Minggu, Januari 24, 2010

Aku Berlindung Dari Godaan Politik Yang Tidak Lucu


Pansus Bank Century. Antashari diancam vonis mati. Bonek Persebaya mengamuk (lagi). Jakarta selalu macet. Demonstrasi tiada henti. Satu kilogram ganja ditangkap polisi. PSSI keok melulu. ATM milik nasabah dibobol. Para selebritis cerai melulu. Terhiburkah?

Untung ada Budi (ada Wati, ada Ibu Budi, kata buku teks SD). Juga Rianty sang bidadari di Beauty And Azis. Boleh juga ditambah Opera Van Java dan Sinden Gosip. Sekali lagi, cukup terhiburkah?

Urat syaraf kita nyaris tegang meski belum putus. Tapi bisa putus juga manakala kepenatan sajian berita plus infotainment (ini juga keliru, sebenarnya gossiptainment) ditambahi dengan beban rumah/kantor yang menggunung. Listrik belum bayar. Air PAM macet. Tetangga buang sampah seenaknya. Eh, di kantor ada kawan yang dengki (bikin isu panas bahwa kita "main mata" sama roman kinclong di ruang sebelah).

Sudahlah. Mungkin televisi dan koran-koran ditakdirkan untuk menggerojok ketenangan batin.

Mengapa harus disebut takdir? Mana bisa kita menghindar. Coba-coba matikan televisi. Berhenti baca koran. Tak dijamin bebas berita. Diam-diam kawan makan siang ngoceh: eh, itu Pansus Century serius nggak ya, Demokrat terlibat tidak, ya? dan serentetan pertanyaan lain. Kalau anda perempuan, lebih celaka. Pagi-pagi kaum sahibul rumpi berkicau: tega-teganya, ya, Ruhut Sitompul bilang banxxat!

Jelas-jelas publikasi TV One, Metro TV, atau Radio El Shinta News and Talk serta Kompas plus detik.com itu tidak disetting untuk membuat tawa terbahak. Mayoritas politik melulu. Awal berita muncul, memang asyik juga. Tapi kalau kelamaan seperti Pansus Bank Century, jadi sepet juga. Persis mengunyah permen karet lebih dari 360 detik (satu jam, Brow! ueneeek).

Pemirsa televisi, pembaca koran, pendengar radio, juga ditakdirkan untuk sering-sering mengusap dada.

Giliran melihat tayangan humor, seperti guyonan Tukul, Budi Anduk, dan Azis, kekonyolan bermain-main tanpa batas. Berhambur kata-kata ejekan. Obralan julukan-julukan hina. Jualan perempuan-perempuan seksi. Dan sedikit saja humor cerdas yang sehat.

Bukannya harus anti. Tetapi justru bertentangan dengan prinsip humor itu sendiri. Humor, sejatinya, variatif, banyak versi, kaya karakter, dan bertabur kreativitas. Pengulangan nan membosankan, repetisi tiada henti, duplikasi, basi, seperti permen karet 360 detik itu pula. Capek, deh.


Humor Politik

Karena langit politik pengap, kita butuh pelepasan. Tokoh jenaka dengan joke cerdas telah tiada (Selamat Jalan Gus Dur, andalah penyelamat nalar sehat kami). Barangkali yang tersisa tinggal teks. Sulit rasanya, jika cuma mengandalkan tampang para elit. Setuju saja sebetulnya, tampang Susno Duadji itu lucu, tapi tidak menghibur. Mencari lelucon segar di balik panggung kuasa hari ini sama sulitnya mencari jarum di setumpuk onggokan jerami.

Saya juga tak berani janji, ke mana harus mencari perlindungan atas kebosanan-kebosanan kita. Baca buku Humor Politik juga nyaris seperti makalah mahasiswa yang dikejar deadline, copy paste sana-sini! Pun situs humor politik, cuma beda alamat isinya nggak jauh-jauh amat. Nah, barangkali bertukar cerita pengalaman pribadi rada sedikit menolong.


Ini Serius

Seorang anggota DPR RI dari daerah, berlatar bisnis atau pengusaha, pokoknya urusan jual beli gitu lah... (mungkin juga jual beli perkara, kali, ya). Dalam sesi wawancara, seorang jurnalis bertanya: Pak, apakah Bapak punya alamat e-mail. Tanpa ba-bi-bu, si Anggota menjawab santai. Dulu sih ada... tapi sudah lama saya jual. He..he..he..

Saking tua, seorang anggota dewan sudah malas naik ke ruang pribadinya di Gedung DPR Nusantara I, lantai tertentu. Lantaran mendesak, ia terpaksa harus ke ruangannya itu. Begitu ke luar dari lift di lantai tujuan, si anggota bertanya ke Satpam: Mas, ruang kerja saya di sebelah mana, ya.... Nah, lho, ruang kerja sendiri saja sudah lupa, apalagi nasib rakyat :)

Dua kisah barusan memang tidak berkaitan langsung dengan saya, alias mengutip cerita kawan.

Tapi tiga di bawah ini, persis saya alami sendiri.

Di musim kampanye April tahun yang baru lewat, kebetulan saya mendampingi bos yang bertarung untuk kursi DPR RI. Si Bos, kebetulan berani pede kalau menghadapi khalayak di perdesaan dan pelosok kampung (asumsinya: mereka tidak kritis).

Saat itu, rakyat mengeluh bahwa mereka hingga hari ini tak menikmati aliran listrik. Giliran si Bos berbicara. Dengan yakin beliau bertanya: Sejak Kapan Bapak-Bapak tidak menikmati listrik? Sontak hadirin tertawa terpingkal-pingkal. Sudah jelas dari zaman batu era nenek moyang, mereka tak pernah mengenal listrik, kok, masih ditanya sejak kapan?

Masih ada, ini di tempat lain. Berceramah dengan anak-anak SLTA ---menghadapi kaum belia seperti inipun, bos masih pede, dengan asumsi yang sama, mereka tidak kritis.

Ada Ketua OSIS yang mengeluhkan praktek korupsi di sekolah, dan bertanya apakah kasus seperti ini bisa dibawa ke KPK? Bos, enteng saja menjawab: pasti bisa! Kalian laporkan saja ke KPK di Kabupaten... Hua...ha.. ha.., nanti kaleee, KPK bisa berada di Kabupaten kalau sudah ada lebaran monyet... wakakakakak.

Di gedung DPR juga bertabur cerita nyata nan jenaka ---mudah-mudahan begitu, kalau tidak, aku malu sendiri.

Dalam forum Rapat Kerja bersama Menteri Kabinet Indonesia Membangun II, pendek istilah Kabinet SBY, seorang anggota DPR bertanya penuh semangat (nggak pake 45).

Pak Menteri, saya bilang ke orang-orang di daerah, bahwa organisasi bantuan bencana di daerah itu akan mendapatkan bantuan dana dari pusat. Saya bilang begitu ke mereka, Pak Menteri, biar mereka semangat. Betul kan, Pak Menteri, memang ada bantuan dana dari Pemerintah Pusat?

Tanpa ragu, Pak Menteri menjawab: tidak ada tuh... kata siapa? Gerrrrrr.... seluruh hadirin di ruang rapat tertawa. Termasuk saya yang berada di balkon atas.

Nah, kawan-kawan, keep your reason. Jangan hilang akal dengan kejenuhan. Kita tuker-tukeran cerita humor politik, yu. Ditunggu...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar