Kamis, September 10, 2009

Hikayat Seekor Lalat dan Buku Agung


Bahkan seekor lalat mampu berperan dalam kelahiran sebuah literatur klasik yang terkenal hingga detik ini, baik di kalangan Muslim atau mereka-mereka yang tertarik dengan sejarah Islam.

Syahdan, ketika Imam Al Ghazali menulis kitab Ihya Ulumudin, sempat tersela oleh hinggapnya seekor nyamuk di ujung penanya. Harap ingat, pena Jadul (zaman doeloe) bukan Du Pont atau Pilot seperti yang kita kenal sekarang. Mungkin lebih mendekati ini: sebatang bulu angsa yang diisi dengan tinta. Nah, si lalat pengganggu itu hanya sekedar melakoni instink hewaninya, menganggap isi pena sebagai darah...

Sang Imam membiarkan mahluk kecil itu. Padahal jika mau, sekali kibas umur si lalat langsung tumpas. Di sini faktor keimanan yang bermain: bahwa sesama mahluk Allah tak boleh saling bunuh. Oleh karena pilihan bijak ini, menurut beberapa atsar Ulama, Imam Al Ghazali naik derajat. Allah meninggikan statusnya di antara kaum Muslim. Lalu kita mengenal dengan bangga, sebuah Kitab Ihya Ulumudin, yang disebut-sebut sebagai magnum opus (karua luar biasa) dalam khasana literatur ke-Islam-an.

Mudah-mudahan petikan kisah ini cukup pantas guna mengawali serentetan cerita menarik di balik lahirnya buku-buku besar. Dengan terlebih dahulu memuat pesan pentingnya, bahwa karya-karya yang berpengaruh sepanjang zaman itu tidak selalu lahir sendiri. Melainkan ada berbagai sumbangsih (besar atau kecil) dari orang-orang di sekeliling. Bahkan juga peran dari mahluk lain.

Sebuah buku memang tidak dari langit. Kehadirannya juga tak bisa dipesan cepat sebagaimana meminta Bang Agus membuat martabak telur. Ada proses yang berjalin berkelindan, interaksi dan pergumulan dari waktu ke waktu. Perkara ini tercermin, misalnya, dari buku Das Capital-nya Karl Marx atau The Origin of Species-nya Charles Darwin. Dua pemikir hebat ini mendapat bantuan penting dari kawan-kawannya, baik teman dekat atau kolega dari jauh.

Namanya Frederich Engels, dan dia yang memberi support materi terhadap Karl Marx, selama nama yang terakhir ini sibuk meriset di perpustakaan. Beberapa kalangan malah curiga, kalau-kalau buku Das Capital tak lain adalah pesanan Engels. Berlanjut ke tokoh lain, Charles Darwin, perumus teori Evolusi. Mari lihat penggunaan kata "perumus" di kalimat barusan. Sengaja memang tidak ditulis dengan kata "penemu". Lantaran sejatinya Darwin berhasil merumuskan teori evolusi, dia bukan satu-satunya orang yang menemukan teori yang membuat marah penganut agama fanatik, di Islam, Kristen, atau Yahudi sekalipun. Artikel ini tak berpanjang debat tentang kerumitan Das Capital atau Charles Darwin. Semata mengingatkan ada pihak lain yang berperan. Charles Darwin, ketika menyusun teorinya, mendapat sumbangan materi ilmiah hasil temuan lapangan di Molucas (Maluku), dari seorang periset bernama Wallacea.

Debat memang bisa dibuka tentang "seorang jenius dengan buku hebat" dan sumbangsih orang-orang di sekelilingnya. Sebelumnya, mari telusur informasi berikut.

Saya pernah membaca di buku-buku motivasi. Ketika Nathaniel Harthow menulis The Scarlett Letters, nyaris frustasi, ada isteri yang memberi dukungan menggebu, agar novel itu dituntaskan. Begitu pula, kata sahibul hikayat, tentang lahirnya novel Gone With The Wind. Omong-omong, bukankah Andrea Hirata tak berniat menerbitkan bukunya (tetralogi Laskar Pelangi), melainkan kawannya sendiri yang mengirim naskah dahsyat itu ke "pabrik" buku? Dari panorama yang sewarna, J.K. Rowling pun bisa digolongkan dalam kasus yang mirip. Saya hanya membayangkan, seandainya penjaga Cafe itu seorang yang garang dan mengusir Rowling karena kebiasaan duduk berlama lama hanya dengan pesanan murah: setengah cangkir kopi. Kala itu, ia belum kaya raya, masih miskin dan hanya mampu pesan kopi setengah gelas. Paling jelas, ada kemungkinan spekulatif di sini, bahwa ide Harry Potter berkembang biak dalam lamunan Rowling di (salah satunya) Cafe itu. Meskipun ide kuat Harry Potter terumuskan dalam perjalanan di sebuah gerbong kereta api.

Barangkali lebih tepat membuat posisi cocok, di mana dan sejauh mana peran orang-orang di sekitar penulis-penulis hebat. Agar kita ingat dengan persis, bahwa talenta dan kegeniusan tak berarti apa-apa bila "tak ada atmosfir dan pertolongan yang tepat".

Ini dikuatkan oleh dalil sebuah buku baru, yang diterbitkan Gramedia tahun ini, berjudul The Outlier, karangan Malcolm Gladwell.Dengan berani Gladwell membuat klaim: bahwa para jenius sekalipun membutuhkan kesempatan untuk besar dan bantuan yang disebut sebagai "kecerdasan praktis". Frasa kecerdasan praktis mengacu pada kemampuan membaca situasi dan mendapatkan apa yang diinginkan. Dan hal ini hadir dari orang-orang di lingkungan tempat si jenius tinggal.

Mari berkhayal, dengan sedikit contoh soal pilihan ganda. Pertanyaannya adalah: Bila Kaka Kaladze (bintang Real Madrid yang tampan) atau Maria Sharavova (petenis cantik) lahir dan besar di Jakarta, akan jadi apakah ia? Jawaban yang tersedia:
a. Menjadi atlet dan olahragawan besar
b. Menjadi bintang sinetron dan bintang iklan
c. Menjadi foto model
d. Menjadi pembawa acara acara konyol di televisi...

Tolong jawab dengan jujur. Bukankah gampang saja kita memilih butir b, c, dan d untuk jawabannya?

Kalau poin a yang anda abaikan, berarti kita sepakat. Bakat besar, talenta luar biasa dan sesuatu yang bernama kejeniusan, hanya salah satu faktor di luar faktor-faktor lain.

Rumusan pendeknya adalah gampang. Lingkungan yang cocok, orang-orang yang memberi semangat, kehadiran materi yang dibutuhkan, menjadi unsur penting dan penentu dari lahirnya karya-karya agung. Karl Marx bahkan mengatakan pikiran seseorang ditentukan oleh benda-benda material di sekitarnya. Jangan harap, mungkin bisa dibilang begitu, lahir Michael Jackson di lingkungan yang kecanduan musik keroncong atau dangdut.

Olehnya, saya wanti-wanti. Mungkin kebanyakan kita tidak jenius, biasa-biasa saja. Tetapi bukan berarti kesempatan kita hilang sama sekali. Posisi sebagai penolong, pembantu, pemberi kontribusi pada lahirnya buku (atau karya apapun) bukanlah sesuatu yang hina. Bahkan bisa jadi (ter)amat penting. Siapa tahu, kita menjadi penolong untuk teman, keluarga, kenalan, anak, isteri, atau atasan kita, dalam merumuskan sebuah buku yang bagus. Semoga....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar