Rabu, Juli 28, 2010

Trully, Madly, Lazy (Lagu Malas DPR RI)



Seperti karya Savage Garden yang berjudul "Trully, Madly, Deeply", maka polah Anggota DPR yang malas adalah lagu lama (yang dimainkan ulang). Dulu, sorotan publik begitu senyap. Kali ini lain lebih nyaring: publikasi gencar dilakukan terus menerus.


Barangkali ada dua latar penyebab. Pertama, adanya pengakuan dari Marzuki Alie, Ketua DPR RI, yang mengaku kehabisan akal mengatur "anak buahnya di Senayan". Kedua, karena memang DPR periode 2009-2014 ini begitu rendah produktivitasnya. Soal kinerja rendah dan miskin produktivitas inipun juga bagian dari lagu lama. Mari ambil pembanding. Selama sejarah DPR RI, hanya pada periode Presiden Habibie DPR begitu produktif, mengahasilkan 90-an Undang-Undang, dalam tempo hanya satu tahun! Mereka tidak malas karena berada dalam tekanan luar biasa (maklum, reformasi sedang berkibar). Setelah itu: DPR selalu gagal memenuhi amanat Prolegnas (Program Legislasi Naisonal). Artinya, secara kelembagaan, DPR RI selalu tak mampu memenuhi kewajibannya (meski hanya di satu fungsi, yaitu fungsi legislasi).


Lalu seperti perilaku malas seumumnya, Anggota DPR RI hari inipun pandai melagukan pameo: bahwa "satu-satunya kecerdasan orang malas adalah rajin meracik dalih" ---guna membenarkan tindakannya. Terbukti, belakangan ini berhamburan suara politisi yang rajin membela rekan-rekannya yang rajin mangkir.


Political Exucesd
Dari sisi komunikasi politik, bergulir tiga model dominan dalam wacana pembelaan diri Anggota Dewan di Gedung Rakyat Senayan. Pertama, model alibi (seperti pesakitan kriminal yang mengaku sedang di tempat lain, tidak berada di TKP, Tempat Kejadian Perkara). Alibi Dewan adalah mereka sibuk dengan urusan di luar gedung DPR, jadi wajar saja kalau tak mengikuti sidang! Coba lihat: Ratu Munawaroh, Anggota DPR RI Fraksi PAN, yang oleh koran-koran Jakarta dijuluki" Ratu Pemalas" karena tidak menghadiri 9 kali sidang berturut-turut, mengaku sedang ikut Pilkada di Jambi.


Jawaban kedua, model testimoni, alias "meminjam" pengakuan pihak lain (yang dianggap berkompeten). Kembali mengambil sampel Ratu Pemalas (Ratu Munawaroh), yang dibela oleh Viva Yoga Maulandi, rekannya di Fraksi PAN, yang menyatakan bahwa ketidakhadiran Sang Ratu hanyalah untuk sementara. Lain waktu, politisi perempuan dari Partai Berlambang Matahari itu akan rajin hadir.


Jawaban ketiga, model Alegori, alias gaya bahasa retorika yang bersandar pada kiasan indah ---tetapi sesungguhnya mengkhianati kenyataan. Bayangkan saja, tak ada hujan tak ada angin, Pramono Anung Wibowo, dari Fraksi PDIP menyatakan bahwa Anggota DPR RI adalah negarawan, olehnya tak perlu rajin ikut rapat. Sungguh ini alegori yang menyakitkan nurani. Negarawan jauh melampaui politisi, dari sisi pengabdian, karakter, dan juga intelektualitas. Menyebut Anggota DPR RI sebagai negarawan adalah jauh panggang dari api. Inilah tiga model <\i>political excused dari wakil rakyat kita. Seperti menanak nasi kemarin sore, basi dan membuat mual.


Momentum
Menyedihkan ketika kontroversi "malas rapat dan rajin bolos" ini miskin counter opini dari pihak luar. Beberapa pengamat memang sudah menyatakan prihatin. Namun, tak ada gugatan panjang dan counter opini yang kuat, sehingga rakyat tidak memiliki referensi yang cakap. Bahkan cenderung opini yang dipublikasi oleh pers mengikuti arus yang sengaja dilemparkan oleh Anggota Dewan. Salah seorang aktivis dari Formappi (Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia), Sabastian Salang, hanya berkomentar pendek: bahwa soal DPR malas harus dikembalikan kepada internal partai, untuk melakukan pembinaan.


Mestinya ini menjadi momentum yang tak boleh lepas.


Persis di Tahun 2006, sejumlah lembaga independen, yaitu IFES, NDI dan PSHK (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan), bekerjasama dengan Tim Peningkatan Kinerja DPR RI, pernah melakukan riset untuk memperbaiki kualitas DPR RI. Salah satu temuan yang membuat kinerja rendah adalah basis pengetahuan dan pengalaman rendah dari para legislator kita. Artinya, mereka malas karena memang tidak kapabel dan tidak mengerti persoalan ----yang justru menjadi tugas wakil rakyat. Rekomendasi saat itu adalah menambah Staf Ahli, untuk memberikan fungsi konsultasi dan asistensi.


Poin ini sebenarnya menjadi pintu masuk dalam melacak fenomena malas di Gedung Rakyat. Urusannya adalah psikis, terkait dengan aktualiasi diri para politisi. Bagaimana mungkin Anggota bisa rajin dan memiliki minat tinggi, bila mereka tak mengerti apa yang dibahas dalam rapat? Wajar bila mereka mangkir, karena toh hanya akan menjadi penonton pasif. Jadi, isu DPR malas seharusnya kita dorong untuk membongkar pokok perkara yang sesungguhnya... yaitu "mindset" dan" block mental" para anggota. Tetapi itu tidak terjadi. Entahlah....

1 komentar:

  1. Kok staf ahli blom menjadi ahli yg mengahlikan dpr?

    BalasHapus