Minggu, Oktober 16, 2011

Sepuluh Hari Menjadi Santri


Mengayun kapak. Membelah kayu kering hingga repih. Meniup-niup api di tungku agar terus menyala. Menanak nasi. Memanaskan air sampai mendidih. Dan rutinitas saban pagi buta (sekitar jam dua pagi) itu pun nyaris selesai. Tinggal menunggu aktivitas tambahan: makan sahur ---untuk persiapan puasa Sunnah di esok hari. Inilah yang biasa kami lakukan di Pondok Pesantren Al Hikam, Jayanti, perbatasan Tangerang, Banten.


Bersama-sama, sembari bercengkrama, para Santri melakukan pelbagai "agenda harian". Jauh sebelum sahur tiba, waktu terisi dengan aneka Ibadah tambahan. Dari dzikiran hingga baca Al Qur'an. Dari mempelajari kitab kuning hingga sekedar belajar berceramah. Nyaris semalaman penuh, Ponpes itu selalu hidup.

Beberapa Santri senior bahkan ada yang sanggup menghabiskan malam sembari memilin tasbih, membaca Sholawat Nabi hingga ribuan kali... Lain malam, lain pula siang. Tak kurang dari enam orang Santri, termasuk aku (yang hanya numpang menjadi "murid kilat" di Ponpes itu), melakoni puasa Sunnah, dari subuh hingga maghrib. Tentu tak sekedar puasa, melainkan menempuh lelaku prihatin dan latihan memperbanyak ibadah tambahan.

Seluruh proses itu, disebut dengan Riyadoh (yang artinya kurang lebih adalah melatih olah batin, untuk lebih peka, lebih mampu meresapi kekurangan diri). Sebuah pengalaman istimewa dalam hidupku. Betapa selama ini pengetahuan tentang dunia pesantren sebatas pada sisi luar. Segala yang bernama Ponpes (dalam hal ini adalah yang Salafy, tradisional) hanya ada dalam pengalaman intelektual saja. Tahu melalui buku, cerita, film, novel dan semacamnya. Atau hanya sesekali berkunjung barang satu dua jam.

Sementara menjadi Santri yang sesungguhnya, jujur saja, hanya pernah dua kali. Dulu, ketika masih bujangan, sempat pula ikut menjadi Santri di sebuah Pondok Pesantren, tetapi tidak menginap siang dan malam. Melainkan hanya belajar Murotal (membaca Al Qur'an, sekaligus mempelajari tajwid-nya). Atau, ketika kuliah, ikut pesantren kilat. Tetapi kali ini sungguh jauh berbeda. Sekaligus bertabur makna.

Hari ini, bahkan mendesir sebuah harapan, agar proses yang aku ikuti di Ponpes selama sepuluh hari itu menjadi semacam pengingatan, bahwa aku pun pernah dan sanggup untuk sungguh-sungguh beribadah... Artinya, sebagai bagian dari Ummat Islam, aku pun pantas merebut sesuatu, dengan cara serius. Man Jadda Wa Jadda (siapa yang bersungguh-sungguh, pasti dapat).

Tentu saja, frase "sungguh-sungguh ibadah" itu adalah dalam takaran kemampuan pribadi aku. Yang selama ini easy going, cuek, kurang perhatian, dan kerap mengabaikan kewajiban sebagai seorang Muslim.


Riyadoh Itu...
Melalui bimbingan Pak Ustadz, aku melakukan proses olah jiwa, dengan memperbanyak dzikir, menangis, mengakui kesalahan, sholat taubat, baca shalawat, puasa penuh setiap hari, makan sedikit, mengurung diri di kobong (kamar bilik dari bambu, tempat menginap para santri), tidak melakukan hal-hal yang buruk, menghindari kesia-siaan, dan segala macam amalan.


Terasa berat pada awalnya. Namun tekad untuk mengubah watak, tabiat, dan segala keburukan diri, mendorong aku untuk melangkah terus. Malam pertama, (dari sepuluh hari sepuluh malam) di Ponpes, adalah kejutan tiada terduga. Semula berpikir, bahwa ikut Riyadoh ini bisa rileks dan nyaman. Bahwa paling-paling akan diberi nasihat, didoakan, atau mendapatkan terapi langsung dari Pak Ustadz. Ternyata tidak! Aku harus menempuh "jalan pembersihan jiwa" ini sendirian.

"Selama ini," kata Pak Ustadz, "kamu pernah mengamalkan dzikir apa?"
Aku, tergeragap kaget. Menjawab refleks: "Tak pernah, Pak Ustadz. Hanya dzikir pendek ba'da Sholat" (itupun kalau lagi mau, batinku).

Pak Ustadz,  rupanya mahfum. Dengan lembut, ia menyarankan aku untuk mengamalkan (dengan cara mendawamkan) Sholawat Nabi. Dengan jumlah ---dalam ukuran aku--- cukup banyak, tak kurang dari 11.000 kali, per malam. Tak boleh tertidur. Jika wudhlu batal, harus ambil lagi. Dilarang banyak makan. Kalaupun istirahat, cukup sebentar saja. Jika terlalu lama, akan menghabiskan waktu ---dan amalan ini tak terkejar, keburu Subuh datang.

Anjuran ini kuterima. Pada hitungan awal, lancar-lancar saja. Begitu melewati 1.000 hitungan pertama, rasa suntuk, bosan, lelah merayap hinggap. Nyaris ingin menyerah. Pegel badan dan tak lagi bisa fokus. Sementara sisa yang harus ditempuh masih ada 10.000. Sekonyong pikiran baik menyapa: seumur hidup selalu kalah, mengalah, dan menjadi pecundang. Maka kali ini tak boleh lolos. Menyerah adalah kian membenamkan mind set dan mental block diri sendiri sebagai orang yang tak memiliki Himmah (tekad kuat).

Kesadaran itulah yang sangat membantu. Inspirasi untuk tidak menjadi pecundang inilah yang mendorong bulir-bulir air mata jatuh. Sembari terus berdzikir, bayang-bayang pengalaman hidup datang bergantian. Tentang diriku yang selalu kandas. Sebagai pribadi yang mudah keok. Gampang menyerah pada tantangan-halangan-hadangan-gangguan. Memiliki jiwa labil, kadang baik, dan lebih sering buruk. Seraya  bergantian datang memori tentang keburukan-keburukan yang kerap aku lakukan.

Inilah Riyadoh di malam pertama: bahwa kukobarkan niat untuk mengganti identitas diri. Dari pribadi pecundang ke pribadi pemenang.

Patokan ini, Alhamdulillah, membantu. Hingga bisa melewati malam pertama. Begitu masuk ke malam kedua, sekali lagi "inspirasi" datang. Bahwa saatnya aku menyicipi sesuatu yang biasa disebut dengan: ketekunan... Dalam bahasa penempuh Riyadoh, disebut sebagai Itqon (sungguh-sungguh, tekun).

Diriku adalah orang yang kerap menjengkelkan pihak lain. Lantaran tidak rajin. Jauh dari karakter giat dan tekun. Paling-paling, punya tekad membara di awal-awal saja. Setelah itu, kabur dan angin-anginan. Nah, perintah membaca Shalawat 11.000 per malam ini benar-benar batu ujian. Hanya ketekunan dan kesungguhan yang sanggup melewati itu.

Dan... terima kasih, ya Rabb, Engkau membisikan aku petunjuk, untuk mempraktekan "bahasa ketekunan" secara konkret. Singkatnya, di malam kedua aku telah mendapat dua hal: Himmah (tekad kuat) dan Itqon (ketekunan). Dua kosa kata penting itu aku tulis di selembar kertas, dan ditempel di bilik pondok.


Terasa
Malam ketiga, cerapan batin khusyu dan hening mulai terjadi. Meski baru awal-awal saja membaca Shalawat, bibir sudah menggeletar, mata sembab, lalu meledaklah tangis. Malah sempat sangat menyayat.  Ingat dosa-dosa. Ingat tindak maksiat dan pelbagai kebodohan serta kesia-siaan. Namun satu hal yang benar-benar membuat aku ingit berteriak minta ampun adalah: prasangka buruk (Suudzhon).

Satu tabiat buruk yang membenam di dasar hatiku adalah mudah marah kepada nasib ---dan itu artinya menuding Tuhan tidak adil. Prasangka sesat itu menguat manakala membanding-bandingkan "kondisi" diri sendiri dengan pihak lain.Mengapa mereka yang jauh lebih jahat dan hidup serampangan selalu beruntung, sementara aku yang (merasa) tak terlalu keliru, hidup dengan begini-begini terus, itu adalah ungkapan batin yang menggelegak, jika aku merasa gagal memperoleh sesuatu.

Gawat, memang.

Lebih-lebih konsep diri yang cenderung mendengar ego. Merasa lebih pintar, bebeapa kelas lebih cerdas dari kawan-kawan yang lain. Tetapi kenyataan begitu pahit: aku bukan hanya tertinggal dari sisi materi, karier, atau pencapaian-pencapaian lain yang prestisius. Aku, hingga hari ini,  bahkan terpuruk...

Selaksa keyakinan lalu tumbuh. Biarlah yang lalu. Lebih baik mengikrarkan diri, sekeras kemampuan menyingkirkan pikiran butek, kotor dan tak senonoh. Menikmati terus menerus pikiran-pikiran jernih tentang banyak hal, terutama tentang ketentuan-ketentuan Allah...


Berikutnya...
Catatan atas malam-malam berikutnya terisi dengan rasa haru dan syukur. Meski tingggal di bilik bambu tua, tidur tanpa alas kasur ---melainkan bambu yang dilapisi kain karpet lusuh, toh, tetap bisa istirahat tenang. Batin dan raga juga begitu mudah untuk beribadah. Panggilan Adzan Subuh bahkan menjadi sesuatu yang aku tunggu-tunggu. Pernah terjadi, perasaan sangat indah dan menceriakan, manakala seorang Santri mengumandangkan panggilan Sholat, yang terdengar begitu merdu.


Sulit untuk menutupi, bahwa di Pesantren itu selalu muncul pengalaman baru.

Paling banyak terkait dengan nuansa fisik. Semisal berbuka puasa dengan menu seadanya ---tanpa sekalipun, selama sepuluh hari, meneguk air es plus sirup, cukup air putih. Atau memunajatkan doa-doa panjang, seraya menjatuhkan kening dalam sujud yang berlama-lama. Tambahan lain: puasa di siang hari (meski panas), namun rasanya ringan-ringan saja.

Tibalah pada titik akhir. Pak Ustadz dan kawan-kawan kerap mengingatkan adanya situasi yang tergolong mistis, untuk pelaku Riyadoh yang menjelang usai. Macam-macam bentuknya: mulai dari mendengar suara halus, penampakan, atau hembusan udara aneh. Namun yang aku alami, tak ada semua itu. Kecuali bahwa di malam ke sembilan, sempat merasakan suhu badan begitu panas, tapi juga menggigil menahan getaran. Tapi itu selesai dengan cara sederhana: mandi ---di sekitar jam setengah dua malam.

Lagipula hal itu bukan ukuran keberhasilan. Biarlah diri ini terisi dengan kekayaan batin. Terisi penuh kesadaran tentang kelengahan diri. Sembari menggumpalkan tekad, untuk memiliki identitas baru. Menjadi insan yang terhindar dari prasangka buruk kepada ketentuan Allah. Bukankah, jika pikiran jernih, apapun bisa dilakukan dengan lebih tenang? Beribadah lebih tenang, dan melakoni kehidupan dengan tenang pula. Insya Allah...







 



2 komentar:

  1. wah denger ceritanya, saya jadi rindu masa-masa masih smp dulu.

    BalasHapus
  2. Wah, Mas Ahmad beruntung, masa SMP-nya dilalui dengan dunia pesantren, saya mah baru belakangan ini, itu pun cuma selewatan. Terima kasih sudah mampir. Salam silaturahmi...

    BalasHapus