Jumat, April 23, 2010

Kejutan Politik Marzuki Alie


Mudah-mudahan guyon politik tentang PLN sudah akrab di memori anda. Karena ada Susno Duadji, Taufiek Kiemas, Antashari Azhar, dan Hatta Radjasa, yang semuanya dari Bumi Sriwijaya (Palembang Sumatera Selatan), maka istilah itu melesat bak meteor: PLN, Palembang Lagi Naik...


Tentu saja peristilahan baru itu menggeser parodi PLN gaya lama, Perusahaan "Lilin" Negara (saking seringya listrik mati, diganti oleh lilin).


Makin kencang saja karena faktor Marzuki Alie. Sekjen Demokrat (yang kini menjabat Ketua DPR RI) itu adalah bagian dari khazanah politik Sumatera Selatan. Maka seperti teori geopolitik klasik, yang mengenal Central and Pherypery, antara kawasan pusat dan satelit, antara inti dan pinggiran, antara utama dan pendukung, kehadiran Marzuki Alie adalah angin segar. Bahwa yang namanya kepemimpinan nasional (di berbagai bidang) adalah milik seluruh putera terbaik negeri ini, dari ujung manapun dia berasal. Termasuk, bila menang, untuk Marzuki Alie.


Tanpa perlu menyentil sentimen kesukuan. Tetapi faktanya bahwa lanskap geografis Indonesia kontemporer masih Jawa Sentris. Padahal, Indonesia bukan cuma Jawa.


Lagipula, babak sejarah di Jazirah Nusantara ini mengenal beberapa poros, selain yang bernama Jakarta sekarang ini, Mataram, Singosari dan Majapahit di tempo doeloe, juga jauh sebelumnya ada Sriwijaya, Samudera Pasai, dan Kutai Kartanegara. Artinya, seperti di belahan bumi lain, siklus kekuasaan selalu berganti-ganti. Bilakah dengan PLN, alias Palembang Lagi Naik?


Sejatinya masih menunggu pembuktian. Seperti yang dikatakan oleh seorang pengamat dari Charta Politica, bahwa Marzuki Alie siap meletupkan kejutan politik. Nah, apalagi, bagi kita kalangan The Outsiders, pasti mendamba suguhan menarik. Jangan monolitik dan terlalu mudah diduga. Sekurangnya, ada tiga dalil yang memungkinkan terjadinya kejutan politik itu.


Dalil Satu, Etos Marzuki Alie
Marzuki Alie adalah pribadi yang cenderung low profile. Hanya karena kompetensi dan kapabilitas saja ia unjuk bicara, misalnya ketika pers butuh komentar dari Ketua Parlemen RI itu. Bila tidak, beliau memilih keep silence. Agaknya ini juga bagian dari internalisasi etos profesional yang ia miliki. Malang melintang di bidang bisnis, berpengalaman di berbagai perusahaan besar, pernah menjadi komisaris di BUMN, dan mengelola sejumlah kampus, pondok pesantren, hingga panti asuhan, pasti membentuk wataknya untuk penuh perhitungan.


Tanpa bermaksud promosi: Marzuki Alie juga punya keteguhan menjalankan prinsip-prinsip Islam yang dianutnya. Di tanah kelahirannya, Palembang, ia bukan tokoh yang sulit untuk membantu perkara ke-Ummatan. Orang yang sering memantau aktivitas Marzuki Alie, kepada saya, pernah mengatakan bahwa beliau punya rekening ratusan Ustadz, untuk dikirim logistik secara rutin per bulan. Mohon maaf, mungkin tidak ada garis penghubung dengan pertarungan politik, akan tetapi "doa orang-orang yang ikhlas Insya Allah mustazab!"


Etos Ketua DPR RI itu juga teruji bukan sekedar dalam bahasa motivasi. Melainkan dalam lanskap teoritik dan aplikasi. Adalah fakta, ketika Demokrat masih belia, ia turut mendesain Strategi Kampanye dan Komunikasi Politik Partai The Mercys. Untuk orang-orang yang terlibat dalam pertemuan di Kinasih Tahun 2003 lalu, pasti mengatakan setuju. Hari ini, dia kandidat doktor Politikal Marketing. Sedikit banyak, rasionalitas politiknya akan berpengaruh.


Tak akan gegabah bagi seorang yang bisa menerima posisi bersih, tetapi berani maju (dengan resiko politik yang cukup besar). Bila mau, jabatan-jabatan konsesif (kompensasi atau pemberian cuma-cuma) di Demokrat bisa ia peroleh, andai bersedia mundur sebagai kandidat Demokrat Satu. Simak saja tawaran kubu Andi Mallarangeng di media massa. Atau yang paling konkret, bukankah posisi ketua parlemen adalah penuh prestise?


Pasti ada etos lain dibalik itu. Tak mungkin seorang mantan Sekjen Demokrat itu sekedar mencari posisi aman. Bebarapa sumber menyebut, naiknya Marzuki Alie ke pentas kongres Demokrat tak lain adalah untuk menjadikan partai ini makin berwibawa, penuh prestasi, dan merapikan keruwetan internal di organisasinya. Singkatnya: Marzuki Alie tentu tidak sedang berjudi, atau sekedar political gambling. Ia, selalu penuh perhitungan. Tak boleh disepelekan...


Dalil Dua, Faktor Incumbent
Benar memang, Anas Urbaningrum dan Andi Mallarangeng sama-sama pengurus Demokrat. Tetapi dari sisi hierarki, masih lebih strategis MA. Andi Mallarangeng bahkan berada di posisi Departemen, sementara Anas adalah Ketua Bidang Politik. Tentu, mereka mengenal seluk beluk medan di akar rumput.


Tetapi, karena muara keputusan ada di tangan Ketua Umum (Hadi Utomo) dan Sekjen (Marzuki Alie), otomatis persentuhan dan kontribusi kepada link bawah ada pada mereka berdua. Persentuhan inilah yang membuat posisi MA lebih memungkinkan bergerak bebas, seraya menanam investasi politik yang banyak. Jika politik adalah the art of barganining, seni tawar menawar, dan transaksi kepentingan, maka yang lebih berperan dan lebih lama memainkan, ya MA itu. Tidak ada nalar yang keliru, bila kemudian banyak DPC yang bersedia berpihak kepadanya. Jika tidak, maka MA tak akan konyol membakar dirinya sendiri.


Dalil Tiga, Pecah Kongsi
Tirai kesempatan juga belum terkunci rapat. Kristalisasi dukungan yang mengalir ke para kandidat masih dalam fase wait and see. Dalam peta kongres, tak boleh gegabah menstigmatisasi pemihakan. Kecuali sebagai peta awal, boleh saja kita menyebut ada dua kandidat yang dominan. Inipun versi media dan gosip politik: yaitu Andi Mallarangeng dan Anas Urbaningrum.


Namun jangan lupa, semakin besar dukungan mengalir, semakin terbuka gesekan politik. Praktek desersi, lari dari barisan, bukan perkara mustahil dalam pertarungan politik. Ini bisa terjadi jika Andi dan Anas menjadi gigantis, tak mampu mengelola arus dukungan. Nah, bila ini yang terjadi, MA berkesempatan menangguk suara. Theres no impossible, tak ada yang mustahil dalam panggung kekuasaan.


Kelemahan
Sama belaka dengan dua petarung lain, MA juga memiliki titik lemah yang bisa diolah lawannya. Paling kentara adalah bola panas yang menyebut ketidaksetujuan Cikeas terhadap dirinya. Kemudian, faktor jabatan rangkap yang dipolitisasi sebagai bentuk ketamakan. Lantas ada pula intrik yang menyebut dirinya pembangkan...


Agaknya, hanya beliau sendir yang bisa menjawab itu semua. Mari kita tunggu...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar