Selasa, Agustus 31, 2010

DPR RI, Need A New (Character) Building?



Sewaktu menjadi Staf Ahli DPR RI untuk salah seorang selebritis, saya punya pengalaman lucu. Adik kandung sang seleb (Fraksi Demokrat), yang baru tiba dari belanda, datang ke kantor rakyat di Senayan itu. Lalu berkata: “Oh, ini ya… Gunung Rakyat?”

Sontak kami terpingkal. Lantaran lidah Belandanya salah ucap: yang maksudnya “gedung” malah disebut “gunung”. Namun belakangan, agaknya ujaran itu ada benarnya juga. Lebih-lebih bila mengingat betapa DPR telah menjelma menjadi gunung(an) masalah di republik ini. Sebagaimana lazimnya gunung, juga sulit dijangkau, dan hanya indah terlihat dari jauh.

Akses ke “gunung” DPR bukan dipermudah malah dipersulit —dengan proyek kartu khusus dan pengamanan berlipat. Gunung DPR juga hanya bagus sebagai sebuah pemandangan, persisi di tengah lanskap kota, dengan hutan kecil nan hijau. Tetapi, juga sebagaimana isi dalam perut gunung, di dalamnya “bergolak lahar berapi”.

Perkara terhangat adalah proposal pembangunan Gedung Baru DPR RI, yang menyerap anggaran triliunan rupiah, dan akan diselesaikan dalam kurun tiga tahun. Usulan ini sekali lagi menyembulkan masalah laten DPR RI, ketiadaan sense of urgency dan miskin sense of priority

Jelas-jelas yang dibutuhkan adalah pembangunan karakter, atau character building, tetapi proposal pengajuan justru adalah pembangunan gedung baru (a new building). Senyata-nyatanya diakui semua pihak, termasuk internal dewan sendiri, tentang perilaku malas, tidak produktif, rajin mangkir sidang, dan rupa-rupa bau tak sedap lain, inilah problem prioritas di kantor senayan itu. Bila diperas jadi satu, maka sumber penyakitnya adalah karakter atau mental. Mentalitas tak bertanggung jawab. Mengingkari amanat politik publik.

Proposal Gedung Baru itupun tidak valid dari aspek argumentasi teknis. Bahwa sarana yang tersedia saat ini, yaitu Gedung Nuantara Satu sudah overload (melebihi kapasitas). Rujukan informasi bahwa diasumsikan ada 2500 penghuni di sana adalah lemah dari sisi pembuktian. Karena yang terjadi adalah lalu lintas dan mobilitas di Gedung DPR begitu cepat. Konsentrasi para penghuni kerap tersebar-sebar, bergerak ke segala pojok ruang dan bangunan yang tersedia —-di luar gedung Nusantara Satu, ada juga gedung yang lain.

Siapa lagi yang bisa menjaga rahasia bahwa Anggota Dewan jarang naik ke Gedung Nusantara Satu? Hingga lahir guyonan pedas tentang Anggota yang bertanya ke Security DPR: Mas, ruangan saya nomor berapa, ya?

Basis rasionalitas tentang “antisipasi” lonjakan penghuni DPR ke depan nanti juga masih perlu diratakan dengan nalar sehat. Pihak pro pembangunan gedung baru senantiasa mengulang alasan sama, bahwa kelak akan ada penambahan lima orang staf ahli, olehnya butuh penambahan ruangan yang lebih luas.

Bila tak cermat, rasionalisasi seperti ini termasuk saru (alias terlihat agak kabur). Karena bisa jadi benar, bisa juga keliru.

Alasan ini bisa menjadi benar andaikata “segala yang tersedia” hari ini sudah berfungsi optimal.

Mengapa harus ada usulan penambahan lima orang staf ahli? Mengapa bukan perpustakaan yang lebih dilengkapi? Ini adalah kontradiksi hebat yang mestinya dilacak.

Sekarang ini, terjadi ironi Staf Ahli. Mereka lebih berposisi sebagai asisten, pembawa tas dan dokumen, pengawal pribadi, atau malahan menjadi kurir. Tak ada lagi asasement atau pengujian, tak ada evaluasi, dan tak ada standar keahlian untuk para Staf Ahli. Jangan tak percaya, saya punya kawan seorang Staf Ahli yang tak bisa mengoperasikan komputer, dan tidak bisa mengetik… Jumlahnya bukan satu, tapi dua orang.

Rekrutmen Staf Ahli berlangsung kacau. Dan anggota Dewan hanya menikmati “dampak ekonomisnya” saja. Karena negara harus membayar mereka per bulan 7 jutaan (uang ini bisa masuk ke tangan anggota, dan dibayar sisanya ke staf ahli yang asal rekrut, bisa sanak saudara, atau tetangga).

Sudah pasti, fakta-fakta ini akan menggiring pada asumsi tunggal, bahwa pembangunan Gedung Baru DPR lebih bermakna proyek materialistik, tinimbang perbaikan mutu DPR secara holistik.

Sebagai catatan pamungkas, saya yang berpengalaman “beredar” di DPR dalam hitungan tiga tahun terakhir, sungguh tertegun, ketika menyimak alasan lain untuk pengadaan gedung baru, yaitu masalah “penambahan ruang” Anggota Dewan, agar lega ketika menerima tamu/ aspirasi daerah.

Faktanya: bukan perkara mudah untuk lolos dan menemui anggota DPR. Rakyat yang benar-benar butuh, harus melalui prosedur berlapis-lapis untuk naik ke atas. Komunitas DPR, senyatanya, hanya ramah untuk kelas tertentu saja. Sesungguhnya, jarang sekali aspirasi dan dialog publik berlangsung di ruang-ruang anggota, kecuali di ruang rapat. Begitulah….

1 komentar:

  1. hehehe….sebuah tulisan cerdas berdasarkan pengalaman…
    mantap mas…membuka pandangan kami di luar lingkaran “gunung DPR RI”

    BalasHapus