Minggu, Mei 09, 2010

Susi Susanti, dan (mana?) Kebanggaan Kita...


Jangan bercinta dengan atlet bulutangkis. Kata syahibul humor: lelah tapi nggak klimaks. Set pertama sering salah kamar. Set kedua, sudah mulai ganti “raket”. Set ketiga, kedodoran, jarang smash! Dan berkelit dengan rally-rally panjang…

Ada juga sms norak yang dulu beredar (jauh sebelum FB-ngetren, seraya menggantikan sms lucu-lucuan). Bunyinya: “Sekamar bareng, pria wanita. Tanpa nikah. Berkeringat melenguh bersama. Memasukkan dan kemasukkan. Diteriaki atau malah disupport banyak orang. Itulah pasangan ganda campuran…”

Tapi memang bulutangkis olahraga full stamina. Sebuah riset membuat perbandingan antara frekuensi dan akselerasi antara atlet Badminton dengan Tenis Lapangan. Hasilnya mencenangkan. Pergerakan shuttle cock lebih cepat meluncur dibanding bola tennis. Memaksa para atlet lari tiada henti. Singkat kata, bulutangkis lebih berkeringat dibanding cabang olahraga lain.

Dengan kehandalan dan tingkat kesulitan seperti itu, mestinya para atlet bulutangkis jadi The Real Hero bagi seluruh anak bangsa. Tetapi agaknya ditanggapi biasa-biasa saja.

Gegap gempita kalau Tim Thomas dan Uber menang. Diarak, dihujani hadiah, “dapat mertua” mantan jenderal, atau sesekali jadi bintang iklan. Tapi apresiasi seperti itu masih dalam batas normal. Berjangka pendek, gampang pudar dalam selintas ingatan.

Padahal, idealnya, para ikon bulutangkis harus mendapat berpuluh kali lipat dari itu. Bukan untuk semata kejayaan mereka. Melainkan untuk mental building dan menumbuhkan nation character kita. Saya ingat, Majalah Gatra di edisi khusus tahun 2008 lalu, memampang The Real Indonesia Hero, sebagai tokoh-tokoh yang memberi inspirasi kepada publik. Sejumlah sosok ditampilkan. Mulai dari politisi, pebisnis, professional, bintang film, selebriti, dan… minus olahragawan.

Tahun lalu, memang ada film tentang olahragawan, kebetulan juga dari Cabang Bulutangkis, yaitu The King. Tapi nggak King banget…

Sejatinya Indonesia dijejali para Hero dan (S)hero (Lantaran para pejuang bukan hanya laki-laki, tapi juga perempuan), dalam berlapis-lapis medan kehidupan. Lantas kapan, nama para atlet, para pengerek bendera di stadium-stadion agung di luar negeri itu menjadi, misalnya, nama jalan protokol? Dibuatkan patung di Menteng dan Pondok Indah? Tak apalah dijajarkan dengan Obama Kecil atau Inul. Seorang kawan pernah memperlihatkan koleksi perangko para tokoh Indonesia. Saya melihat takjub. Foto Bung Karno, Foto Bung Hata, dan manusia Indonesia besar lainnya. Tapi juga jengkel, tak ada tokoh-tokoh legendaris di luar lingkar politik-kekuasaan. Malahan foto pariwisata, patung, tugu, ditampilkan cukup banyak.

Kalaupun dibuatkan buku, tak cukup hanya biografi. Sangat cukup pantas bila legenda per-bulutangkis-an kita tercantum dalam Pelajaran Sejarah Indonesia, tak apa pula bila berdampingan dengan BAB Peristiwa Serangan Oemoem Satu Maret yang dipalsukan, atau malah dengan Sejarah 65 yang penuh dusta! Hingga kini, masih terlihat penghargaan itu biasa-biasa saja.


Keluarga Sidek
Bapak saya dulu sangat benci dengan Keluarga Sidek dari Malaysia. Kebencian lama, sebenarnya. Izin sebentar, ini selingan. Waktu menjelang lahir, Bapak berniat memberi nama saya Thomas, jika Tim Thomas Indoensia menang vs Malaysia, di final Thomas Cup, Tahun 74, di Kualalumpur. Sial bagi Indonesia, dan juga bagi saya, kita kalah. Akhirnya, nama aku nggak Thomas. He..he..he..

Keluarga Sidek terdiri dari Misbun Sidek, Rajif Sidek, Jailani Sidek, Rashid Sidek, dan Abdurrahman Sidek.
Misbun Sidek adalah pemain tunggal yang dulu menjadi rival utama Icuk Sugiarto. Rajif dan Jailani Sidek merupakan pemain ganda. Rashid dan Abdurrahman juga menjadi pemain tunggal dan ganda.

Malaysia sangat memuja keluarga Sidek. Bukan hanya buku, rangkaian komik ringan pun dibuat dan ditulis berseri. Diedarkan ke anak-anak sekolah. Dengan uraian yang memberi semangat. Menularkan etos juang. Mencontohkan bahwa sesuatu bisa dikejar. Cerita dalam komik, misalnya, menuturkan bagaimana Ayah dan Ibu dari The Sidek Family ini membuat lapangan bulutangkis sederhana di halaman belakang rumah. Mendisiplinkan Sidek bersaudara untuk getol berlatih. Ini adalah contoh penularan mental (mental contagion), melalui cara-cara bermartabat. Di Indonesia, adakah?


Susi Susanti
Publik tercengang dalam Piala Sudirman awal 90-an. Indonesia sudah tertinggal 0-2 dari China. Giliran Susi versus... Di set pertama dia kalah. Set kedua menang. Dan set ketiga menang telak! Dengan skor 11:0 untuk Susi. Efek ini dahsyat. Di dua partai terakhir, kontingen Indonesia membabat habis lawan, dan membalikkan kedudukan menjadi 3-2. Memori akan Susi adalah tentang keuletan, tegar, sabar, senyum tipis, ramah, tak angkuh, cool. Sisanya yang lain adalah tentang kehebatannya memainkan raket untuk bola-bola net dan rally. Oh, ya, ada lagi. Ia mampu mengejar ke manapun arah bola. Seolah lapangan bulutangkis hanya selebar kamar kos buruh pabrik.

Susi juga yang mengawinkan (dengan makna yang sesungguhnya di belakang hari), antara Medali Emas Olimpiade untuk nomor tunggal puteri, dengan Alan Budikusuma (ganda putera). Kedua pebulutangkis ini jejaknya belum diikuti oleh siapapun, di kolong jagat ini.

Di atas segala-galanya, Susi juga menampilkan mantan atlet yang tidak kebablasan. Mari melongok cerita pilu mantan olahragawan. Di cabang lain, yang kebetulan kurang beken, tak sedikit atlet tua yang tumbang, maksudnya secara ekonomi. Ada mantan atlet yang jadi nelayan, jadi juru parkir, jadi keamanan Diskotik, dan jadi pengedar narkotika. Tetapi Susi tidak... Ia cukup berhasil berbisnis peralatan olahraga Bulutangkis.

Untuk semua itu, kenalkah generasi mudah terhadap Legenda Susi? Mereka tidak membaca tentangnya. Belum ada komik Susi Susanti muda. Entahlah, di kampung Susi tinggal Pak Bupati bersedia memberi nama sepotong jalan dengan nama legenda Bulutangis Puteri itu?

Lebih menyedihkan lagi, barusan cek di Google, bahwa di Jepang, pernah dibuat Perangko yang bergambar Susi Susanti. Sekali lagi, mari mengeluh, mana kebanggan kita?

3 komentar:

  1. Koreksi:
    1. Momen piala sudirman itu thn 1989, dan lawan Indonesia buka China tapi Korea Selatan.

    2.Saya juga sedih baca tulisan mas yg nulis Alan dapat emas olimpiade di ganda putra.. Alan Budikusuma itu pemain TUNGGAL!! Mana nih kebanggaannya terhadap atlet, nomor yang diikuti atlet aja ga ingat. :D

    BalasHapus
  2. Yup, saya mengakui salah dan keliru. Bukti kalau kurang hati-hati, dengan demikian ini adalah sekaligus koreksi. Terima kasih atas tegurannya. Salam silaturahmi...

    BalasHapus