Minggu, Juli 25, 2010

Mabuk Citra, Ulah Politisi Kita


Hanya dua hal yang tidak bisa disembunyikan dalam hidup kita: "mabuk" dan "cinta". Jauh lebih parah bila hal itu datang bersamaan: mabuk cinta! Tak perlu penjelasan akan hal ini. Justru yang menarik adalah telaah terhadap perilaku "mabuk citra" yang menjangkiti para politisi.


Dalam politik, petuah sarkastik itupun berlaku. Hanya dua hal dalam politik yang tak boleh disembunyikan: "kebaikan" dan "kesantunan". Ketika politisi terserang mabuk citra, maka ia sedang getol memainkan kebaikan dan kesantunan berpolitik.


Baca pelan-pelan saja. Di saat berbuat baik, politisi sejati pasti akan mengundang koleganya dari media massa. Kalau perlu, disertai Konferensi Pers dan senarai puja-puji dari orang-orang terkenal. Pastikan bersok pagi koran-koran mewartakan tentang aksi "amal sholeh" si politisi sejati itu. Ini tentu berbalik punggung dengan "perbuatan baik" sejati dalam petuah agama (amal sholeh sebisa mungkin harus disembunyikan, jika tak ingin jatuh dalam amal riya, pamer diri). Jangan beramal tanpa sorotan televisi!!! Begitulah kiat politisi sejati.


Satu lagi yang tak boleh disembunyikan dari politisi sejati, tentang kesantunan. Belajarlah ke pihak yang tepat: para diplomat. Mereka ----para duta negara yang pekerjaan rutinnya antara lain makan-makan itu--- adalah Mahaguru yang sangat terlatih bermuka santun. Bahkan ketika cegukan sekalipun, mereka sanggup berkelit (sembari melempar seulas senyum di balik bibir gelas sampanye). Hanya diplomat yang bisa terbahak-bahak sembari merapikan dasi di leher ---atas guyonan yang pedas dan tak lucu.


Dua pokok itu yang menjadi sentral dalam teknologi politik pencitraan. Berhamburanlah, kini, paket-paket kampanye publik yang bernada amal shaleh. Teknik popular action ini sudah terbilang luar biasa. Ke luar dari pakem yang sesungguhnya, bahwa politik pencitraan berbasis pada sekumpulan fakta-fakta, gagasan, dan ideologi para politisi, yang ingin disebar agar dikenali dan dipahami orang banyak. Hari ini kita lihat: politik pencitraan berbasis pada perkara yang dibuat-buat. Hingga itu, di awal kompetisi Pilpres 2009, terdapat seorang tokoh yang memakan nasi aking (tetapi terlihat sangat terpaksa dan tak tulus, hingga menimbulkan antipati publik).



Operasi pencitraan ke luar dari rel, dan hanya berjalan karena gelimang uang. Fenomena ini yang melahirkan empat bentuk bencana dalam politik "kebaikan" dan politik "kesantunan" di Indonesia. Prahara itu adalah:


Bencana Politik
Pertama politik pencitraan dengan jualan "orang baik dan santun" menjadi ujung tombak dan mewujud sebagai satu-satunya pesan yang ingin disampaikan aktor politik tertentu. Ini jelas bencana. Sejatinya, politik pencitraan dengan jualan apapun adalah berada di tahap kedua dalam operasi komunikasi politik.


Masalahnya adalah kompetensi, kapabilitas, dan integritas untuk menjadi tokoh publik (pejabat, anggota DPR, Menteri atau bahkan Presiden), adalah perkara utama yang mesti hadir terlebih dahulu. Alur logikanya jelas: baik dan santun adalah persoalan personality, tidak mutlak hadir setiap waktu, dan pokok soal baik dan santun itu sangat relatif (baik dan santun versi Jawa, tentu beda dengan versi Manado).


Tetapi hukum inilah yang koyak, dicakar oleh politic imagology. Tokoh publik, terlihat buru-buru menyodorkan "rumus tebar pesona" sembari menyamarkan wilayah kemampuan, kompetensi serta integritasnya sebagai pemimpin. Ketika Gas Elpiji meletus, KPK loyo, isu Bank Century raib, dan harga Sembako melambung, malah dijawab dengan "bahasa baik dan santun". Walhasil kita tak pernah tahu apakah sang tokoh memiliki kompetensi untuk membereskan atau tidak.


Debu di bawah karpet

Kedua Meletakan superioritas "politik baik dan santun" menggiring tokoh untuk cenderung berhitung kepada respon dan bukan pada hasil. Padahal kita tahu, tata tertib kekuasaan mestinya berhitung pada hasil, berorientasi pada kemaslahatan publik, dan problem solving. Barangkali publik telah cukup lelah, atas tumpukan masalah yang "seperti menyimpan debu di bawah karpet". Dahaga publik yang haus akan penyelesaian masalah hanya terselesaikan sesaat, karena toh tak ada upaya penanganan tuntas. Bencana dari pola ini adalah menghasilkan apatisme publik. Lama-lama bergulir menjadi pembiaran, karena toh jawaban penguasa adalah politik pencitraan.


Mabuk Citra
Ketiga, dalam politik pencitraan dua pihak yang berinteraksi (penguasa dan yang dikuasai) bisa sama-sama jatuh dalam penilaian yang keliru. Dalam teknologi pencitraan, wilayah permainan berada dalam ruang persepsi, dan bukan realitas. Tentu saja persepsi tak harus benar atau tak mesti sungguh-sungguh terjadi. Ambil contoh soal kemiskinan. Kemiskinan akan dianggap tidak ada ketika tidak ada tragedi dan peristiwa-peristiwa yang meledak, dan persepsi publik akan berada pada asumsi aman. Padahal sesungguhnya, puluhan juta orang terjerat oleh tali kekang kemiskinan.


Tokoh Otentik
Keempat mabuk citra sama belaka dengan mabuk cinta, gampang terjangkiti imaji-imaji indah dan terbuai mimpi. Sang pemuda yang jatuh cinta gampang meniru kisah-kisah fiktif, dari film atau bahkan dari roman picisan. Inilah yang kita khawatirkan dalam blantika politik nusantara. Saat ini terjadi peniruan, duplikasi, dan bahkan modelling atau politik baik dan santun (versi pencitraan). Di mana-mana, politisi seolah tidak menghadirkan wajah kultural nusantara yang asli. Kita butuh karakter beraneka ragam, bukan tingkah laku yang dikemas. Hari ini, tak pernah jelas, mana politisi Jawa, mana politisi Ambon, dan mana politisi Sangir Talaud. Semuanya berlomba bermanis-manis muka.


Terakhir ini, ada tendensi bahwa tokoh tertentu menjadi role model, seraya mengakumulasi kekuasaan yang dipegangnya sebagai bagian dari instrumen pencitraan ---yang menguntungkan hanya dirinya sendiri. Menjadi role model, karena ia menjadi bayang-bayang dari berbagai kekuatan atau tokoh-tokoh alternatif. Nyaris menjadi kredo, bahwa jika ingin sukses, harus mirip dengan tingkah laku dan personality Sang Tokoh Utama. Kita kehilangan politisi yang otentik. Bahkan tokoh muda dan dianggap "inspiring" sekelas Anas Urbaningrum sekalipun, menjura hormat dalam role model yang dimainkannya.


Sungguh bencana politik yang tak patut kita tunggu. Indonesia sebelumnya tak mengenal politik duplikasi seperti ini. Tidak Bung Karno, tidak Bung Hatta, tidak juga Bung Sjahrir atau Tan Malaka. Mereka berkibar dengan jati diri yang otentik. Bahkan Jenderal Soeharto sekalipun, tak pernah dijadikan role model oleh siapapun ----kecuali karena ketakutan. Hari ini, Sang Tokoh Pencitraan menjadi blue print oleh politisi dan para konsultannya. Wallahu'alam bishawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar