Selasa, April 20, 2010

Jangan Kaget Dengan Andi Mallarangeng


Dalam politik, tak ada kecap nomor dua... Jika mau tarung, harus berani mengklaim diri paling hebat, paling mampu, paling mendapat restu, paling banyak pendukung, dan paling banyak peluru. Urusan belakangan, jika di titik akhir justru paling banyak meneguk malu.


Tetapi formula seperti itu, semoga, bukan satu-satunya pilihan. Rasionalias politik harus dijaga. Agar Patai Demokrat mendapatkan hasil optimal dalam pusaran Kongres Mei mendatang. Terlebih tiga jago yang kini sedang bersiap ke gelanggang, sama-sama dikenal punya track record baik. Mereka sama sekali bukan politisi hitam.


Bersyukur pula, pertarungan tidak hanya melibatkan dua kutub. Karena ada episentrum yang lain, yaitu Marzuki Alie. Di luar hitungan menang atau kalah, Marzuki Alie memberi kontribusi positif. Minimal, ia potensial menurunkan derajat konflik dua kubu yang bertempur keras. Dalam manajemen konflik, semakin banyak alternatif semakin baik.


Bandul politik tak boleh bergerak liar. Agar tidak terlalu goyang ke kiri, atau terlampau miring ke kanan. Harus ada penyeimbang, tertahan oleh kekuatan yang berada di tengah pusaran. Ini adalah salah satu analisis hebat tentang Kongres Partai Demokrat Mei nanti, yang saya dengar dari salah satu senior di DPR. Sayangnya, baru sebatas pemikiran. Belum tentu terwujud dalam kenyataan.


Seorang tokoh mengungkapkan hal itu. Ia cemas, bila pertarungan terlampau tajam, dan berpola "oposition binner" alias vis a vis, atawa zero sum game, binti bumi angus! Kalau judulnya Kongres Partai Demokrat nanti, anda sudah pasti bisa mengira, yang dimaksud pertarungan tajam diantara dua kubu adalah: Andi Mallarangeng dan Anas Urbaningrum. Dua tokoh muda yang mengharu biru langit politik nusantara.


Kebetulan pihak yang pro dan kontra punya alasan yang sama-sama tegang (maksudnya membuat syaraf tegang, karena berbau negatif campaign). Kebetulan juga kedua pihak bisa memutar balik fakta sekehendak selera.


Saya misalnya, jika berada di barisan pendukung Anas, punya teori pelintir yang macam-macam. Kepada banyak pihak, berani membeber alasan bahwa Andi Malarangeng adalah titipan, tidak tumbuh dari bawah, belum teruji loyalitasnya, dan "nggak berkeringat" untuk demokrat. Maaf, ini sekedar amsal.


Permisalan bisa lebih seru jika dibumbui rasa iri melihat operasi komunikasi politik kubu Andi.


Berapa air time yang harus dibayar ke RCTI, Metro TV, SCTV, Trans TV, TV One?

Bukankah banyak angka untuk blocking page yang harus mengalir ke kas Kompas, Republika, Media Indonesia, dan Rakyat Merdeka?


Itu baru hitungan untuk bayar iklan. Belum lagi untuk desain, ide kreatif, dan konsultan media yang berada dibelakang publikasi itu?


Benar memang, Andi mengaku bahwa untuk urusan operasi pencitraan ia mendapat berkah dari Trio Malarangeng via Fox Indonesia. Tetapi tetap saja butuh pundi-pundi tebal menggarap semua itu. Nah, kalimat interogasi negatif untuk fakta-fakta itu adalah ini: "kubu Andi punya sisa dana dari Pemilu Legislatif dan Pilpres tahun lalu."


Jelas-jelas interogasi negatif, karena menggunakan bantal argumentasi yang penuh prasangka. Dari mana kita tahu bahwa Fox Indonesia untung besar, dan sisa keuntungan itu dipakai untuk modal Andi sekarang ini. Dari mana kita tahu bahwa "ada sindikat media" yang setiap saat bisa dipakai untuk menayangkan iklan atau publikasi Andi? Sialnya, itulah barang olahan yang ramai diperbincangkan.


Kembali ke masalah pertarungan tajam. Kongres nanti, menurut saya, beruntung menyertakan kandidat lain, Marzuki Alie. Tolong dilihat sisi objektifnya. Dari sisi spektrum konflik, memang ada kekuatan penyeimbang, atau paling tidak alternatif. Minimal menggeser skenario bumi angus: Asal Jangan Anas, atau Asal Jangan Andi. Kongres juga bisa berpotensi mengokohkan konsolidasi. Lewat kompromi politik dan perbaikan atas berbagai kelemahan internal demokrat sekarang ini. Jika kandidatnya hanya dua, maka begitu Anas menang, maka gerbong Andi terdepak, begitu sebaliknya. Tetapi jika ada tiga kekuatan berbeda, sangat mungkin tercapai kompromi politik.


Jangan Kaget
Tetapi bukan berarti bussiness as usual, berlangsung begitu mudah dan biasa-biasa saja. Politik mengenal tawaran tertinggi, high call. Tak ada makan siang gratis. Lebih-lebih bila klaim masing-masing kubu begitu keras.


Dan sialnya, dalam gerbong para kandidat selalu terdapat mahluk tertentu yang bertipe true believers, diehard, nggak kenal negosiasi. Semboyan now or never, lebih baik berkalang tanah dari pada menyerah, dan semacamnya terus didengung-dengungkan. Lebih sial lagi, memang ada kelompok yang secara sadar memilih bumi angus, karena tak akan kebagian apa-apa bila pihak lain yang lebih layak menang. Seringkali negosiasi berlangsung ketat, dan tak jarang berujung deadlock. Jangan kaget bila kemudian satu atau dua jagoan itu terlempar jatuh.



Pemilih Hantu
Kini gelagat high call dan the truth claim sudah menggelegar. Kubu Andi, misalnya, jauh-jauh hari menggaransi keberpihakan Cikeas kepadanya. Pertama via simbol Ibas (Putera SBY), disusul dengan testimoni Hayono Isman, dan para elit demokrat lain. Kedua, ini sih biasa, tiga ratusan DPC menyatakan berada di belakang mereka. Ketiga, janji politik jika Andi menang maka akan menjadikan Partai Demokrat Partai Moderen. Masih banyak lagi.


Begitulah, tak ada kecap nomor dua.


Pengakuan yang sama (dan sudah dinyatakan) juga berlangsung di dua kekuatan lain. Soal restu Cikeas, ini masih masuk akal. Dengan perhitungannya sendiri, SBY sangat bisa merestui tiga orang petarung itu. Lantasan dukungan para elit demokrat, juga sangat mudah terjadi, bahkan berlangsung terbuka. Seluruh kandidat sama-sama mendapat sokongan. Tetapi klaim tentang dukungan lebih dari tiga ratus DPC, hanya masuk akal dalam rumus matematika politik.


Coba saja, hak pilih hanya sekitar 529, terdistribusi di DPC, DPD, DPP, dan Perwakilan Luar Negeri (Jepang, Korea, Amerika, Malaysia, Singapura, dan beberapa negara lain). Jika Andi mengaku mendapat dukungan bulat 300, lalu Anas juga 300, dan Marzuki 300, maka separuh suara berstatus sebagai pemilih hantu (ghost votter).


Berkeringat

Sebenarnya ada isu besar yang bisa produktif. Partai Demokrat adalah besar dengan mesin organisasi yang tak terlalu bagus. Di mana-mana ada kepengurusan ganda, terutama di DPC. Banyak ketua DPC yang masih berstatus PLT. Juga konflik-konflik internal seputar Pilkada, sisa sengketa pencalegan dalam Pemilu Legislatif lalu, money politics, korupsi, dan lain-lain. Ada masalah besar yang menantang penyelesaian. Jadi, janji politik para kandidat untuk membesarkan Partai Demokrat di 2010 hingga 2015 justru menemukan titik aktualitas di situ.


Jawabannya sama sekali bukan dengan janji. Melainkan kemampuan mengenal akar masalah. Kelihaian mengelola konflik (terutama di akar rumput). Kepekaan untuk mengenali masalah di bawah. Itikad membangun komunikasi politik dengan sebanyak mungkin kalangan (bukan melulu sesama elit, tetapi kalau perlu hingga DPC, DPAC, ataumalah ranting sekalian). Singkat kata, isu yang berbasis akar rumput ini bisa menjadi bola liar, dan bukan tak mungkin menjadi balon isu yang meledak!


Nah, inilah yang tidak muncul dalam opeasi media, publisitas, atau pencitraan tentang Andi. Tak ada isyarat pasti, apakah kubu AM menganggap ini ringan, atau justru merancang jalan solusi. Jika skenario pertama yang berlangsng, maka Jangan Kaget Dengan Andi Mallarangeng, jika dia terancam serangan balik dari akar rumput. Wallahu'alam...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar