Jumat, Oktober 16, 2009

Mengundang Miyabi, Merindu Robert T Kiyosaki


ROBERT T Kiyosaki sukses menjual jutaan copy buku tentang investasi, seperti Miyabi sukses menjual seks!


Lebih dari sekedar buku, karya berjudul Rich Dad Poor Dad adalah saham terbesar yang menggelembungkan pundi-pundi kekayaan penulisnya. Terjual lebih dari 28 juta eksemplar dan beranak pinak dalam berbagai edisi ---dengan senantiasa bersandar pada Rich Dad Poor Dad. Senasib dengan siapapun di kolong langit ini, fenomena Kiyosaki memancing rasa penasaran manusia.


Sebuah pengakuan, dari Jhon T Read, praktisi Real Estate, menyebut beberapa dusta dalam buku Rich Dad Poor Dad. Menurutnya, Kiyosaki i tidak sekaya seperti pengakuan dalam buku perdananya itu. Justru, ledakan penjualan buku laku itulah yang menggelembungkan pundi-pundi uangnya. Omong-omong, hingga hari ini tak pernah jelas siapa sesungguhnya Ayah Kaya itu?


Pada 19 Mei 2006 televisi ABC menggelar Program bertajuk 20/20 Segment. Dalam acara ini, dipilih 3 orang pebisnis yang sudah dilatih Kiyosaki. Masing-masing dari mereka diberi modal US$ 1.000. Lantas diminta untuk menggunakan uang itu sesuai rumus dalam buku Rich Dad Poor Dad ---atau karya turunannya. Hasilnya: tak ada yang sukses. Seorang peserta kemudian mengaku: ajaran inti Kiyosaki hanya memberi kesempatan kita untuk "melek finansial", tanpa contoh konkrit bagaimana melipatgandakan uang.


Rakus Itu Bagus!

Lagipula fatwa-fatwa dalam buku Ayah Kaya Ayah Miskin itu membuat kaum agamawan "murka". Dalam kaidah bahasa, istilah dengan tanda petik barusan bermakna lebih kuat tinimbang sekedar marah.


Berani benar Kiyosaki memutarbalikkan sabda Yesus, meski hanya dengan tambahan satu kata saja. "Uang adalah akar segala kejahatan", menjadi: "Kekurangan Uang adalah Akar Segala Kejahatan." Seolah tak ada para santo, rahib, atau siapapun pengikut Yesus yang berani meninggalkan Kerajaan Dunia (dengan pelbagai kenikmatan, kekayaan) untuk menjemput Kerajaan Allah (dengan hidup asketis, juhud dalam bahasa Sufi, menjauhi materi duniawi). Atau, barangkali, Kiyosaki tak sempat membaca kisah Bunda Theresa, yang sanggup meninggalkan kenyamanan hidup di negerinya untuk menggarami kehidupan, menebar cinta kasih kepada kaum papa di Karala, India? Ah, masih banyak contoh lain tentang orang kaya yang berani miskin, baik dalam tradisi Kristen, Islam, Budha, Hindu, atau versi sosialis-komunis sekalipun!!!


Pikiran radikal mengundang serangan (atau pembelaan) radikal pula. Di ujung lain, ada nasehat dari Gordon Gekko ---ini tokoh fiktif dalam film Wall Street, dibintangi Michael Douglas, di era 80-an. Sebagai tokoh bengis dalam film tentang para broker di lantai bursa New York, Gordon Gekko berucap sinis: rakus itu bagus!


Lalu kalaupun teori Kiyosaki salah, jangan khawatir. Pemenang Hadiah Nobel Tahun 2002, Joseph Stiglitz, menggumam jengkel. Bahwa "gagasan buruk dalam ilmu ekonomi selalu bertahan lama..." Buktinya ramalan Nabi Komunisme, Karl Marx, bahwa kapitalisme akan runtuh malah yang terjadi sebaliknya, komunisme-lah yang ambruk. Tapi buku Marx masih dibaca dan dicetak ulang hingga kini. Jangan-jangan, buku Kiyosaki akan bernasib sama ----untuk itu, ia selalu beruntung. Nah, kini terserah pilihan anda...



Miyabi
Saya sengaja tak mau menyebut nama produser, atau pengundang Miyabi ke Indonesia, dalam artikel ini. Cukup menyebutnya dengan istilah orang. Bukan karena takut. Melainkan muak, terhadap siapa saja yang berencana memetik popularitas dengan cara-cara kacangan. Merusak modal sosial rakyat, menistakan Trust, saling kepercayaan terhadap sesama ummat ---Kristen, Islam, Budha, Hindu, atau Konghucu sekalipun.


Duh, bukan sok fanatik! Tetapi ini saja: dengan menyebut nama orangnya, justru memenuhi keinginan si orang tersebut, yang ingin namanya melambung.


Paling banter, bantal argumentasi "si orang itu" pasti tak jauh dari dalil kebebasan berekspresi. Mari lacak, dalam khasanah perfilm-an, film bagus justru tak melulu mengeset ikon pornografi. Tengoklah Iran, negeri yang barangkali ortodok dalam menerapkan kebebasan. Berapa film berkualitas dari negeri ini mampu menyabet tropi bergengsi, sekelas Piala Cannes, atau dari ajang level internasional lainnya. Bagaimana dengan kita, yang bahkan menayang perempuan berbikini di televisi persis di jam belajar anak-anak?


Masih tentang si orang itu. Ia pastilah penganut filsafat Helensitik berusia ribuan tahun lalu (300-an tahun Sebelum Masehi). Memandang kecerdasan perempuan pada kecantikannya, dan melihat kecantikan laki-laki pada kecerdasannya. Semata-mata memperlakukan perempuan sebagai komoditas, dan Miyabi adalah ikon dari komoditas laku di internet berawalan kata seks.


Kejengkelan masih panjang. Jauh dari sifat kontroversi yang sudah-sudah ---dan negeri ini gudang segala ajang perseteruan pendapat. Tak ada pelajaran atau hikmah atau pencerahan apapun dari Mengundang Miyabi.

Seorang artis perempuan dengan konyol berucap: Miyabi kan turis asing yang harus diterima... Susah memang, bila kita tak bisa membedakan makna simbol, makna ikon, dan makna pesan tersembunyi. Miyabi bukanlah turis biasa yang bisa kita sambut dengan senyum ramah. Nama itu bahkan telah menjadi identitas spesifik di dunia maya. Tepatnya menjadi brand awarness. Jutaan orang di Indonesia, menurut sejumlah versi, pernah meng-klik nama ini di mesin pencari Google ---dengan tujuan yang sudah kita mahfum, pemuasan fantasi laki-laki.


Artinya: ada pelecehan simbolik dalam mengundang Miyabi. Simbol melawan simbol. Identitas versus identits. Makna menabrak makna.


Itupun bila kita sepakat bahwa masyarkat Indonesia masih lekat dengan simbol ketimuran, sopan santun, dan kesucian seksualitas. Dalam urusan ini, mestinya ada kerelaan dari multipihak, untuk menjaga tenggang rasa. Negeri ini lelah dengan berbagai konflik. Untuk apa ditambahi dengan sesuatu yang tidak perlu. Tak ada urgensi apapun, dan tak ada sebulir kerugian apapun bila Miyabi tak datang.


Karpet merah panjang membentang andaikata anak-anak bangsa ini mengundang orang-orang yang mewakili simbol kreativitas, inovasi, penggagas, penemu, yang memuaskan nalar serta meletupkan spirit kemanusiaan.


Misalnya Robert T Kiyosaki. Meski tak semua pendapatnya sahih, tapi ia mengusung ide baru. Semisal pandangannya yang membabat habis asumsi pendidikan bermazhab kuno (sekolah untuk jadi pegawai, untuk jadi suruhan orang lain). Atau siapa saja. Harap maklum, kita baru bisa mengundang orang-orang besar (seperti Bill Gates, Muhammad Yunus, mungkin nanti Barack Obama). Tapi itu pun sudah bagus. Asal jangan Mengundang Miyabi....

1 komentar:

  1. Negara ini tidak akan maju kalau selalu mencari pembenaran dari hal yang jelas-jelas salah. Lebih baik mendatangkan para pakar negeri kita yang dibajak(lebih dihargai negara lain) dari pada mengundang kontroversi.

    BalasHapus