Jumat, Juni 11, 2010

Sepakbola, The Art of (im)possibility


"Juara atau mati!" Ancaman serius bin angker ini dikirim seorang Diktator Fasis bernama Benito Mussolini. Dikirim via secarik faximile, ke tangan kapten Tim Kesebelasan Italia, yang akan bertanding di Partai Final melawan Cekoslovakia. Karuan, para pemain berkeringat dingin.

Tak ada "kamus" main-main dalam dari sesosok Il Duco Mussolini. Bahkan Perang Dunia ke-1 pun sanggup ia kobarkan (bersama dengan Adolf Hitler). Apalagi jika cuma "memetik" sebelasan lembar nyawa pesepakbola! Kisah nyata ini terjadi di 1934. Beruntung darah tak jadi tumpah, Italia menang 3-0.


Cerita itu hanya satu serpih torehan dari gunungan kisah menakjubkan dalam panggung permainan sepakbola. Dunia memang butuh katarsis (ajang pelepasan) untuk segala naluri yang dimiliki manusia. Tentu saja, di situ juga termasuk naluri menghabisi, instink melumpuhkan, serta perusakan-perusakan besar. Tidak dengan cara-cara dingin melulu sebagaimana gaya Mafioso Sisilia. Tetapi juga dengan sorak sorai menggempita. Misalnya contoh-contoh berikut.


Pasukan pemerintah El Salvador memasuki perbatasan Honduras karena sepakbola ---dan perang pun meletus. Seorang suami menembak mati istrinya karena sepakbola di Bucharest. Seorang pria memuncratkan isi kepalanya dengan sebuah peluru karena sepakbola di Buenos Aires. Ribuan supporter Liverpool membantai tifosi Juventus atas nama sepakbola di Brussels. Di jalan raya Istambul, pendukung Galatasaray memukuli dan menikam mati dua pendukung Leeds United karena sepakbola. Di alun-alun kota Roma, seorang wanita memamerkan buah dada dan kemaluannya karena sepakbola. Sementara itu di Jakarta, seorang pria menceraikan istrinya juga karena sepakbola. Oh, ya terlewat. Mungkin anda pernah mendengar serangkaian penembakan terhadap para pemain bola di Mexico, beberapa waktu lalu. Belum lagi bila kita memasukkan kata Hooligans, Tifosi, Bonex Surabaya, dan Bobotoh Bandung...


Konsep ringkas untuk semua kegetiran itu adalah bahwa sepakbola menjadi katarsis. Sebagai ruang-ruang pelepasan naluri bar-bar ummat manusia. Mengalihkan gejolak kegilaan manusia yang destruktif ke dalam sebuah permainan yang menyenangkan. Persis, seperti di tulis oleh Professor Johan Huizinga, dalam buku "Man the Player", di Tahun 1938, bahwa manusia adalah homo luden (mahluk bermain).


Hanya perputaran zaman yang kemudian menjadikan sepakbola (dan cabang olahraga lain) menjadi lebih beradab. Tidak ada lagi gladiator bertarung melawan singa lapar, di bukit olympus. Objek panahan cukup sebentang papan keras yang dilingkari garis hitam ---bukan prajurit tawanan yang kalah perang. Dan tradisi baku pukul dilokalisir ke ring tinju dengan pengawasan ketat dari wasit. Konon, dulu sekali, bola yang disepak para pemain adalah batok tengkorak para tentara yang kalah perang.


Lalu setelah itu?


Johan Huizinga menjelaskan bahwa manusia adalah "mahluk" bemain, dan bukan "binatang bemain". Garis tegas jadi pembeda: sebagai mahluk, manusia dibekali kepandaian memilih-mengelola-memanfaatkan. Tidak seperti binatang, dari dulu hingga kiamat nanti "permainannya" begitu-begitu terus. Sepakbola, misalnya, oleh "mahluk bemain bernama manusia" itu kemudian dikelola dan dimanfaatkan. Tetapi satu hal tak berubah, dalam permainan, segala kemungkinan bisa terjadi...


Dari sinilah titik masuk berjalan. Hanya mereka yang memiliki kepiawaian berlebih bisa memanfaatkan sepakbola. Piawai dari sisi ekonomi, canggih dalam manajemen, kreatif dalam menjual, hebat dalam prestasi. Segala aspek kehidupan, kemudian, ramai-ramai melakukan proses simbiosis mutualisme dengan sepakbola. Salah satu "causa celebre" (contoh yang sering disebut), adalah kebangkitan sebuah kota kering di Italia, bernama Turin, yang kemudian melesat menjadi kosmopolit gara-gara kehadiran Klub Torino dan Juventus. Ini contoh keuntungan ekonomis antara sepakbola dan bisnis. Orang Inggris, di mana-mana, bahkan selalu bangga dengan dua hal yang terkenal. Pertama adalah BBC (British Broadcasting Cable) dan MU (Manchester United). Belum lagi beberapa negara "terasing" yang kemudian tenar gara-gara sepakbola, seperti Kamerun, Togo, dan Pantai Gading. Jika bukan karena sepakbola, akankah mereka dikenal seperti hari ini?


Piawai mengolah, rapi dalam manajemen, kreatif dalam menjual, dan hebat dalam prestasi, faktor-faktor ini nampaknya dibagi rata oleh negara-negara peserta piala dunia.


Jika misalnya, Amerika tidak terlalu hebat dalam kepemilikan bakat sepakbola ---di negara itu bahkan sepakbola kalah populer oleh basket, maka mereka digdaya dalam manajemen. Hasilnya sudah jelas, mereka berkali-kali lolos sebagai kontestan. Begitu juga Inggris, yang sejatinya adalah pemilik sepakbola, benar-benar mampu menjual tontonan sepakbola ke seluruh penjuru dunia ----meskipun mereka hanya pernah satu kali memiliki Piala Dunia, di Tahun 60-an.


Penegasan kembali: sepakbola adalah seni segala kemungkinan. Bayangkan Togo, Pantai Gading, Meksiko, Brazil. Bukankah mereka negara-negara dunia ketiga yang masih perlu belajar banyak hal? Dari negara-negara itu, bahkan tak sedikit yang bermasalah. Mexico adalah negara dengan kategori terjebak utang (debt trap), begitupun Brasil. Sementara beberapa negara Afrika adalah negeri dengan segudang masalah. Tetapi toh tetap bisa unjuk diri. Singkat kata, meski lemah dalam ilmu manajemen, payah dalam bisnis, tetapi mereka hebat dalam prestasi.


Lalu jika segalanya mungkin, mengapa kemudian Indonesia selalu terperangkap menjadi penonton setia?


Sepakbola adalah seni segala kemungkinan bila itu berjalan dalam arena yang jujur dan tidak manipulatif. Kita gagal untuk mengenali permasalahan diri sendiri secara jujur. Bahkan gagal merumuskan "exit strategy" (jalan keluar) dari segala perkara yang memenjara. Karena memang tak pernah mau jujur terhadap borok diri sendiri. Negeri ini hanya pandai memanipulasi dan mengalihkan masalah. Belajarlah dari Afrika Selatan, yang tercabik isu rasial, tetapi bisa bangkit. Belajarlah dari Iran yang diluluh-lantakkan, tetapi juga bangkit. Belajarlah dari Korea Utara yang dikucilkan, tetapi juga jadi peserta. Mereka tak pernah memanipulasi masalah di negerinya sendiri.


Sepakbola di Indonesia lalu berubah menjadi seni segala ketidakmungkinan... karena kebohongan itu. Rezim PSSI pimpinan Nurdin Halid, bukan belajar bangkit dari masalah, malah mengalihkan masalah yang sesungguhnya. Bukannya bergegas membentuk tim bagus, malah sibuk mencalonkan diri menjadi tuan rumah Piala Dunia 2020. Sungguh konyol... Sepakbola, di negara lain adalah The Art of Possibility. Di negeri kita, The Art of Imposibility. Wallahu'alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar