Selasa, September 08, 2009

Bahwa Indonesia Masih Butuh Buku


Anda mungkin sering mendengar, eksekutif perusahaan raksasa di Eropa atau Amerika yang melakukan “bunuh diri status”. Menanggalkan rutinintas kerja bergelimang dollar, pergi ke belahan dunia nun jauh, ke Etopia, Somalia, atau puncak Himalaya sana. Tak jelas benar apa yang dicari. Namun luar biasa adalah hasil dari yang mereka kerjakan.

Lihatlah Jhon Wood, pejabat pemuncak di kerajaan (atau imperium) Bisnis Microsoft. Bagi kebanyakan kita pilihannya lebih patut disebut kurang waras. Dalam buku hariannya, Leaving Microsoft to Change the World, memilih dengan tegas: ke luar dari pekerjaan yang telah memberi segalanya, untuk kemudian bergumul dengan kaum papa di pegunungan Nepal. Ia, dengan falsafah Tujuan berani akan mengundang orang-orang yang berani, kemudian berhasil membangun ratusan perpustakaan lengkap dengan ratusan ribu buku ---ya, yang Jhon Wood lakukan adalah mendirikan perpustakaan dengan makna yang sebenar-benarnya (bukan papan nama bagus tapi kosong).

Tetapi senyatanya negeri inipun tak berarti sepi dari manusia-manusia berobor dedikasi. Tatkala Tsunami menghumbalang dan menghempaskan setiap pojok bumi Nangroe Aceh Darussalam, para musisi kawak unjuk muka. Melalu konser amal, Iwan Fals dan Grup Band Slank berhasil mengumpulkan Rp. 3,3 milyar, sebuah jumlah yang mampu membangun kembali perpustakaan Aceh yang tumpas. Lengkap dengan bangunan baru dan tiga ratus ribuan eksemplar buku.

Begitu juga gaya hidup Jakarta. Bukan pemandangan ganjil menemukan kotak sumbangan buku, di pintu masuk restoran, lantai Mall, atau bahkan kantor Partai Politik (dan ini sedikit melenyapkan rasa sumpek kita melihat pemandangan kotak amal lain untuk tujuan yang itu-itu juga).



Penyemangat
Sayangnya belum lahir rallying point, tapping point atau penularan efek, untuk kasus-kasus heroisme di dunia perbukuan kita.

Aneka bahasa penyemangat, tema kampanye, “hikmah pejabat” dalam prosesi upacara bendera di kantor pemerintahan, belum benar-benar menolong untuk posisi akut perbukuan kita. Bila statistik berikut ini berbohong, itupun tak berarti kabar bagus. Data Bank Dunia menyebutkan rasio jumlah buku dengan populasi kita adalah jomplang. Begitupun dengan kabar gembira tentang tingginya tingkat melek hurup (mengecilkan jumlah buta hurup), tak beriring dengan jumlah produksi plus konsumsi buku. Aneh, bila alasan daya beli yang dijadikan ganjalan. Coba bandingkan, di pelosok kampung sekalipun begitu mudah mencari gerai Hape guna membeli pulsa, tapi tak begitu untuk mencari loper koran… dan jangan bilang mencari perpustakaan.

Dan untuk “jamaah Ahlul Hisapiyah” maaf saja: berita penjualan PT Bentoel Internasional cukup mengejutkan. Mereka mengaku tahun 2008 lalu berhasil menjual 3.000.000.000 batang rokok di dalam negeri. Belum lagi perusahaan lain, PT. Sampoerna, Gudang-Garam, dan silahkan tambah sendiri. Berapa puluh milyar batang? Andai uang yang dibakar itu teralihkan untuk buku….

Harus mulai dari mana? Sedangkan mayoritas penduduk negeri ini yakin bahwa wahyu pertama Al Quran berbunyi IQRA, bacalah. Bahwa penaklukan Tarikh Bin Jiyad di Bumi Andalus (Spanyol) berlanjut dengan pembangunan perpustakaan akbar, di Grenada, Sevila dan Cordoba. Bahwa yang disebut ulama salaf adalah mereka yang mampu menulis, menyalin, menerjemahkan ribuan suhuf, lembar-lembar papyrus yang ditulis tangan seraya menghasilkan karya setebal bantal semen.

Bila itu terlalu jauh, ada teladan yang melekat dalam riwayat republik. Betapa Muhammad Hatta harus rela lubang hidungnya menghitam, lantaran membaca dengan ditemani lampu minyak tempel. Atau Bung Karno, yang untuk mengumpulkan bahan debat tentang keruntuhan Dinasti Usmaniyah di Turki, perlu memesan ratusan buku, langsung dari negeri Kemal Attaturk sana? Tetapi hari ini, malah tak terdengar politisi yang prihatin tentang isu buku. Tak ada demonstrasi aktivis mahasiswa yang protes karena kampusnya tak punya perpustakaan bagus.

Tak Perlu?
Keprihatinan layak lahir karena atmosfir Indonesia terasa kering gagasan. Lebih-lebih dengan kemajuan sains, teknologi informasi, dan gurita bisnis. Posisi kita hanya menjadi pengimbang rezim pasar, dalam margin konsumen-user. Rantai kemajuan pasar, yang terdiri dari produsen, distribusi, dan konsumen, bergerak beriringan. Tetapi locus kita tak pindah, di rantai terakhir saja. Seolah kemajuan millennium kedua ini (di benak kepala kita) lepas sama sekali dari faktor buku. Padahal senyatanya tidak. Tengolkalh Singapura, China, India, yang berhasil membangun basis kedigdayaan sains karena berhasil mengembangkan pendidikan bermutu, berbasis buku.

Kalau pengamat di negeri ini begitu pasih mengurai tentang berbagai keboborokan negeri, maka mereka hanya ngoceh di televisi. Lupa menulis buku ---kalaupun ada, kelasnya adalah a half book, kumpulan tulisan yang disabet dari sana sini. Bukan buku utuh.

Berikut secuplik bukti. Tentang keunikan Indonesia, perkara kerusuhan, gonjang-ganjing politik, budaya, ekonomi dan sosial, telah melahirkan ratusan buku, puluhan grand theory, dan adagium besar di blantika ilmu pengetahuan dunia. Margaret Mead terkenal karena teori post figurative, yang berdasarkan pada fakta budaya Hindu-Bali. Begitu juga Cliford Geertz, yang bukunya menjadi magnum opus (literatur agung) karena meneliti keunikan Santri-Priyayi-Abangan di Mojokuto, Jawa. Termasuk Julien Benda yang mengamati ketertinggalan Negara dunia ketiga, termasuk Indonesia. Nah, adakah lahir teori-teori besar dan buku laku, hasil riset tentang fenomena terorisme di Jakarta?

Saya menjadi curiga bahwa ratusan kampus, ribuan doktor, dan serombongan pengamat, juga masih berposisi sebagai konsumen buku. Belum sanggup menulis Indonesia dengan selengkap-lengkapnya. Kemampuan kita, jujur saja, masih dalam kategori buku-buku popular segolongan chick lit, buku kompilasi, dan psikologi how to…. Begitulah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar