Senin, April 19, 2010

Menakar Anas Urbaningrum Seperlunya...


Anas memiliki kecakapan yang cukup sekaligus cukup cakap dalam segala kaidah perpolitikan. Untuk beberapa hal malahan lebih dari "sekedar biasa-biasa saja". Mudah saja baginya, dengan serentetan pesona yang dimiliki, meraih simpati banyak orang.


Ada satu cerita, ketika masih menjadi Ketua Umum PB HMI, banyak gadis a-b-g yang datang ke Kantor Dipenogoro sana. Bukan untuk berdiskusi, melainkan minta foto bareng dengan Ketum PB HMI yang ke mana-mana tak lupa membawa pembersih muka itu. Wallahu alam, apakah kisah itu valid atau keisengan para pengagum belaka.


Terutama orang-orang biasa yang tak terlampau pusing dengan kasak-kusuk Kongres Partai Demokrat, Mei mendatang. Nyaris Anas menjadi penanda untuk sosok yang santun, cerdas, enak dilihat, cute, dan bla-bla-bla. Sampai-sampai, Ruhut Sitompul yang pelit memuji orang (namun royal memaki), mengatakan bahwa Anas adalah penjelmaan sempurna dari SBY. Tetapi jika benar-benar begitu, bukankah sosok politisi muda itu justru akan terperosok menjadi sesuatu yang membosankan? Tak ada yang lebih membosankan daripada kesempurnaan, begitu kata sebuah pepatah asing...


Formula mudah tersugesti ala Anas ini belum tentu berlaku untuk 529 hak pilih, yang terdiri dari Pengurus DPC, DPD, dan DPP Partai Demokrat. Mereka punya rumus sendiri untuk memilih siapa yang patut menjadi nakhoda Demorat lima tahun mendatang. Tak ada garansi apapun bahwa Anas bisa mudah menang. Lebih-lebih bila mengingat tiga faktor dominan: pertama faktor Soesilo, kedua faktor Bambang, dan ketiga faktor Yudhoyono... Oh,ya, jangan lupa dengan nasehat Bill Clinton, bahwa politik butuh tiga kekuatan: 1) Uang; 2) Fulus; dan 3) Money... Money talks!


Saya kira politik kita belum lagi jatuh kepada selera orang banyak. Pemenang tak selalu yang terbaik. Malah bisa berbalik punggung, the best get rest (pensiun, kalah, istirahat nunggu peluang berikut). Pemenang bisa datang dari mereka yang terlicik. Jauh lebih mengasyikan justru mengutak-atik sejumlah ketidakpastian tentang Anas. Akankah dia menang, atau terlempar dari gelanggang? Mari mulai...


Tak (ber)Harimau
Sejumlah pandangan berikut tak bernada menista, tetapi memang berbasis fakta. Kebetulan, saya memetik komentar spontan dari para elit politik demokrat di DPR RI, tentang Anas Urbaningrum.

Pertama, meragukan jiwa kepemimpinan Anas. Kurang lebih, ujarannya begini: Anas itu bagus, tetapi anak itu nggak ada harimaunya... Nggak kelihatan harimaunya. Laki-laki harus punya harimau...

Sebentar, bila komentator itu menyebut Anas sebagai "anak itu", wajar belaka, karena ia adalah senior dan tokoh demokrat yang sangat penting. Sementara istilah harimau yang diulang hingga tiga kali tak bermaksud negatif, melainkan bahasa analogi yang kuat, bahwa untuk jadi pemimpin harus punya keberanian, keteguhan, jiwa petarung, berani ambil resiko, dan lebih penting adalah "bisa" ditakuti...

Kedua, masih komentar dari politisi demokrat di DPR, meskipun "beliau" bukan orang penting (maksudnya sekedar anggota biasa Fraksi Demokrat di Senayan). Kepada Anas, si anggota dewan itu mengatakan agar Anas jangan terlalu pintar, nanti hanya jadi staf ahli... Serius, ini beneran, saya mendengar langsung, kok.


Pikir-pikir, benar juga. Kurang apa Tan Malaka, Soetan Sjahrir, M. Hatta, Soedjatmoko, atau malah Nurcholis Madjid? Tetapi mereka bukan serangkaian nama yang berhasil mencapai posisi puncak dalam panggung politik. Mendiang Cak Nur, malah menyerah karena faktor "kurang gizi". Butuh prasyarat lain rupanya, agar orang-orang maha pintar di negeri ini bisa memenangkan pertarungan. Untuk saat ini, dari aspek kecerdasan, Anas Urbaningrum berada dalam level di atas rata-rata. Meskipun ia bukan satu-satunya politisi yang memiliki keanggunan intelektualitas.


Ketiga, kasak-kusuk menjelang kongres Demokrat Mei nanti tak luput dari gossip panas. Salah satu tema menarik yang jadi buah perbincangan adalah melacak siapa saja "bandar" yang menjadi sponsor para kandidat. Siapa bandar Andi Malarangeng, siapa bandar Marzuki Alie, dan siapa bandar Anas Urbaningrum? Lalu beredarlah sejumlah nama raja uang, yang sebenarnya tak asing dalam perpolitikan tanah air. Lalu beredar pula nama kekuatan-kekuatan tertentu yang berada di belakang para calon.


Sebenarnya ini biasa. Tetapi menjadi gawat bila berujung pada kecurigaan. Prasangka bahwa Anas hanya akan jadi boneka, disetir oleh kekuatan tertentu, dan menjadi agen dari kelompok tertentu, adalah gosip politik yang berpotensi mengganggu. Bukankah perang isu dan black campaign selalu menjadi bumbu dalam setiap angenda politik nasional?


Tiga isyarat barusan, mengingatkan kita untuk melihat Anas Urbaningrum apa adanya. Bahwa ia punya celah kelemahan yang hingga hari ini belum tertutupi, yaitu masalah strong leaderships. Ditambahi oleh kecerdasannya yang baru teruji di ranah akademik dan isu publik. Plus kecurigaan bahwa ia akan disetir oleh The King Maker tertentu. Tentu saja bila anasir ini benar, maka kualitas kepemimpinan Anas masih butuh pembuktian.


Simbol HMI
Tak lengkap bila kemunculan Anas diharapkan mengibarkan bendera HMI, minimal sebagai simbol. Sudah agak lama, kerinduan memunculkan tokoh pengganti Akbar Tandjung membuncah-buncah. Apalagi bila melirik "tetangga sebelah" yang menjadi kompetitors HMI connections, yaitu PMII. Sahabat PMII rupanya lebih beruntung, mereka punya Cak Imin, tokoh muda, mantan Ketua Umum PB PMII, dan kini Ketua Umum PKB. Alumni HMI yang sezaman dengan Cak Imin, ya, baru Anas itu yang muncul... Kalau Anas kalah? Jawab sendiri...


Dan saya adalah salah satu kader HMI yang meragukan bahwa jaringan HMI bisa bermanfaat banyak dalam memenangkan Anas. Hitungannya tak ribet. Jika anda membaca database pemilih dalam Kongres Demokrat nanti, yang mutlak menjadi pemegang hak pilih, alumni HMI bukan mayoritas. Ini bukan salah siapa-siapa. Kader HMI terlalu lama bersemayam dan nyaman di partai lain, ikut dengan senior. Demokrat, sebagai partai muda, sebelumnya kurang diminati. Kalaupun kader HMI sekarang masuk gerbong Demokrat, ya, belum tentu punya hak suara. Mereka, paling banter, menjadi opinion maker dan loby maker belaka. Urusan memberi suara, bahkan yang mutlak dari HMI sekalipun, maksudnya pemilih hak pilih yang berlatar belakang HMI pun belum tentu memilih Anas. Tahu sendiri lah, HMI gitu lhooo...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar