Minggu, Juli 25, 2010

Televisi Bukan Babby Sitter Untuk Anak-Anak Kita


Misalnya Tuhan mengutus kembali seorang nabi baru di zaman Facebook ini, maka salah satu tugasnya adalah "memerangi" Televisi. Paling kurang, mengajari pengikutnya dengan sebuah doa: Doa Terhindar dari Kejahatan Televisi. Lalu tentu paling perlu doa itu ditularkan kepada anak-anak.


Tetapi hanya nabi palsu yang berlahiran. Maka hingga hari ini, anak-anak hanya fasih merapal doa ketika hendak melakukan aktivitas biasa. Doa makan, doa berangkat sekolah, doa membaca Al Quran (atau mungkin juga Injil), dan doa-doa lain. Tetangga saya malah mengajar anaknya doa ketika melewati kuburan ----biar tidak kerasukan jin!


Padahal hakkul yakin, anak-anak kita benar-benar butuh perlindungan dengan cara apapun. Agar mereka tidak menjadi semacam wortel yang dimamah hingga lebur oleh keganasan televisi. Frase "perlindungan dengan cara apapun" pada awal paragraf ini, memang terdengar rada hiperbolik. Tepatnya ke luar dari pemikiran yang teramat sangat marah!


Kalau tidak marah berarti tak punya hati...


Adalah fakta bahwa jumlah "jam menonton" TV pada anak di Indonesia adalah sekitar 30-35 jam/minggu atau 1560-1820 jam/ tahun. Angka ini jauh lebih besar dibanding "jam belajar" di sekolah dasar yang tidak sampai 1000 jam/tahun. Padahal kita tahu, seperti apa kualitas tayangan Televisi kita, baik di pagi hari, siang, sore, mapun malam. Maaf saja, tak pernah ada kasus di manapun bahwa semakin banyak menonton TV, maka anak-anak akan semakin cerdas. Kalau contoh sebaliknya, malah bejubel.


Kita juga marah karena nyaris frustasi dengan kampanye bahaya televisi. Bukan semata pengelola stasiun televisi tidak peduli, tetapi juga SDM dan tenaga broadcaster kita hanya sedikit lebih bagus dari "kuli panggul kamera". Pejal dalam pemikiran, dan banal dalam krativitas. Hanya mampu meramu infotainment, reality show, sinetron, dan paket-paket konsumtif lainnya.


Kita juga dibuat jengkel karena belum ada metode jitu menangkal bahaya televisi bagi anak. Padahal hingga hari ini, paling tidak ada sebelasan buku yang pernah ditulis, tentang teknik dan kiat melindungi anak dari televisi. Puluhan riset telah diterbitkan untuk membeber bahaya televisi bagi anak-anak. Tak kurang-kurang, kaum agamawan, Guru SD, atau bahkan Menteri, ikut-ikutan ramai mengingatkan: awas televisi! Tetapi, nyaris terabaikan. Karena tak ada perjuangan sungguh-sungguh dari kita, orang dewasa, untuk menjaga anak-anak dari teror televisi.



Electronic Babysitter
Muara dari kejahatan orang tua terhadap anak-anak, adalah justru menjadikan televisi sebagai pengasuh. Ragam alasan berhamburan. Entah sibuk. Tak mau diganggu. Ingin santai tanpa anak. Atau alasan lain beraneka rupa. Tetapi intinya tetap sama: menjerumuskan anak dalam genangan materi televisi. Padahal sudah jelas, sebagai pengasuh, televisi sama sekali tak bisa diandalkan.


Kita tidak sedang mendakwa Televisi dari sisi totalitasnya. Memang, ada hal-hal baik di tayangan TV. Tetapi dalam kasus anak-anak, semua hal bisa menjadi bumerang. Lantaran berkaitan dengan alam pikir, daya jelajah intelektual, memori, dan cara anak-anak memahami tayangaan televisi. Anak-anak tak bisa dibiarkan menafsir sendiri, melainkan butuh pendampingan orang tua.


Pokok permasalahan yang paling besar, sebenarnya adalah ketidakmampuan seorang anak kecil membedakan dunia yang ia lihat di TV dengan apa yang sebenarnya ada di luar TV. Dalam memori anak kecil, tak ada sekat untuk memasukan mana tayangan terkategori fakta, dan mana yang fiksi. Ini yang berkaitan dengan otak. Sementara dari aspek psikis, anak-anak adalah cenderung melakukan peniruan, modelling, atau mengulang apa yang ia tonton. Lagipula, anak-anak justru membutuhkan bermain sebebas-bebasnya, yang melibatkan otak, emosi, dan fisik sekaligus. Bukannya terpaku di depan layar tellevisi. Pendek kata, jangan jadikan televisi sebagai Babysitter untuk anak-anak!


Litlle Bomb
Orang-orang "jahat" di masa dewasa, adalah orang-orang yang "dijahati" ketika kanak-kanak. Bisa pula diperpanjang: orang-orang "sakit jiwa" di masa tua adalah orang-orang yang "disakiti jiwanya" di masa kanak-kanak. Sebuah buku bercerita tentang itu: The Boy Who Called It. Kekerasan psikis, memori, dan fisik terhadap anak, bagaikan merakit bom kecil untuk meledak di lain waktu. Betapa mahal harga masa kecil, bahkan seorang Triliuner sekaliber Michael Jackson sekalipun tak mampu membeli ---ia hanya bisa meratapi nasib, karena ketika kanak-kanak, selalu disakiti sang Ayah.


Lalu, bagaimana televisi melakukan kekerasan terhadap anak? Apakah televisi juga merakit Litlle Bomb untuk anak-anak? Memang tak ada kekerasan fisik, tetapi TV jelas-jelas telah menyiksa "memori" dan "alam pikiran" anak-anak kita. Tayangan televisi kini nyaris hadir tanpa batas, dan tak lagi menghargai waktu serta ruang bermain anak-anak.


Televisi, seperti kata Neil Postman, dalam buku "The Disappearance of Childhood" (Lenyapnya Masa Kanak-Kanak), menulis bahwa sejak tahun 1950, televisi di Amerika telah menyiarkan program-program yang seragam dan anak-anak, sama seperti anggota masyarakat lainnya, menjadi korban gelombang visual yang ditunjukkan televisi. Dengan kata lain, televisi melakukan kekerasan karana "memaksa" anak-anak untuk sama dengan orang dewasa, baik dalam mode pakaian, hobi, lagu dan musik, film, makanan, atau bahkan gaya hidup. Perbedaan dan jarak antara anak-anak dan dewasa seperti dipangkas habis oleh televisi. Olehnya, jangan herna kalau anak-anak kita begitu fasik melantunkan syari-syair dari ST12, seraya tak pernah tahu lagu-lagu Ibu Soed. Begitulah...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar