Rabu, September 01, 2010

Membaca Ulang Sejarah Dunia Islam



“Masalahnya adalah polaritas,” tutur Robert Langdong, pakar simbologi dalam novel terbaru karya Dan Brown, yang berjudul The Lost Symbol.” Seorang Malaikat Penolong yang menyelamatkan nyawa anda di medan perang adalah Iblis Jahanam di mata musuh anda.” Posisi atau locus di mana anda berada, akan menentukan cara pandang. Kurang lebih!

Akan tetapi tak selesai di situ. Polaritas, persepsi, world of view (cara pandang), tak melulu soal posisi dan letak di mana kita berada. Karana di sana ada intervensi informasi. Pengepungan arus berita, pencitraan, mitos, legenda, atau bahkan agitasi dan propaganda. Sesuatu yang bernama fakta, bukanlah lagi kejadian sebenarnya, jika sudah masuk dalam wilayah opini. Dunia kita, sesungguhnya, telah berbaur dengan teknologi rekayasa opini publik ----di manapun posisi dan keberadaan anda. Sejarah adalah bagian dari rekayasa opini itu.

Contoh menarik adalah “permainan persepsi” dari Noam Chomsky, yang menyebut istilah newspeak di media barat. Ketika berbicara kata Islam, maka yang menyembul adalah serentetan kata-kata ini: radikal, fundamentalis, teroris, Taliban, Hamas, feodal, menyiksa perempuan, anti moderenisasi, tertutup, bahkan setan dan iblis! Permainan intelektual itulah yang mengesankan Islam berada dalam “hanya” sub bab tambahan dalam buku-buku sejarah dunia.

Lalu bagaimana dengan Islam dalam konteks sejarah dunia? Apakah lepas dari konteks rekayasa dan penceritaan yang merugikan? Buku ini mendedahkan jawaban cantik, lengkap dan memuaskan.

Menurut Tamim Ansyari, penulis buku ini yang berjudul Dari Puncak Baghdad, sejarah dunia jelas bukanlah daftar kronologis dari segala hal yang pernah terjadi. Ia adalah rangkaian peristiwa-peristiwa yang paling berpengaruh, dipilih dan disusun untuk mengungkap garis lengkungan cerita (halaman 15). Lengkungan cerita itulah yang sering dikosongkan, apabila berbicara tentang Sejarah Islam dalam panggung dunia.

Islam sebagai fakta geografis yang secara fisik lebih besar dari gabungan Eropa dan Amerika, hadir di sepanjang abad. Kokoh dari abad awal, tengah, hingga moderen kini. Sejarah kelahiran modernitas, industri perdagangan (juga pelayaran), menguasai Selat Gibraltar, Bosporus, hingga Selat Malaka, juga bersumber dari Islam. Pun dengan berkecambahnya ilmu pengetahuan. Dalam buku ini, di halaman 344, bahkan menyebut para cendekiawan muslim telah mencapai ke ambang semua penemuan ilmiah yang dating di kemudian hari, yang melahirkan ilmuan-ilmuan Eropa seperti Newton, Francis Bacon, Descrates, Copernicus, atau Galileo. Bukan sekedar mendahului, tetapi meletakkan dasar-dasar ilmiah bagi temuan sains moderen. Tetapi, dalam sejarah dunia, peran penting ini diseleksi oleh Barat ---untuk dihilangkan!

Gegabah bila menuding faktor tunggal atas “hilangnya” situs Islam sejarah dunia. Persoalannya terlampau kompleks. Telisikan detil akan berjumpa dengan beberapa fakta, bahwa Islam mundur bukan oleh pukulan tunggal dunia Eropa, tetapi ---tentu saja--- penggerogotan di internal Islam sendiri.

Misalnya jika mengangkat kemerosotan khazanah intelektual Islam. Arus zaman waktu itu justru membalik skenario peradaban. Perintis inovasi ilmiah dan teknologi barat (Newton dan nama-nama besar lain) justru lahir parallel dengan gerakan reformasi keagamaan di Eropa, via gerakan Martin Luther dengan spirit protestanisme.

Di dunia muslim lain lagi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dan para punggawa intelektual Islam justru hadir persis di antara kebangkrutan imperium Islam, baik secara sosial dan (terlebih lagi) politik. Apa boleh buat, akhirnya mereka selesai sebagai perintis sains, yang menyelamatkan gagasan-gagasan agung dari filsuf Yunani, dari Socrates, Plato, Aristoteles, dan lain-lainnya ---untuk diserap oleh tradisi ilmiah Eropa.

Secara keseluruhan buku ini padat dengan pertanyaan-pertanyaan kaum muslim. Tak hanya isu ketertinggalan ilmu dan pengetahuan, tetapi juga dekadensi moral, dan kemunduran sistem politik. Misalnya tentang isu “kebangkrutan” khalifah, yang berlangsung begitu cepat. Juga tentang kebangkitan ulang negara-negara Islam di seluruh pelosok bumi (yang nyaris tidak ada lagi ikatan dengan sistem ke-khalifahan). Paparan mendetail, akhirnya menemukan persepsi baru, bahwa inferioritas dunia Islam sesungguhnya bukan datang dari barat.

Begini. Dunia Islam yang digdaya dikepung oleh berbagai gempuran, yang menjadi bagian tak terelakan dari kemajuan dunia non Islam, baik di barat maupun timur, oleh Eropa atau “pasukan barbar” Mongolia. Tiga tiang besar ke-khalifahan, yang masih bercokol di Turki Usmani, Fathimiyah (Persia), dan Moghul (Asia Kecil, India), rontok karena dunia bergerak cepat, oleh perdagangan, merkantilisme, pelayaran, kolonialisasi, dan tiga kekaisaran Islam itu terlalu besar untuk beradaptasi. Adalah mengagetkan bahwa, tiga tiang itu bukan tumbang oleh perang besar, baik dari Eropa atau wilayah lain, karena secara militer dunia muslim saat itu masih bisa melawan. Perdagangan, yang membawa perebutan uang dan emas, jauh lebih mampu membuat tiga kekaisaran Islam itu perlaya perlahan-lahan.

Konsekuensinya menjadi begitu besar dan panjang. Beberapa epik kemenangan ikonik, dari Perang Badar oleh Nabi dan para sahabat, Penaklukan Selat Gibraltar oleh Tarikh Bin Jiyad, Perang Salib oleh Sholahudin Al Ayubi, dan keagungan tentara Islam nyaris tak berbekas oleh “merkantilisme bin kolonialisme” ini. Dunia Islam lalu bertanya dengan cemas, mengapa Islam jatuh?

Perintisan untuk bangkit memang berkibar di mana-mana. Tetapi kemudian dengan spirit yang sudah teramat bias, dengan beragam versi dan gagasan. Kebanyakan negara Islam bangkit dengan ideologi nasionalisme, yang menurut buku ini sangat berbeda dengan barat. Di barat, temuan nasionalisme yang dirumuskan misalnya oleh Ernest Renan, adalah fakta-fakta yang ditemukan ---karena kesamaan bahasa, kesamaan teritori, dan kesamaan dalam perang atau perdagangan.

Di dunia Islam lain lagi, nasionalisme adalah “fakta yang dibayangkan harus ada” (halaman . Inilah jawaban penting untuk menolak klaim pengusung revitalisasi (menghidupkan kembali) sistem khalifah di Dunia Islam.

Olehnya gerakan menghidupkan kembali “api Islam” menjadi begitu berwarna. Para tokoh pengusung pun sering kali lahir dengan gagasan yang saling bertentangan. Tetapi satu hal jelas, Dunia Islam bagaimanapun tak pernah benar-benar takluk oleh siapapun. Inilah saripati dari Buku berjudul Dari Puncak Baghdad ini.

Info Detil Buku:
Judul : Dari Puncak Bagdad , Sejarah Dunia Versi Islam
Penulis : Tamim Ansary, Sejarawan Muslim Dunia
Penerbit : Zaman, Jakarta
Tahun Terbit : 2010
Tebal : 589 halaman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar