Rabu, Juni 16, 2010

Twitter, Era Baru Kecerdasan Berkomunikasi


Sebutan Trending Topics di Twitter agaknya segera menjadi frase baru dalam khazanah jurnalistik mutakhir. Dulu, betapa ribet mengukur kadar popularitas sebuah isu atau topik. Kini, hanya dalam hitungan menit yang sedang berlangsung, kuantitas respon publik segera terbaca. Dengan perincian yang saklek: berapa ratus ribu follower yang menanggapi. Bahkan juga dengan melihat profil pengguna Twitter, apakah segmen anak muda, atau bahkan A-B-G saja.



Lalu apa pelajaran yang bisa dipetik? Mudah saja. Ratusan ribu penanggap isu adalah "respon konkretl" atas harga popularitas sebuah isu atau topik. Ditambahi dengan kategori tanggapan yang muncul, positif atau negatif. Dan pihak yang harus merasa malu atas "komentar massif" dari Trending Topics di Twitter adalah para opinion leader (atau yang merasa dirinya tokoh publik). Mereka bisa dengan mudah dicaci atau dipuji...


Seperti Dedy Corbuzier yang menjadi bulan-bulanan aktivis Twitter, karena aksinya di RCTI malah dianggap menggangu kedahsyatan Pembukaan Piala Dunia di Afrika Selatan. Begitupun tentang simpati pengikut di Twitter terhadap kekuatan Cinta Pak Habibie (uniknya, justru bersumber dari Twitter milik ABG). Bercerminlah ke Twitter.


Bagaimana pula makna tambahan dari fenomena publik yang "berkicau" via Twitter?


Meski agak membosankan, namun tetaplah perlu menelisik ke sejarah lama. Bahwa sesungguhnya, ramalan tentang ledakan partisipasi publik dalam merespon sebuah isu, telah hadir jauh-jauh hari. Bahwa sejatinya, interaksi sosial tanpa batas di situs jejaring sosial (Twitter, Facebook, atau yang lainnya), juga menjadi bagian dari nubuat para pakar komunikasi massa tempo doeloe. Jika diperas dalam satu kalimat, maka fenomena publik yang "berkicau" via Twitter, adalah seperti ini: Wellcome The Global Village, The Borderless Age, The World is Flat. Semuanya, jika di Indonesiakan adalah kurang lebih: selamat datang komunikasi cara baru! Yang tidak mengenal batasan dan (barangkali juga) aturan-aturan.




Barangkali butuh penjelasan. Marshal Mc Luhan, dalam buku The The Gutenberg Galaxy: The Making of Typographic Man (1962), menyebut Global Village sebagai kampung global, di mana interaksi dan komunikasi antar sesama manusia berlangsung begitu mudah, seperti layaknya di pedesaan dan perkampungan. Sementara The Borderless Age, seperti dijelaskan Nicholas Negroponte, dalam buku Being Digital, adalah runtuhnya batas-batas geografis dalam berkomunikasi. Sehingga, kata Nicholas, Teknologi digital dapat menjadi kekuatan alami untuk mengajak orang ke dalam dunia harmoni yang lebih besar. Sejumlah nubuat itu memang terkesan optimis. Meski ada pula pengingatan dari seorang Alvin Toefler, bahwa revolusi komunikasi dan informasi (yang saat ini mewujud dalam media internet), akan membawa sebuah kejutan... kejutan budaya alias cultural shock!


Debat teoritik memang bisa berpanjang lebar. Akan tetapi rahasia paling penting adalah ini: runtuhnya tirani monopoli isu. Era digital melalui wahana internet dengan sungguh-sungguh memperlihatkan bahwa sumber informasi tidak lagi monolitik dan seragam. Melainkan mudah pecah dan tercerai berai. Hingga itu, bahasa bahwa Knowledge is Power (pengetahuan itu adalah kekuasaan), butuh penerjemahan ulang. Kekuasaan atas informasi, saat ini, bukan lagi sebagai sarana penakluk. Melainkan cukup sebagai referensi saja. Pasalnya, bagaimana mungkin orang berkuasa mengendalikan informasi, jika "tak satu pihakpun" takluk di dalamnya?




Kecerdasan Berkomunikasi
Trending topics di Twitter, sejatinya, justru mengingatkan para pem-besar di manapun, untuk hati-hati menggelontorkan informasi. Karena tak ada lagi yang bisa didiktekan. Karena tak ada lagi keseragaman. Karena tak ada lagi persetujuan yang sifatnya pasif. Ratusan ribu pengikut di Twitter adalah para persona yang berani berekspresi sebebas-bebasnya. Para pihak yang selama ini menikmati posisi sebagai opinion leader (pengemuka pendapat publik), sebaiknya memiliki formula baru agar tak menjadi bahan olok-olok. Milikilah kecerdasan berkomunikasi! Setidaknya, dengan tidak mengeluarkan pernyataan norak atau merendahkan nalar publik.



Sedikit tentang prototype Twitter. Teknologi ini terbilang paling bungsu. Sama belaka dengan yang sudah-sudah (Facebook atau Friendster), sebagai sarana interaksi sosial di dunia cyber. Twitter layak bincang dari aspek kecerdasan berkomunikasi karena memang dirancang secara khas, yaitu simple dan spesifik. Twitter adalah blog mikro yang tidak ribet. Tanpa fasilitas untuk video atau rekaman suara. Daya tampung untuk berekspresi pun terbatas, cukup 150-an karakter saja. Entah sengaja atau kebetulan, ini sejalan dengan kecerdasan komunikasi di era digital ini, yaitu singkat, padat dan langsung. Tanpa basa-basi komunikasi atau bahasa bersayap banyak.

Kontra Budaya Digital
Kalaupun harus pesimis, maka tak lain adalah dalam perkara daya dukung dan cara pemanfaatan Twitter di negeri ini. Fenomena Twitter justru hadir di tengah berbagai paradoks yang lazim berkembang di Indonesia. Bukan lagi rahasia, di saat segalanya butuh kecepatan dan akurasi, budaya kita justru terhambat dengan "rantai panjang segala urusan". Birokrasi yang begitu berjenjang. Urusan yang mudah dibuat rumit. Penyakit kronis itu bukan hanya berlaku dalam instrumen fisik atau budaya kerja semata, tetapi juga di lingkup budaya komunikasi.



Kecerdasasn berkomunikasi dalam kultur kita disergap oleh efek buruk budaya massa, yang semata-mata berurusan dengan hiburan, gaya hidup dan abai terhadap fungsi-fungsi prioritas.


Perangkat canggih dalam komunikasi massa belakangan ini, seolah-olah adalah hadiah yang bisa dimainkan seenak hati. Internet, yang melahirkan Facebook, Twitter, Blog, dan lain-lain, juga hadir dalam posisi manusia Indonesia sebagai homo luden (mahluk yang senang bermain). Maka yang bermunculan adalah video porno, gosip perselingkuhan, penipuan, atau informasi-informasi terkategori pembodohan publik.


Ini benar-benar berseberangan dengan etos budaya digital yang dikibarkan oleh para penemu di Silicon Valley (AS) sana. Budaya digital menghendaki adanya kultur serba cepat, praktis, cerdas, simple, dan tidak bertele-tele. Artinya, interaksi dan komunikasi antar manusia harus memasuki fase elektronis dan meninggalkan tabiat mekanis atau manual (yang berproses secara lambat).


Kita bercermin dalam ukuran sederhana, dalam panggung komunikasi publik di media massa, mulai dari polah selebritis, tingkah politisi, ataupun ragam kelakuan para penguasa. Mereka masih mempertontonkan budaya kontra digital. Jika berbahasa, atau mengeluarkan pernyataan, maka selalu dengan bahasa bersayap yang tidak tegas. Atau dalam istilah Tjipta Lesmana, seorang pakar Komunikasi Politik dari Universitas Indonesia, budaya komunikasi di Indonesia adalah budaya komunikasi konteks tinggi, karena selalu sukar dipahami.


Contoh kongkret, hingga hari ini, publik masih heran dan sebal, kasus rekaman hot Luna Maya masih harus disebut dengan kata "mirip" Luna Maya. Betapa samar dalam bahasa, tetapi telanjang dalam adegan! Di ranah politik juga begitu. Betapa butuh waktu hampir satu bulan untuk Anas Urbaningrum, padahal urusannya simple saja, membuat pengurus baru DPP Demokrat. Budaya manual yang kontra digital, juga terlihat dalam kasus-kasus lain di negeri ini: pemilihan Ketua KPK, pengusutan Bank Century, dan yang lain-lainnya.


Jika begitu, maka teknologi Twitter hanya habis dalam "kicau" para pengikutnya. Sekedar men-twit, dan selesai di situ. Tidak ada respon atau budaya cepat tanggap yang menyertai sikap para tokoh publik di negeri ini. Akhirnya, Fenomena Twitter, hanyalah era baru berkomunikasi yang minus kecerdasan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar