Senin, Mei 25, 2009

Mencari Makna Shodaqoh Sejati

Petikan pengalaman dari situs www.wisatahati.com, yang dikelola ikon shodaqoh Indonesia, Ustadz Yusuf Mansur, menebalkan keyakinan diri. Tak ada yang sia-sia dengan perbuatan baik. Surat Ar Rahman menyebut: Jazaul Ikhsan ila Ikhsan, perbuatan yang baik pasti berbalas kebaikan. Begitupun dengan nasehat-nasehat dari orang tua dan guru kita, ada ubi ada talas. Ada budi ada talas.

Namun penyikapan tak bisa gegabah, bahwa tausiah itu adalah berbentuk verbal, matematis dan saklek. Bahwa dalil tentang manfaat shodaqoh ---dan berbuat baik--- adalah memang haqul yakin benar. Tetapi bentuk konsekuensinya, atau balasannya, bisa beragam. Tidak monolitik, misalnya kalau kita sedekah Rp. 10.000, maka Tuhan segera mengganti dengan Rp. 100.000. Bukan begitu (meski bisa saja itu terjadi). Kalau cuma sebegitu, justru akan menjadi masalah, karena kering makna dan miskin hikmah. Lagipula, balasan rezeki dari Allah tak melulu uang dan materi.

Saya bahkan ada dalam barisan orang yang menganggap rezeki itu lebih dari sekedar bentuk (uang, barang, atau bentuk fisik lainnya). Rezeki Allah itu lebar, seluas lanskap pemikiran dan persepsi kita. Artinya, dalam kondisi tertentu, bisa saja sakit hati pun adalah rezeki, jika persepsi kita justru memaknai dengan positif. Banyak pihak membuktikan, rezeki yang dalam perwujudan awalnya tidak mengenakan, tetapi malah berkesan nikmat di sisi akhir. Misalnya tentang seorang penumpang kereta api, yang mati-matian berjuang beli tiket, tapi tak berhasil (padahal sebelum berangkat, ia sudah sholat, berdoa, minta restu keluarga, dan mengeluarkan uang untuk bershodaqoh. Tetapi, dalam hitungan jam, ia justru merasa sangat beruntung, lantaran tak berhasil dapat tiket ----kereta api yang akan ditumpanginya kecelakaan, dan memakan banyak korban jiwa.

Intinya, hati-hati memaknai balasan rezeki Allah atas aktivitas shodaqoh kita, agar tak jatuh pada lelaku materialistik!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar