Minggu, April 03, 2011

Cul-De-Sac

Seribu jalan menuju Roma. Banyak cara mencapai keinginan. Namun sesungguhnya, kita jauh lebih butuh sedikit saja alternatif. Kebingungan justru hinggap lebih kuat manakala terlalu banyak "metode" yang tersedia ---dalam merengkuh target.


Bagaimanapun, tak elok menyingkirkan pepatah bagus di awal kalimat ini. Di mana-mana, kiasan atau metapora memang butuh perumpamaan bagus, seperti rangkaian kata "banyak jalan menuju Roma itu". Meski dalam realita kehidupan, kebanyakan pilihan jalan justru cenderung menyesatkan. Hidup adalah bergumul dengan keyakinan untuk memastikan. Dan itu tak perlu bertele-tele dengan tumpukan pilihan dan peluang. Cukup satu dua saja. Setegas ungkapan "seperti memakan buah simalakalma". Ini begitu tegas. Tapi dengan resiko begitu besar. Namun, bukankah setiap pilihan selalu mengandung "ancaman kerugian"?

Beruntunglah bila masih tersedia opsi, antara "A", "B", "C" dan seterusnya. Karena berarti kondisinya bukanlah cul-de-sac (jalan buntu).

Berbeda bila segalanya mentok. Bersalah adalah resultante (hasil akhir) yang selalu terpetik. Sama sekali bukan bohong, bila berada dalam situasi yang memaksa kita untuk sempit bergerak. Pilihan hanya sedikit, bahkan nyaris tidak ada. Kalaupun ada, maka bleum tentu berhasil. Ataupun jika berhasil, tetapi resiko dan syaratnya berat. Malahan kerapkali berhadapan dengan kondisi "kita tak sanggup".

Biasanya terjadi dalam atmosfer penuh tekanan, keterdesakan, dan beban yang menggunung. Hidup begitu getir. Tatkala masalah berlipat-lipat, sementara jalan ke luar tak kunjung muncul. Mengerikan sekali, suasana seperti ini biasanya melahirkan problem-problem baru. Gagal membayar utang bulan ini, adalah menambah beban untuk bulan berikutnya, begitulah, bila sekedar menyebut contoh. Masih banyak perkara pahit lain yang mewujudkan catatan tentang ketidakmampuan kita dalam menyelesaikan masalah.

Baiklah, barangkali jarang-jarang situasi ini terjadi. Namun bila ya, menerepa lakon hidup sehari-hari, apa yang harus dilakukan? Menyerah adalah perilaku manusiawi. Berpikir buruk. Purbasangka berkembang-biak. Kemarahan menggumpal. Cacimaki, luapan emosional, hingga melahirkan gejala-gejala neorosa (stress, depresi, dan lain-lain), juga termasuk bisa saja. Setiap manusia tak bisa bebas dari ancaman stress, depresi, dan halusinasi. Tetapi, bedanya, ada kondisi sementara, dan ada yang menjadi permanen (jika hal terakhir yang terjadi, tak ada cara lain kecuali minta bantuan Psikolog).

Gambaran sedemikian mumet itu terjadi pada saya hari-hari belakangan ini. Sesungguhnya, perjalanan hidup saya jauh lebih sering bersirobok dengan kondisi-kondisi menjengkelkan ini. Namun, sukses atau gagal, lama atau sebentar, bisa juga sesekali saya berkelit. Setidaknya, lari dari masalah. Kalau ini tak bisa, maka mengalihkan masalah. Jika tak bisa juga, menghadapi masalah ---apapun tantangannya.

Boleh dibililang, rasio antara gagal dan berhasil (dalam ikhtiar menghadapi masalah itu), terlampau jomplang. Bagian gagal jauh lebih banyak ketimbang sebaliknya. Hingga hari ini...

Menyerah pun juga sering. Hanya gengsi laki-laki dan lapisan Iman yang tipis menjadi penyelamat, untuk tidak meraung dalam tangis, dan tidak melumatkan murka ke mana-mana. Saya sering diam tergugu. Atau menetes bulir air mata di kesunyian (tak ingin dilihat orang).

Akar tunjang yang selalu jadi cantelan (meski rapuh), adalah rasionalitas dan intelektualitas. Maksudnya, belajar dari buku-buku, atau menyimak cerita-cerita yang menyembulkan kekuatan. Inilah penawar sementara. Meskipun polanya begitu terbatas. Bacaan yang saya konsumsi itu ---terkadang sangat banyak--- belum berhasil melentingkan posisi saya ke zona nyaman. Malah boleh dibilang, terkunci di situ-situ saja.

Namun saya percaya, bahwa rasio dan akal sehat saya belum mati... Seraya melacak lembar-demi-lembar petunjuk Iman, dalam Al Quran, dalam buku-buku Islam. Lumayan memang, saya hingga hari ini masih mereguk nafas. Tidak melakoni seppuku atau harakiri (Bahasa Jepang, artinya bunuh diri).

Tiang penyangga yang paling rutin menghibur hati tak lain adalah melihat anak-anak. Mereka, Ya Allah, aku bersaksi, telah menjadi penyelamat utama. Meski beban menggunung, kesedihan menggantung, tapi mereka sanggup membuat saya merasa beruntung. Mereka tampan, lucu, periang, cerdas, dan selalu mengajak bercanda.

Kondisi inilah yang tak ingin aku abadikan. Aku tetap meloncat-loncat mencari tangga pelarian. Agar penjara kekalutan ini segera menjadi catatan sejarah. Tidak lantas menjadi Biografi yang Abadi.

Culdesac itu, semoga cepat berlalu...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar