Selasa, Maret 15, 2011

The Story of My Former Boss: Extravaganza Duka

Ditangan orang-orang bengis, maka tangis berubah menjadi kisah politis...


Empat puluh hari kematian seseorang adalah bau hangat yang masih terendus. Nuansa khidmat dan penuh hormat, akan larut di batin orang-orang yang tunduk pada kaidah perputaran nasib. Inilah petikan hikmah kematian, yang berlaku bagi siapapun sahaja. Bahwa kematian adalah garis takdir yang tak bisa digeser, tetapi orang-orang yang hidup mestinya tidak memetik manfaat lain, kecuali mendaras doa dan shodakoh kebaikan.



Tetapi orang itu sanggup ke luar dari batas kelaziman. Duka sejati, tidak meronta dalam sorotan. Memeram tangis yang tersedak dalam keheningan. Ia akan menghindar dari ingar bingar. Inilah duka sepenuhnya. Harapan yang berkumandang adalah untuk kebaikan-kebaikan orang yang "meninggalkan", sekaligus untuk orang-orang yang "ditinggalkan". Tak lantas berputar-putar dalam skenario kenikmatan yang dirancang memenuhi ego pribadi.


Inilah selebrasi kematian yang secara langsung aku lihat dengan mata kepala sendiri. Bos ku telah pergi. Kami menorehkan banyak kenangan. Ia, baik atau buruk, tetap saja bagian dari sejarah hidup kami. Tetapi, aku marah ketika mengetahui bahwa setelah ia pergi sekalipun, masih ada orang-orang yang memanfaatkan namanya, popularitasnya, dan segala kenangan orang yang melekat... Sebuah extravaganza duka...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar