Jumat, September 03, 2010

Kisah Mudik yang "Gagal"



Mudik adalah drama kolosal tetapi dengan skenario serba gagal. Tanyakan saja pada para pengendara motor yang “berhujan-berangin-berpanas-panas” di Jalur Pantura.

“Mas, kenapa nekat mudik pakai motor?”

“Karena saya gagal… gagal memiliki mobil.” (Tentu saja, karena belum sanggup mengkredit Mobil Honda CRV, maka pulang kampung cukup pakai Motor Honda CB).

Mudik juga memperlihatkan para pemegang otoritas di negeri ini yang gagal mendedahkan serangkaian peringatan. Maka kasihanilah kampanye gencar Pemerintah dan Kepolisian RI yang tak kenal lelah mengingatkan publik untuk mudik tanpa membawa kendaraan roda dua. Himbauan ini nyaris menjadi iklan rokok, yang berbunyi: Peringatan, pemerintah merugikan kesehatan… (eh, salah… Peringatan: merokok merugikan kesehatan). Adakah perokok yang mengikuti anjuran ini?

Kasus-kasus barusan terkategori kegagalan yang bisa kita maafkan. Sebab tak kalah banyak cerita “mudik gagal” yang bisa ditorehkan kata “menyedihkan”.

Mari petik rangkaian sampel berikut. Berapa banyak Jamaah Al Mudik-iyah yang bahkan gagal melindungi keselamatan jiwa keluarga? Perlaya di medan berat jalur Jakarta, Cirebon, Semarang, hingga ke Surabaya. Bukankah para pemudik itu juga kerap gagal melindungi harta atau properti bawaannya?

Bagaimana kita membayangkan orang-orang yang meski tiba selamat, tetapi tiba bersimpuh di hadapan orang tua dengan derai-derai air mata? (bukan karena sungkem takzim, tapi uang dan oleh-oleh hilang di jalan).

Baiklah kita mahfum saja —dengan serangkaian rona kegagalan dalam ritual mudik. Kemacetan nan menggurita, kriminalitas menggila, lonjakan biaya, kondisi jalan yang porak poranda, dan semua itu seolah membuktikan bahwa negeri ini “seperti tak diurus oleh siapa-siapa”. Ini serius. Pemerintah dan DPR RI menjelang mudik juga gagal menjadi pengabdi publik yang baik.

Tiga kali saya punya bukti, ketika menjadi Staf Ahli DPR RI di Komisi V (Bidang Perhubungan, dan urusan langganan para politisi Senayan jelang lebaran adalah “menjual” isu mudik lebaran). Saya cukup menyetor draf bahan pertanyaan ke anggota dewan edisi tahun lalu, karena toh hal yang akan “ditanyakan” Anggota Dewan ke pemerintah itu-itu juga, tak berubah! Dan jangan salahkan pemerintah kalau kemudian juga memberikan jawaban yang sama dengan edisi pertanyaan mudik tahun lalu.

Kalau pun ada yang berbeda, tak lain jenis “setoran” THR-nya. Pemerintah dan DPR juga sama-sama mahluk penghobi mudik. Tetapi dulu titipan THR pakai parcel. Kini, karena takut kena pasal gratifikasi (korupsi lewat pemberian hadiah barang-barang mahal), cukup melalui cek saja. Omong-omong, betapa banyak pihak yang “gagal” dalam tradisi mudik, termasuk para pegiat anti korupsi? Misalnya saja… KPK dan ICW yang tak pernah terdengar sukses menggarap korupsi politik dengan modus THR untuk mudik.

Sudahlah, ini memang Indonesia yang sesungguhnya. Sebuah posisi di jazirah nusantara yang selalu sanggup bertahan dengan aneka kegagalan (termasuk gagal perang dengan Malaysia, meski jutaan rakyat sudah gatel). Hebatnya, hal-hal itu selalu bisa dinikmati berulang kali.

Tetapi yang mengherankan adalah bahkan temuan dan rekayasa teknologi komunikasi sekalipun menjadi “sesuatu” yang gagal dalam mengendalikan arus mudik. Klaim kecanggihan, seakan rontok. Teknologi (tele)komunikasi dan informasi, sama sekali belum mampu menahan libido mudik dari para penghuni kota-kota besar. Meski bisa kirim sms, nelpon, atau bahkan upload video via internet, toh tak cukup. Para pemudik harus tiba dengan fisik —bukan cuma suara dan tampang doang!

Meski begitu, cerita mudik sama sekali bukan horor. Siapapun boleh ikut dalam tradisi mudik, termasuk mereka-mereka yang puasanya gagal total. Karena yang paling menakutkan, jujur saja, kalau Anda menjadi salah satu pihak yang gagal mudik. Sedihnya…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar