Sabtu, September 12, 2009

Buku Diary, Mengikat Kejutan Hidup



Tinta yang paling pudar sekalipun masih lebih jelas daripada sekedar ingatan (Pepatah Arab). Menulislah... meski sekedar dalam lembaran kertas di buku Diary.


Andreas Harfefa bahkan berani mengklaim: menulis bisa membuat seseorang cantik. Bagi perempuan, andai ini benar, tentu membahagiakan. Bagaimana dengan lelaki. Nanti, makin produktif seorang pria, makin kemayu parasnya (celaka!). Tidak juga. Bukankah cantik bisa bermakna luas, termasuk untuk akronim berikut, Cantik = Cowok Anti Kekerasan….


Hari-hari ini mungkin jauh lebih mendesak, agar tradisi menulis makin dikebut. Berbagai fasilitas tersedia ---dan menuntut untuk menuang gagasan ke dalam bentuk teks. Teknologi memang mengambil alih tradisi kita, dari Diary ke Blog, dari surat pos ke email. Berkirim telegraf bahkan mungkin sudah punah di kalangan mahasiswa kos, karena cukup SMS dan tarik duit dari ATM. Dulu, kalau mahasiswa menunggu berita wesel dari orang tua, maka yang lebih dulu datang adalah selembar telegraf. Wahana bertiwikrama atau alihrupa. Tetapi gagasan yang dituliskan tetap harus berjalan. Maka menulislah.


Mengapa Diary?
Dunia mengenal Diary yang meledak. Seorang anak yang tinggal semasa rezim fasis Hitler, Anne Frank, menggugah dunia dengan catatan-catatannya. Ia menulis, “Kertas memiliki kesabaran yang lebih ketimbang manusia.” Sungguh, belum tentu ada manusia yang mau terus menerus menyimak keluh kesah, ratapan, atau malah sumpah serapah.

Tapi lembaran-lembaran Diary sanggup.


Sewaktu konflik di negara-negara Balkan meletus, ada seorang gadis bernama Zlata Ifipovich, ia korban perang yang meratap. Tulisnya: “Perang bukanlah lelucon, orang-orang membunuh, membakar, dan menghancurkan rumah-rumah. Sebuah tangis yang diikat dengan kata, bermakna begitu kuat.


Tapi Diary tak sekedar menampung cucuran kesedihan. Tapi ilmu juga.
Para ilmuan punya cara sendiri mengabadikan inovasi atau selaksa gagasan mereka. Konon, hingga hari ini terus berlangsung perburuan sengit terhadap “sisa-sisa” catatan pribadi dari Galileo Galilei, ilmuan jenius dari Italia. Lembaran-lembaran catatan itu diyakini menyimpan potensi sains yang tak ternilai.


Tak sedikit para punggawa ilmu yang mengakrabi aktivitas menulis Diary ---atau kalau istilah ini terlalu ngepop, bisa diganti dengan Catatan Harian. Salah satu contoh adalah apa yang dilakukan oleh Carl Gustav Jung, Psikolog yang menjadi mitra paling kritis terhadap Sigmund Freud. Rangkaian catatannya ini kemudian dibukukan sebagai Biografi atas dirinya sendiri, Biografi Jung.


Malahan seorang ahli biologi Bruce Frederick Cummings lebih terkenal berkat diarynya daripada profesinya. Sedari kecil ia sudah melakukan pengamatan terhadap hewan semut dan kadal di sekitarnya. Semua pengamatan dituliskannya secara detail di dalam buku Diarynya.


Diary bisa juga menjadi sarana untuk meletupkan pesan-pesan pemberontakan. Ini bisa kita longok terhadap orang-orang hebat di Indonesia yang (sayangnya) mati muda. Mereka adalah Shoe Hok Gie dan Ahmad Wahib. Dua buku, Catatan Seorang Demonstran dari Shoe Hok Gie, dan Catatan Harian Ahmad Wahib bahkan pernah menjadi literature wajib para aktivis. Pikiran-pikiran mereka sungguh berani ---melampaui zamannya. Karya adik Arief Budiman (Shoe Hok Gie) malah sempat difilmkan beberapa waktu lalu, dengan judul Gie.


Marshanda Diary
Menulis tentu saja berbeda dengan berteriak, memaki dan meliuk-liukkan tubuh seperti orang depresi. Segala gerak, teriak, dan aktivitas harus tercoding dalam teks. Proses ini yang sama sekali tidak instan, butuh kesabaran. Di sini justru kekuatannya. Ada tahap refleksi, artikulasi, dan penyaringan. Jika saja itu adalah pilihan Marshanda, maka ia tak perlu menguar-uar aib sendiri dalam situs Youtube. Kita memang tak tahu, apakah Marshanda punya Diary…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar