Selasa, Mei 26, 2009

Merutinkan Shodaqoh

Merutinkan shodaqoh agar menjadi bioritme dan individual habbit dalam diri. Dalam urusan yang ini aku tak bisa muluk-muluk. Penghasilan pas-pasan. Tanggungan di rumah cukup banyak. Tak mungkin bisa seperti orang lain, punya anggaran khusus dan membuka rekening untuk didermakan ke berbagai lembaga (tentu, yang terpercaya, terbukti bermanfaat bagi ummat). Semangatkul berlatar dari niat sederhana: ada amal ibadah yang bisa ringan aku lakukan, kalau bisa otomatis terjadi, tanpa pertimbangan rupa-rupa.


Rutinitas Mudah
Pilihannya adalah shodaqoh. Agaknya ini tak terlalu berat ---dibanding merutinkan Shalat Tahadjud, misalnya. Sejumlah faktor pendukung telah tersedia. Bukan sesuatu yang berat, terutama dalam perjalanan hidupku, untuk mau menolong orang lain yang kesusahan. Pun, tabiat pelit dan kemaruk, sulit kulakukan. Dalam kondisi tertentu, perilaku mudah ke luar uang itupun bahkan menjurus buruk: misalnya nraktir teman, membebaskan rokok untuk diisap bersama, atau untuk main-main. Jadi urusannya adalah tinggal mengkonversi. Judulnya tetap sama: ke luar uang untuk pihak lain. Hanya arahnya dibelokkan, untuk perkara yang lebih punya guna.

Itupun bila kategori shodaqoh terbatas pada uang. Lantaran, setahuku, masih banyak amaliah lain yang masuk ke kelompok itu. Membantu tenaga dan pikiran untuk kepentingan bersama. Bermuka ramah. Mudah tersenyum. Juga bagian dari "derma". Insya Allah, semua itu mendapat persetujuannya. Nah, sekali lagi, perilaku seperti itupun bukan perkara berat untuk aku jalani.

Janji disertai tekad dan membiasakan dalam perilaku harian ini lumayan berbekas. Setiap hari, berapapun jumlahnya, dan seperti apapun bentuknya, selalu berjuang agar bisa bershodaqoh. Kebetulan, terdapat beberapa "fasilitas" yang mendorong untuk itu.

Terutama di hari kerja. Dari rumah hingga ke kantor, puluhan hingga belasan orang yang butuh bantuan selalu kujumpai. Mulai dari pengemis cacat di atas jembatan penyeberangan sampai pengamen yang ---terlihat sangat---- butuh uluaran tangan. Tak jarang aku mengamati bahwa pengamen itu terkesan lapar, belum makan. Tangan mereka gemeletar ---jauh dari kesan dibuat-buat. Dalam urusan ini, aku lebih percaya nurani. Kalaupun misalnya aku salah memberi, biarlah itu menjadi urusan Allah.

Sementara untuk lingkungan sekitar, tak sedikit keluarga yang kurang beruntung. Aku akrab dengan mereka. Anak-anak yatim adalah sasaran utama, mereka toh, butuh jajan dan perlu uang. Sementara tetangga yang kurang mampu dari sisi ekonomi, kubantu sebisanya. Tak ada itikad sombong dalam hal ini. Hati terlepas dari kejumawaan. Bahkan yang sering terbersit adalah kesedihan, bahwa Allah mengingatkan aku ---masih bisa memberi dan berbagi.


Sekedar Kisah
Saya cukup banyak membaca referensi dan pengalaman terhadap orang-orang yang ringan tangan. Rata-rata kisahnya memberi inspirasi dan meneguhkan niat ---Allah akan membalas orang-orang yang berbuat baik. Meskipun, dari sejumlah artikel, tak sedikit juga yang menceritakan kerasnya proses pembiasaan diri dalam bershodaqoh. Dua hal itu, yaitu masalah balasan Allah dan proses yang berat, juga sempat mampir dalam hidupku.

Paling fenomenal adalah mendapat uang tak terduga berjumlah luar biasa ----tentu dalam ukuran aku. Di luar dugaan dan bayangan. Tiba-tiba aku mendapat pemberian dari suatu pihak sebesar Rp 20.000.000 (dua puluh juta rupiah). Kondisi yang terjadi ketika uang itu kuterima juga menambah keharuan. Maklum, persis satu minggu sebelumnya, cadangan uang terkuras. Terpakai untuk membantu biaya rumah sakit adik ipar, berjumlah kurang lebih Rp. 1 juta rupiah. Saat membantu, tak ada pikiran macam-macam. Kecuali niat bahwa memang adik ipar harus dibantu ---mereka juga sama-sama miskin seperti aku, tak punya uang.

Kurang lebih, dari penuturan tausiah Ustadz Yusuf Mansur, bahwa balasan Allah adalah 1o kali lipat. Tapi hari itu aku mendapat 20 kali lipat!

Beberapa kejadian lain juga pernah hinggap. Di Bulan Ramadhan tahun lalu juga sempat mencicipi nikmat balasan shodaq0h. Ceritanya: di dalam bis, ada Bapak yang mengeluh kehabisan ongkos pulang. Dia mencoba menawarkan pakaian bekas yang dibawa ---katanya, ia bekerja di Tangerang, tetapi di tipu oleh mandor, pekerjaan mereka tak dibayar. Aku, saat itu, hanya punya uang pas-pasan. Tapi hati tak bisa dilawan. Segera saja, kuberi uang pada si Bapak, jumlahnya persis Rp 12.000. Tak sampai belasan jam, Allah mengganti. Sore harinya, aku ditelepon Bos, agar mampir ke rumahnya. Malamnya, ia mengajak aku jalan, membantu ursan pekerjaan. Begitu pulang, aku diberi ongkos taksi, sejumlah Rp. 600.000. Aku tak bisa menghitung, berapa kali lipat balasan itu?

Bila dirangkai-rangkai, ceritanya panjang. Pernah tak punya uang ketika lebaran, malah nekat disumbang ke anak yatim. Begitu masuk kerja hari pertama, bos malah memberi uang, tanpa prasyarat apapun, benar-benar memberi. Jumlahnya menyelamatkan perekenomian keluarga untuk beberapa hari, sejumlah Rp. 2.500.000. Pesannya hanya satu: kamu segera cukur rambut kamu, biar rapi! Atau, menolong korban kecelakaan, bayar biaya pengobatan luka ringan, jumlahnya Rp 150.000. Beberapa hari kemudian, urusan yang membuat aku stress, tiba-tiba selesai! Balasannya memang bukan uang, tapi SK pengangkatan aku sebagai Staf Ahli, dengan gaji yang baru. Alhamdulillah....

Hari-hari terakhir ini, aku berada dalam tekanan berat. Pekerjaan agak terganggu. Sikap bos membuat kurang nyaman. Dan keuangan terkuras. Mudah-mudahan Allah memberi pertolongan. Tapi ada satu hal yang sangat kuinginkan dari merutinkan shodaqoh ini. Yaitu agar Allah membimbing hati, pikiran, jasmani, agar selalu bersujud. Agar rutinitas shodaqoh ini juga mendorong aku lebih banyak melakukan amaliah lain. Mulai dari sholat, membaca Al Quran, menggali ilmu (hikmah) ke-Islam-an, menjaga amanat, berpuasa sunnah, sholat dhuha, dan lain sebagainya. Bantu aku, Ya Allah....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar