Sabtu, Januari 01, 2011

Tentang Kecerdasan Membaca (Buku)




Buku-buku yang diterbitkan belakangan ini sering membuat saya geregetan. Seolah para penulis (dan penerbit) berlomba dengan satu keyakinan, bahwa buku laku adalah buku yang seru! Seru dengan judul yang bombas. Seru dengan topik yang pragmatis. Dan seru dengan desain atau cover atraktif. Bila begini terus, kapan konsumen buku di Indonesia menjadi kekuatan intelektual yang mencerdaskan banyak pihak?


Tapi tak ada yang lebih membuat hati gondok, kecuali buku yang berlebihan dalam merumuskan teknik membaca. Saya kebetulan beberapa waktu terakhir ini menemukan buku-buku yang membahas topik seperti itu. Dengan judul hebat: bacakilat, bacacerdas, dan lain sebagainya. Dengan hak yang saya miliki, maka izinkan saya mengatakan bahwa buku-buku tersebut bukan buku yang baik. Karena isinya menjerumus kepada persoalan teknik dan keterampilan semata. Padahal berbeda dengan jenis keterampilan lain yang pernah hadir di dunia, perkara membaca adalah perkara lahir batin. Teknik yang hadir, tak melulul fisik, tetapi juga hati dan otak.

Saya berasumsi, bahwa membaca malah tak perlu teknik. Melainkan adalah motivasi dan kemampuan untuk memilih buku yang (sebaiknya) kita baca. Membaca adalah persoalan kecerdasan, persoalan kebutuhan personal, persoalan imajinasi... dan bukan persoalan metode.

Dengan demikian, membaca yang baik adalah kecerdasan dalam memperoleh dan memilih buku yang baik (dengan cara yang baik pula). Mengapa?


Buku yang baik, apapun itu, adalah buku yang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan kita. Problemnya: kemampuan merumuskan pertanyaan yang baik juga adalah tak mudah.

Kalau sekedar interogatif question, pasti mudah. Semisal menanyakan HP yang dipinjam adik: Kapan mau dikembalikan? Dua level lebih gampang dari itu adalah Yes or No Question, alias pertanyaan tertutup, yang hanya membutuhkan jawaban "ya" atau "tidak". Dua kategori atau jenis bertanya seperti itu kerap digunakan oleh Pak Polisi atau Bu RT (yang nagih iuran arisan bulanan).

Beda dengan perihal "jenis" pertanyaan terhadap sebuah buku yang berada di depan mata.

Tak heran bila jauh di era silam, Socrates pernah mengingatkan bahwa salah satu teknik mengenali kejeniusan seseorang adalah melalui pengamatan terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Orang cerdas, pasti bertanya secara cerdas pula. Di sisi yang sama, Socrates pula yang memfatwakan bahwa buku yang baik adalah buku yang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan anda.

Mari berbicara dengan agak panjang. Bahwa hakikatnya cara kita memperlakukan buku sejajar dengan kemampuan kita merumuskan pertanyaan-pertanyaan dalam benak. Lebih lanjut, juga berkait-berkelindan dengan imajinasi yang berputar-putar di dalam batok kepala. Semakin lincah anda memainkan pertanyaan, semakin mampu anda mengenali bagus tidaknya sebuah karya pustaka. Pun demikian, makin liar imajinasi (ketika berhadapan dengan sebuah buku) maka akan semakin kritis anda dalam menilai sebuah buku.

Sengaja saya melompat ke topik yang agak jauh ---melampaui hal-hal teknis yang terkait dengan kemampuan membaca (readability). Tidak untuk membantah banyak pihak, yang terlanjur gampangan membuat metode dan teknik dalam membaca, plus dengan janji-janji ala lampu aladin, seolah membaca adalah urusan teknik dan skill semata. Orang lupa, bahwa membaca adalah proses yang kompleks. Melibatkan berbagai perangkat bantu. Tetapi semua itu berpijak pada satu hal: isi otak anda!

Lain kata, buku yang baik adalah (sesungguhnya) berada dalam benak anda. Kalau isi memori anda hanya perempuan sexy dan kendaraan kinclong, maka jangan harap bisa menyerap buku-buku filsafat. Itulah yang terjadi, misalnya, mengapa buku-buku yang berisi gagasan kuat dan argumentatif, agak jarang diburu orang (konsumen). Lantaran publik buku, segmen pasar di dunia perbukuan, hanya perlu penghiburan dan penggembiraan, bukan refleksi.

Bila kita sepakat dengan kaidah barusan, mari beranjak ke urutan berikutnya. Di mana-mana, ketika orang bertanya, pasti ia ada tujuan. Kecuali sekedar ketakutan mendapat perintah Pak Guru di kelas. "Anak-anak, apakah dari keterangan saya ada yang perlu kalian tanyakan? Kalau tidak, maka saya yang akan bertanya". Otomatis, para murid memilih bertanya, karena kalau ditanya duluan, ngeri tak bisa menjawab. Orang bisa juga secara terpaksa harus bertanya, karena misalnya, dibangunkan secara mendadak dari tidur lelap. "Hah, hah, ada apa?" Bukan jenis ini pertanyaan yang bermuatan tujuan...

Skala tujuan, kalau boleh dikatakan begitu, dalam merumuskan pertanyaan, adalah bervariasi. Di level mendasar, skala tujuan dalam bertanya adalah menemukan jawaban-jawaban. Seterusnya, merangkai jawaban. Lalu menemukan pola informasi (yang lahir dari jawaban). Baru kemudian, terakhir, menemukan kesimpulan. Inilah kaidah kedua dalam menentukan kecerdasan dalam membaca buku.

Kaidah ketiga, tak lain adalah masalah fungsional. Maksudnya adalah untuk apa sebuah buku dibaca, manfaatnya, efeknya, dan lain seterusnya. Di sini sudah melibatkan faktor situasi, kebutuhan, suasana psikologi, atau bisa jadi sekedar hobi semata.

Agaknya penyakit mendasar dari gelombang literatur moderen yang kini kerap diterbitkan seputar teknik membaca, melupakan kaidah-kaidah ini. Orang menulis buku tentang teknik membaca cepat, membaca efektif, membaca kilat, dan lain sebagainya, seperti tercekam oleh asumsi bahwa membaca adalah urusan teknik melulu. Padahal kenyataannya tidak begitu.

Jika seseorang pembaca sudah menemukan buku yang ia asumsikan baik, sesuai dengan kapasitas pengetahuan dan intlegensinya, maka tak perlu lagi urusan teknik membaca. Ia, dengan cara apapun yang ia suka, akan membaca dan memperoleh sesuatu yang ia butuhkan (dari buku yang digenggam). Demikianlah.



?

1 komentar:

  1. semoga tulisan bapak dapat meingkatkan budaya literasi di Indonesia

    BalasHapus