satu hal yang kurang diketahui publik, bahwa kerapkali usulan dari Komisi V mentok ---mendapat respon lamban dari pemerintah, atau bahkan terabaikan sama sekali. Tak sedikit anggota Komisi V mengeluh, bahwa aspirasi dari konstituen mereka di daerah tidak terealisasi, karena tidak mendapat tindak lanjut dari pemerintah. Sisi lain, juga mengurai masalah “pertarungan” dalam meloloskan anggaran. Kepentingan pemerintah, vested interest dari partai politik, dan maneuver dari Anggota Komisi V, sering mewarnai pembahasan di bidang anggaran infrastruktur.

Catatan akhir, buku ini (semoga) menjadi tradisi baru di DPR RI. Sebelumnya, laporan kerja DPR RI, termasuk yang bersumber dari setipa komisi, terpatok sebagai dokumen kedinasan semata. Kering dari paparan argumentasi, miskin analisis, dan ditulis dengan bahasa kering. Beda dengan buku ini, yang diperkaya dengan segala macam dokumen ---bersumber dari dalam maupun luar DPR RI. Lagipula, tidak berwajah tunggal, melainkan mencantumkan analisis dan kritik terhadap kinerja dewan. Sayangnya, terlalu banyak pengulangan tematik ---agaknya memperlihatkan semangat menggebu--- tentang pentingnya Infrastruktur menjadi panglima pembangunan ekonomi Indonesia. Juga di sana-sini berhamburan tabel atau data statistik yang mengganggu, dalam ukuran merampas seluruh halaman. Padahal, itu bisa disiasati dengan deskripsi secara paragrafis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar