Jumat, September 11, 2009

Tak Lagi Benci Buku Buku Psikologi


Bertahun-tahun merasakan bernafas dengan kebencian. Terutama terhadap buku-buku Psikologi Populer, dengan judul aneh-aneh, ilustrasi semarak, dan kutipan-kutipan berbahasa melangit.

Kejengkelan kian klop, manakala buku genre How To itu sering mengekor buku-buku lain yang sejenis (dan sukses di pasar). Karena yang laku adalah The Secret-nya Rhonda Bryne, maka penulis lain gegabah mencantumkan istilah serupa di depan judul bukunya sendiri. Mereka para epigon di ranah intelektualitas.

Satu dua, ada juga yang mengundang minat baca, tapi itupun harus sesuai kategori buku bagus yang telah terjangkar di benak belasan tahun. Syaratnya: buku tebal, penulis luar negeri, dan banyak catatan kaki ----sebagai karakter buku ilmiah. Tapi belakangan ideologi itu merapuh (tak benar-benar hilang, tapi nyaris tanpa bekas).

Padahal khasanah pustaka yang memberikan motivasi dan melentingan daya juang itu tak salah-salah amat. Selain “berhasil” memprovokasi pembacanya, juga menjadi agen yang mempopulerkan istilah-istilah keren dalam ranah psikologi. Di ujung teratas, menggiring publik untuk sesering mungkin memakai kata positif thinking. Lalu diikuti oleh lema yang lain, seperti mind set, mind map, mental block, spirituality, the secret of…., dan lain-lain.

Ketidaksukaan itu mungkin berlatar agak rumit. Dulu, waktu kuliah dan berkenalan dengan buku, saya jatuh pada tangan senior yang sombong-sombong. Mereka akan memandang hina buku-buku yang tidak berbau ilmiah. Koleksi para senior di kampus dan di organisasi kemahasiswaan itu melulu pada referensi tentang politik, filsafat, ekonomi, dan sastra ----tapi sastra kritis, biasanya beraliran kiri. Daftar tambahan di rak buku para senior itu paling jauh adalah buku-buku “terlarang” di era orde baru. Dari merekalah saya bersentuhan dengan Madilog Tan Malaka, Tetralogi Buru Pramoedya Ananta Toer, dan Bayang-Bayang PKI terbitan Majalah Tempo.

Dengan hakul yakin saya ikut selera mereka. Dan memang konteks politik saat itu agaknya harus begitu. Setiap buku harus menghadirkan energi perlawanan dan sumber inspirasi dalam menggugat rezim Orde Baru. Seingat saya, jarang ada tradisi seperti sekarang, di mana buku-buku genre pop, dan psikologi praktis (berlabel panduan sukses atau jadi kaya raya), mendominasi pasaran perbukuan. Singkatnya, saat itu belum ada Robert T Kiyosaki yang berkibar dengan Rich Dad, Poor Dad, atau sejenisnya. Paling-paling, ya, tak jauh dari Dale Carnegie, Daniel Goleman, atau Steven R. Covey.

Sialnya nafas kebencian itu terlalu dalam ---pantas saja Al Quran mengingatkan agar kita berperilaku adil, bahkan terhadap musuh-musuhmu, atau jangan terlalu membenci, bisa jadi itu adalah yang baik buatmu! Tak luruh ketika beberapa kali bersikutat dengan buku-buku begituan. Ketika tergeragap takjub dengan Chicken Soup for People, misalnya, saya tak segera tersadar bahwa buku-buku populer itu juga penting.

Namun belakangan ini harus menyerah ----tetapi dengan senang hati, disertai seulas senyum. Anda Luar biasa! Itulah buku sederhana yang ditulis oleh seorang perempuan eks TKW di Hongkong, yang tak pernah kuliah, tetapi bisa menulis buku best seller. Atau pernah membaca sebuah ulasan di internet, tentang penulis buku dan motivator handal yang ternyata pernah berkubang sebagai pecandu narkoba. Fakta ini membuat terhenyak, di luar bayangan yang terhunjam dalam memori sejak lama. Bahwa penulis buku hebat adalah berlatar kuliah bermutu dari kampus ternama, dan juga orang “baik-baik”.

Lebih membuat bertekuk lutut, adalah buku-buku fiksi (tak selalu novel, tapi inspiratif) yang saya candui belakangan ini. Buku-buku tersebut menggugah bukan karena berjudul dahsyat, atau mengutip komentar para tokoh dengan iming-iming norak, dan tidak juga menawarkan janji melambung. Datar saja, tapi padat, kaya, dan lebih penting berlatar sejarah (baik sejarah pribadi, komunitas, atau bahkan perjalanan sebuah bangsa).

Pertama saya se The Swordless Samurai. Mengisahkan tentang pria buruk rupa, pendek, anak petani miskin, dipanggil orang lain dengan sebutan hina: monyet! tapi sanggup menjadi wakil kaisar…. Pria kumal itu bernama Hideyoshi.

Berikutnya City of Joy, karangan Dominique Lapiere, tentang sikap hidup orang-orang nestapa. Buku ini jatuh di tangan penerjemah yang pas, pejuang kaum miskin kota di Jakarta, yaitu Wardah Hafidz. Buku menutur perjuangan ---lebih tepatnya pergulatan hidup--- orang-orang miskin papa di Calcuta, Anand Nagar atau Negeri Bahagia. Di sana bertabur “lilin semangat” bahwa hidup yang getir tak berarti harus terus menerus diratapi dengan tangis. Kemiskinan dengan martabat… Kata pepatah India, persetan dengan kesengsaraan asalkan kita bersama-sama menanggungnya.


Terakhir, buku Footnote, Hidup Tanpa Batas, oleh Lena Maria, tentang otobiografi seorang gadis cacat fisik (tak punya tangan, dan kaki panjang sebelah), tetapi mampu membuat serentetan prestasi gemilang. Ia menang dalam olahraga renang di olympiade, pandai main piano, hobi melukis, dan melakukan konser di puluhan Negara di dunia…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar