Rabu, Februari 24, 2010

Bunga Ingatan di Taman Academus HMI Manado


Jika mimpi adalah bunga tidur, maka lelucon adalah bunga kesadaran. Tapi kebanyakan orang lebih suka bunga yang lain, semisal Bungalow, Bunga Bank, atau paling tidak Bunga Desa. Rangkaian lelucon berikut saya harap menjadi "bunga ingatan", terhadap apa-apa yang banyak terjadi di belasan tahun lalu, di HMI Cabang Manado.


Mari mulai dari yang terseru. Seorang senior di HMI Cabang Manado, pernah mendapat pertanyaan sepela dari kami para yuniornya. Oh, ya, senior itu juga seorang dokter. Tetapi kami tak pernah tahu apakah ia pernah buka praktek atau sekedar numpang mengamalkan ilmunya ---di klinik orang lain misalnya. Ia lebih dikenal sebagai politisi kawak, Anggota DPRD, dan pengurus di Partai Politik Penguasa (waktu itu, ya, Golkar lah...).


Pertanyaan sepele? Tentu saja. Seorang senior bernama Muin Sumaila, bertanya padanya: Dok, kepala saya agak sakit dan pusing, obatnya apa, ya? Spontan mendapat jawaban: D..e..c..o..l..g..e..n, jo!


Efeknya langsung terasa: kepala Muin itu kian pening. Bisa-bisanya seorang Dokter memberi jawaban yang akan sama mirip jika disodorkan kepada gadis perobek karcis di Studio 21 (mending nanya ke situ, siapa tahu disertai senyum manis, puyeng bisa ilang otomatis). Asli. Kisah ini terjadi di depan mata saya, Muin Sumaila, dan Dokter Makmun Jakfara (mohon dikoreksi jika namanya salah, maklum sudah lama tak berinteraksi dengan beliau-beliau itu). Berlokasi di Manado Beach Hotel (kin sudah bangkrut), saat berlangsung Musda Golkar.


Supaya adil, kawan Muin juga menyimpan cerita unik. Kali ini dari versi dia sendiri ---yang diutarakan ke Haryanto, mantan Ketum HMI Cabang Manado. Pernah suatu kesempatan emas terbuka untuknya, menjadi Kepala Sekolah di Sekolah Dasar paling bergengsi di Manado, seingat saya namanya SD Garuda. Tetapi ia menolak. Mengapa? Karena ngeri berhadapan dengan rapat orang tua murid. Keengganannya bersumber dari satu hal: orang tua murid di sekolah itu justru adalah para seniornya dahulu. Terdiri dari: Jafar Al Katiri, Benny Rhamdani, Katamsi Ginano, Dokter Taufiek Pasiak, dan entah siapa lagi. Lebe bae kita adu mulu denga Walikota, daripada deng dorang... (Begitu, katanya).


Sengaja dimulai dari kisah para senior yang malas bergaul di Facebook. Lumayan untuk mengulik kenangan-kenangan lama. Tokoh paling ditunggu dan mungkin juga paling dikenang oleh kami di HMI Cabang Manado adalah Bang Naid, Mantan Ketua Umum HMI Cabang Manado, periode paruh awal 90-an.


Kisah bersumber dari koran. Bukan kutipan kisah lucu di pojok halaman surat kabar. Bukan! Anda pasti tahu, koran di tangan aktivis bisa bermanfaat banyak. Jadi ganjal meja yang miring. Dimanfaatkan untuk menambal dinding kamar kos yang bolong-bolong. Atau mungkin ditumpuk lalu dijual di akhir bulan ---ketika subsidi orang tua lenyap dan Ibu Warung sudah rewel menagih utang.


Tetapi Bang Naid lain lagi. Fakta ini bukan asal karang. Benar-benari sungguhan. Beliau tak pernah kelihatan kekurangan uang, penampilannya saja selalu plamboyan. Kamar kosnya juga selalu bagus, nggak ada cerita tambal-tambalan. Tetapi, koran bekas di tangan Bang Naid justru menjadi "penambal" penampilan. Caranya: dilipat-lipat seukuran dompet, lalu di masukkan ke kantong celana belakang. Nah, ini membantu menutup kekurangan pada bagian belakang tubuhnya, yang memang tipis itu. Duh...


Mereka yang disebut di atas adalah senior-senior jauh saya. Kini mengarah ke senior dekat, yang kuliahnya hanya beberapa semester di atas saya. Di mulai dari Kanda Mustafa As'ad.


Guyonan hambar kalau sekedar menyebut olahan lidah Sulawesi Selatan yang kental-medok dari lisan beliau. Menyebut James Bond sebagai James Bong, saluran air got menjadi air go, dan lain-lain. Harap dimaklumi saja. Andi Malarangeng saja masih kental lidah orang selatannya, padahal cukup lama merantau di luar negeri. Justru ada sisi keunikan lain. Percaya boleh, tidak pun tak masalah. Dia itu, di awal-awal kuliah, sewaktu masih "hijau" di HMI, ke mana-mana tak lepas dari tradisi di tanah kelahirannya. Apaan? Bawa badik ke mana-mana. Nah, lho, ngaku ya... Namun begitu gairah intelektual menyergap kesadarannya, naluri sirri (harga diri orang Selatan) mulai melunak. Ewako!


Sisipan penting lainnya adalah fakta bahwa masih ada aktivis yang keliru menafsir perintah seniornya.


Di era 97-98-99 HMI Manado mendapat komputer baru, kalau tak salah Pentium II, masih memakai Window 98. Para senior menjaga dengan ketat, agar tak cepat rusak. Suatu saat, muncul perintah seorang senior kepada "bawahannya". De, kurang lebih begitu bahasa instruksi bersuara, tolong dibersihkan komputer itu. Dengan sigap, si Yunior membersihkan benda pintar tersebut. Tetapi, Masya Allah, dia tak cuma menyikat chasing, melainkan juga bagian dalamnya (hard ware). Mending kalau memakai spon lembut, tetapi justru menggunakan sikat cuci, ditambahi dengan busa dan sabun... Cerita ini saya dengar dari Fanny Salamanya, dan pelaku pembersihan adalah La Ode Themrin (ke mana ya, kawan satu ini sekarang?).



Warna-warni keganjilan para aktivis itu memang masih tergolong datar, lantaran tidak disaput dengan nuansa asmara. Tentu saja kawan-kawan di korps Ijo-Itam juga menyimpan romansa yang asyik-asyik, namanya juga anak muda. Beberapa di antaranya malahan tergolong seru. Tak sedikit menjadi bahan ejekan abadi hingga sekarang ini.


Menurut sahibul gosip, banyak KOHATI yang terkena syndrom "menyesal kemudian". Dulu semasa menjadi aktivis, mereka cuek terhadap kaum pria HMI yang memang kebanyakan kumal dan lusuh. Padahal tak sedikit lelaki yang memasang jerat cinta untuk KOHATI pujaan. Tapi Gone With the Wind, bertepuk sebelah tangan. Di kemudian hari, ternyata HMI-wan itu malah menjadi sosok tajir. Kebanyakan menjadi anggota dewan, pejabat, atau profesional terkemuka di bidang masing-masing. Tentu saja tak semua Srikandi HMI seperti itu. Banyak diantaranya bahkan menentukan sikap dengan tepat: menolak HMI-wan, dan tak pernah menyesal hingga kini...


Petikan barusan memang berskala umum. Untuk kategori lebih spesifik, cerita person to person, jauh lebih tak lazim. Sebelumnya harap diingat, zaman itu tak ada Hape tak ada Laptop yang bisa online. Metode tradisional jadi andalan ----tetapi tanpa burung merpati. Kirim-kiriman surat. Titip ke kawan. Dan, ini dia yang seru, menulis pesan di kertas kecil yang diselipkan di halaman buku. Sudah tentu, buku yang dimaksud adalah buku milik "sasaran tembak".


Biasalah... pura-pura pinjam buku dari pujaan hati. Lalu menyisip pesan rahasia, entah puisi, entah janji ketemuan. Tetapi juga ada yang celaka. Ternyata buku yang disisipi pesan itu bukan milik si Dia, melainkan punya orang lain (mungkin juga koleksi perpustakaan kampus). Inilah yang disebut surat cinta nyasar... Jauh lebih mengerikan tinimbang sekedar surat yang tak pernah sampai.


Seorang kawan HMI Manado, al kisah, pernah menjemput seseorang dari HMI Manado, pakai taksi, dari Manado ke Tondano (dengan biaya yang cukup besar, untuk ukuran saat itu). Tujuannya cuma sepele: meminta izin kepada anak dari HMI Manado, karena si HMI Tondano itu akan memacari KOHATI Manado ----yang konon sangat disukai juga oleh si HMI Manado. Aneh, kan? Masa kompetitors minta izin kepada rivalnya...


Lalu yang seperti ini: rajin Shalat Tahadjud dan Shalat Shubuh, di Sekretariat HMI (Gedung Serimpi), khusus untuk memanjatkan doa cinta kepada Srikandi (atau malah Bidadari-nya) HMI Manado. Kontan kegiatan ibadah tambahan ini membuat geger para aktivis. Lebih dari sekedar geger, jadi bahan guyonan pula.


Tambahan lain, Gedung Serimpi sama sekali bukan ajang cari jodoh. Tapi tak sedikit pasangan yang bisa berpacaran lamaaaaa dan berakhir begitu saja. Entahlah, jumlahnya lebih banyak atau lebih sedikit tinimbang pasangan yang berpacaran di sesama aktivis HMI lantas berakhir di pelaminan. Soalnya nggak ada yang mencatat detil tentang itu. Boleh dikata, dalam urusan ini, Gedung Serimpi bisa menjadi berkah, atau sebaliknya menjadi musibah. Tergantung pasangan siapa yang menjalani proses asmaranya...


Rasanya tulisan ini sulit berakhir. Rupa-rupa kisah masih menggunung. Termasuk yang bernada agak tragis.


Pengakuan yang baru diperoleh beberapa belas menit lalu. Dari aktivis KOHATI di era menjelang dan paska reformasi 98. Ia mengaku ngeri datang ke Serimpi karena melihat pemandangan senior dengan tangan yang senantiasa menggenggam buku. Bukan itu saja, pihak yang mengaku ngeri itu juga ciut nyali kalau datang ke Serimpi. Was-was jika mendapat interogasi ala senior: Dinda, sudah baca buku apa? Tragis lantaran dalam pengetahuan banyak orang, KOHATI itu justru dianggap berkelas. Ya dari tampang, dari penampilan, dari senyuman, dari kecerdasan, dan dari semua hal. Kira-kira jujur nggak ya, testimoni itu?


Tragedi lain juga muncul dari sikap super proteksionis para senior terhadap kader didikannya. Kompetisi antara organisasi esktra kampus luar biasa ketat. Pesan-pesan bernada permusuhan, antipati, dan "saran intimidatif" agar menjauhi saingan HMI selalu datang bertubi-tubi. Tak tahulah, paragraf ini terkategori aib, unik, atau malah lucu ---setidaknya bila kita renungkan untuk saat ini.


Terakhir, mari kita tutup dengan jerih lelah jika melakukan kegiatan HMI, seperti LK, diskusi buku, seminar, atau yang lain-lainnya. Formula baku adalah menyodor proposal ke Alumni. Pernah, suatu kali, di siang terik dan keringat bercucuran karena berjalan kaki, seorang HMI muda datang ke Alumni. Ditanggapi dengan wellcome dan sumringah. Di ujung basa-basi, Alumni itu berkata: Dinda, saya juga akan menyumbang kegiatan Dinda, ya. Tapi sumbang saran doang...



+++++++++++++++++++++++++++++
Konfirmasi: Dua Catatan Ringan, masing-masing
1. Chronica et Serimpia, Dari Bang Naid, Baso Affandi, dan Rully Amri,
2. Bunga Ingatan di Taman Academus HMI Cabang Manado,

adalah sepenuhnya hasil obrolan santai saya dengan Haryanto (Mantan Ketum HMI Cabang Manado) dan sudah dikonsultasikan kepada Danny Rogi. Bukan salah saya sendirian, ya...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar