Jumat, Januari 08, 2010

Sahabat Mengharu Biru


Tuhan pasti sutradara Maha Agung. Tak secuilpun Martin Scorsese, Steven Spielberg, atau Francis Ford Coppola bisa disandingkan denganNYA. Daftar nama-nama beken di industri sinematografi Holywood itu hanya mampu memuaskan libido imajinasi liar kita. Bahkan tak sedikit, sutradara kelas dunia (bukan dunia akhirat), malahan menjejalkan kekerasan berfikir, menindas akal sehat. Pun, untuk mereka yang mampu mengguncang pasar per-film-an internasional, seperti Roland Emmerich, sang director film 2012!

Siasat Allah ---demikian aku pernah membaca artikel disebuah buku--- pelik nan tak terduga. Namun penuh tetes hikmah yang menyegarkan. Bisa saja, sesuatu yang direncanakan Allah adalah meremukkan daya tahan kesabaran kita, tetapi di lain waktu, justru berbuah dengan rupa-rupa kebaikan. Atau kebalikannya. Sesuatu terasa manis di awal tetapi kecut di penghujung. Hanya satu-satunya kesadaran yang mesti terpatri: apapun rencana dan takdirnya, secara sejati, adalah baik. Lagi-lagi, urusannya adalah soal kemampuan kita menerimanya dengan ridho dan ikhlas. Paling tidak, jika belum mampu menggapai kelas ridho dan ikhlas itu, kita bisa sedikit bersabar (menahan diri untuk tidak meratapi dan mengutuki nasib).

Paparan ini agak klise. Tetapi perlu, guna sedikit menjelaskan perjalanan sejumlah kawan-kawan yang saat ini aku kagumi dengan takzim. Mereka tak melulu sukses dari sisi sempit (berlimpah uang, misalnya). Tetapi justru karena menggapai apa yang menjadi keinginan banyak orang. Kriteria banyak orang itu, adalah salah satunya adalah aku (sebagaimana orang kebanyakan yang hanya bisa berimajinasi dalam tidur atau terjaga).

Cukup petikan dua contoh saja. Satu teman ada di Manado, perempuan, cantik, sukses, pintar, baik hati, dan pernah bersama-sama melakoni proses sebagai aktivis mahasiswa. Sementara satu yang lainnya adalah kawan sekampung ---kini tinggal di Jakarta, ia juga sukses dalam banyak ukuran. Adalah satu pembeda dari dua orang kawan bahagia itu, yang di Manado hingga hari ini masih lajang. Sementara kawan dari kampung sudah menikah.

Membuat aku bangga dengan sebenar-benarnya, si kawan kampung itu punya isteri yang Subhanallah... cantik, dan kesan aku sepertinya orangnya juga baik. Insya Allah akhlaknya juga begitu. Agak cukup menggambarkan salah satu doa ketika Ummat Muslim akan bercermin: Ya Allah, baguskanlah akhlak aku sebagaimana engkau membaguskan wajahku!

Balik ke latar kedua kawan ini ketika "masih belum" ada apa-apanya. Soal pintar, sudah pasti. Si kawan kampung memang tak pernah satu bangku sekolahan. Tetapi kawan-kawan dia di sekolah, adalah teman akrab aku. Mereka kerap bercerita. Salah satu yang selalu mereka sebut: hanya dua orang di kelas yang selalu bergantian berebut ranking, yang satu adalah perempuan, satunya lagi ya kawan aku itu.

Sementara kawan yang dari Manado, jelas banget. Bahasa Inggrisnya perfect. Di HMI dia adalah KOHATI primadona. Cerdas, berani, kritis, dan mau saja ikut demo. Oh, iya, ada yang lupa. Kedua orang kawan itu (yang di kampung dan yang di Manado, adalah sama-sama orang HMI tulen, bukan sekedar ikut-ikutan).

Kedua orang itu, saat ini bisa berinteraksi hanya melalui dunia maya. Mereka pasti sibuk dengan dunianya sendiri. Biarlah...

Tak tahulah, perincian detil kehidupan orang. Itu tak penting. Sebab pokok utama adalah dalam hidup kita bisa belajar dari petikan riwayat orang lain. Agar kita tak mati dalam pesimisme dan tak tumbang oleh kesombongan. Insya Allah...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar