Selasa, November 17, 2009

(Bila) Yahudi (Memang) Cerdas, Tirulah...


TUHAN punya kecerdasan menciptakan segala sesuatu dengan banyak makna. Sengaja saya tulis begitu. Kalau langsung menyebut kalimat: selalu ada hikmah dalam penciptaan, nyaris seperti menanak nasi kemarin sore, terlampau basi.

Mari sepakati, kesediaan melihat dengan perspektif dari sisi berbeda, tinggalah soal mau atau tidak mau. Misalnya dengan melihat sisi baik dari etos perjuangan orang-orang Yahudi. Maaf saja, jika membaca sejarah tokoh-tokoh gerakan zionisme, mulai dari sang ideolog Theodore Hezrl, propagandis Golda Meir, politisi praktis sekelas Ben Gurion, selalu saja emosi membuncah. Lebih-lebih dari buku bacaan yang ditulis dengan bahasa anti Yahudi tanpa kompromi. Sulit rasanya menemukan "sisi baik" dari the founding fathers-nya Israel itu.

Sekali lagi, perspektif dari pojok berbeda. Misalnya dengan memunculkan kalimat tanya: mengapa segelintir orang itu bisa berhasil meyakinkan Bangsa Yahudi di segala penjuru dunia untuk memperjuangkan Erezt Ysrael, pun dengan cara aneksasi berdarah-darah? Padahal, tentu saja, tak semua anak turunan Bani Israel itu mendukung gerakan zionisme. Atau lebih tepat, tak semua setuju cita-cita merebut kembali Tanah Kanaan yang dijanjikan itu dilakukan dengan cara-cara kekerasan. Salah satu tokoh yang masuk kelompok ini adalah Sang Genius Albert Einstein.

Ada komentar pendek dari buku La Tahzan, tulisan Aidh Al Qorni ---dan buku ini, entah mengapa, tadi malam saya baca lagi, untuk kesekian kali. Katanya, Ummat Muslim yang punya itikad baik sering kali kalah karena tak punya tekad yang kuat. Berbeda dengan orang-orang Yahudi, punya daya juang luar biasa. Golda Meir hanya tidur 3 jam saja, ia bekerja keras menghadiri berbagai rapat, konferensi, pertemuan, di berbagai tempat. Begitu juga dengan tokoh-tokoh Yahudi yang lain. Sementara, Ummat Islam, lebih banyak tidur.

Sesungguhnya bukan hanya tidur, tapi juga tidak jujur.

Kita, Ummat Islam, tak pernah beranjak dari rumus mentah: protes kanan kiri, bakar-bakaran, adu urat leher, dan mengulang-ulang jargon lama: Anti Semit, Anti Yahudi, Loby Yahudi, dan semacamnya. Lantas lalai untuk belajar dengan sungguh-sungguh, atas faktor-faktor pendukung yang menyebabkan Yahudi menjadi penguasa dunia. Stereotype kita tak bergeser ke titik produktif, selalu negatif.


Buka Mata
Saat ini ada peluang membuka mata. Berikut kutipan Resensi Buku Baru, dari Wasis Widodo, dari buku yang berjudul Jerome Become A Genius, Ufuk Press, Oktober 2009. Nah, mari kita baca sama-sama. Bila tertarik, apalagi, kalau bukan segera ke toko buku...


Judul : Jerome Become A Genius
Penulis : Eran Katz
Penerbit : Ufuk Publishing House
Tebal : 442 Halaman
Terbit : Oktober 2009


Stereotipe yang mengatakan bahwa orang Yahudi memiliki otak cerdas begitu lekat sampai sekarang. Baik yang berkonotasi negatif dengan mengasosiasikan mereka sebagai orang yang licik, penipu, dan menakutkan. Maupun yang berkonotasi positif, dalam arti mereka memiliki otak yang brilian.

Hal itu diperkuat dengan sejumlah bukti dari beberapa tokoh Yahudi yang dikenal memiliki kecerdasan luar biasa. Sebut saja, Albert Einstein penemu atom, sutradara kondang Steven Spielberg, pakar keuangan macam George Soros, Alan Greenspan, sampai penemu Facebook Mark Zuckerberg.

Itu belum seberapa, malah beberapa tokoh Yahudi namanya malah sudah menjadi merek terkenal di dunia dan digandrungi banyak orang. Mulai dari bisnis parfum sampai otomotif, antara lain Estee-Lauder (parfum), Ralph Lauren (pakaian), Levi Strauss (celana jeans), dan Adam Citroen (merek mobil).

Memang banyak juga tokoh di luar yahudi yang cerdas, baik dari agama Islam, Kristen, Budha, maupun Hindu. Seperti Ibnu Sina, Isaac Newton, Copernicus, Leonardo da Vinci, dan Mahatma Gandhi. Lalu, mengapa stereotip orang yahudi itu memiliki otak cerdas begitu melekat? Itu karena populasi mereka di dunia begitu kecil, namun memiliki pengaruhi besar di dunia.

Pada tahun 2000, populasi Yahudi di dunia hanya berjumlah 13 juta orang atau hanya 0,25% dari enam miliar penduduk dunia. Sebagai ilustrasi saja, dari sekitar 270 tokoh penerima hadiah Nobel yang diberikan sejak 1901, 102 orang adalah tokoh Yahudi.

Apa pun itu, fakta kecil ini cukup mengejutkan. Bukan untuk memuji, apalagi mengagungkan, namun kenyataan ini menarik untuk diungkap. Bagaimana orang Yahudi bisa dikonotasikan sebagai bangsa yang cerdas.

Rahasia kecerdasan otak orang Yahudi dikupas dalam buku Jerome Becomes A Genius, Mengungkap Rahasia Kecerdasan Orang Yahudi karya Eran Katz. Buku setebal 442 halaman yang diterbitkan Ufuk Publishing House membedah secara detail, mulai dari sejarah, kebiasaan-kebiasaan positif, dan mengembangkan menggunakan otak, sehingga membuat orang Yahudi menjadi cerdas.

Misalnya saja, orang Yahudi percaya bahwa Nabi Musa menuliskan Taurat itu dari ‘api berwarna hitam di atas api berwarna putih’. Mereka pun selalu menuliskan apa pun selalu menggunakan sesuatu berwarna hitam di atas sesuatu yang berwarna putih. Selain warna hitam dan putih tidak mudah pudar, juga memberikan efek ketenangan sehingga lebih mudah dibaca dan diingat.

Mereka pun memiliki prinsip dalam kondisi susah dan miskin, anak-anak mereka harus tetap belajar dan sekolah. Bahkan mereka memilih lebih baik tidak makan daripada tidak membaca buku dan sekolah. Jadi tak usah heran bila di pedesaan miskin (Ghetto) di Israel, setiap anak selalu memiliki, minimal sebuah buku bacaan.

Guru-guru yang mengajarkan pelajaran kepada anak-anak akan menerima imbalan yang luar biasa. Bahkan bila guru itu tak mau menerima bayaran, mereka akan mendapat penghormatan melebihi hormatnya seorang anak kepada orangtua.

Bangsa Yahudi menyadari bahasa Ibrani bukan bahasa yang komunikatif dan tak seindah bahasa Arab, makanya mereka mengembangkan teknik khusus menguasai berbagai bahasa asing.

Karena itu, dalam satu bulan seorang Yahudi bisa menguasai sebuah bahasa asing secara sederhana. Hal itu membuat banyak orang Yahudi bisa cepat berbaur di berbagai belahan dunia, mulai dari Eropa, Amerika Serikat, sampai ke Amerika Latin dan sejumlah negara Arab.

Buku ini cukup unik dan menarik. Dituliskan dengan bahasa bertutur yang diangkat dari pengalaman penulis dengan dua rekannya Itmar Forman, seorang profesor dan Jerome, seorang pelajar yang pintar, membuat kita mengerti mengapa sampai ada mitos Yahudi itu cerdas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar