Selasa, Juni 08, 2010

Luna, Ariel, Cut Tari, dan Suguhan Ala Junkfood


Tragedi besar Luna-Ariel-Cut Tari adalah betapa besar jumlah orang yang menyantap tragedi itu. Betapa besar pula volume pemberitaan menggerojok tiada henti. Meski belum pasti, kita bisa mengira-ngira betapa super besar keuntungan di industri media atas isu sensitif ini. Sudah pasti adalah: betapa besar kerugian tiga pesohor kawak itu. Luna bahkan hilang dari Variety Show Dahsyat ---dan terpaksa membuat surat ke Unilever.


Bahkan setelah dua pekan, koran-koran meramu penjudulan tanpa habis kata-kata, olah respon para pengikut Tarekat Al Facebookiyah, hingga guyonan di gedung-gedung perkantoran. Batas akhir pergosipan Luna Ariel Cut Tari, mungkin hanya ada di tempat sujud!


Tetapi tentu di sana tak ada kaitan dengan kualitas diskusi dan harga sebuah pertukaran informasi. Asumsi bahwa ledakkan sebuah isu selalu membuncratkan hikmah (mari kita petik hikmahnya, kurang lebih begitu komentar para Ustadz), sama sekali tak ada tempat dalam perkara ini. Belakangan muncul Farhat Abas, pengacara perlente yang doyan gonta-ganti isteri, membawa isu hukum dan moral. "Ah", kata sebuah komentar di detikforum, "urusin aje bini elo!"


Dalam pededahan konsep komunikasi massa, inilah yang disebut dengan "voyeurism syndrome".


Masyarakat yang getol mengulik noda cela orang lain. Terhipnotis oleh privasi yang ditutupi ---lalu kemudian tersembul ke mata publik. Mengintip, mencuri dengar, lantas menguar-uarkan pelbagai aib kehidupan antar sesama. Boleh saja berdalih membela, atau misalnya memaklumi: bahwa di manapun fenomena "mengulik aib" selalu ada. Entah di pedalaman Papua, hingga ke ke kutub utara sana. Iya, barangkali Tuhan pernah menitipkan naluri purba untuk "mencuri" seraya menyantap tragedi orang lain. Normal-normal saja.


Menjadi absurd adalah ketika gigantisme tak terbendung. Volume pemberitaan, frekuensi penyiaran, dan kuping kita yang nyaris budek atas "tragedi" Luna Ariel Cut Tari, benar-benar merembes melewati takaran. Sebentar, lalu apa tapal batas normalitas dalam overpublisitas sebuah isu?


Luna-Ariel-Cut Tari adalah Man/Woman Makes News, para pesohor yang warna kaus kakinya pun layak ditulis oleh seorang reporter (terserah akan digunting editor atau dipampang di halaman muka surat kabar). Mereka adalah sejumlah tokoh dengan kelas extra ordinary person (orang-orang yang luar biasa dari sisi potensi jual berita). Rumusan itu hanya perlu satu cantolan sederhana, with ordinary circumtances (sesuatu yang biasa-biasa saja). Reporter amatiran yang baru dua minggu magang sekalipun akan mahfum, bahwa orang-orang tenar, dengan kejadian kecil sekalipun, toh akan tetap bernilai berita. Itulah kemudian mengapa artis menyumbang menu buka puasa di Panti Asuhan diberitakan berulang-ulang (padahal orang lain melakukan lebih sering dan lebih ikhlas daripada artis yang hanya berjilbab di bulan puasa, lantas pamer sedekah!). Orang biasa jangan masuk media, barangkali begitu singkatnya.


Hitung-hitungan menjadi sederhana jika "insiden" Ariel-Luna-Cut Tari selesai di situ. Apalagi di sebuah era ketika NEWS, bukan lagi berdefinisi North, East, West, and South, sebagaimana definisi klasik, yang kurang lebih mengartikan berita sebagai segala sesuatu kabar yang berhembus dari Barat, Timur, Utara dan Selatan. NEWS, di era showbiz dan penghambaan terhadap gaya hidup adalah berarti Names (big names), Entertaint, Womans (Luna dan Cut Tari ada di situ), serta SEX or Sport. Menakjubkan! Ariel-Luna-Cut Tari berada dalam orbit sedemikian. Mereka punya nama beken, terlibat dalam panggung hiburan, dua diantarnya adalah perempuan cantik, dan terlibat dalam "sesuatu" yang terkateogi Sex... Hanya unsur Sport yang hilang.



Mohon permisi untuk menambahi satu lagi teori: segala apa bidang pergosipan memang laku bila pangsa pasar menghendaki. Christianto Wibisono punya istilah bagus, readibilitas (kecerdasan membaca berita), di masyarakat kita terbilang payah. Kecerdasan bermedia (media literacy) juga kendor. Bila saja dibikin adonan, maka publik pembaca yang lumpuh daya kritis itu adalah tepung terigu yang pas untuk kue gossip di televisi dan koran. Lalu minyak goreng yang dipakai adalah "waktu santai" yang begitu panjang ----milik publik pemirsa di Indonesia.


Nah, leisure time atau waktu luang yang begitu leluasa, menyebabkan orang-orang menyergap isu sampah sekalipun di televisi. Ini terjadi di kalangan bawah, atau kategori D, untuk pemirsa tivi, dengan karakter: (1) pendidikan rendah; (2) penghasilan rendah; (3) produktivitas rendah; dan (4) penghasilan rendah. Ini bukan prasangka, tapi parameter dalam riset penonton. Empat karakter itu hanya sedikit punya peluang untuk menikmati hiburan, dan yang tersedia tanpa batas adalah pergosipan ala infotainment.


Sialnya, di Indonesia, kalangan terdidik dan makmur sekalipun tak lepas dari penyakit "lahap isu" ini. Mengapa? mereka punya leisure time yang tinggi pula. Nongkrong di cafe, ngobrolin artis. Jalan-jalan ke mall, beli media hiburan. Di kantor, "ssst, hebat ya, Ariel? Leisure time yang bercokol sebagai Pleasure Time. Cucok, brow!


Maka betapa gegabah jika kemudian persoalan digiring untuk menghukum Luna, Ariel dan Tari. Hukumlah diri sendiri. Dengan cara-cara lunak, tentu saja. Misalnya dengan memotong jam nonton televisi. Misalnya dengan menukar koran kuning ke koran serius. Misalnya dengan mengganti topik obrolan yang rada bermutu. Jika tidak, seorang dokter yang 1x24 jam praktek di laboratiorium tertutup sekalipun pasti kena imbas, jika para suster perawat cekikikan melihat video tiga artis itu di layar handphone. Hukumlah diri sendiri, untuk tidak menularkan gosip tak perlu ke orang lain.


Ujung keruwetan adalah kecerdasan bermedia (media literacy) yang sama sekali tak nampak dalam pengalaman Indonesia sejak awal hingga kini. Kita adalah pemirsa yang tidak siap. Lantas itu pulalah yang sengaja dipelihara para pemain di industri media. Dengan suguhan-suguhan ala junkfood (menu tak sehat rendah gizi).


Akhirnya, Ariel-Luna-Cut Tari adalah trigger (pelatuk peristiwa). Bila melihat respon ketiga pesohor itu, sama sekali tak ada niatan mereka menikmati overpublisitas yang bertendensi notorious (terkenal karena buruk!). Sama sekali tidak. Mereka, dalam konteks ini, sama sekali tak berdaya menghadapi "kapal keruk" milik pemburu berita. Disertai sorak-sorai para pemirsa. Kata orang palembang: Kejam nian!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar