Kamis, Mei 21, 2009

Tim Gegana atau Pawang Singa?

Hawa nafsu itu seperti singa, kata sebuah nasehat. Terlalu liar, akan sulit ditaklukan. Bisa-bisa malah muka robek tercakar.

Menjinakannyapun tak bisa sesegera yang kita ingin. Mesti telaten, ekstra hati-hati, dan butuh ilmu ---mungkin petugas di Ragunan dan Taman Safari paham betul soal ini. Saya tak tahu tabiat singa, apakah liar tetapi hatinya baik, atau memang buas karena memang tuntutan alamiah? Tetapi agak bisa diyakini, bahwa segalak-galaknya raja hutan itu, tak pernah terdengar memperkosa anaknya sendiri....

Tamsil barusan sepadan dengan cara olah kita terhadap hawa nafsu. Dalam kaitan ini, maksudnya terbatas pada masalah amarah, kerakusan, birahi, kesombongan, jumawa, egois, kesenangan duniawi, dan ingin menang sendiri. Ada memang tafsir teliti terhadap masalah ini, setidaknya yang pernah saya baca dalam buku Nafsiologi dalam Islam.


Terlena Terbiasa
Jika terlampau longgar dan umbar amarah tiap saat, sulit mencerna sikap sabar. Pun, kalau mentradisikan diri dalam kebiasaan (mendekati) zina, tentu repot kalau kemudian ingin berhenti. Demikian juga buat nafsu buruk lainnya, semacam kesombongan, egoisme, dan sejenisnya. Lantaran rangkaian dari perilaku yang menjadi rutinitas hidup itu akan menjadi tabiat, atau habit. Wajar jika kita menanggap aneh pendapat yang selalu dipelihara banyak orang, bahwa kelak mereka akan berhenti zina, ketika sudah tua. Atau akan bijak (tak korupsi) di masa pensiun. Lebih konyol lagi yang mencita-citakan kesholehan pada suatu hari nanti, karena hari ini masih ingin bersenang-senang.

Hal-hal yang berkaitan dengan nafsu buruk itu memang berwujud gamblang. Banyak orang yang mampu mengendalikan ---sekurangnya mencegah dan menekan sesedikit mungkin. Tetapi ada urusan yang samar, tetapi dengan dampak perusakan cukup besar. Samar karena seolah berbentuk kebaikan. Padahal sejatinya adalah bentuk dari maksiat dan pelanggaran syariat.

Mudah-mudahan saya tak gegabah. Bahwa kemalasan, pura-pura bersabar padahal hati dongkol, menunda-nunda urusan dengan alasan macam-macam, mengalah karena pengecut, juga adalah bentuk dari manipestasi hawa nafsu (negatif). Bisa jadi perbuatan semacam ini jauh lebih berbahaya dari "kejahatan" yang kasar, seperti memaki dan memarahi orang lain. Logikanya sederhana: bahwa mungkin kita menganggapnya sepele dan membiarkan terus berulang. Hati dan pikiran kita tidak pernah mau bertaubat atas tindak-tanduk "pengecut" seperti itu. Lagi pula, tersedia ratusan alasan pembenaran, atas perilaku kita yang malas, munafik, dan kurang amanat seperti itu.

Ukuran paling jelas adalah justru diri sendiri. Jarang rasanya, saya marah secara terbuka, atau menghakimi orang lain dengan kata-kata pedas atau perbuatan jelek. Tetapi lain soal bila bersikap pengecut, khianat, munafik, dan pemalas. Rasa-rasanya, gunungan dosa dan sumber kelemahan saya ada di situ.

Celakanya, dalam sejumlah peristiwa, tindakan tercela tersebut justru menjadi tameng penyelamatan diri. Seraya membatin dalam hati: "Ini karena terpaksa". Lama kelamaan, resah gulana berkepanjangan. Penyesalan begitu menyiksa. Batin rusuh dan tak enak hati. Pernah juga terisak dalam tangis, (mengapa) ini selalu terjadi?

Dalam diri saya ---pastilah, karena ini juga dari Allah--- tentu ada potensi Singa. Bisa mengaum dalam amuk, gusar dan terjang kanan-kiri. Katakanlah itu bagian dari insting kemanusiaan. Tetapi Singa dalam diri itu relatif jinak, lantaran telaten diurus oleh pawang yang lihai.


Aku Pengecut
Tetapi beda dengan sifat-sifat yang bertentangan dengan karakter Muslim sejati. Idealnya, muslim sejati adalah dia yang berani, teguh pendirian, amanat, dan giat atau rajin. Sungguh sedih, hingga detik ini bioritme saya masih jauh dari hal itu. Kehadiran akhlak tercela (yang saya sebut samar, karena agak sukar terdeteksi) justru lebih sering hadir. Saya adalah ---sering--- menjadi orang yang pengecut. Munafik. Kurang mampu mengemban amanah. Ini adalah siksaan. Seolah jalan hidup saya lepas dari pengawasan ilmu, jauh dari kaidah moral, miskin amanah, dan kalah oleh kelemahan diri.

Butuh lebih dari sekedar pawang untuk menjinakan perilaku kurang terpuji itu. Mungkin perlu Tim Gegana atau Jihandak (penjinak bahan peledak). Karena mereka bekerja dengan alat deteksi canggih, fasilitas komplet, prosedur kerja yang baku, terlatih, dan mampu mengukur resiko.

Ya, diriku butuh Gegana dan Jihandak. Agar ledakan perilaku buruk itu bisa dihindari, kalau bisa membersihkan sebutir kecil apapun potensi dari bom kemunafikan, kepengecutan, dan kemalasan. Semoga Allah memberiku petunjuk. Amien.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar