Selembar rambutmu bisa menyayat ulu hatiku. Rasa ingin bertemu menggerojok tanpa ampun. Tak kenal siang, tak hirau malam ---bayangmu melintas-lintas dalam benak. Mau susah, mau senang, sama saja ---selalu ingat kamu. Kadang aku tak tahu lagi, kondisi seperti apa yang membuat aku lepas dari segala detil perkara yang ada dalam dirimu. Tapi tentu saja, aku tidak memposisikan dirimu sebagai Tuhan.
Duniaku seperti dibangun oleh cinta yang terjerembab menjadi (sekedar) cita-cita.
Makin keras ingin lepas, kian kokoh rasa getir dalam hati. Padahal aku memiliki segunung alasan untuk membuang segala memori tentang kamu. Alasan bahwa aku teramat sayang dengan anak-anakku, sayang dengan isteriku, dan banyak lagi. Keluargaku, adalah pusat pencurahan energi dan segala ikhtiar yang terus kulakukan. Dan untuk semua itu aku merasa bahagia. Anak-anakku nyaris menjadi permata yang menyelamatkan. Isteri aku juga selalu mampu mendatangkan kebaikan.
Namun sepertinya dirimu telah terpancang dalam fondasi dasar kehidupanku, apapun yang ada di atasnya hanyalah pelengkap, sebab segalanya ada dalam dirimu. Hidupku roboh, bila fondasi cintaku terhadapmu merapuh.
Yang bisa aku lakukan kini adalah kompromi.
Semacam kemampuan untuk menggabungkan antara "fakta yang sebenar-benar nyata" (kebahagiaan dalam menjalani hidup normal bersama keluarga) dengan "fakta yang seolah-olah nyata" (yaitu menikmati cinta imajiner denganmu).
Aku kira ini bukan sejenis kejahatan. Tak ada ajaran Islam yang aku yakini dengan sungguh-sungguh, untuk merawat sejumlah cinta dengan cara baik-baik. Toh aku tak sanggup melakukan keburukan yang mengganggu orang-orang yang aku cintai. Cintaku adalah cita-citaku. Tercapai atau tidak, hanya Allah yang tahu. Dan aku tak pernah menyesal...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar