Rabu, Juni 08, 2011

Tentang Hati Ini (Luapan Emosi Diri)

Kerasnya besi bisa ditempa. Keras hati? Jawabannya tersebar di berbagai cerita.
Ada sejumlah riwayat yang mencontohkan hati yang setegar karang dengan efek menakjubkan. Mereka yang mampu berjalan sesuai prinsip yang diyakini. Menadah badai, menghadang angin. Badai membuat mereka tambah jauh berlayar. Angin justru meninggikan derajat dan kemasyhuran.


Al Qur’an mensibatkan sebutan Ulul Azmi, untuk pribadi Agung dengan hati yang tak goyah oleh aneka gedoran atau tawaran. Selalu maju melangkah untuk memeluk kebenaran, meski bara api muntab ke sekujur tubuh (Nabi Ibrahim). Melepas diri dari jerat perempuan jelita, dan lebih memilih penjara (Nabi Yusuf). Menadah gatal, borok, dan rupa-rupa penyakit menjijikan, untuk bertahan di sebuah benteng hati bernama kesabaran (Nabi Ayub). What A Great Story… Dan tidak untuk melengkapi, melainkan menyempurnakan, seorang lelaki di Jazirah Arabiah, yang jujur, penuh amanah, tetapi juga berani tegas, yang disebut gila serta dianiaya, teguh merengkuh jalan syariah. Hingga Islam bisa tegak ---bahkan hingga detik ini.

Namun posisi rata-rata manusia, tentu tidak selalu seteguh itu. Menurut Imam Al Ghazali, hati (atau qalb), adalah berarti bisa dibolak-balik. Kadang hitam, kadang putih. Kadang jujur, tapi seringkali dusta. It’s perfectly human…

Agaknya, semua risalah, filsafat hidup, dan wahyu kenabian, datang justru mengantisipasi betapa goyah dan rapuhnya status hati manusia. Tak keliru pula, bila K.H. Abdullah Gymnasitiar sempat menciptak lirik, jagalah hati…

Tentang itu pula, Konfusius meyakini satu jalan. Bahwa prinisip boleh teguh di satu titik. Tetapi jalan menuju ke sana bisa berkelok-kelok. Kira-kira, seperti mata mesin bor dengan batang yang meliuk-liuk. Memang ini baru asumsi. Bahwa rata-rata kita, tak memiliki kesanggupan untuk menembus blok penghadang secara langsung. Kita hidup dengan kemungkinan tak terbatas, untuk ke kiri atau kanan, untuk belok dan cari alternatif. Satu hal terpenting, prinsip yang benar adalah bertujuan pada kebaikan. Banyak jalan untuk mewujudkan itu.

Salah satu jalan adalah ujian dan cobaan yang menerjang.

Bisa jadi peristiwa pahit yang mendera, kesulitan yang meresahkan, kadang membuat prinsip goyah, Iman menyurut ke titik rendah, dan aqidah nyaris terpeleset. Artinya kita jatuh. Lantas bukan berarti semua itu jadi pembenaran untuk itikad berbuat keliru. Arahnya tak ke situ. Melainkan pada kasus kekhilafan. Berkaca pada aneka kelemahan diri pribadi. Memahami betapa sulitnya kita menapak langkah menuju cita-cita yang baik. Di sana ada tragedi jatuh bangun. Makanya, Allah menyediakan pintu taubat. Sebuah celah untuk memeras akal pikiran dan menjernihkan hati. Peluang atas hadirnya pengakuan kita ---atas rupa-rupa salah dan maksiat.

Di sinilah kemestian hati (yang bersifat bolak-balik itu) butuh penyegaran-penyegaran. Pun, ketika hati senantiasa bening, mengecap hikmah dengan sepenuh nikmat, hati akan selalu butuh kalkulasi. Kita bisa membaca bahwa apa-apa yang disebut dengan muhasabah (menghisab diri) dan riyadoh (latihan mendekatkan diri pada ridho Allah), adalah tepat di pusaran hati yang bersih. Jika pelaku maksiat butuh penyegaran dengan tobat, maka para penikmat keikhlasan Ibadah butuh penyegaran dengan muhasabah. Kurang lebih begitu.

Atas pelbagai kemungkinan hati yang seperti itu, mengapa pula masih lekat kekotoran yang ujung-ujungnya membuat kita resah, was-was, gelisah (atau bahkan dengan sejumlah penyakit lain, semisal marah, dengki, dan prasangka buruk?).

Boleh dicoba pengingatan (tepatnya perbandingan) kebajikan yang bersumber dari kalangan lain. Dengan asumsi, bahwa perbaikan karakter dan prinsip hidup, adalah agenda universal manusia. Pergulatan menjadi pribadi yang bermanfaat dan membawa maslahat, adalah bukan cuma di kalangan Mu’min. Tetapi juga saudara-saudara kita yang lain.

Misalnya dari para bijak bestari, atau Bikhu di kalangan Agama Budha. Mereka adalah para pelaku perawat (atau pengendali nafsu) dalam tubuh-tubuh wadag manusia. Tatkala bermediatasi, konsentrasi mereka adalah berpusat pada unsur ruhaniah. Membebaskan hati, pikiran, dari rupa-rupa beban (beban ruhaniah, beban jasmaniah). Mereka berdaya upaya melepaskan ketegangan, kecemasan, ketakutan, dan keburukan-keburukan. Dan rahasianya: semua itu adalah dari pilihan hati dan pikiran kita. Tubuh boleh sakit. Tapi jiwa tidak harus ikut serta…

Hatiku Saat Ini…
Nah, kita yang Muslim, dengan syariah yang tak kurang-kurang sempurnanya untuk memperbaiki kondisi hati, seringkali oleng karena mungkin alpa terhadap hukum alamiah. Bahwa sakit, kekurangan uang, jeratan masalah, sikap kejam orang lain, adalah sesuatu yang terjadi (dan bisa terjadi) kapan dan di mana saja. Datang sebagai ujian. Muncul sebagai peringatan. Atau mewujud sebagai “perangkat” membersihkan dan menyempurnakan Iman kita.

Hadapilah itu sebagai kemestian. Tidak panik dan murka. Tidak juga menagih kepada Allah bersegera menghentikannya (Tuhan jauh lebih tahu kapan harus berakhir). Dalam kondisi ini, jauh lebih memungkinkan adalah menerima… Seraya ikhtiar melakukan (mengerjakan) kebaikan-kebaikan yang masih mungkin. Ini memang kompensasi. Tetapi sangat berarti.

Perhatikan. Di saat miskin, tinimbang marah, bukankah tersedia peluang menyalurkan rasa kemanusiaan kita dengan perbuatan-perbuatan kecil tapi bermakna. Senyum ramah. Tak hirau gengsi dalam melakukan sesuatu. Tertutup pintu kesombongan (kalau miskin, ngapain sombong?). Dan bukankah biasanya kemiskinan adalah kekayaan dalam bentuk lain, misalnya waktu luang? Lakukanlah kebaikan sedapat-dapatnya.

Secara pribadi, saat ini saya mengalami ujian kekurangan materi yang lumayan berat. Tetapi ada satu dua yang selalu saya lakukan. Dan itu dalam keyakinan saya adalah baik. Ini dilakukan juga mengimbangi aneka kesalahan dan kebodohan saya dalam kondisi tertekan seperti hari-hari belakangan ini. Ada saat lebih banyak perbuatan bagus yang meluncur. Tetapi di saat lain, saya jatuh dalam laku lampah yang buruk dan merugikan banyak orang. Tetapi intinya: tegar dalam upaya. Agar hati tak hitam legam dan selalu dalam posisi maksiat.

Hati ini sebenarnya butuh perlindungan. Perlindungan melalui hikmah. Perlindungan melalui nasihat. Perlindungan melalui inspirasi yang baik dari aneka sumber. Dan atau juga malah pelajaran dari kegagalan dan keburukan yang telah dilakukan. Paling penting, adalah keyakinan bahwa hati, ruh, kalbu kita, tak kalah dan tidak menjadi budak atas kondisi pahit yang ada dalam diri dan tubuh kita. Sebuah pertarungan yang belum berhenti hingga hari ini.

Tuhan, bombing aku dalam peperangan sengit ini. Menangkan kebaikan…

1 komentar:

  1. semoga Allah mengabulkan doa-doa kita dan meridhoi semua gerak dan langkah kita, amin :)

    BalasHapus