Senin, September 14, 2009

Para Penulis Buku Yang Aneh


JANGAN kira Aidh Al Qorni, penulis La Tahzan, kaya raya. Meski karyanya dibaca jutaan orang, diterjemahkan dalam puluhan bahasa, ternyata pendapatannya dari penerbitan edisi pertama saja. Ia, kalah gesit oleh kapitalis buku. Hingga tak menerima royalty dari buku-bukunya yang dijual di berbagai negara (terutama) Islam.

Tetapi “tragedi penulis besar” itu bukan kasus pertama. Barangkali mirip dengan para seniman, entah pematung, pelukis, atau para penemu teknologi modern sekalipun. Ada anekdot, para seniman yang kaya raya itu adalah (justru) jandanya ---maklum, ketika si seniman wafat, karyanya menjadi legenda, harganya melangit, dan yang mencicipi berkah adalah isterinya yang masih hidup.

Dunia memang unik. Dibalik riwayat nasib sengsara para penulis besar, ada juga yang dengan sengaja tak ingin namanya terkenal, meski karyanya dibaca jutaan orang dari masa ke masa. Salah satu yang patut disebut adalah Imam Syafii. Ini adalah Ulama Besar dikalangan sunni, segala litetarur fiqh (syariah) yang dialamatkan ke namanya, konon adalah sesuatu yang tak dia minta. Sang Imam malah berkata: “Seandainya bisa, aku ingin namaku tidak tercantum di sampul buku-buku yang aku tulis.”

Sulit dipercaya hari ini lahir sikap kesalehan radikal seperti itu. Tidak untuk periode salaf (awal-awal perjuangan Islam, di 2,3 abad Hijriah).

Tradisi keulamaan dalam sejarah Islam awal memang mengenal prinsip-prinsip kesalehan luar biasa. Ini bergulir dalam praktek-prakek sufistik, seperti zuhud (asketism), wara (kehati-hatian), ro’ja (berprasangka baik), dan banyak lainnya. Mereka mempraktekkan pula kaidah untuk membersihkan kalbu dari unsur-unsur ujub-riya-takabur (aroganisme), dan sum’ah (ingin terkenal). Sang Imam, dalam perihal buku tanpa namanya itu, agaknya sedang mempratekkan prinsip terakhir.

Suatu posisi yang diametral dengan fenomena kepenulisan zaman modern ini. Orang menulis karena ingin terkenal. Kemudian, bila bukunya laku, tentu mengharap royalty. Sesuatu yang sangat manusiawi. Dan barangkali dalam kondisi tertentu memang sangat dibutuhkan. Terutama bila kita membahasakannya sebagai bentuk apresiasi terhadap karya yang telah dilahirkan.


Orang-Orang Aneh
Tapi zaman selalu melahirkan gharaba (orang-orang aneh, yang menentang arus zaman). Bahkan kata Ali Syariati, menyebut perkara ini sebagai kewajiban. Lihat saja, bila dalam masyarakat ada orang-orang yang aneh, kritis, berani melawan wacana umum, maka biasanya dia yang paling mampu menggerakan perubahan.

Teori sosiologi juga mengenal konsep creative minority. Bung Karno, Bung Hata, Sjahrir, Tan Malaka, adalah creative minority pada masanya. Mereka adalah sedikit tokoh yang berpikir berbeda dibanding benak masyarakat Hindia Belanda tempo doeloe. Sejarah membuktikan, merekalah yang sanggup memerdekakan bangsa ini.

Siapa penulis-penulis yang aneh, nyeleneh, nyentrik, dan melawan arus zaman saat ini?

Lupakan dulu soal “menolak” penghasilan dari keuntungan menulis buku, perkara ini agak sulit dicari saat ini. Lain perkara bila yang kita tangkap adalah spirit untuk berani melawan arus. Untuk ini, harapan bisa bertaburan.

Pertama adalah dalam aras menciptakan budaya tanding. Andrea Hirata, Dhee, Ayu Utami, segolongan kaliber yang member makna baru. Mereka penulis aneh karena memperlihatkan kekuatan budaya tanding atas trend chick-lit, buku-buku pop, dan karya fiksi yang mengeksploitasi romantisme dramatis. Bila boleh, Habiburahman El Shirazy masuk kelompok ini pula. Setidaknya ia memperkuat dengan dalil dan referensi kesilaman atas dramatisasi percintaan.

Kedua, para penulis yang melawan monopoli penerbitan besar, yang dalam ranah industri musik disebut major label. Jangan sampai dunia perbukuan didikte oleh selera pasar ---yang sejajar dengan selera kapitalis industri buku. Buku bagus tak harus dari penerbit besar dengan tipe yang itu-itu juga. Tetapi juga bisa (dan harus) dari pojok yang lain. Maka kita pun mengenal penerbit-penerbit mandiri, self publishing, dengan sumber yang meruyak. Mulai dari koleksi pribadi yang difotocopy, sampai buku yang diterbitkan dari blog. Seorang penulis terkenal di bidang motivasi, Edy Zaques, malah menyambut gejala ini. Bahkan katanya, menerbitkan buku sendiri jauh lebih menguntungkan, bebas dari potongan dan “kecurangan”.

Ketiga, penulis buku yang membuktikan demokratisasi gagasan. Kini siapapun orangnya, bisa menulis buku laku. Penyandingan gelar tak berarti banyak mendongkrak kualitas dan sukses pasar. Porsi pembubuhan title seperti ini cocok disampul belakang, sebagai afirmasi telah dibaca oleh Profesor, Doktor, atau para seleb di bidang keilmuan. Lantaran sebagai penulis, belum tentu gelar-gelar mewah itu menjadi jaminan mutu.

Seorang pembantu rumah tangga di luar negeri, yang sering secara kasar kita sebut TKW sekalipun, sanggup menulis buku bagus dan diserap pasar dengan baik. Contohnya adalah Eni Kurnia, yang menulis buku Anda Luar Biasa. Pengalaman akademik memang alat bantu saja, yang lebih penting adalah kegigihan. Olehnya, anak kecil atau remaja belia sekalipun, bila mau, bisa membuat karya pustaka.

Bukankah nikmakat bila fenomena seperti ini meledak? Pilihan makin banyak. Perang gagasan pun kian marak. Lebih penting lagi, peluang menciptak buku kian terbuka. Besok-besok, siapa tahu, andalah salah satunya (yang memberi warna pada kemajuan perbukuan kita). Semoga....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar